Download App
38.46% RINAI / Chapter 5: Keputusan Kecil Membawa Perubahan Besar

Chapter 5: Keputusan Kecil Membawa Perubahan Besar

"Gimana ni, udah hampir sebulan tapi STNK saya masih belum selesai juga!" suara lantang memecah keheningan di dealer pagi itu, menarik atensi banyak orang. Seorang konsumen laki-laki paruh baya mengamuk tak lama setelah mereka membuka pintu rolling dealer.

Ia protes ke semua orang sampai akhirnya mereka mengarahkan bapak itu kepada Rinai. Namanya pak Slamet. Dia adalah konsumen reguler yang melakukan pembelian tunai beberapa bulan yang lalu.

"Iya pak, tapi KTP bapak itu kan KTP di luar kota. Kalo KTP-nya kabupaten, pengurusan STNK-nya memang agak lama, Pak," jelas Rinai. 

"Tapi kan surat jalan keterangannya cuma 2 minggu, ini udah lewat tapi belum juga selesai. Katanya mau dihubungi kalau selesai, sampai hari ini nggak ada dihubungi sama sekali. Susah saya mau pergi-pergi! Motor nggak ada surat-surat kayak gitu, nanti malah disangka motor bodong."

"Tapi memang prosedurnya kayak gitu, Pak. Memang prosesnya agak lama. Makanya, karena STNK Bapak belum selesai, belum ada kami hubungi."

"Tu sekarang gimana? Surat jalan saya sudah nggak berlaku! Kemarin saya hampir kena tilang, untung polisinya kenalan saya, bisa dia ngerti."

Rinai mendesah. Gini nih yang bikin kesel, kalau pengurusan surat-surat motor lama, konsumen pasti marahnya ke Rinai. Salah Rinai apa coba? Emang dia yang keluarin STNK?

"Nggak mau tau saya pokoknya! Udah cukup sabar saya, ya Dek. Di surat jalan ditulis 2 minggu, udah sabar saya, udah lebih dari sebulan saya tunggu nggak juga selesai, nggak salah kalau saya marah kayak gini ya!"

"Belum lagi sebulan, Pak. Baru tiga minggu. Makanya surat-suratnya lama keluar."

"Terus, harus saya tunggu sebulan? Kena tilang dulu saya baru keluar STNK-nya?!"

"Tapi kalau KTP-nya luar kota, Pak, pengurusan  STNK-nya memang lama." Rinai sampai bosan mengulang-ulang penjelasannya.

"Adek ni nggak ngerti! Nggak mau tau saya, STNK saya harus selesai minggu ini juga! Kalau nggak selesai minggu ini, saya pulangkan motornya ke sini!"

Rinai ngerti Pak, Bapak yang nggak ngerti!

"Lagipula di dealer lain saya ambil motor bisa cepat kok! Di sini aja yang lama," Pak Slamet mulai merepet lagi.

"Iya, Pak. Tapi memang sudah prosedurnya seperti itu."

"Itu bukan urusan saya! Saya kan menuntut hak saya. Udah kurang baik apalagi saya? Udah hampir sebulan, STNK sama BPKB belum juga keluar. Saya ini beli tunai! 20 juta lebih ni saya bayar, jangan sekarang kalian lepas tanggung jawab gini!"

Rinai mengkerut. Susah banget sih ngejelasin sama konsumen kayak gini! Dengan gondok, Rinai memutuskan menemui Pak Daniel.

"Permisi, Pak," sapa Rinai. Pak Daniel tampak tenggelam dibalik tumpukan berkas di mejanya.

"Hah, kenapa?"

"Ini Pak, ada konsumen yang ambil motor udah hampir sebulan, tapi KTP-nya luar kota."

"Sudah kamu beri tahu kalau mengurus STNK untuk konsumen dengan KTP luar kota itu lebih lama prosesnya?"

