"Kalian baik-baik saja?"
Ini ketiga kalinya Wijaya berusaha menghubungi Kwang dan yang lainnya setelah menyingkir dari tebakan artileri. Akan tetapi, dia masih gagal mendapatkan respon. Sepertinya ada sesuatu yang dipakai untuk menginterupsi jaringan komunikasi mereka.
Ini artinya tidak menutup kemungkinan bahwa ada yang juga berusaha membajak saluran yang mereka pakai. Untuk menghindari resiko, Wijaya berhenti berusaha menghubungi rekan-rekannya.
Sesuai arahan yang diberikan Boris, jika ada masalah, mereka dianjurkan bergerak ke timur laut menuju markas Divisi Kelima Siberia. Kemungkinan besar rekan-rekannya mundur ke arah timur terlebih dahulu. Karena serangan datang dari utara, langsung bergerak ke timur laut sangatlah berisiko.
Masalahnya, rentetan artileri yang memberondong Wijaya telah berhasil menjauhkan Wijaya dari rekan-rekannya. Rentetan tembakan mereka ternyata merayap ke timur, membuat subutai terkena tembakan dan mengalami kerusakan pada bahu kirinya saat Wijaya berusaha mundur ke sana. Untung saja ajaran Lev membuat Wijaya masih bisa bergerak gesit ke barat dan menghindari kehancuran total. Sekarang dia tinggal memutari bukit sebelum berusaha menyusul rekan-rekannya ke timur, tentunya dengan rute mendaki puncak.
Medan di tempat ini memang tidak terlalu rumit. Namun, Wijaya harus mengakui prediksi Boris dan Saki ada benarnya. Tanah di tempat ini mulai berlumpur setelah salju mencair dan hujan mulai membasahinya saat musim mulai memasuki musim panas. Oleh karena itu Wijaya sedikit lebih berhati-hati agar subutai tidak tergelincir. Apalagi dengan kondisi keseimbangan raksasa besi ini agak terganggu akibat rentetan tembakan artileri tadi.
Ketika mencapai sisi timur puncak bukit, Wijaya menghentikan subutai. Dia menekan tombol kecil di bagian sisi dalam masing-masing tuas pengendali bersamaan dan menarik kedua tuas pengendali ke samping. Sebuah layar tembus pandang turun dari langit-langit kokpit dan memposisikan diri di depan layar monitornya. Layar itu dilengkapi penanda target dan berbagai angka penunjuk kondisi alam serta target.
Setelah itu Wijaya menarik kedua tongkat pengendali ke belakang sekuat lengannya. Bagian langit-langit kokpitnya kembali membuka. Kali ini muncul sebuah sebuah senapan tersambung beberapa kabel dan tidak memiliki moncong ataupun mesiu.
Wijaya meraih senapan itu dan membidik. Bukan untuk menembak, tetapi untuk melihat keadaan di sekitarnya. Lagipula, dengan kondisi bahu kiri subutai, Wijaya ragu dia bisa menembak dengan akurat dari jarak jauh.
Gelapnya hutan dan dataran ini membuat Wijaya tidak bisa melihat jelas pergerakan rekan-rekannya. Cat yang mereka gunakan memang didesain untuk memberikan efek siluman pada radar dan juga mengaburkan panas mereka dari visi infra merah. Dia mengintip sedikit ke arah utara dan melihat dari fungsi visi infra merah bahwa para scorpid yang menyergap rekan-rekannya masih berusaha mengejar ke arah timur.
Wijaya mengganti filter pada kamera subutai. Lambang serigala pada bahu stielkruger mereka memantulkan cahaya pada gelombang khusus yang bisa terlihat jelas jika spektrum cahaya lainnya telah diblokir. Layar Wijaya menjadi gelap gulita, tetapi samar-sama dia melihat empat titik putih bergerak ke arah tenggara.
"Ide siapa itu?" gumam Wijaya sambil memperkirakan lokasi di mana jalurnya bisa bersilangan dengan rekan-rekannya tanpa meminta mereka untuk mengurangi kecepatan.
Lagipula dia tidak bisa menghubungi mereka.
