Hampir 72 jam menjelang pukul setengah enam pagi nanti. Itu artinya hampir dua hari semenjak kejadian memalukan. Sedang sudah menginjak seminggu ia menjabat jadi istri seorang Yoon dan tinggal di istananya. Ichi tidak tahu sejak kapan ia belum beranjak dari atas ranjangnya dan malah asik tengok jam di dinding kamar serta lakukan perhitungan presisi macam itu. Yang jelas, pagi ini masih menunjukkan pukul lima lebih dua puluh delapan menit, sebentar lagi. Entah dirasainya tiga jarum pada jam yang terpaku di dinding itu tidak bergerak sepersenti pun, atau hanya perasaan Ichi yang anggap waktu sedang merangkak?
Di luar langit sedang berawan, rasa-rasanya baik untuk lakukan kegiatan dinamis seperti yang dilakukan sebagai rutinitasnya (dulu ketika masih menjadi gadis lajang di Gwangju, bukan saat ini). Namun tampak gelagat Ichi yang enggan jejakkan kaki ke mana pun meski sangat ingin. Ia hanya bosan harus meladeni perhatian berlimpah dari para ART yang dipekerjakan di rumah Yoon yang ada selusin itu. Tak ayal itu membuatnya harus memilih menetap di dalam kamar daripada harus jadi tempaan perhatian melebihi dosis dari mereka. Bukannya tidak suka, tapi Ichi memang bukan tipe gadis yang senang diperhatikan, seringkali membuatnya merasa rikuh dan terlihat bodoh.
Sebenarnya wajar, mengingat rumah Yoon yang seluas dan semegah itu memerlukan tenaga pengurus di setiap sudutnya. Jujur Ichi pun masih sering tersasar di rumah sendiri, menghafal denah rumah ini dirinya masih dalam proses. Ichi tidak sedang coba sombongkan apapun dengan bertutur yang pukau-pukau. Hanya memang Yoon miliki segalanya dalam taraf kemewahan dan Ichi yang merasa kewalahan nyaris tidak mampu seimbangkan diri dengan gaya hidup Yoon yang sangat serba-serba ini atau tidak.
Ichi hampir tidak sadar dengan yang ia lakukan, tahu saja telah melompat dari atas ranjang tidur nyamannya dan setergesa itu melangkah menuju kamar Yoon. Suaminya itu biasa pergi bekerja sekiranya pukul delapan nanti, ia hanya ingin tengok sebentar. Tidak apa-apa, kan?
Perlahan kurangi kecepatan langkahnya yang terlalu terdengar berlebihan, Ichi tidak ingin Yoon memandangnya sebagai wanita yang menyesal. Sebenarnya ini di luar keinginannya, entah apa yang merasuki kinerja otak dan kakinya yang tidak selaras. Hendak sesali tindakan yang mencoreng harga diri ini, sebab bukanlah tipe wanita yang akan awali segalanya lebih dahulu apalagi membuat lawan jenis merasa sangat disayangi, atau apalah sebutannya. Tapi ini membebaninya dan harus segera dituntaskan. Semua sesal terlambat ketika ia sadari dirinya telah tiba di depan pintu kamar Yoon yang tidak tertutup rapat, sejenak ragu namun pada akhirnya tetap mendorong pelan pintu kamar di hadapannya dengan sangat hati-hati.
Bergelung di balik selimut terlihat macam tumpukan kubis di pasar yang menggunduk, jadi, Yoon es serut masih terlelap?
Dikumpukannya keberanian setinggi gunung demi ambil langkah mengendapnya yang tidak ingin membangunkan pria pucat itu dan menjadi semuanya ramai. Ada apa, sih, dengan Ichi hari ini? Mengapa ia jadi seingin tahu ini hingga dirinya mau-maunya sampai naik ke atas ranjang Yoon dengan perlahan hanya untuk melihat ke balik selimut itu. Caranya sudah seperti seorang pencuri perabot saja, begitu profesional merangkak ke atas ranjang dan berusaha tidak menimbulkan derit ranjang sebunyi pun sedang tangannya hati-hati perlahan menarik selimut itu guna melihat wajah Yoon yang masih terlelap.
"Kau pikir aku di sana?"