"Udah Pak, tapi konsumennya nggak mau ngerti. Malah ngancam, kalau minggu ini nggak selesai motornya mau dibalikin."

"motornya mau dibalikin? Mana bisa!" pak daniel langsung heboh.

"Iya Pak, gimana tu Pak? Konsumen tu marah-marah aja, nggak mau dengerin penjelasan saya." 

Pak Daniel bangkit dan melangkah ke counter dengan langkah panjang-panjang. Di sana, konsumen yang tadi masih menyalurkan amarahnya ke semua karyawan dealer.

"Bapak ya yang nanya STNK?" Pak Daniel tersenyum ramah. "Nah, ini Pak, haha, jadi untuk STNK, kalau KTP luar kota memang lama. Yaaa... nanti kami usahakan agar bisa lebih cepat haha," jelasnya, tetap cengengesan meski konsumen masih tampak emosi.

"Ya nggak peduli saya mau luar kota atau bukan! Biasanya STNK seminggu, dua minggu udah keluar. Ini udah hampir sebulan belum juga selesai. Percuma saya punya motor, nggak bisa juga dibawa kemana-mana!"

"Iya, kami janjikan secepatnya. Dalam minggu ini lah. Nanti kami utamakan."

"Masa selama itu? Kalau nanti saya kena tilang gimana? Motor saya kayak motor bodong, nggak ada surat-suratnya!"

"Lagipula, biasanya kan ada STNK sementaranya, Pak," kata Rinai, ia mulai jengah jadi tontonan konsumen yang lain.

"Mana ada! Saya cuma dikasih surat jalan aja!" tukas konsumen.

Pak Daniel menatap Rinai.

"Kamu gak ada kasih STNK sementara?"

"Kalau STNK sementara bukan saya yang pegang Pak, Kak Julita yang pegang," jawab Rinai.

"Ha? Julita? Sutan, Julita mana?"

"Ada, Pak, lagi sarapan di pantry," sahut Bang Sutan.

"Kalau konsumen ambil motor ada gak dibikinin sama Julita STNK sementaranya?"

"Harusnya ada sih, Pak," kata Bang Sutan.

"Panggil, panggil dia!" Bang Sutan dengan sigap langsung berlari ke pantry.

"Udah, kamu selesaikan aja kerjaan kamu. Ini biar saya aja yang urus," kata Pak Daniel ke Rinai. Rinai mengangguk dan kembali ke kursinya. 

Untung deh, Rinai lelah menghadapi konsumen kayak gitu. Mana tumpukan kerjaan masih banyak lagi, moodnya Rinai udah turun duluan. Rinai mendesah lelah, ia bangkit dan mengambil gelas lalu berjalan menuju pantry. Rinai butuh minum!

"Kalau kayak gini kan saya nggak perlu marah-marah! Ini sama sekali nggak ada pegangan. Surat jalan juga udah mati masa berlakunya," Saat Rinai balik, suasana lebih adem dari tadi. Wajah konsumen pun tampak lebih ramah.

"Iya. Nanti untuk surat-suratnya yang asli kami usahakan secepatnya. Itu lagi kami urus," kata Pak Daniel.

Konsumen itu mengangguk. Setelah menyimpan STNK sementara itu ke dalam tasnya, dia pun bergegas pergi.

"Sutan, tolong penjualan untuk konsumen dengan KTP luar kota itu di stop dulu. Terlalu banyak. Susah mengurusnya. Nanti kalau surat-surat kendaraan lama keluar konsumen marah-marah. Kita bingung menjelaskannya gimana. Mereka mana paham "Pelanggaran Wilayah"," intruksi Pak Daniel ke Bang Sutan.

Pelanggaran wilayah sendiri adalah situasi di mana di mana dealer melakukan penjualan motor di luar wilayah yang sudah ditentukan oleh Main Dealer. Perbatasannya biasanya per wilayah. Seperti dealer Rinai yang terletak di Pekanbaru, tidak diijinkan untuk menjual unit ke luar kota. Hal ini dikarenakan dealer dengan merek sama sudah ada di sana. Kecuali, si konsumen menetap di Pekanbaru, barulah surat-surat kendaraan bisa diurus dengan bukti surat domisili atau keterangan kerja.

