"Mana kopi yang kupesan?" tanya Aiden pada salah satu pelayan di dekatnya. Pelayan itu langsung terperanjat dan bergegas mengambilkan kopi untuk Aiden.
Tidak butuh waktu lama, pelayan itu kembali dengan segelas kopi panas. Ia meletakkannya di hadapan Aiden dan berkata dengan suara gemetaran, "Silahkan, Tuan." Karena begitu takutnya pelayan itu pada Aiden, tanpa menunggu Aiden menjawab ia langsung berlari kembali ke arah rekan-rekannya.
Rasa takut terpancar di mata Natali melihat gelas kopi yang diletakkan di hadapan Aiden. Ia takut pria itu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan pada Anya. Kopi yang ia siramkan pada Anya sudah dingin karena mereka sudah berada di ruangan ber-AC itu cukup lama. Namun, kopi yang disajikan di hadapan Aiden itu masih panas dan mengepulkan uap. Kulitnya bisa rusak terbakar jika kopi itu disiramkan padanya.
Tidak hanya Natali yang berpikir seperti itu, Deny juga memikirkan hal yang sama. Ia langsung menarik tangan Natali, menyuruhnya untuk meminta maaf pada Aiden dan Anya. Mungkin dengan minta maaf, Aiden akan melupakan apa yang akan ia lakukan "Natali, cepat minta maaf pada Aiden dan Anya."
"Aku …" Natali benar-benar merasa enggan, tetapi ia bukan orang bodoh. Ia tahu apa maksud Aiden memesan kopi itu. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
Ia segera berlutut di hadapan Anya dan Aiden, sambil memohon. "Maafkan aku!" tangis Natali. "Aku mengakui kesalahanku. Tolong maafkan aku …" Sebenarnya, Natali bukan minta maaf karena ia mengakui kesalahannya, tetapi karena ia merasa takut pada Aiden.
Melihat Natali berlutut di hadapannya dan mendengar permintaan maaf keluar dari mulutnya, Anya merasa hatinya sedikit luluh. Namun lain halnya dengan Aiden. Ia sama sekali tidak peduli terhadap permintaan maaf wanita itu.
Aiden bukanlah pria yang lembek hanya karena matanya tidak sempurna. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat kejam. Ia tidak peduli siapa yang sedang ia hadapi. Pria atau wanita, jika orang itu merencanakan hal buruk kepadanya, ia pasti akan membalasnya dengan lebih kejam.
Aiden mengangkat gelas kopi itu dan membawanya ke arah bibirnya, menyesapnya perlahan. Melihat hal itu, Natali langsung menghela napas lega. Kekhawatirannya ternyata tak berdasar. Namun, kalimat yang keluar dari bibir Aiden selanjutnya membuat ia menyadari bahwa ia terlalu bodoh. Aiden tidak akan memaafkannya hanya karena ia memohon ampun.
"Kopi ini terlalu panas," katanya dengan santai. Kemudian, ia membuang isi gelas tersebut ke arah Natali. Ia menyiramkannya tepat ke arah wajahnya. Natali langsung refleks menggunakan tangannya untuk melindungi wajahnya. Ia tidak mau sampai wajahnya rusak karena air panas. Oleh karena itu, pada akhirnya, tangannya yang memerah karena air panas, membuatnya berteriak kesakitan. Wajahnya juga terkena sedikit siraman sehingga ikut memerah.
"Panas … panas …" teriaknya sambil menangis. Ia terjatuh ke tanah sambil menggeliat karena rasa sakit yang ia rasakan benar-benar tak tertahankan. Tangannya dan wajahnya memerah, sementara leher dan tubuhnya pun terkenal siraman dan melepuh. Air matanya mengalir dengan deras di wajahnya, membuat make-upnya luntur. Tetapi ia tidak peduli. Yang bisa ia pikirkan saat ini hanyalah rasa sakit yang ia rasakan di seluruh tubuhnya.
Anya hanya bisa tertegun saat melihat Natali berteriak kesakitan. Ia juga tidak menyangka bahwa Aiden akan bertindak sekejam ini. Namun, ia tahu bahwa Aiden melakukan semua itu untuknya. Bisa saja ia yang berada di posisi Natali kalau saja kopi yang Natali siramkan padanya tadi masih panas. Melihat keadaan Natali saja membuatnya meringis kesakitan, walaupun bukan ia yang merasakan rasa sakit itu secara langsung.