Tuhan! Mencelos seketika jantung Ichi yang hanya satu-satunya ini, dirinya sampai menjengit kala suara berat yang akhir-akhir ini familier tertangkap gendang telinganya, suara itu terdengar sangat menggelegar. Ichi seperti diambang kematian saja. Jadi yang di balik selimut apa? Ichi lantas saja cepat turun dari ranjang, obsidiannya menangkap satu eksistensi seseorang yang menjadi sumber polemik dari kegelisahan afuahnya, berdiri tepat di belakang Ichi--tadinya--dan kini tengah berhadapan.
Yoon menatapnya aneh, seakan dalam tatapannya menyirat remeh yang mengolok, barangkali semacam pemikiran; bodoh sekali dia. hendak Ichi jawab pertanyaan Yoon sepersekon lalu ditandai dengan tindakan sukarelanya membuka mulut, tapi suaminya itu sudah melangkah lebih dulu. Lihatlah, dia masih mengabaikan Ichi. Membuat si istri kini diserang rikuh yang mendadak rasuki diri dengan hebatnya.
"Hei,"
Ichi menatap Yoon sedikit terkejut. Pria itu rupanya setengah berbalik, menjentikkan tangannya guna menarik atensi Ichi yang sempat mengabur.
"Aku ada di sana, mencuci tanganku, dan melihatmu mengendap-endap." ucap Yoon datar seolah sengaja dipenggal-penggal ucapannya itu, hanya agar membuat Ichi terlihat begitu bodoh (perspektif Ichi). Yoon mengucap sembari mengedikkan dagunya, mengisyaratkan Ichi untuk ikuti ke mana kedikkan dagu itu menunjuk. Ichi tidak yakin, namun ia pikir Yoon sedang menunjuk wastafel kamar mandi besarnya itu, sedang ada kaca terpaku di sana. "Tolong telinganya dipakai dulu, wahai Ichi."
Ya, memang Ichi yang bodoh. Harusnya ia mendengar gemericik air, kan, Yoon? Itu yang coba pria itu tegaskan. Cara ujarnya itu, loh. Menyebalkan sekali!
Yoon hanya mendengus pelan, berlalu begitu saja. Sebenarnya tidaklah masalah bila pria pucat yakni suami es serutnya itu betah bertemankan hening seperti saat ini. Tetapi ... astaga! Demi Tuhan ini lagi-lagi menyangkut harga diri. Baiklah, Ichi akui bahwasanya ia merasa bersalah pada Yoon. Pasalnya, semenjak kejadian di kamar tempo lalu yang memalukan itu, Yoon tak lagi singgung apapun perihal permasalahan kamar dan bahkan tiada juga bicara barangkali sebunyi saja selepas itu. Memang mengapa pula Ichi harus merasa frustasi hanya lantaran Yoon yang seolah tengah menjaga jarak dengannya? Akan tetapi Ichi telah bosan dirundung beban dan ia tidak mampu bila tak segera mengakhiri perang dingin ini.
Melirik Yoon sekilas, pria pucat itu tidak melihatnya. Ichi segera kembali puaskan benaknya, menyingkap di balik selimut sialan yang membuatnya tertangkap basah. Ini--guling keparat. Ichi sampai menganga sendiri. Harusnya Ichi perkirakan bentuk yang seperti lontong itu, mana ada Yoon berbentuk seperti itu. Yoon itu seperti muffin tanpa bubuk pengembang roti. Ah sudahlah, kendati begitu, tetap saja tinggi Ichi yang 158 cm ini akan tenggelam bila disejajarkan dengan Yoon.
Ichi turun dari ranjang berantakan Yoon, beberapa detik hanya tatapi seraut datar yang tengah sibuk rapikan setelan kantornya. Ichi remat jari-jemari mungil yang tidak bersalah itu demi alihkan gugupnya. Menarik napas sembunyi-sembunyi agar tidak terdengar suaminya itu, perlahan Ichi jejalkan langkah skeptis. Ia tidak pedulikan langkahnya yang sekonyong mengundang sorot laser milik Yoon, sedetik lalu ide secemerlang lampu mencuat dari ubun-ubun kepalanya, menawarkan sebentuk peluang dalam bentuk cara hebat untuk berjalan ke arah Yoon. Sudah dibilang, Ichi itu gadis yang tidak ingin membiarkan pria berbesar kepala dan dianggap terlalu disayangi. Ichi tidak bisa menurunkan harga dirinya dengan serta-merta menghampiri Yoon untuk ucapkan permintaan maaf secara gamblang. Jadi ... ia butuh media untuk alasan. Jadi sederhananya, Ichi itu gadis yang punyai gengsi sebesar istana raja Ottoman. Dia mahal dan tidak ingin merendahkan dirinya apalagi dihadapan pria.