"Susah lah pak, penjualan kita lebih banyak ke konsumen ber-KTP luar kota. Kalo kita stop, nggak jualan kita Pak. Nanti anjlok lagi penjualan kita kayak bulan sebelumnya," tolak Bang Sutan.

Pak Daniel diam, tampak berpikir. Ia kemudian mendekati Rinai.

"Rinai, nanti semua data penjualan luar kota kamu pisahin ya, kasih ke saya! Biar saya bedakan pengurusannya, biar lebih cepat!"

"Iya, Pak."

Sepeninggalan Pak Daniel, Rinai membuang napas. Alamat nambah kerjaan ini. Inputan aja masih menggunung, ditambahin satu lagi. Lama-lama Rinai nggak kuat kerja kayak gini!

Rinai merebahkan badan di atas kasur. Mata terpejam rapat dengan napas yang tenang. Tampak begitu damai. Meski begitu, gurat lelah tertera dengan jelas di setiap jengkal wajahnya.

Pagi ini, ia berencana mencicil inputan yang sudah menggunung. Dokumen itu terus tumbuh tinggi tanpa bisa dihentikan. Ia sudah membagi waktunya dengan baik dan yakin akan bisa menyelesaikan semua dalam waktu 2 hari ini. Tapi semua rencananya kandas saat pak daniel seenaknya memberi perintah untuk memilah penjualan dalam kota dan luar kota. Ia malah berakhir dengan setumpuk besar faktur penjualan.

Rinai lelah lahir dan batin. Penghujung bulan sudah di depan mata, tapi kerjaan masih segunung. Jangan bilang Rinai harus lembur pas tutup buku nanti. Isssh.

Ting!

Sebuah pesan masuk. Dengan ogah-ogahan Rinai menjangkau tas dan mengeluarkan HP.

[From: Bang Jack

Rinai, mau ikut lomba?]

Rinai mengernyit. Hah? Tumben banget Bang Jack ngajakin ikut lomba?

[To: Bang Jack

Enggak Bang, Rinai nggak sanggup panjat pinang.]

Kirim.

Ting! 

[From: Bang Jack

Lomba menulis, Rinai. 17 agustus masih lama.]

Rinai mengernyit. Lomba menulis?

[To: Bang Jack

Lomba menulis gimana, Bang?]

Ting!

[From: Bang Jack

Lomba menulis novel. Diadakan BOB Publishing. Coba aja, soalnya lombanya gratis. Total hadiahnya juga lumayan. Kabar paling bagusnya, nanti kalau menang langsung dikontrak sama penerbit.]

Rinai mikir. Mau sih … Mau banget malah!

Tapi, emang Rinai ada waktu? Apalagi, pasti banyak yang ikutan juga. Iya kalau menang, kalau kalah? Lagipula, selama ini walau Rinai pernah ikut kelas menulis, dia nggak pernah benar-benar bikin novel. Hanya diberikan teori, challenge, dan diminta buat cerpen aja. Belum sampai ke novel. Soalnya kalau mau dibimbing sampai bikin novel, harganya beda!

Selain itu, Rinai tidak memiliki pengalaman apapun dalam mengikuti lomba menulis. Pernah beberapa kali sih mengirim cerpen untuk ikut lomba, tapi nggak pernah menang. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara memulai sebuah novel dengan benar.

[To: Bang Jack

Rinai nggak pernah bikin novel, Bang. Nggak yakin juga bakal menang. Mana kerjaan lagi banyak-banyaknya. 😭😭😭]

Rinai memang sering menulis, tapi hanya sekadar coretan iseng. Palingan dia posting di FB atau Wattpad. Itu juga yang like cuma sedikit, apalagi yang baca.