Tetapi tetap saja, kejadian ini membuat Anya merasa sedikit takut pada Aiden.
Sementara itu, Deny langsung mengambil botol air dingin dari meja sebelahnya dan bergegas menuangkannya ke tangan, wajah, leher dan bagian tubuh Natali yang terkena siraman air panas itu. Air dingin itu membuat rasa perih yang Natali rasakan sedikit berkurang.
Sambil terus membantu Natali, Deny menghadap ke arah Aiden dan berkata, "Aiden, tolong maafkan Natali. Ia masih muda dan belum mengerti apa-apa."
Aiden hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan dingin, seolah tidak ada yang terjadi di hadapannya. Ia menatap ke arah Deny dan bertanya, "Saat kamu melihat Natali menyiramkan gelas kopi pada Anya, apakah kamu juga merasa peduli seperti ini?"
Anya juga merupakan putrinya. Apakah Deny melakukan hal yang sama untuk Anya, seperti apa yang ia lakukan untuk Natali?
Pertanyaan Aiden membuat Deny terdiam. Ia tidak melakukan apapun saat Natali menyiramkan kopi pada Anya. Ia tidak membela Anya dan juga tidak berusaha untuk membantunya. Apa yang bisa ia katakan untuk membela dirinya?
Deny tahu tidak ada gunanya memohon pada Aiden. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini adalah meminta bantuan pada Anya. Apapun yang Anya katakan, Aiden pasti akan mendengarnya.
"Anya, tolong maafkan Natali. Biarkan ayah mengantarnya ke rumah sakit," Deny memohon kepada Anya dengan panik.
Melihat kepanikan ayahnya, ada sedikit rasa pahit muncul di hatinya. Ayahnya tidak melakukan hal yang sama untuknya. Ayahnya diam saja saat Natali menyiramnya dengan kopi. Pria itu tidak terlihat panik saat seluruh tubuhnya basah kuyup karena perbuatan putrinya yang lain. Namun, saat semua ini terjadi pada Natali, ayahnya terlihat sangat panik. Padahal, mereka berdua sama-sama putri ayahnya.
"Anya!" kata Deny sekali lagi. "Bagaimanapun juga, Natali adalah saudaramu. Tidak peduli apapun yang telah ia lakukan, Natali adalah bagian dari keluargamu."
Aiden bisa melihat kebimbangan di mata Anya. Wanita itu terlalu baik hati. Hatinya terlalu lembut sehingga ia merasa kasihan, bahkan pada orang-orang yang telah menyakitinya. "Jangan terlalu berbelas kasihan. Ingat apa yang mereka lakukan padamu. Ingat apa yang ayahmu lakukan padamu dan ibumu," kata Aiden dengan suara rendah.
"Hmm … aku tahu …" jawab Anya dengan sedih. Suaranya terdengar lirih saat ia menyandarkan kepalanya di bahu Aiden seolah ia sangat lelah.
Ketika ia basah kuyup karena Natali menyiramnya kopi, tidak ada satu orang pun yang membantunya, termasuk ayahnya sendiri. Saat ayahnya menamparnya, tidak ada satu orang pun yang membantunya. Ia berdiri seorang diri di sana, melindungi dirinya dari rasa malu, rasa sakit hati, rasa marah, sementara semua orang menyerangnya!
"Bisakah kita pulang sekarang?" pintanya pada Aiden dengan suara lemah.
"Hmm .. Ayo kita pulang," jawab Aiden sambil menggenggam tangan Anya, mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu.
Ia sama sekali tidak memedulikan dua orang yang ada di hadapannya itu dan langsung berbalik. Sementara Anya masih menoleh, melihat ayahnya dan Natali untuk terakhir kalinya.
Natali masih terduduk di lantai sambil memegangi tangannya yang memerah dan Deny berusaha untuk menolongnya. Semua orang di sekitar mereka tampak tidak mau ikut campur setelah memahami cerita yang sebenarnya. Mereka merasa Natali memang pantas untuk mendapatkan ganjaran setelah apa yang diperbuatnya.
Di sela-sela menahan rasa sakit yang dirasakannya pun, Natali masih bisa memandang ke arah Anya dengan penuh kebencian.