Mencari sesuatu dalam lemari enam pintu besar milik Yoon, membuka pintu-pintu tinggi itu kelewat tergesa--sebenarnya Ichi gugup, sebab di belakangnya Yoon tengah menatap dengan alis mengernyit. Pintu paling pojok membuatnya terkejut kala dibuka. Tidak, bukan terkejut karena Ichi menemukan lusinan wajah datar Yoon di dalamnya, melainkan tumpukan celana dalam berwarna monoton yang rapi tersusun di sana. Aduh, pipinya bersemu. Tidak dapat pungkiri refleksibilitas seorang gadis sembilan belas tahun yang masih setengah polos, Ichi angkat telapak tangannya guna batasi jarak pandang dengan pampangan celana dalam sementara tangannya yang lain sibuk memilih benda (yang tadi dicari dan telah ditemukannya itu) di balik pintu lemari.
"Kau cari apa?"
"Itu, anu, celana dalam." Ichi mendelik sendiri, mendesis dan menampar pelan mulutnya. "Tidak usah hiraukan aku."
"Kau pikir celana dalammu di sini? Dan jangan coba pinjam dalamanku, Ichi. Kau akan menyesal."
Memikirkannya saja sudah menyesal. Siapa pula yang hendak meminjam celana dalam bergundukan di depannya?
Lain halnya Yoon, ia malah diam-diam tersenyum samar di belakang Ichi yang tengah sibuk mengobrak-abrik lemarinya. Setelah ia menegur Ichi, garis itu tamppak terselingar dengan segaris semu merah di pipi. Pandangi Ichi dari sini, entah gadis itu sudah mandi atau belum. Dia masih kenakan gaun tidur di atas lutut dengan rambut panjangnya yang setengah berantakan itu tergerai bebas menutupi punggung. Segera saja Yoon alihkan pandangan sebelum pikirannya mendadak dangkal, ia tidak ingin salahkan Ichi yang masih kenakan gaun tidur sialan itu. Hanya saja ... lupakan.
Tahu saja Ichi telah menutup pintu lemari, berbalik dan melangkah pelan mendekati Yoon, menggenggam seuntai itu di tangan kirinya. Mendongak, menatap Yoon namun lantas menunduk kembali sebelum alihkan pandangannya ke tempat lain. Ichi ingin jujur, tatapan Yoon tajam sekali, jadi terasa menakik hingga ke hatinya.
"Tidak ingin pakai dasi?" Ichi mengangkat tangannya yang menggenggam seuntai dasi biru dongker. Si nyonya Min itu sudah mati-matian menekan rasa malu dan gengsinya mengatakan itu barusan, itu sebabnya ia tidak menatap Yoon. Ichi hanya takut bahwa pria itu akan tahu kelemahannya.
Alis Yoon mengernyit, meneleng coba analisis si istri yang bertingkah aneh. Tidak seperti biasanya saja. "Aku tidak bisa." jawab Yoon akhirnya.
Mendongak dengan dua alis terangkat. Ichi sedang mencari jawaban sesungguhnya di mata hazel Yoon, barangkali pria itu sedang memperdayanya. Sebab ia temukan banyak dasi tergantung di pintu lemari. Nyatanya, Ichi hanya temukan kejujuran saja. Jadi Yoon benar-benar tidak bisa memasang dasi di kerahnya?
Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Ichi ucapkan sekata yang gadis itu pun tidak dapat prediksikan. Menyesal di detik selanjutnya. "Kemari,"
Ichi lantas maju selangkah guna mendekat. Sedikit gugup lantara Yoon memandanginya intens sekali, namun Ichi tetap berjinjit seraya angkat tangannya melingkarkan seuntai dasi ke leher Yoon susah payah. Menaikkan kerah kemeja Yoon dengan kaki yang goyah. Sedang Yoon masih pandangi Ichi dengan gurat tidak percaya, menerka apakah ada yang salah barangkali pagi tadi kepala istrinya ini terantuk besi sandaran ranjang tidur. Atau otaknya itu belum terunduh, memorinya hilang? Sebab yang sedang Yoon lihat tidak seperti biasa.
Ichi kembali pada pijakan semulanya, menghela napas keras sekali. "Astaga, ini sulit."
Kakinya lelah berjinjit. Menggaruk ujung hidungnya sembari berpikir. Mencari ide yang tepat untuk dapat mencapai Yoon. Pria itu pasti enggan disuruh berjongkok. Lagipula itu posisi yang aneh untuk memasangkan dasi. Tanpa tedeng aling-aling, Ichi yang kepayahan menjinjit dengan beraninya menginjak sepatu pantofel Yoon. Dijadikannya patofel itu pijakan, seakan-akan itu adalah tangga darurat. Ichi berdiri di atas kaki Yoon dengan tangan memegang bahu kokoh suami datarnya itu. Eksistensi alis kapak Yoon yang hampir saling bersinggungan tidak terima atas pantofel mengilapnya dijadikan media pijakan, sedang tangannya segera gesit yang terlihat panik melingkari pinggang si istri. Menahan tubuh mungil Ichi untuk terus erat dengannya, menjaga agar gadis itu tidak terjatuh. Sungguh gadis sembrono.
"Begini lebih baik," Ichi melirik Yoon sekilas. Keceplosan menyunggingkan senyum manisnya yang terbiasa ia sembunyikan. "Kau lihat ini, ya, Yoon."
Ichi membuat Yoon jadi harus memperhatikan langkah gadis ini yang riskan terpeleset dari atas kakinya, dan harus pula memerhatikan instruksi cara gunakan dasi ala Ichi ini. Yoon hanya mendeham, eratkan rengkuhannya pada tubuh Ichi bersama dua mata sibuk menunduk guna tamati paras istri kecilnya ini. Puas sekali dirinya memandang Ichi yang tidak tahu sejak kapan semenarik ini untuk dijadikan objek. Bibir cerinya itu bergerak cerewet sekali menunjukkan cara, mendongak berkutat serius menjalin dasi di lehernya kini. Masih tidak habis pikir, Ichi memang gadis luarbiasa yang baru kali ini dijumpainya. Atau sepertinya memang Tuhan hanya memproduksi satu yang seperti Ichi ini, jadi Yoon adalah pemilik satu-satunya.
Ichi tidak mudah ditebak, pasalnya gadis ini tertutup. Sedetik bisa sangat dekat dan terlihat polos menggoda, namun di detik yang sama dapat jadi Ichi yang segarang Kak Ros. Yoon hanya dapat menerka namun tidak dapat lantas menyimpulkan semacam apa karakter Ichi yang sesungguhnya. Ichi terlalu rumit, semacam labirin gelap tanpa cahaya. Sehingga ketika Yoon bersedia untuk memasuki dunia gadis Gwangju itu, Yoon perlu bersusah-payah menemukan jalan yang tidak mudah dilihatnya, sebab semua terlalu gulita tanpa secerca pun pelita yang mampu menunjukkan arah benar padanya. Jadi banyak yang harus dikorbankannya demi melihat dan meraba untuk sampai pada Ichi. Buram sekali tentu saja, Ichi pasti tidak akan dengan mudah mengizinkannya masuk. Untuk itu, Yoon harus dekati hatinya guna tahu sekeras apa batu yang tidak dapat terkikis di dalam diri ichi.
"Tadi itu akan jadi tontonanmu nanti."
Ichi yang masih sibuk berinstruksi menjalin dasi dongker yang rumit itu kini alihkan atensinya pada Yoon dengan wajah polosnya--Yoon rasa, Ichi sedang lengah untuk tidak memasang mode wajah apatis khasnya seperti biasa.
"Apanya?" tanya Ichi kebingungan sendiri.
Yoon mendengus. "Dalamanku, bodoh."
