Author pov
Pukul 17:43, Alana masih mondar mandir di dalam kamarnya.
“Vi gimana? Dateng apa nggak?” Kata Alana meminta pendapat sahabatnya Viona via video call.
“Kalo menurutku datang aja sih,”
“Ok, temenin ya,” Kata Alana dengan menampakkan wajah melasnya.
“Ogah, jadi obat nyamuk entar aku.” Tolak Viona mentah-mentah.
“Please,” Alana dengan menambah tingkat wajah memelasnya.
“Ogah,”
“Yaudah lah, nggak maksa aku.” Alana lantas memastikan video callnya.
“Berangkat, enggak, berangkat, enggak, berangkat?”
“Kamu ngapain si Na, mondar mandir nggak jelas?” terdengar suara Arya yang mengejutkan Alana.
“Ah itu, gimana ya?” Alana bingung harus bilang apa ke Arya.
“Gimana?”
“Eemmm, Vano minta Alana buat dateng ke cafe depan.” Alana memberi tahukan apa yang membuatnya mondar mandir.
“Yaelah abang kira ngapain, dateng aja kali. Abang anterin deh.” Goda Arya.
“Apaan si Bang, sana keluar Alana mau mandi.” Usir Alana dengan mendorong badan Arya keluar dari kamarnya.
“Yaudah yaudah sana dandan yang cantik.” Goda Arya lagi. Pukul 18:59, Alana sudah berada di area parkir cafe. Masih ada satu menit lagi untuk Alana bersiap-siap.
“Udah sana keluar, keburu ditungguin nanti.” Celetuk Arya yang duduk dikursi kemudi mobil. Ya, Arya mengantarkan Alana dengan mobil.
“Iya iya, bawel amat sih,” Alana segera keluar dari mobil karena ia tak mau jika berlama-lama dimobil bersama Arya. Bisa-bisa Alana mati kutu karena terus menerus di goda oleh abangnya. Baru saja Alana turun dari mobil, tiba-tiba datang seorang gadis kecil yang berlari kearahnya dan memberinya sebuah bunga mawar putih.
“Ini buat kakak.” Kata gadis kecil itu dengan suara cemprengnya sembari memberikan bunga kepada Alana.
“Makasih, ini dari si_” belum selesai Alana bertanya, gadis kecil tersebut sudah berlari menjauhinya.
Dengan hatinya yang bertanya tanya, Alana mulai melangkah memasuki cafe. Suasana ramai khas cafe tersuguhkan di depan mata Alana ketika ia memasuki cafe. Melihat kesekitar untuk mencari Vano, itulah yang kini sedang Alana lakukan.
“Kak sini kak.” Gadis kecil tadi kembali nampak di salah satu meja kosong dekat jendela dengan melambai lambaikan tangannya pada Alana.
Alana pun lantas menuju meja tersebut, dimana meja tersebut ialah meja yang biasa Alana duduki bila berkunjung ke cafe tersebut.
“Kata kakak ganteng kakak duduk di sini aja kalo kakak gantengnya belum dateng.”gadis kecil tersebut menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Karena tak ingin gadis kecil tersebut kecewa bila ia tidak duduk, maka Alana pun duduk di kursi yang tadi ditepuk-tepuk oleh gadis kecil. Lagi, gadis kecil itu kembali berlari menjauhi Alana.
Pukul 19:20, sudah hampir setengah jam Alana duduk sendiri di cafe, namun Vano belum juga menampakan wajahnya.
“Ni orang sengaja kali ya mau bikin gue jadi lumutan di sini.” Kata Alana mendumel. Jenuh, itu pasti. Jengkel apalagi, sudah jelas.
“Gimana sih ni orang, tau gini nggak dateng gue.” Oceh Alana ketika menelfone handphone Vano yang ternyata tidak aktif.
“Lima belas menit lagi kalo nggak datang juga, gue bakal tinggal pulang tu bocah. Bodo.” Kata Alana memutuskan kemudian. Lima belas menit sudah berlalu, sedangkan Alana masih saja duduk sendiri.
“Sumpah ni bocah ngerjain gue,” Kata Alana yang sudah kesal menunggu.
Sesuai perkataannya tadi, jika sudah lima belas menit ia menunggu dan Vano tak kunjung datang Alana akan pulang. Kini Alana sudah berdiri hendak meniggalkan cafe. Namun belum sempat kaki Alana berpindah posisi, terdengar petikan gitar di panggung cafe. Alhasil Alana pun tak jadi pergi dan kembali duduk.