[From: Bang Jack

Lombanya kan gratis, coba saja ikut. Anggap sebagai latihan. Anda kan sudah paham teorinya, kalau nggak dipraktekan, ya nggak bakal maju. Tahunya hanya sebatas teori saja.

Katanya mau jadi penulis hebat, masa sama kerjaan menumpuk aja kalah?

Anda kan bisa sediakan waktu 1-2 jam sehari buat menulis. Deadline-nya panjang kok, bisa dicicil tulisannya.

Kalau sehari bisa selesai 5 lembar, sebulan 150 lembar, 3 bulan 350 lembar. Udah jadi. Kan tidak sulit nulis 5 lembar sehari. Asal ada niat dan konsisten. Kalau untuk edit, biar Bang Jack yang bantu. Rinai fokus menulis saja.]

Rinai menggigit bibir. Serasa dihantam telak ke ulu hati membaca pesan dari Bang Jack. Rinai emang nggak sanggup kalau impiannya sudah dibawa-bawa gini, apalagi yang dibilang Bang Jack benar.

Rinai memang bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Sejak teman-temannya lebih memilih jadi polisi, pilot, atau dokter. Atau bahkan jauh sebelum dia mengerti jadi penulis itu maksudnya apa. Dan sampai detik ini, dia masih ingin jadi penulis. Masih ingin jadi penulis saat teman-temannya yang lain sudah berganti cita-cita. Masih memperjuangkan walau kadang ia tidak cukup percaya diri dengan hasil tulisannya.

Rinai menarik napas dalam, dan menghembuskannya. Kalau Bang Jack sampai mau jadi editor buat tulisan Rinai, ya nggak boleh ditolak dong, kapan lagi ada penawaran menarik kayak gini.

Dan Bang Jack benar, Rinai harus memanfaatkan lomba ini untuk mengasah kemampuannya. Menang, syukur. Nggak menang, juga nggak rugi apa-apa. Malah, mungkin saja dengan berani mengambil tindakan seperti sekarang, akan menciptakan perubahan besar untuk hidup Rinai. Ya, bisa aja kan!

Tekad Rinai sudah bulat. Ia mengetik pesan balasan untuk Bang Jack

[To: Bang Jack

Jadi, gimana cara daftarnya, Bang?]

Bodo amat dengan segunung inputan yang nggak kelar dan target jualan yang belum tercapai, Rinai punya hak mengejar impian!


Chapter 6: Penculik, Bukan?

Rinai bergegas turun dari oplet. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang dipadukan dengan celana levis dan sebuah tas selempang kecil. Setelah membayar, ia menyeberang jalan, menuju ke sebuah toko buku bekas.

Pagi ini, Rinai sudah meminta tolong Embun untuk mengantarnya ke tempat ini, tapi Embun malam ngomel-ngomel sambil lanjut tidur. Jadi dengan terpaksa, ia memutuskan untuk naik angkutan umum. 

Derita orang yang gak bisa bawa motor ya ini, nih. Sedih!

Toko itu sangat luas. Memiliki banyak rak yang menjulang ke langit-langit. Berbagai buku dengan berbagai judul tersusun rapi di setiap ruang, dibedakan sesuai kategori.

Rinai menjelajah. Semangatnya menggebu-gebu. Ia tampak layaknya anak kecil, berlari pelan ke sana ke sini hanya untuk kegirangan melihat betapa banyaknya buku-buku bagus yang bisa dibeli dengan harga yang murah.

Untuk manusia berdompet tipis seperti rinai, toko buku bekas ini bagaikan bagian kecil dari surga. Ia merasa seperti… di sini ada dunia dan seisinya. Bibirnya tak bisa berhenti mengembang. Dalam beberapa jam, di tangannya penuh dengan tumpukan buku.