Setelah menandai lokasinya di peta, Wijaya mengembalikan kondisi kokpitnya menjadi normal dan mengembalikan senapan pembidiknya ke balik kompartemen tersembunyi di langit-langit kokpit.
Setelah sekitar 90 menit berlalu, Wijaya mendapatkan panggilan dari Lev.
[Aku melihatmu di radar.]
Hanya itu saja yang terucap. Wijaya segera menghentikan subutai sampai dia berjumpa dengan rekan-rekannya.
Seperti dugaan, perisai T-11 milik Yon yang mengalami kerusakan paling berat. ZHY nyaris tidak tergores sementara terdapat beberapa bekas tembakan di lengan nesti dan jiangdong. Lev pasti melakukan tindakan gila lagi seperti merangsek ke depan.
ZHY menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar subutai mengikuti. Wijaya langsung menggunakan fitur pilot otomatis agar subutai bergerak mengikuti ZHY yang berada di depannya. Dia lalu memutar bagian atas subutai ke arah belakang dan mulai mengintai. Setidaknya dengan bantuan lengan bagian bawah yang besar, subutai masih bisa menggunakan senjata walau dengan satu tangan. Akurasi urusan nanti.
Bulan mencapai puncaknya ketika mereka akhirnya mencapai sebuah lekukan tebing jauh di tenggara. Lekukan itu cukup besar dan dalam untuk menyembunyikan beberapa stielkruger. Mereka memutuskan untuk bersembunyi dan beristirahat di sana. Untuk menghindari posisi mereka ketahuan, mereka menebarkan tabir kamuflase.
Wijaya juga menawarkan diri untuk berjaga, karena dia sudah cukup tidur sebelum misi dimulai. Anehnya, Lev juga mengatakan dia mau ikut berjaga. Subutai mengambil posisi di balik pepohonan di atas tebing, sementara nesti berjaga di bawah.
Setelah hampir satu jam berlalu semenjak mereka mulai berjaga, Wijaya mencoba menebak motif Lev lewat saluran pribadi, "Biar kutebak, kau kesal dan tidak bisa tidur, karena itu kau mau berjaga?"
Lev tidak menjawab. Wijaya bisa membayangkan dahi Lev berkedut akibat tebakannya. Dia kembali berbicara dengan datar, "Sudah 10 detik lewat, berarti tebakanku benar."
[Kalau benar, lalu kenapa? Mau kuhadiahi burger?]
"Aku lebih suka crepes."
[Bukan urusanku.]
"Iya, karena urusanmu adalah untuk memerhatikan gelombang suara atau apapun itu melalui sensor-sensor nesti karena aku tidak melihat apa-apa di sini."
[Cih, bilang dari tadi.]
Tidak ada kata-kata lain terdengar dari Lev sementara Wijaya sesekali memantau ke sekitar dengan mode penembak runduk.
Setelah cukup lama, akhirnya terdengar Lev berbicara. [Tidak ada tanda apa-apa.]
"Tentu saja, karena mereka mengejar kalian ke arah timur, bukan tenggara."
[Kenapa tidak kau bilang dari tadi? Aku tidak perlu-perlu repot memeriksa semua sensor. Kau pikir ini pekerjaan mudah?]
"Aku hanya perlu memastikan."
[Cih, kau banyak bicara hari ini. Lagipula kau mau memastikan apa?]
Wijaya bedecak datar tetapi tetap sinis, "Memastikan kau tidak tertidur."
[Justru aku yang memastikan kau tidak tertidur.]
"Kau tahu orang-orang macam kami tidak akan tidur jika harus memandangi suatu arah tertentu."
Lev membalas dengan tertawa sinis. [Kepalamu pasti terbentur akibat tembakan artileri tadi.]
Wijaya bersandar pada kursi kokpit. Dia memeriksa kepalanya sendiri untuk sejenak, tidak ada rasa sakit atau tanda-tanda benturan. Setelah itu dia mencoba mengingat-ingat pola serangan lawannya sebelum menjawab Lev, "Tembakan artileri mereka terlalu menyebar. Mereka hanya tahu arah umum lokasiku berada, mungkin karena mereka menebak arah tembakan. Mereka cukup beruntung aku salah perhitungan tentang ke mana arah tembakan mereka merayap sampai bahu subutai kena."
