Sore kembali datang meski tak ada yang memanggilnya. Sore ini akan menjadi sore yang mencekam bagi Alana, karena sore ini ia harus melakukan serangkaian tes Lab yang disuruh Arya untuk memastikan atas semua yang Alana alami belakangan ini.
"Bang, Alana takut Bang," Kata Alana pada Arya ketika keluar dari ruangan dokter.
"Kamu nggak usah takut, ada Abang yang akan selalu di sisimu." Kata Arya menenangkan Alana.
"Makasih, sudah jadi Abang yang mau ada di sisiku." Alana memeluk Arya.
"Itu sudah jadi kewajibanku Na,"
"Udah ah jangan melow melow gini, kita kan belum tahu hasil Labnya. Mending sekarang kita pulang, atau kamu mau pergi kemana?"
"Kita cari minum dulu aja Bang."
Sedangkan sore itu Alana menjalani tas Lab, Vano sedang duduk di pinggir kolam renang rumahnya dangan sebuah buku kecil dan sebuah pena. Untuk apakah kedua benda tersebut? Vano orangnya meskipun suka bercanda dan bertindak konyol, namun ia terbilang orang yang tertutup. Vano lebih sering menuangkan isi hatinya di sebuah buku dibandingkan ia bagi dengan orang lain. Namun belum sampai Vano menorehkan pena yang ia bawa di kertas, terdengar handphone Vano bergetar.
Grup chat Hamba_Allah
Yahya_HA: main yok
Didit_HA: kemana?
Heri_321: kemana? (2)
VanoFP: skateboard aja yok
Dino_123: satuju gue
Didit_HA: dimana?
VanoFP: taman biasa
Heri_321: Ok
Yahya_HA: otw
Didit_HA: get well soon Van
VanoFP: -_-
Dino_123: lo sakit Van?
VanoFP: Otw
Didit_HA: Broken heart dia Din
VanoFP: Otw woy, jangan rumpi mulu
Yahya_HA: Otw
Didit_HA: Otw (2)
Heri_321: Otw (3)
Dino_123: woke woke
# # #
Mengayuh skateboard ke sana kemari dengan teman-temannya dapat menjadikan Vano lupa bahwa seharusnya sore ini Vano bermain skateboard bersama Alana. Mereka bercanda ria dengan bahagianya tanpa menganggap orang lain di sekitarnya. Tak jarang mereka juga bertingkah jahil ketika melewati tempat-tempat yang terdapat orang-orang yang sedang menghabiskan sore dengan pacarnya.
"Kamu jangan tinggalin aku ya, aku tak bisa hidup tanpa mu." Kata seorang pria pada pacarnya.
"Alah kalo di tinggalin paling juga cari cewe lain." Celetuk Didit yang sedang melewati sepasang kekasih tersebut dan tak sengaja mendengar ucapan pria tadi.
"Apaan sih lo! Kenal aja enggak ikut campur!" Balas pria tadi.
"Kok kamu marah sih, aku kan nggak tinggalin kamu?" Kata pacar cowok tadi pada pacarnya.
"Lagian dia, kenal aja enggak sok ikut campur." Kata cowok tadi dengan nada yang sedikit tinggi.
"Oo, jadi bener kata orang tadi! Kamu bakal cari cewe lain kalo aku pergi?" Balas pacar cowok tadi dengan nada yang lebih tinggi.
"Weh weh weh, berhenti dulu broh. Bakal ada perang ni kayaknya." Kata Yahya yang baru melewati pasangan yang tadi di jaili Didit. Karena sudah cukup jauh juga mereka mengayun skateboard, mereka putuskan untuk berhenti di dekat pasangan yang sedang berantem akibat ulah Didit.
"Wih, lo apain tu tadi Dit jadi begitu?" Tanya Dino yang melihat sepasang kekasih yang sedang berantem.
"Nggak gue apa-apain, cuma nyaut omongan cowoknya tu. Yang katanya nggak bisa hidup tanpa ceweknya." Ujar Didit dengan santainya. Mereka pun kini hanya duduk-duduk menikmati semilir angin sore yang menerpa dengan mengamati sekitar.
"Beli buah noh di kedai buah sana, banyak jenisnya. Gue pernah nganter nyokap di sana." Kata Didit dengan menunjuk-nunjuk kedai buah di seberang jalan dari tempat mereka duduk.
"Ada buah bibir nggak Dit?" Tanya Yahya kemudian.
"Anj, kalo buah yang itu mah lo salah tempat." Sahut Vano.
