Burung hantu menyinarkan kembali tubuhnya, seperti sinar bulan saat hari menjelang malam, tubuhnya beringsut mengecil ke ukuran normal. Kini sinar rembulan yang tidak terhalang menjadi latar belakang tubuhnya saat terbang di udara. Dia mirip peri cahaya yang keluar dari buku novel fantasi Kakekku.
Ia mengepakkan sayap untuk menstabilkan posisi, melawan angin kencang yang menerobos tiba-tiba tanpa permisi, lalu menyelusur turun dan bertengger di pundakku sebelah kiri.
Kepalanya menoleh ke arahku, tatapan mata bulatnya seketika membuatku bergidik. Badan burung itu sedikit gemuk, serta tampak tua dan kurang tenaga. Dia seolah boneka usang tua yang mempunyai mata memandang penuh misteri.
Cerita fantasi di novel itu bohong, tidak mungkin ada pemuda berjumpa dengan makhluk aneh yang belum pernah ia temui, kemudian merasa kagum dan takjub seolah tokoh itu pertama kali menemukan sebuah bongkahan emas. Sewajarnya mereka harus bereaksi paling tidak menelan ludah seperti yang aku lakukan berkali-kali.
"Bima, selama ini aku mengawasimu, Nak." Dia bersuara tanpa menggerakkan paruhnya, mataku hampir membulat olehnya. Bagaimana dia bicara tanpa membuka 'mulut'?
Seolah ia mafhum ekspresi wajahku, burung hantu itu berkata, "Ventriloquisme, Bima. Aku pengguna ventriloquisme."
"Ventrilo … Apa?" Aku lupa kelanjutannya.
"Quisme. Ilmu bicara tanpa menggerakkan 'bibir'—kata ganti paruhku. Para Neprim semua menggunakan cara ini untuk berkomunikasi. Aku, termasuk Neprim."
Rasanya aku seperti bicara dengan kakek-kakek ukuran mini yang sedang meenggelayut di bahuku.
"Neprim?" Tanyaku.
"Itu adalah jenis makhluk baru yang diciptakan Kakekmu, Bima. Aku tahu kamu tidak mengenalnya cukup baik, dia tipe orang yang berbicaraa saat waktunya tepat. Tapi sayangnya, waktu yang tepat itu tidak ia jumpai. Andrian—Kakekmu meninggal sebelum umurmu tujuh belas tahun."
Aku menggesek-gesek kedua telapak tangan. Hembusan angin malam semakin menurunkan suhu wilayah ini. Bulan purnama bersinar tetap konstan menerangi daratan Bumi termasuk lembah Baliem; memeberi penerangan pada pemukiman petani suku Lani sebelah selatan, kumpulan api unggun terletak mendekati tenda suku Yani sebelah timur lembah, peralatan perang paling maju di suku Dani di sebelah utara tersimpan rapi di rak di halaman rumah mereka, aliran sungai lembah di sebelah barat yang memotong ke arah tenggara; memisahkan daerah suku Lani dan Yani, dan juga lapangan festival yang akan menjadi pusat pertandingan berada tepat di tengah keberadaan tiga koloni tersebut.
Kabut mulai turun dari langit, gemericik aliran sungai Baliem memiliki suara menenangkan seperti seorang Ibu yang mendendangkan nyanyian pengantar tidur lembut kepada bayinya yang sedang mengantuk. Hanya suara air di sungai inilah yang membantuku tetap tenang berhadapan dengan burung hantu yang bisa bicara ini.
Dan dia bilang Kakeklah yang menciptakan makhluk bernama Neprim ini? Hewan yang bisa bicara?
"Tidak mungkin, ko bohong, e?" aku terkekeh takut, "Kakekku yang punya hobi menanam bibit mangga di segala sudut lembah itu menciptkan ko? Bagaimana bisa?" bibirku berusaha tersenyum santai, tapi yang tampak malah kesan kaku yang canggung.
Burung hantu mengerjapkan matanya pelan satu kali, seolah mengatakan 'aku berkata jujur' padaku. "Bima, umurku sama dengan Kakekmu jika dia masih hidup. Sayapku sudah terbang mengitari berbagai wilayah dan semua sudut lembah Baliem ini, bukit-bukitnya, seluruh hutan, bagian dalam sungai, hingga selokan semut bawah tanah. Aku tahu segalanya. Mataku sudah melihat bermacam peristiwa yang menimpa daratan bumi dan makhluk yang ada di atasnya dengan pola tidurku yang hanya kulakukan selama dua jam dalam satu hari."
