Download App

Chapter 62: Bab 62

"Soully, kau..." ragu-ragu Miller bertanya dan hendak mendekati.

"Kakak!" Soully beranjak dari duduknya.

Sahutannya membuat Miller mematung. Ia tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Tangan Soully bergelayut seolah meminta bantuan ketika jemarinya yang dingin meremas lengan Miller.

"Maaf, aku melupakan tugasku tadi. Ayo, akan aku tunjukkan sampai di mana persiapan acaranya."

Miller masih berdiam dan mengikuti ajakan Soully. Tanpa pamit, mereka meninggalkan Tamara yang sudah meremas kedua tangannya hingga buku-buku jemarinya memucat.

Kurang ajar!.

Saat dirasa mereka sampai di ruang persiapan acara yang masih sepi, Soully melepas pegangan tangannya yang melingkar di tangan Miller.

"Maaf." Soully merasa canggung. "Tolong jangan salah paham." Rasa mual masih menyeruak dalam dirinya. Menahannya lalu menarik nafas dan membuangnya secara perlahan.

"Oh, it's oke. Aku senang kalau kau yang menyentuhku." Miller menyeringai bahagia. "But, you oke?" cemasnya ketika melihat perubahan warna pada wajah Soully yang memucat.

"I'm fine. Maafkan aku, Tuan. Tapi terima kasih, anda datang di waktu yang tepat. Sejujurnya...humpt..." Soully ingin muntah, namun tak keluar. Rasa mualnya seperti tertahan di tenggorokannya. Refleks ia menutup mulut dengan tangannya.

"Apanya yang baik-baik saja sedang wajahmu memucat seperti itu. Bahkan kau mual sekarang!" ucap Miller dengan nada yang cukup tinggi. "Seharusnya jika kau masih belum sehat, kau tak usah bekerja dulu." Miller menekan halus tungkak leher Soully, memijatnya perlahan. Ada nada penyesalan dalam ucapannya.

"Aku sudah cukup sehat walaupun kemarin baru pulang dari rumah sakit. Aku hanya merasa pusing dan mual sekali saat mencium bau parfum Nona Tamara tadi. Apa dia mandi parfum? Oh, sungguh baunya membuatku ingin muntah," jelas Soully terbata, masih merasakan mual.

"Bau apanya? Wangi parfumnya tadi menyegarkan," benak Miller bingung.

"Sudah, aku tak apa." Soully menghentikan Miller memijat tengkuk lehernya. "Aku sudah baik-baik saja."

Miller melepas tangannya. Sungguh ia sangat senang bisa memberikan sedikit perhatiannya untuk Soully. Namun, cara Soully yang menghindarinya, membuat hatinya sedikit terluka. Tapi baginya yang terpenting sekarang, ia bisa berdekatan dengan perempuan masa lalunya cukup membuat dirinya bahagia. Dalam tekadnya, ia ingin segera merebut Soully dengan berbagai cara. Apapun yang terjadi!.

***

Soully sudah menunggu di cafe dekat perusahaannya sesuai janji yang dibuat suaminya saat jam makan siang. Berkali-kali ia mencoba menghubungi suaminya, namun jawaban pada ponselnya tetap sama. Pesan singkat yang ia kirim lewat aplikasi berlogo telepon hijau pun, tak di baca sama sekali. Ia merasa kecewa, kenapa tak ada satupun balasan pesan yang ia kirimkan. Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi. Soully mencoba menghubungi Rona, namun sama saja.

Ke mana mereka sebenarnya?

Jam makan siang hampir berakhir, cukup lama Soully berdiri dekat pintu masuk cafe hingga membuat kedua kakinya merasa pegal. Ia merasa tak enak jika terus duduk menunggu di dalam cafe, sedang ia belum memesan apapun juga. Suasana cafe yang cukup ramai siang itu membuat Soully beranjak dari tempat duduknya untuk memberi ruang untuk pelanggan yang hendak makan.

Dengan langkah gontai, akhirnya ia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kantornya karena jam makan siang pun sudah berakhir. Wajahnya memasang raut kekecewaan yang nyata. Ingin menangis tapi tak jelas. Dilihatnya lagi berkali-kali ponselnya, namun tak ada tanda-tanda semua pesan yang ia kirimkan telah di baca.