"Buah yang itu lo cari aja di Rumpi No Secret." Sahut Didit kemudian dengan memeragakan gerakan di acara tersebut. Karena tingkah Didit tersebut Vano, Yahya, Heri dan Dino menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Lo cocok Dit jadi rumpi-rumpi gitu." Kata Vano dengan tertawa.
"Bener banget kata Vano Dit. " Sahut Heri.
"Udah ah, capek gue ketawa mulu. Mending cari yang dingin-dingin, kaya esss..." Dino tak melanjutkan ucapannya, ia malah menepuk-nepuk Vano yang masih tertawa.
"Van Van Van," Kata Dino dengan menepuk bahu Vano.
"Apaan sih No?" Vano menyingkirkan tangan Dino.
"Itu itu," Dino menunjuk sesuatu di kedai es krim yang berada di seberang jalan.
Karena ucapan dan gerak-gerik Dino, Yahya, Didit, dan Heri berhenti tertawa dan ikut melihat apa yang di tunjuk Dino. Vano hanya diam mengamati apa yang ia lihat itu apa benar.
"Van, itu bukannya Alana ya?" Tanya Yahya kemudian setelah mengamati depan kedai es krim yang Dino tunjuk-tunjuk tadi. Di sana terlihat Alana sedang bercanda dengan seorang pria sambil memakan es krim.
"Bener, itu Alana. Tapi sama siapa ya?" Ucap Didit kemudian.
"Gue nggak tanya lu!" Balas Yahya.
"Apa gara-gara tu cowok Alana batalin janjinya?" Batin Vano.
"Woy Van, kok malah bengong sih lo." Kata Dino yang melihat Vano hanya diam.
"Gue nggak bengong elah." Kata Vano.
"La terus kenapa cuma diem?" Tanya Yahya.
"Gue tu lagi mikir."
"Oooo."
# # #
Pagi telah tiba, Alana harus segera berangkat sekolah karena jam sudah menunjukkan pukul 06:49. Alana hanya mempunyai waktu 11 menit untuk menuju sekolah, padahal jarak rumahnya dan sekolah cukup jauh.
"Bang cepet, Alana keburu telat nih!" Teriak Alana dari luar rumah sembari menunggu Arya yang sedang bersiap-siap.
"Iya, bentar!" Sahut Arya yang baru keluar dari rumah dengan sambil mengunci rumah. Setelah Arya mengunci rumah, Arya pun segera mengantarkan Alana.
Di tengah perjalanan
"Bang tinggal empat menit nih," Kata Alana di tengah perjalanan dengan melihat jam tangannya.
"Na, bannya kayaknya bocor deh." Kata Arya dengan menghentikan motornya di pinggir jalan.
"Ya sudah, Abang bawa aja motornya ke bengkel. Alana naik ojek itu aja." Kata Alana dengan menunjuk tempat pangkalan ojek di seberang jalan tempat mereka berdiri.
Jam sudah menunjukkan pukul 07: 15. Itu menandakan Alana sudah telat 15 menit.
"Ini Bang uangnya." Alana menyerahkan uang pada tukang ojek. Tukang ojek itu pun lantas pergi karena telah mendapatkan uang ongkos.
"Pak, tolong bukain gerbangnya." Panggil Alana pada bapak satpam.
"Iya Dek," Sahut bapak satpam.
"Makasih pak." Kata Alana kemudian pada pak satpam sambil masuk ke dalam sekolah. Karena Alana telat, mau tidak mau ia harus menerima hukuman yaitu menyapu halaman sekolah. Di saat Alana sedang menyapu, tiba-tiba ada segerombol siswa pria yang melewati Alana. Mereka tak lain dan tak bukan ialah Vano dan kawan-kawannya.
Karena Alana mengetahui bahwa Vano lah yang akan melewati tempat ia menyapu, Alana berniat hendak menyapa Vano dan kawan-kawannya.
Namun ketika Alana hendak menyapa Vano, Vano malah mengalihkan wajahnya dan berjalan begitu saja di depan Alana bagai dua orang yang tak pernah saling mengenal.
"Tu tidak tidak kenapa ya?" tanya hati Alana entah pada siapa.
Karena tak ingin tertinggal jam pelajaran pertama terlalu lama, Alana pun kembali beralih menyapu halaman sekolah.
# # #
-Flashback on-
Dua tahun yang lalu, tepatnya ketika Vano memasuki ruangan UGD. Dengan langkah beratnya Vano menuju ranjang yang di atasnya terdapat ibunya.