Ichi tidaklah tahu hendak merasa malu lantaran Yoon yang ucapkan kata 'dalaman' secara tandas dan vulgar dengan penekanan, atau hendak marah karena disebut bodoh. Akhirnya ia hanya dapat mengatupkan dua belah labiumnya rapat-rapat dan memutuskan untuk tidak menanggapi hal sepele macam ini. Lantas ia harus jawab: "Ya, nanti kau juga akan melihat dalamanku, Yoon." Begitu? Itu menjijikkan sekali.
"Kau pergi bekerja sepagi ini?" Ichi beranikan lontarkan pertanyaan basa-basi, ia bingung harus bagaimana masuk ke inti percakapannya. Rupanya benar kata orang kasmaran, perihal mendekati dan membuat topik pembicaraan memanglah sulit. Ya, meski Ichi tidak sedang jatuh cinta dengan Yoon dan jangan sampai, ia dapat rasakan bagaimana sulitnya membangun percakapan.
"Bukan urusanmu, kau bukan istriku." tandas Yoon perih sekali bila didengar. Siapa peduli, hah?
Ichi tertawa atas jawaban seidiot itu pagi ini, "Benar, kau juga bukan suamiku." Menaikkan perlahan simpul dasi yang telah rapi, mengencangkannya perlahan. "Sudah, siap. Kau paham, kan, caranya?" Ichi mendongak menatap Yoon.
"Tidak."
"Astaga! Lalu kau perhatikan apa sedari tadi?! Aku tidak ingin mengulanginya, ya! Salah siapa tidak mendengarkan."
Yoon mendengus sok tidak acuh, satu tangannya perlahan bergerak menaikkan gaun tidur Ichi pada bagian dadanya yang terlalu rendah guna menutupi eksistensi menggiurkan dibaliknya. Menyeringai aneh sekali, "Kau tahu, sepertinya pagi ini berubah suram. Dua di sana terlalu menggoda untuk dilewatkan. Pandanganku jadi gelap, Ichi."
Ichi mendadak menahan napasnya sendiri ketika tangan Yoon menyentuh pada seputaran miliknya itu, memang hanya gaun tidurnya, namun tangan besar Yoon tu sempat sedikit bergesekan dengan kulitnya, hal itu membuat ia merasa tiba-tiba sulit bernapas. Suaminya itu menghancurkan susunan pertahanan yang susah payah dibangunnya. Ini bukan terkejut, entah apa namanya. Yang jelas Yoon membuatnya bersemu semerah ceri.
"Ichi, bagaimana jika pagi ini aku bangun?"
Ichi yang masih terjebak dengan pipi yang bersemu dan mati-matian sedang disembunyikannya kini dibuat tidak mengerti, alisnya mengerut. "Aku ingin bermain kecil." Dilihatnya Yoon tersenyum miring, "mencari tempat kelemahanmu."
Mendadak merinding, Ichi menelan salivanya diam-diam. Ini pertanda bencana, bukan?
Menyelipkan beberapa helai rambut panjang ke belakang telinga Ichi dengan gerakan sangat lembut yang disengaja, si gadis merasa perutnya mulai ditumbuhi bunga-bunga yang mekar dan menggelikan. Yoon membawa tangannya yang satu lagi untuk merengkuh Ichi lebih dalam. Tidak perlu basa-basi bagi Yoon untuk langsung meraup bibir Ichi dengan permulaan dua kecup hangat yang terasa haus. Ichi yang tidak siap akan serangan mendadak menegang, dua tangannya mencengkram jas kantor Yoon yang licin. Ichi hanya tidak tahu harus lakukan apa tatkala suaminya itu kembali menuntut lebih. Ia hanya melenguh idiot, antara tidak terima dan entah.
Melumat bibir Ichi lembut, namun terasa kalap sekali. Coba salurkan rasa manis lewat ciuman menyenangkan. Yoon berdeham, asik sendiri. Panas sekali tubuh Ichi ketika Yoon melumat bibir dan menyesapnya pelan, gerakan tangan Yoon yang terus saja meraba bagian punggung Ichi membuat si gadis hendak terbang saja. Ichi hanya pejamkan mata, malu menahan gejolak aneh yang tengah menggelayutinya. Gigitan kecil yang diberikan Yoon pada bibirnya terasa seperti sengatan. Membuatnya kembali menyuarakan suara aneh, mendesah kata orang berpengalaman. Nakal tangan suaminya itu merabai bahunya, membuat mantel gaun tidurnya melorot. Gerakan tangan lancang Yoon tidak sengaja menurunkan satu tali tipis gaun tidur pada bahunya, memainkan jarinya di sana lantas merambati leher jenjang Ichi, menahan tengkuk istrinya dan mengelus perlahan.