[Dari mana kau yakin mereka tidak tahu benar posisimu?]
"Aku bisa melihat dari cara mereka menghujani posisiku. Sepertinya mereka amatir."
[Maksudmu?]
"Kau tahu maksudku." Wijaya terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Kau sendiri, bagaimana keadaanmu?"
[Nyaris tidak ada kerusakan pada nesti.]
"Aku tidak menanyakan tentang nesti."
[Jangan sok peduli].
Jawaban ditemani helaan napas yang kuat.
"Kita rekan satu tim," sahut Wijaya. Dia mengambil sekantong biskuit dari kompartemen di sebelah kanan tempat duduknya.
[Hoo, cukup mengagetkan mendengar hal itu dari 'orang-orang macam kau', yang tidak merasakan apa-apa selain hentakan senjata saat membunuh orang,]
Wijaya memandang tangannya sejenak sebelum mengambil biskuit. Kembali terbayang bagaimana kedua tangannya berlumuran darah. Dia lalu berkata, "Kau tahu orang-orang macamku cuma mesin pembunuh, Lev,"
[Lalu bagaimana jika senjatamu ditodongkan pada orang yang seharusnya dilindungi oleh ideologi LUNA atau pemerintah?]
Menghela napasnya, Wijaya balas benar, "Jadi dugaanku benar? Mereka…"
[Kita belum punya bukti.]
Setelah menyela, Lev kembali terdiam. Wijaya sebenarnya cukup tahu apa yang sedang dibingungkan Lev. Pada Uni Republik Petersburg-Siberia, terjadi kesenjangan politik di antara dua gugus utama masyarakatnya. Ada kalanya memang mereka bersatu, tetapi tidak jarang juga terjadi perseteruan. Kesenjangan sosial tidak bisa dipungkiri lagi walau banyak hasil alam justru datang dari daerah Siberia.
Wijaya berandai jika sebenarnya Lev sedang berusaha meyakinkan diri bahwa kemungkinan lain selalu ada. Mungkin Lev berusaha mencari pembenaran bahwa yang menyerang mereka adalah penyusup dari semenanjung Daehan.
Memang, kemungkinan itu selalu ada, tetapi Wijaya sendiri mencurigai penyebab lain. Sumber daya alam, kesenjangan sosial, pimpinan militer setempat yang bertingkah ala kadarnya, serta berkurangnya kontak daerah ini dengan daerah lain menunjukkan kemungkinan terbesar bahwa lawan yang mereka hadapi tadi adalah gerakan separatis.
Lev pasti mencurigai hal sama, bagaimanapun juga dia memiliki hubungan dengan Siberia ini. Karena itu Wijaya memutuskan untuk menjawab petanyaan lev tadi, "Soal tadi. Mungkin aku akan tetap menarik pelatuk. Namun, hanya saat tindakan itu terbukti benar dan demi mengurangi lebih banyak korban jatuh."
[Cih, kau terdengar seperti mencari-cari pembenaran.]
"Hanya itu yang bisa dilakukan orang yang tangannya berlumuran begitu banyak darah."
[Untuk menjaga kewarasanmu atau untuk membiarkan hati orang-orang macam kalian tetap mati?]
"Prioritasku adalah kalian dan tugas. Karena itu aku hanya perlu merasakan hentakan senjata tiap menarik pelatuk, Lev. Tidak lebih, tidak kurang," jawab Wijaya datar sambil mengunyah biskuit.
Lev pun membisu sampai subuh menghampiri.
Kwang menggantikan Wijaya dan Lev untuk berjaga ketika matahari sudah terbit. Dia mengatakan bahwa dia juga perlu memeriksa sekitar untuk mencari informasi.
Wijaya memarkir subutai di antara nesti dan ZHY di bagian dalam celah tebing. Kwang memutuskan untuk berkeliaran tanpa ZHY. Mungkin untuk menghindar risiko ketahuan.