"Bima, maksudku, sebagai makhluk yang lebih tua darimu. Aku katakan, manusia akan berada di tahap dia melihat kejadian yang belum pernah ia duga sebelumnya. Misalnya, seperti kematian orang terdekat. Awalnya mereka tidak percaya, meratapi kepergian anggota keluarga, terisak-isak, menyobek-nyobek baju mereka karena sengsara. Tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Fakta yang tidak bisa mereka tolak."
Burung hantu menjulurkan kepalanya mendekati tulang pipiku. Cahaya matanya mengkilat seperti petir di langit yang mendung.
"Bima, inilah kenyataan di matamu sekarang. Aku seekor burung hantu yang bisa bicara, dan aku akan memberitahumu ke tahap mana kakimu harus melangkah selanjutnya."
Lagi ... Aku menelan ludah.
Burung hantu mengembalikan posisi kepalanya yang terjulur. Membentangkan sayap sementara kepalanya mendongak, ia menggeliat seperti ibu-ibu kabilah yang melakukan senam pagi, "Uaahh ... tubuh tuaku ini terasa seperti engsel pintu kekurangan oli," katanya dengan suaranya serak khas orang berumur.
Aku mulai menerima kenyataannya. Keberadaan hewan yang bisa bicara ini senyata adanya udara yang menyelimuti kami, senyata kedua kaki pemanahku yang bergetar menahan air kencing yang latah keluar. Aku mengeraskan rahang, mendengus menenangkan diri, kemudian ragu-ragu bertanya, "Apa Ayahku tahu tentang ko?"
Matanya mengerjap satu kali,"Baiklah," lanjutnya, "Bima, pertama-tama, sebelum aku memberitahumu tentang semua hal yang aku ketahui, aku akan membantumu dulu di pertandingan festival lembah Baliem."
"Kamu akan membutuhkan ini."
Paruh burung hantu itu menyala seperti saat dia akhirnya keluar dari dalam sungai Baliem, kini warnanya berbeda—warna merah menyala. Satu kapsul lagi keluar dari dalam mulutnya, ia menggigit kapsul itu di bagian paruh depan.
"Ambil ini dan telan saat badanmu terasa tidak prima." Aku menadahi kapsul dengan telapak tangan kanan, kapsul itu sebesar kacang tanah merah, "Sekarang waktu sudah mendekati Subuh, sedangkan pertandingan dimulai jam delapan pagi. Aku paham, kamu akan tambah susah tidur setelah bertemu degan burung hantu yang bisa bicara sepertiku," dia terkekeh; kekehannya penuh pengertian, "Kalaupun kamu tidur sekarang, istirahatmu tidak akan cukup. Jadi, kapsul ini akan mengembalikan keadaan optimal fisikmu, badanmu akan menjadi sebugar bocah kecil yang lari-lari di lapangan sepak bola."
Burung hantu menggeleng-gelengkan leher hingga semua tubuhnya bergetar seperti kendaraan motor yang distarter. Kemudian saat berhenti, menoleh lagi ke mataku.
"Semoga beruntung, Nak." Burung hantu itu megerjapkan mata khidmat sekali seakan memberi isyarat perpisahan, sayapnya membentang. Kini sosoknya terbang tanpa suara, menyebrangi sungai Baliem, menuju tebalnya kabut gelap, lalu sosoknya hilang memasuki hutan belantara.
Alamak, dia meninggalkanku tanpa memberitahu namanya. Bukannya setiap makhluk memiliki nama lain? Seperti belalang punya nama latin. Ditambah ia punya perilaku seperti orang tua yang bijak, pastinya dia memiliki sebuah panggilan seperti tetua suku, to?
"Wooi! Siapa ko punya nama?" teriakku.
"Minerva Zach, Bima. Minerva Zach." suaranya menggema di balik kegelapan kumpulan pohon liar, tanaman merambat dan semak belukar.
"Minerva Zach," gumamku mengulangi. Nama yang susah dan asing sekali.
Aku memandangi kapsul merah bak batu ruby di telapak tangan kananku, ia begitu bersinar dan memukau. Leherku menengok kanan-kiri, khawatir ada orang lain yang melihat. Dan menyimpan kapsul itu ke dalam mulutku. Rasanya benar-benar seperti batu yang licin.
Pagi sebentar lagi datang. Aku beranjak pulang ke rumah jamur, aku melangkah dengan kaki gemetar. Sisa perasaan tadi masih ada.