Boleh katakan bahwa lidah Yoon memiliki energi aneh, tidak? Pasalnya Ichi merasa berkali lipat melayang hanya karena lidah Yoon yang menyapu seluruh langit-langit mulutnya. Terus menuntut lebih dan kalap. Ichi kewalahan sekali, ia tidak tahu bagaimana caranya bernapas disela kegiatan lancang Yoon melumati bibirnya. Dirasainya tangan Yoon merambati tubuh belakangnya pelan, sudah tak lagi menahan tengkuknya. Ichi sedikit berontak ketika Yoon merabai bokongnya dan mengangkat gaun tidur bawahnya pelan. Ia meremas keras jas kantor Yoon, berusaha mendorongnya. Hanya saja Yoon seolah tidak pedulikan protesnya. Sedang disisi lain Ichi gusar, memukul-mukul dada Yoon sebab napasnya yang semakin memburu tipis dihirup.
"Yoonh!" mendorong tubuh Yoon susah payah dengan pasokan oksigen yang sudah seutas benang.
Yoon melepas tautan bibir mereka, menatap Ichi dengan mata menyorot gelap. Hanya sejenak saja, setelahnya Yoon kembali menjejalkan bibirnya guna mengecupi pertengahan leher Ichi, menyingkirkan beberapa helai rambut seolah tidak ingin berbagi tempat dengan mereka. Kecupan hangat sekali, menyusuri setiap jengkalnya tanpa ampuni Ichi yang sudah ketiga kalinya mendesah akibat epidermis kulit putihnya yang dihisap di sana sini. Meninggalkan jejak kepemilikannya di sana. Tangan Yoon lain pula miliki tempat, tangan besar itu kini tengah susuri paha dalam Ichi. Mengelus perlahan hingga berhasil membuat Ichi lagi-lagi mendesah.
"Sudaahh.." Ichi memejam erat menahan hasrat.
Yoon? Mana pernah pria itu mengindahkan perkataan orang lain. Dia tidak pernah suka diperintah kecuali dirinya sendiri yang memerintah. Terlebih lagi, tidak ada kamus berhenti ketika Yoon sedang hendak menuju ke dalam kesenangannya. Ia tidak suka iblis ranjangnya dicegah. Yoon hanya terus rakus mengecupi leher Ichi, menuruni dadanya yang tampak sangat menggoda. menenggelamkan wajahnya di sana. Memulai menjelajahi gunungan Ichi dari pinggir dekat tali tipis gaun tidur Ichi yang sudah melorot.
"Seharusnya kau kencangkan mantel gaun tidurmu sebelum kemari, Ichi. Aku kini semakin tidak dapat menahan, milikmu menyembul sedang menggodaku."
Yoon benar-benar haus kalap ketika melihat dua milik Ichi tanpa bra di dalam sana, kain tipis gaun tidur warna peach itu tidak sanggup menutupi dua besar dibaliknya dengan dua pucuk yang sudah menyembul tegang. Keduanya seolah tengah menantang Yoon untuk berani menyentuhnya.
Yoon remas berulang satu milik Ichi dengan gemas, membuat si gadis mendesah setengah lenguh menjengit, menggoda pucuknya dengan rabaan lembut di luar gaun tidur. Ichi menggigit bibir menahan desahnya, sedang disisi lain ingin menangis ketika tangan Yoon sedang coba menelisik ke dalam celana dalamnya di bawah sana, namun ia juga melenguh sembari memejam tegang ketika bibir basah Yoon bermain di payudaranya dengan satu tangan memompa. Ia menjambak rambut Yoon, tangan Yoon di bawah sana membuatnya menggelinjang. Satu tangan Ichi panik mencegah tangan Yoon di bawah sana, namun Yoon tidak berniat untuk berhenti. Malah terus melancarkan tangannya yang lihai bermain nakal di sana.