Teringat pada saat itu
Tertegun lamunanku melihatmu
Tulus senyumanmu
Sejenak tenangkan
Hatiku yang telah lama tak menentu
Terdengar suara sesosok pria yang mirip dengan suara Vano, namun Alana tak dapat memastikan apakah benar pria yang memetik gitar tersebut adalah Vano. Karena kondisi panggung yang entah mengapa kali ini remang-remang.
“Ini belum bayar listrik apa gimana sih, kok nggak kelihatan.
”Kata Alana yang tak dapat melihat dengan jelas pria yang berada di panggung.
Rasa sepi yang telah sekian lama
Selimuti ruang hati yang kosong
Perlahan tlah sirna
Bersama hangatnya
Kasihmu yang buatku percaya lagi
Tiba-tiba sebuah lampu menyala diatas tempat pria yang sedang menyanyi dan dapat dipastikan Alana dapat melihat dengan pasti siapa pria yang menyanyi di atas panggung tersebut.
“Va_no.” Alana hanya dapat mengucapkan kata itu ketika melihat bahwa pria tersebut adalah benar Vano.
Dan ku akui
Hanyalah dirimu
Yang bisa merubah segala
Sudut pandang gila
Mungin lirik tersebut mewakili apa yang ingin Vano samapaikan pada Alana.
Yang kurasakan tentang cinta
Yang selama ini menutup pintu hatiku
Yang kini tlah kau buka
Ya, Alana sudah berhasil membuka kembali hati Vano yang sebelumnya Vano tutup rapat-rapat .
Disaat ku sudah lelah mencari
Disaat hati ini tlah terkunci
Kau datang membawa
Seberkas harapan
Engkau yang memiliki kunci hatiku
Ya, hanya Alana lah yang memiliki kunci hati Vano.
Dan ku akui
Hanyalah dirimu
Yang bisa merubah segala
Sudut pandang gila
Yang kurasakan tentang cinta
Yang selama ini menutup pintu hatiku
Yang kini tlah kau buka
_Afgan- Kunci Hati.
“Lagu ini untukmu, untukmu yang telah merubah pandanganku dan akhirnya membuatku kembali berani untuk membuka hati ini.” Kata Vano diakhir lagu dengan pandangannya yang lekat pada Alana sembari menunjuk bagian dadaya. Dengan ditemani oleh suara tepukan tangan pengunjung cafe, Vano berjalan turun dari panggung dan melangkah menuju meja yang dimana terdapat pemilik kunci hatinya. _Alana .
Alana yang melihat Vano berjalan kearah mejanya hanya dapat bungkam dengan perasaan yang entah harus digambarkan seperti apa.
“Kenapa sih kok gue jadi deg-degan gini?” batin Alana. Begitu sampai didepan meja Alana, Vano berjongkok disamping kursi yang Alana duduki.
“Alana Budi Wardaya, bersediakah kamu menjadi kekasih seorang yang berhasil kau ubah ini.” Kata Vano dengan mengeluarkan tangannya. Dengan meneliti mata Vano yang menyiratkan sebuah kejujuran, Alana hanya mematung. Memfikirkan apa yang akan ia ucapkan pada Vano.
“Semoga ini yang terbaik.” Batin Alana setelah beberapa saat hanya mematung.
Menarik nafas dalam-dalam, itulah yang Alana lakukan sebelum ia mulai berbicara pada Vano.
“Maaf sebelumnya,”Kata Alana kemudian dengan jeda.
“Gue nggak bisa.” Lanjut Alana.
“Maksudnya?”
“Gue nggak bisa jadi pacar lo.”
"Why?"
“Gue udah punya orang lain.” Pandangan Alana mengarah ke pintu cafe.
“Dia pacar gue.” Alana menunjuk seorang pria yang berjalan kearah mereka.
“Maksud lo?”
“Iya, dia pacar gue. Jadi maaf gue nggak bisa sama lo.” Alana menggandeng tanagan pria yang ia sebut sebagai pacarnya dan pria tersebut adalah Dani.
“Oh, ok kalo gitu gue minta maaf. Gue nggak tahu kalo lo udah punya pacar.” Kata Vano.
“Kenalin, gue Vano.” Vano mengeluarkan tangannya pada Dani.
“Kenalin gue Dani.” Kata Dani memperkenalkan dirinya.
Setelah Vano dan Dani bersalaman, Alana lantas mengajak Dani pergi.
“Kak, gue mau pulang.” Bisik Alana di telinga Dani sangat pelan dengan berjalan melewati Dani dan menggenggam tangan Dani agar mengikutinya. Dani pun mengikuti apa mau Alana, meniggalkan Vano seorang diri di cafe.