"Maafin Vano bu, Vano janji nggak akan balapan lagi." Ucap Vano dengan menggenggam tangan ibunya. Namun ibu Vano hanya diam dengan mata tertutup dan nafas teratur.
"Ibu jangan cuma diam, Vano di sini ngomong sama ibu." Vano kini menciumi tangan ibunya. Namun ibu Vano masih saja diam di temani dengan suara alat pendeteksi detak jantung.
"Vano nggak mau kehilangan ibu, Vano cuma punya ibu. Nanti kalo ibu pergi Vano siapa yang ngomelin ketika Vano bandel." Ucap Vano lagi. Namun ibu Vano masih saja tidak merespon ucapan Vano.
"Maaf dek, adek harus keluar dulu dari ruangan ini. Karena ibu adek perlu istirahat." Kata seorang suster pada Vano.
"Selamat istirahat bu, jangan lupa besok bangun." Kata Vano dengan mengecup kening ibunya sebelum keluar dari ruangan ibunya. Satu tahun sudah ibu Vano mengalami koma. Dan sudah satu tahun ini Vano bolak-balik ke rumah sakit sendiri. Kemanakah ayah Vano? Selama satu tahun ini juga, ayah Vano lebih sibuk dengan pekerjaannya dan wanita lain.
Hal itulah yang menjadikan Vano kecewa pada ayahnya. Ayahnya yang lebih mementingkan pekerjaan dan wanita lain. Bahkan sebelum ibu Vano koma, ayah Vano sudah dengan wanita lain.
"Ibu nggak capek ya tidur terus? Apa ibu nggak kangen sama Vano?" itulah kata yang selalu Vano ucapkan apa bila menjenguk ibunya. Begitu juga kali ini.
"Ibu kok diem aja sih, Vano kengen ibu yang crewet pas Vano telat pulang bu." Vano membelai rambut ibunya yang lebih panjang dari satu tahun yang lalu.
Namun ibu Vano masih saja seperti hari-hari sebelumnya. Hanya diam dengan mata tertutup dan nafas teratur. Vano lantas menggenggam tangan ibunya cukup lama. Namun ketika Vano hendak melepaskannya tangan ibu Vano bergerak.
"Dokter! Dokter!" teriak Vano memanggil dokter untuk memeriksa kondisi ibunya. Dokter pun lantas memasuki ruangan dan memeriksa kondisi ibu Vano dan Vano menunggu di luar ruangan. Setelah beberapa menit dokter keluar dari ruangan ibunya.
"Bagaimana kondisi ibu saya dok?" Tanya Vano dengan wajah paniknya.
"Maaf dek, ibu adek tidak dapat_" Belum sampai selesai dokter menjelaskan kondisi ibunya Vano langsung berlari menuju ranjang ibunya. Semua alat yang semula menempel di tubuh ibunya sudah terlepas, itulah yang Vano dapati ketika memasuki ruangan ibunya.
"Suster kenapa semua alat di lepaskan?" Tanya Vano pada suster yang sedang membereskan alat dengan wajah seperti orang linglung.
"Maaf dek, ibu adek sudah meninggal." Jelas suster.
"Tidak! Pasang lagi sus alatnya ibu saya masih hidup!" Kata Vano yang belum bisa menerima apa yang dikatakan suster.
"Maaf dek, ibu adek sudah tiada. Tolong di ikhlaskan." Kata suster.
Vano pun berlalu menuju ranjang, ranjang yang kini di tutupi kain yang di baliknya terdapat ibunya.
"Ibu kenapa tinggalin Vano? Ibu harus bangun, Vano janji nggak akan balapan lagi asalkan ibu bangun." Ucap Vano dengan memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa.
"Sudah biarkan ibumu tenang di alam sana." Kata ayah Vano di belakang Vano kemudian.
"Semua ini gara-gara anda! Anda malah mementingkan pekerjaan dan wanita lain ketika ibu sakit!" Kata Vano pada ayahnya ketika mendapati ayahnya di belakangnya.
"Apa kamu nggak mikir kalo penyebab ibumu meninggal itu kamu! Gara-gara kamu balapan ibu kamu meninggal hah!" Balas ayah Vano. Dan semenjak itu Vano hanya mengantarkan ibunya di hari pemakamannya saja, dan tak pernah kembali lagi ke pemakaman ibunya. Karena Vano akan merasa sangat bersalah ketika kembali ke sana.
-Flashback off-