Bunyi bagai besi panas dicelupkan ke air berdengung di dalam kokpit saat penutup kokpit Subutai membuka. Wijaya membuka laci kecil di bagian bawah kursinya dan mengambil sebuah kantong tidur. Dia bersyukur mulut tebing ini menghadap barat laut, setidaknya sinar matahari di luar sana belum cukup terang untuk menyilaukan matanya.
Semerbak bau embun pagi menyapa Wijaya saat dia meraih pegangan kecil berbentuk lingkaran di sisi kanan penutup kokpit. Dia lalu melompat turun dari subutai sambil bergelantungan pada tali metal yang muncul saat pegangan tersebut ditarik.
Wijaya sendiri tidak langsung istirahat. Dia menyempatkan diri mencoba memikirkan cara memperbaiki bahu kiri subutai yang rusak. Menurut Win dan Lev, hal itu mustahil dilakukan karena kerusakannya cukup parah dan subutai perlu lengan baru.
Win, masih tersenyum seperti biasanya, hanya berdecak, "Seharusnya Sawamura ikut kita ke lapangan daripada disuruh menemani Pak Tua. Kita perlu kemampuan 'sihir'-nya."
"Cih," Lev mendengus sambil menyiapkan kantung tidurnya. "Dan dia akan memaksa kita membayar agar dia melakukan hal yang memang seharusnya jadi tugasnya itu."
"Lalu kau ada cara untuk memperbaiki benda ini?" tanya Win dan Wijaya bersamaan.
"Las saja dan kunci posisi sendinya," gerutu Lev. "Jangan minta aku melakukannya, aku mau tidur."
Wijaya dan Win hanya bisa memandang datar pada Lev yang meringkuk di balik batu tanpa memedulikan rekan-rekannya.
"Kau punya las yang cukup besar?" tanya Wijaya pada Win.
"Memangnya kau mengerti yang dimaksud Lev dan cara melakukannya?"
"Tentu saja tidak."
"Sudah kuduga. Sana tidur, aku saja yang kerjakan, seharusnya ada las besar di kotak perkakas nesti, harusnya jiangdong-ku bis….."
Win menghentikan kata-katanya. Dia menyikut Wijaya lalu dengan diam-diam menunjuk pada Yon. Rekan mereka yang pendiam itu tampak memandangi bahu kiri subutai dengan serius walau matanya masih tampak kosong.
Yon lalu menepukkan tangannya sekali, gestur yang membuat Win dan Wijaya sama-sama tersentak. Dia lalu menoleh pada Wijaya dan tersenyum. Dia berlari ke T-11 dan mulai menyalakan stielkrugernya itu. Dengan manis, sebelum menutup kokpit, Yon memberi isyarat agar Wijaya dan Win menyingkir.
T-11 bergerak ke depan subutai dan menjulurkan tangannya agar berada tepat di depan bahu subutai. Yon kembali membuka kokpit, keluar dengan membawa sekotak perkakas, lalu memulai perbaikan ke bahu subutai.
"Aku tidak tahu kalau Yon itu juga mekanik handal," komentar Wijaya.
"Aku tidak tahu kalau Yon menyukaimu."
"Ha, apa?" Wijaya mengernyit pada Win.
Sembari menunjuk Yon, Win mendesis setengah berbisik, "Enam bulan kita kenal dia, ini pertama kalinya dia mengurus stielkruger orang lain."
"Aku kira dia memang tidak bisa mengurus stielkruger, seperti aku."
"Wijaya, dia dari kelompok militan di Semenanjung Daehan, dia pasti bisa mengurus stielkrugernya sendiri. Kau lupa dia dulu melawan kita menggunakan stielkruger ala kadarnya yang penuh tambalan dan suku cadang dari berbagai macam stielkruger?"
Wijaya mengangkat bahu, "Maksudku, bisa saja orang lain yang mengerjakannya."
"Terserah, tapi bukti berkata berbeda sekarang."
Wijaya mengangguk. Kata-kata Win terdengar ada benarnya. Memang, selama ini Wijaya kurang banyak memerhatikan rekan terbarunya itu. Namun, hal yang terpenting adalah Yon sudah mau mengulurkan tangan tanpa diminta maupun memprotes.