# # #
“Kenapa harus dia?!” Kata Vano dengan melemparkan sebuah batu ke danau.
“Kalo dulu lo udah bikin gue menyesal, kali ini gue nggak akan biarin lo sama Alana.” Rahang Vano mengeras. Sedangkan Vano sedang melempari batu ke danau, Alana sedang berada di mobil bersama Dani.
“Kamu kenapa nangisin apa yang sudah kamu putuskan?” Kata Dani yang melihat Alana menangis. Alana tak menjawab pertanyaan Dani, ia hanya terus menangis.
“Asal kamu tahu Na, perasaanku ketika kamu bilang ke Vano kalo aku pacar kamu aku senang, walupun hanya pacar pura-pura.” Batin Dino.
Karena perkataannya yang tidak di jawab Dino pun akhirnya hanya diam dan terus melajukan mobilnya menuju ke rumah Alana. Karena jarak rumah Alana dan cafe yang cukup dekat, Alana dan Dani dapat sampai dirumah Alana dengan cepat.
“Makasih kak sudah mau membantuku, maaf kalo aku sudah merepotkan kakak.” Kata Alana ketika sudah didepan rumahnya.
“Nggak Na, justru aku malah senang bisa bantu kamu.” Dani melepaskan seatbelt Alana.
“Sekali lagi makasih.”
“Kamu nggak usah makasih, cukup dengan kamu nggak nangis itu aja cukup bagi aku. Jadi jangan menangis lagi.” Dani mengusap sisa air mata di kelopak mata Alana yang sembab. Alana pun hanya membalas Dani dengan senyuman dan segera keluar dari mobil karena entah mengapa Alana merasa kepalanya pusing.
“Na, kamu kok bisa sama Dani?” Tanya Arya yang tiba-tiba datang.
“Tadi Alana yang minta kak Dani datang ke cafe.” Jawab Alana dengan malas sambil menutup pintu mobil Dani.
“Mata kamu kenapa Na kok sembab gini?” Arya menyentuh kelopak mata Alana.
“Nggak papa.” Alana menyingkirkan tangan Arya dari wajahnya.
“Lo apain adik gue Dan?!” Arya menodongkan tangannya ke arah Dani.
“Nggak gue apa-apain.”
“Tapi kok mata dia sembab?”
“Udah lah Bang Alana capek,” Alana menarik tangan Arya untuk segera masuk ke rumah.
Sesampainya di dalam rumah Alana langsung masuk ke kamarnya tanpa berucap sepatah kata pun pada Arya. Arya pun jadi bingung dan bertanya tanya mengenai apa yang sudah terjadi pada Alana. Karena ingin memastikan kondisi adiknya, Arya memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Alana.
“Na ini Abang, Abang ijin masuk ya?” Seru Arya di depan pintu kamar Alana.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari dalam, Arya langsung membuka pintu kamar Alana.
“Alana!” teriak Arya ketika mendapati Alana berada di lantai dengan darah yang keluar dari hidungnya dengan kondisi tidak sadarkan diri. Arya yang panik pun lantas membopong Alana menuju mobil.
“Ada apa denganmu Na? Kenapa kamu seperti ini?”
“Kamu harus bertahan Na,” Kata Arya setelah berhasil membawa Alana ke mobil dan kemudian Arya langsung menancap gas membawa Alana ke rumah sakit.
# # #
“Van kok gue tiga hari ini nggak lihat Alana ya?” Seru Didit ketika mereka sedang makan di kantin.
“Bukan lo doang Dit, gue juga.” Timpal Yahya.
“Yeee siapa yang tanya.” Seru Dino.
“Apa dia menghindari gue ya?” batin Vano.
“Gue ke toilet dulu.” Kata Vano yang kemudian berlalu dari hadapan teman-temannya.
“Viona!” panggil Vano ketika melihat Viona.
“ Ada apa? Tumben tumbenan manggil-manggil gue.” Balas Viona.
“Lo pasti mau nanya Alana kan?” tebak Viona kemudian.
“Iya, gue belakangan ini kok nggak lihat dia ya, lo tahu nggak dia kemana?” Tanya Vano to de point.
“Gue nggak tahu dia dimana, dia sudah tiga hari ini alfa.” Jawab Viona apa adanya.
“Apa dia pindah sekolah buat hindarin gue? Masa segitunya.” Batin Vano.
“Lo nggak bohong kan?” Tanya Vano lagi pada Viona.
“Nggak buat apa gue bohong, kalo lo nggak percaya lo tanya aja sama temen satu kelas gue.” Jawab Viona yang tak terima jika dibilang bohong.
# # #