"Apa sebaiknya aku datangi saja ruang kantornya? Tapi...apa tidak apa-apa? Positive thinking, Soully..." menjambak rambutnya frustasi.

Miller memperhatikan Soully yang sedang duduk tertunduk sambil meremas rambut kepalanya. Sesuatu tak beres telah terjadi, dia berjalan ke arah di mana Soully sedang terduduk penuh dengan raut kekesalan.

"Apa yang kau lakukan dengan duduk di bawah seperti itu? Apa kau sudah makan?" tanya Miller. Padahal ia tadi sudah menaruh pertanyaan 'Are you, oke?' dalam fikirannya. Namun ternyata, ekspektasi dan realita sungguh berbeda.

Soully mendongakkan kepalanya menatap orang yang sedang bertanya padanya. Lalu ia menggelengkan kepalanya perlahan. Seketika ia pun mengangguk cepat.

"Jadi, sudah makan atau belum?"

Soully mengangguk lalu menggeleng. Miller tertawa kecil melihat tingkah Soully. Oh, sungguh menggemaskan, rasanya ingin kucium pipinya yang memerah itu.

"Ayo, ikut aku," ajak Miller menarik tangan Soully.

"Ke mana?"

"Ikut saja."

Soully beranjak dari duduknya, mengikuti langkah di belakang Miller. Rasanya ia sudah malas untuk berdebat. Dengan segenap rasa kecewa dalam jiwanya, Soully hanya bisa pasrah dan mengikuti ke mana Miller membawanya.

DUG, Akh!

Soully langsung mengusap dahinya yang beradu tepat di dada Miller ketika dirinya terus berjalan sambil menunduk dengan melamun. Miller yang saat itu membalikkan badannya ketika mereka sampai di cafe dekat kantor dengan maksud memberitahu Soully padahal dirinya sudah berhenti dengan tangannya yang masih menggenggam erat tangan Soully.

"Apa sakit?" Miller yang panik ikut mengusap dahi Soully.

"Maaf," ujar Soully. "Apa dadamu sakit?" tangannya mengusap dada Miller membuat Miller salah tingkah. Sejenak mereka saling beradu pandang.

Jantung Miller terus berdebar tak karuan. "Tak apa." Segera ia meraih tangan Soully yang sedang mengusap dadanya itu. Ia mengalihkan pandangannya. "Ayo, kita masuk," ajaknya yang sedang salah tingkah namun senang. Di wajahnya terukir begitu jelas raut kebahagiaan. Ia terus menyunggingkan senyuman di setiap sudut bibirnya sambil terus berjalan masuk ke dalam cafe.

Miller memilih tempat duduk di ujung dekat jendela kaca yang menembus pemandangan di sekitarnya. Tak lama seorang pelayan membawa buku menu dan mereka pun memilih. Ralat! Mungkin hanya Miller yang memilih, karena sedaritadi Soully hanya diam dan pandangannya tetap fokus ke layar ponselnya.

Miller menyebutkan apa saja yang ia pesan, dengan telaten sang pelayan menulis lalu ia menyebutkan kembali apa yang Miller pesan disambung dengan sikap sopan ia berlalu meninggalkan meja mereka.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya makanan serta minuman yang dipesan Miller tiba. Aroma yang tercium, menggugah indera penciuman siapa saja yang menghirupnya.

"Makanlah." Miller membuyarkan lamunan Soully. Mata Soully yang tadinya sendu mendadak berbinar ketika melihat hidangan yang sudah tersaji banyak di atas meja.

"Ambil dan makanlah. Kebetulan aku juga belum makan. Aku tak ingin kau masuk ke rumah sakit lagi gara-gara dikira aku memporsirmu terus bekerja," ujarnya.

"Ini semua kesukaanku..." lirih Soully berbinar ketika melihat hidangan yang tertata di atas meja.

"Makanlah. Apa perlu aku suapi?" tawar Miller dan Soully hanya menggeleng.

Awalnya, Soully berantusias mengambil sesendok demi sesendok makanan untuk masuk ke dalam mulut mungilnya. Perlahan semakin lama ia semakin memaksakan dengan cara terus menerus memasukan makanan ke dalam mulutnya yang sudah penuh. Dengan mulut yang penuh makanan itu, sesekali terdengar suara isakan tangis yang ditahan.