Hari ini pengunjung begitu ramai. Rinai bahkan tak sengaja menyenggol beberapa orang saat berjalan dari rak yang satu ke rak yang lainnya. Mungkin juga dipengaruhi karena toko ini baru saja buka di sini. Mereka bahkan memberikan diskon yang cukup besar untuk pembelian dalam jumlah banyak.

Malam itu, setelah Bang Jack mengirimi info tentang lomba, mereka chatting sampai larut. Membicarakan tema apa yang akan diambil untuk tulisan Rinai. Ia sangat bersyukur karena BOB Publishing membebaskan peserta untuk mengambil tema apapun. Dan dia sudah memutuskan untuk mengambil tema tentang pembunuh bayaran.

Tema pembunuh bayaran sendiri sangat sedikit di Indonesia. Mungkin karena minat pembaca terhadap tema ini begitu rendah, atau mungkin karena kurangnya penulis yang menuliskan cerita dengan tema ini. Tapi Rinai tetap percaya diri. Ia merasa yakin kalau cerita dengan tema seperti itu akan lebih menarik. Selain itu, ia juga yakin kalau sedikit sekali penulis yang akan membuat tema serupa, sehingga tulisannya akan kelihatan lebih mencolok dan mencuri perhatian. Hal itu bisa membuat peluang Rinai menjadi semakin besar, kan?

Rinai mendekat ke bagian rak novel. Niat Rinai hari ini mau membeli beberapa novel dengan tema yang sama dengan yang ingin ia tulis sebagai referensi. Beberapa hari kemarin, ia sudah menonton banyak film atas saran Bang Jack. Tapi film saja tak cukup, ia butuh referensi dalam bentuk tulisan supaya lebih paham dan mantap.

Rinai tersenyum senang. Buku-buku itu dibiarkan terbuka tanpa pembungkus sama sekali. Seakan memang mengizinkan pengunjung untuk membaca sepuasnya. Tak menunggu lama, Rinai langsung tenggelam dalam dunianya sendiri. Orang-orang disekitarnya bagaikan kilatan bayangan cepat yang tidak berarti. Sekelilingnya buram. Hanya ada satu titik fokus. Dirinya.

Hal ini juga yang membuat Rinai tidak menyadari bahwa sejak dia masuk, ada seseorang yang memperhatikannya. Seorang laki-laki yang Rinai panggil Abang Ojek. Ia mengikuti Rinai dengan matanya dari sudut lain rak buku. Berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menyapa. Menolak dianggap sombong.

"Lagi cari buku apa, Dek?" sapa Birai.

Rinai tersentak. Ia menoleh cepat dan langsung mengambil satu langkah mundur mendapati di sebelahnya mendadak ada orang. Rinai menatap lamat-lamat. Kok rasa nggak asing, ya?

"Lupa, ya? Saya Birai!"

Oh, iya! Hutang 6 ribu!

"Lagi cari buku apa?" Birai menatap tumpukan buku di gendongan Rinai dengan takjub. "Banyak kali, mau ngeborong?!" serunya sambil tergelak.

Rinai malah gak mendengarkan sama sekali. Ia membuka tas dengan satu tangan dan mengambil pecahan uang 10 ribu.

"Utang saya, Bang," kata Rinai sambil menyodorkan uangnya. Birai melongo. 

"Bukan saya yang jual, Dek. Kasirnya di sana." Emang Birai kelihatan kayak penjaga toko ya? Orang dia udah dandan keren juga.

"Eh, bukan! Ini buat utang yang kemaren, Bang." 

"Yang mana?"

"Yang pas anterin saya ke dealer ujan-ujan itu loh!"

"kok bisa?"

"kok bisa apa?"

"Hujan-hujanan."

"Lah, kan kemarin emang hujan, Bang."

"Gak hujan, kok. Orang panas gini," kata Birai sambil melihat ke arah langit.

"Bukan hari ini Bang, kemaren." Rinai mendadak kesal.

"Kemaren juga panas, kok. Jemuran saya aja kering."