Terus menggigit bibirnya. Ichi setengah limbung ke depan, kepalanya tertunduk dengan mata memejam rapat menahan rasa aneh ketika tangan Yoon sibuk menggoda miliknya di sana. Ia merasa lemas namun harus terus berdiri tegak jika tidak ingin dirinya terus dijadikan mainan Yoon yang mengasikkan. Astaga, seharusnya ini bukan yang dilakukan gadis sembilan belas tahun.
"Suu--dahh, Yoon." Ichi susah payah membuka matanya yang sudah terlihat sayu, mendadak ia mendengar alarm jam Yoon yang berbunyi tut berulang kali, sedang suara nada panggilan yang di kenalnya dari ponsel Yoon ikut bercampur aduk membuat ritme yang memburu. Hal itu membuat Ichi juga ikut merasa diburu, namun ditengah kepanikannya, tangan Ichi berhasil mendorong kepala Yoon kepayahan menjauh sebelum pria itu melumati pucuk miliknya yang atas lebih lama lagi.
"Kau harus pergi, bekerja, Yoon." ucapnya patah-patah, kewalahan mengatur napas.
Napas Yoon yang juga tidak beraturan, suami laknatnya itu menegakkan kepala tidak terima. Surai hitamya sudah berantakan akibat dijambak Ichi sedari tadi. Menatap Ichi masih dengan sorot gelap, namun kini alisnya itu mengernyit tidak suka dan segera melirik jam di pergelangan tangannya sebelum mengambil ponsel dalam saku celana dengan cepat. Rupanya panggilan masuk tadi sudah dua kali membuat ponselnya berdering, hanya saja Yoon yang tengah sibuk itu tidak menyadari panggilan masuk pada ponselnya. Kini dua panggilan masuk itu menjadi panggilan tidak terjawab dan ia harus segera menghubunginya langsung setelah ini. Pekerjaan berengsek.
Sedang Ichi yang berdiri di depan Yoon kini seperti orang linglung. Ia masih mengatur napasnya. Sedetik lalu seperti buram dan mengerikan. Ichi merasa lemas, bergetar. Kakinya terasa seperti jeli sekarang. Tepat ketika ia hendak mundur demi menjauh dari Yoon yang mungkin akan berubah menjadi iblis lagi, kakinya oleng lantaran lemas. Entah apa yang tengah dirasakannya ini efek dari kelakuan Yoon. Ia hanya ingin menghindari Yoon dan pergi ke kamarnya sekarang, tidak lebih. Namun rupanya ia terlihat seperti gadis mengenaskan. Sebelum Ichi jatuh terduduk di lantai, Yoon yang masih berkutat dengan ponselnya, entah mengetik apa dengan satu tangan kanannya, lantas gesit menangkap pinggang Ichi yang oleng.
"Hati-hati, sayang." ucap Yoon tidak menatapnya, melainkan berpusat atensi pada ponsel pipihnya itu.
Mengapa pula harus kembali pada Yoon? Ia sedang ingin menjauhinya. Ichi kini merasa takut dengan sentuhan, tidak, mungkin khawatir lebih tepatnya. Akan tetapi Ichi akui dirinya merasa lega tidak terjatuh di lantai dingin itu. Refleks Yoon bagus, padahal matanya tengah mengarah pada ponsel.
Yoon memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dengan cepat. Dia menatap Ichi kini, menangkup pipi Ichi dengan satu tangan, lantas memberi satu kecupan ringan pada bibir bengkak milik Ichi. Kecupan lima detik yang kembali membuat Ichi dijungkirbalikkan.
"Aku harus bergegas." Yoon menyeringai samar. Demi Tuhan, Ichi melihat satu sudut bibir Yoon tertarik ke atas membentuk seulas senyum miring. Ichi menutup matanya ketika ibu jari Yoon perlahan mengusap bibir bawahnya, ada sensasi menyenangkan yang kini dirasai Ichi.
Tangan Yoon berpindah pada punggung Ichi, perlahan mencondongkan wajahnya mendekati telinga si gadis. Bibirnya bersiap berbisik, "Sungguh, setelah ini aku akan segera menanam benihnya."[]
— New chapter is coming soon — Write a review