Miller yang sedaritadi memperhatikan Soully hanya terdiam sambil menikmati makan siangnya dengan perlahan. Awalnya ia merasa iba, namun dirinya tak ingin memaksa Soully untuk menceritakan masalahnya. Tapi melihat kondisi Soully yang menurutnya sangat kacau, pada akhirnya ia menahan tangan Soully untuk tidak memasukkan makanan lagi ke dalam mulutnya yang sudah penuh.

Soully tak bergeming, ia menepis tangan Miller untuk melepaskan tangannya. Soully terus memaksakan dirinya. Ujung-ujungnya mulut mungilnya itu tak mampu menampung penuh makanan lagi. Soully tersedak lalu memuntahkan semua makanan di mulutnya itu hingga berserakan di lantai cafe. Tindakannya membuat orang-orang yang ada di sekitarnya menoleh dan terfokus padanya. Ada pula yang hanya acuh tak acuh saja.

Dengan cepat Miller beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri disamping Soully, memberikan minum untuknya. Soully yang masih terbatuk-batuk itu langsung menyambar segelas air minum yang diberikan Miller. Diteguknya langsung hingga tandas. Soully menaruh gelas kosongnya di atas meja. Tak lama kemudian setetes air mata mengalir di pipi mulusnya. Terlihat ia mengusap berkali-kali ketika setetes air mata itu menjadi tetesan yang mengalir deras. Isak tangisnya semakin lama terdengar semakin menjadi, Soully menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Pupus sudah benteng pertahannya, Soully tak bisa membendung kesedihannya lagi. Hal sepele memang, hanya karena ia tak kunjung mendapat kabar dari orang yang paling berharga dalam hidupnya. Biasanya tak mengapa jika ia tak mendapat kabar dari suaminya, namun entah kenapa hatinya begitu rapuh akhir-akhir ini. Hatinya begitu sensitive.

Miller hanya bisa membantu dengan memberi pelukan hangat dan menenangkan. Ia mengusap pelan punggung Soully, mendamaikan hati perempuan yang sedang dilanda kesedihan yang mendalam. Tak peduli lagi berapa pasang mata yang melihat ke arah mereka saat ini. Yang terpenting adalah, Soully.

***

"Maafkan aku..." ucap Soully ketika ia sudah menumpahkan semua air matanya. Sniffftt..."Ini memalukan." sambil mengambil tissue di atas meja yang dibantu Miller memegang kotak tissue-nya, menjulurkannya.

"Sudah merasa lebih baik sekarang?" menaruh kotak tissue, lalu tangan Miller menyibakkan anak-anak rambut Soully, menyisipkan ke belakang telinganya.

"Hmm." Soully mengangguk lalu tersenyum dengan sisa-sisa tangisannya. "Aaaahhh..ini sungguh memalukan." menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya kembali.

Miller tersenyum melihat tingkah perempuan yang ada di hadapannya. Kemudian ia merengkuh tubuh Soully mengusap kepalanya dengan sayang. Tak peduli berapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. Yang ia pedulikan adalah waktu kebersamaannya kini bersama perempuan yang ia cintai.

Seandainya waktu bisa diputar kembali, ia takkan membuat perempuan yang kini di dekapnya pergi meninggalkannya. Ia seharusnya menjaga jodohnya dengan baik. Cinta dan perhatian yang ia miliki sekarang mungkin bukan hal yang tepat. Sekarang sudah terlambat, takdir membalikkan kenyataan sebelumnya. Perempuan yang ia harapkan, tak berakhir dengannya.

Namun, segala cara ingin ia lakukan agar miliknya kembali padanya. Tak peduli, karena ketika ia sudah mulai mengikhlaskan wanitanya, namun lelaki itu, Yafizan malah membuatnya menangis dan kini menghilang entah ke mana. Tak mau lagi ia ikhlas dan merelakan. Apapun yang terjadi, Miller akan merebut Soully kembali.

***

Bersambung...

Nah, lhooo mulai ada konflik ya gaeess...

Dukung terus story ini, smoga kalian gak bosen bacanya.

Maaciw 😘


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C62
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login