Demi, Rinai nggak paham lagi! Nih orang nyebelin banget!

"Kan beberapa minggu yang lalu saya pesan ojek online, terus abang yang jemput. Waktu saya mau bayar, uang saya tinggal, jadi saya ngutang ongkosnya sama abang. Kalau nggak salah 6 ribu. Ini mau saya bayar."

"Saya lagi ulang tahun loh, dek. Minum es dawet ayu yok, saya traktir!"

Rinai mengernyit. 

SIAPA JUGA YANG NANYA?!!

Nih cowok aneh banget sih. Stres gitu kayaknya. Tinggalin aja deh, nggak usah dekat-dekat. Kali aja dia penculik yang menculik orang buat diambil organ dalamnya, terus di jual. Kan sekarang lagi marak berita yang kayak gitu. Modus ngedeketin, terus di preteli deh organ korban. Ngeri!

"Ini Bang," Rinai menarik paksa tangan Birai dan menyerahkan selembar uang di sana, "Makasih ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban, Rinai berlalu menuju kasir. Bodo amat dianggap nggak sopan, Rinai udah takut duluan.

Setelah beres belanja, Rinai berencana untuk langsung pulang dan menghabiskan stok bacaan super banyak ini dalam waktu singkat. Bukan ngejar deadline lomba, tapi Rinai emang suka kalap kalau sudah berurusan sama buku. Sama kalapnya kalau lagi ngiler makanan enak. Kayak sekarang, niat pulang tinggal niat doang, Rinai malah berakhir di tukang es dawet ayu yang jualan nggak seberapa jauh dari toko buku bekas. Gara-gara Abang Ojek nih, yang tadi ngajak Rinai buat minum es. Kan, jadi pengen!

Sedang asik menikmati es dawet ayu sambil balas-balasan pesan sama Bang Jack, seseorang duduk di sebelah Rinai. Awalnya sih Rinai cuekin, paling juga pembeli lain. Tapi Rinai langsung menoleh dengan cepat saat orang itu mengeluarkan celetukan.

"Adek penulis, ya? Keren!"

Rinai melotot. Apaan sih, nggak sopan banget baca pesan orang lain!

"Mau ikut lomba apa tadi itu? Makanya ya beli banyak buku? Pantes sih, penulis kan nyawanya setengah ada di buku." Birai tersenyum lebar.

Rinai masih nggak merespon. Ia mematikan layar HP dan minum es cepat-cepat, biar bisa cepat pulang, dan membatalkan rencana buat sedikit berleha-leha di sana.

Birai, entah gak peka entah emang gak waras, tidak menyadari sama sekali tingkah Rinai yang tampak antipati sama keberadaannya. Ia malah menatap Rinai dengan jenaka.

"Nggak usah buru-buru minumnya, santai aja. Nggak bakal diminta kok, saya udah pesan juga barusan."

Siapa juga yang peduli dia mau minta apa enggak? 

"Oya, ini juga, uang kamu," Birai menyodorkan uang Rinai tadi di atas meja.

"Ini kan utang saya, Bang." Rinai baru bersuara saat uang itu berada di sebelah mangkoknya, ia pun kembali menggeser uangnya ke arah Birai.

"Nggak apa, lagian lebih juga."

"Nggak bisa gitu lah, utang dibawa mati, jadi Abang harus terima!"

Birai kicep. Dengan agak terpaksa ia mengeluarkan dompet dan menarik 2 lembar 2 ribuan dan balik menyodorkan.

"Ya udah, ini kembaliannya. Kan cuma 6 ribu."

Rinai nggak membantah. Ia nggak mau berurusan lebih lanjut sama orang ini. 

"Ya udah, sebagai gantinya, saya traktir ya! Anggap aja buat perayaan pertemanan kita." Birai tersenyum senang. Rinai mengernyit, sejak kapan mereka temenan?!

"Nggak usah Bang, udah dibayar kok tadi," tolak Rinai. Untung aja dia langsung bayar tadi, kayaknya Tuhan masih sayang sama Rinai.

Pemuda di depannya langsung memelas.

"Serius? Yahhh, sayang banget. Jarang-jarang loh saya mau foya-foya buat traktir orang."

Rinai cuma melempar senyum canggung.

"Kalo gitu kapan-kapan aja lah saya traktir, ya!" Birai melanjutkan.

"Nggak usah, Bang."

"Nggak apa, do! Kata orang, persahabatan itu dimulai dari sebuah traktiran!"

Tapi Rinai nggak mau sahabatan sama kamu, Bang! Ngeri!

"Emang kamu sejak kapan jadi penulis? Udah nerbitin berapa novel?" Birai menyeruput es dawet ayu miliknya yang baru saja datang.

"Masih pemulanyo, Bang, belum pernah nerbitin novel," jawab Rinai, lupa kalau dia nggak mau berurusan banyak sama cowok satu ini. Habisnya, dia tanya-tanya impian Rinai sih, kan Rinai jadi semangat menjelaskan.

"Masa iya? Terus tadi mau ikut lomba apa tu?"

"Baru mau ikut lomba. Belum buat novel." Rinai jadi kesel lagi pas ingat orang aneh ini mengintip chat-nya dengan Bang Jack.

"Ohhh, gitu! Tapi udah jago lah ya?!"

"Belum lah, kan masih pemula."

"Oya, saya punya kenalan, dia penulis juga, tetangga saya. Novelnya udah banyak. Beberapa karyanya bestseller!"

Rinai menatap tertarik. Serius nih? 

"Serius, Bang?"

"Iya! Rumahnya dekat kos-kosan saya. Mau saya kenalin?"

Mau sih. Tapi ini bukan modus, kan, ya?

"Emang kos-kosannya Abang dekat mana?"

"Ini, dekat jalan Soekarno-Hatta. Nggak jauh do! Gimana? Mau ke sana sekarang?"

Rinai ragu. Masa sih ada orang sebaik ini di dunia? Kenal aja belum, udah mau bantu sampai sebegitunya. Mana sejak tadi SKSD lagi kayak lagi cari korban.

"Ndeh… kalau sekarang nggak bisa do Bang, habis ini ada perlu." Rinai bohong.

"Oh, ada perlu? Ya udah besok aja kalau gitu! Nanti biar saya antar. Jadi malam ni, biar saya kasih tau dulu Pakciknya. Biar nggak terkejut pula Pakcik tu didatangin sama kita haha…"

Rinai mesem-mesem, memutar otak buat nolak. Bukan nggak mau dapat ilmu baru, tapi Rinai ragu sama cowok di depannya ini. Lagipula Rinai udah punya Bang Jack kok yang mau editorin. Untuk sementara, cukup sih kayaknya! 

"Nggak bisa mastiin jugak do Bang, soalnya saya juga kerja, sibuk kali soalnya."

"Oh, kapan ada waktu luang aja kalo gitu?"

Nih orang kok gak peka sih, kalau Rinai merasa terganggu?!

Rinai mendadak berdiri setelah es dawet ayu tandas dari gelas. Ia tersenyum canggung pada Birai yang tampak kaget sama gerakan tiba-tiba Rinai.

"Saya duluan ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban Birai, Rinai beranjak. Ia langsung memberhentikan oplet yang sedang mendekat dan naik, mengabaikan Birai yang untuk kedua kalinya ditinggal begitu saja.

Sesaat oplet berjalan, Rinai merutuki sikap tidak sopannya. Ia gak enak hati sih, tapi mau gimana lagi? Siapa suruh tuh cowok SKSD segala sama Rinai. Rinai kan takut!


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank 200+ Power Ranking
Stone 0 Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login

tip Paragraph comment

Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

Also, you can always turn it off/on in Settings.

GOT IT