"Terima kasih, Yon," Wijaya melambaikan tangannya.
Yon berhenti mengelas, lalu membuka topeng las. Dia tersenyum kecil pada Wijaya.
"Nanti kutraktir kau makan setelah misi selesai," lanjut Wijaya.
Yon mengangguk dan tersenyum manis sampai matanya menutup. "Es krim vanilla," katanya singkat sebelum melanjutkan perbaikan.
Kalau Wijaya tidak salah ingat, ini sepertinya pertama kalinya Wijaya mendengar Yon berbicara selain saat memperkenalkan dirinya beberapa bulan lalu. Saat itupun Yon hanya menyebutkan nama dan stielkruger yang akan dia gunakan.
Anak yang aneh.
Wijaya berjalan melewati Win yang tampak begitu terguncang mendengar Yon berbicara. Tanpa banyak pikir panjang dia masuk ke kantong tidur dan terlelap tidak lama kemudian.
***
Tujuh bulan yang lalu, operasi di Semenanjung Daehan.
Wijaya masih relatif baru di regu Vrka, tetapi dia sudah mulai terbiasa dengan posisinya. Memberikan perlindungan dari jauh dengan melumpuhkan lawan-lawan yang mengancam anggota regunya.
Semua bisa dia lakukan dengan lancar, kecuali pada satu target. Sudah dua kali pertempuran mereka berhasil dikacaukan oleh satu orang pilot dengan stielkruger tua.
Aneh memang, satu stielkruger bisa dengan lincah bergerak di medan tempur memanfaatkan puing-puing bangunan dan kondisi alam untuk merepotkan satu regu khusus stielkruger.
Dari informasi yang mereka dapatkan, dan yang Wijaya lihat sendiri, stielkruger yang dikendalikan pilot itu bergerak bagai benda mati yang dirasuki roh halus. Orang lokal memanggilnya sebagai 'dokkaebi'.
[Cih, iblis itu lagi! Bagaimana mungkin dia bisa bergerak selihai itu dalam hujan deras macam ini?]
Lev berseru kesal diikuti protes serupa dari regu Vrka. Hanya Boris dan Kwang yang masih tidak banyak berkomentar.
Wijaya menarik napas dalam. Dua kali sudah dia gagal menjatuhkan dokkaebi itu. Di pertarungan penentu kali ini, dia tidak boleh kalah. Keberhasilan misi mereka menjadi taruhannya.
Deru angin dan deras hujan menerpa wajah Wijaya melalui bagian depan kokpit yang terbuka. Sawamura pasti memarahinya nanti karena membuat kokpit subutai basah, tetapi Wijaya tidak perlu memedulikan itu. Hal yang perlu dia pedulikan hanyalah melumpuhkan mangsa.
[Wijaya, aku ingin dia hidup-hidup.]
[Hidup-hidup? Pak tua, kau sudah gila, ya?]
[Aku tidak mau bakat sehebat itu terbuang sia-sia, Lev.]
"Aku mengerti," jawab Wijaya singkat.
[Kau benar-benar mau melakukan perintah sinting ini?]
[Tutup mulutmu, Lev. Dia perlu berkonsentrasi.]
[Jangan sok memimpin kau, mata-mata. Aku masih wakil ketua regu ini.]
Pembicaraan rekan-rekan satu regunya mengabur. Napas Wijaya melambat. Mata sang penembak runduk membuka lebar. Dia memerhatikan setiap gerak-gerik targetnya dengan seksama dari senapan pembidik pada kokpitnya.
Tidak ada pola tertentu yang dilakukan dokkaebi. Gerakannya begitu buas dan mematikan bagai seorang kesatria dadakan yang terlatih di alam liar. Percuma mengikuti atau berusaha memprediksi gerakannya. Jika dokkaebi bertarung menggunakan insting, maka Wijaya juga.
Wijaya menarik napas dalam, menahan napas, memantapkan bidikan, lalu menarik pelatuk.
You may also Like
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT