Download App
11.9% CAROLINE / Chapter 30: Chapter 30

Chapter 30: Chapter 30

Suara gumaman terdengar samar-samar di dalam kegelapan, dengan setengah hati aku memaksa kedua mataku yang terasa berat untuk terbuka. Jam berapa ini?

"Cara?" suara Alex memanggilku lalu diikuti oleh suara pintu yang tertutup.

"Hmm. Jam berapa ini?" tanyaku dengan suara serak yang hampir tidak kukenal. Kedua mataku masih setengah terbuka, samar-samar aku bisa melihat Alex yang berdiri di ujung tempat tidur. Ia mengenakan kaos abu-abu dan jeans. Kubuka lagi mataku lebih lebar lalu menatapnya. Bakal janggut menutupi sebagian besar rahangnya, kedua mata coklatnya menatapku balik. Lalu sedetik kemudian aku baru menyadari kami sedang tidak berada di apartemennya. Perasaan bingungku hanya bertahan sesaat, peristiwa sebelumnya mengalir deras ke dalam ingatanku. Aku berusaha bangun dari tempat tidur ketika rasa sakit menyerang kepalaku. Kujatuhkan kembali kepalaku di bantal sambil mengerang, kedua mataku terpejam erat.

"Cara..." suara Alex semakin mendekat. Rasa sakitnya membuat rasa mengantukku yang sebelumnya menghilang. Kubuka kedua mataku lagi saat rasa sakitnya berangsur memudar, aku mengingatnya. Aku mengingat kejadian kemarin. Vincent, tabrakan itu, Edward Adler, Alex, semuanya mengalir kembali di dalam kepalaku dengan jelas. Alex membungkuk di sebelahku, badannya menghalangi cahaya lampu kamar yang terang. Bau mint dan pinus tercium jelas dari jarak sedekat ini. Aku menatap kedua mata coklatnya yang familiar.

'Aku menemukanmu, gadis kecil.'

"Cara, hey..." Tubuhku menegang saat tangannya menyentuh pipiku. Alex terlihat sangat mirip dengan pria itu... Pria yang membunuh Ibuku. Alex menarik tangannya setelah melihat responku, Ia menarik tubuhnya menjauh lalu berdiri satu meter dari tempat tidur. Sekilas, hanya sepersekian detik, aku melihat kepedihan di wajahnya sebelum Ia sembunyikan.

"Aku akan membawa sarapanmu." Gumamnya sebelum berjalan keluar. Aku menatap pintu yang tertutup selama beberapa saat lalu bangun dari tempat tidur. Dengan sedikit bingung dan sakit di kepalaku aku menatap pakaian yang sedang kukenakan, sebuah kaos hitam yang kebesaran dan celana jeans bersih, lalu pandanganku beralih lagi ke sekitar. Ruangan ini sama besarnya dengan kamar di apartemen Alex, mataku menangkap tulisan yang dibordir di handuk yang terlipat rapi di atas meja; Hotel Hilton.

Aku berjalan menuju pintu yang dipakai Alex sebelumnya, sebelum aku membuka kenopnya pintu itu terbuka sendiri. Alex menatapku dari balik pintu, tangannya membawa sebuah tray berisi sarapan. Aku mundur beberapa langkah untuk memberinya jalan. Ia masuk ke dalam lalu menutup pintu di belakangnya.

"Dimana kita?" tanyaku saat duduk di depan meja kecil di ujung ruangan, Alex meletakkan traynya di atas meja lalu menaruh sepiring baked salmon dan salad di depanku. Aku masih memandangnya sampai Ia menjawabku.

"Atlanta." Jawabnya lalu duduk di depanku. "Makan, Cara." Perintahnya sambil menghindari tatapanku, Ia sendiri tidak makan.

Aku menyentuh salmon di piringku dengan sendok lalu meletakkannya kembali. "Apa... apa yang terjadi?"

Akhirnya kedua mata Alex menatapku, "Kau harus makan."

"Aku tidak lapar."

Alex membanting tangannya di meja dengan marah, membuatku membeku di tempatku. Aku menatapnya sangat lama hingga mataku terasa panas dan air mata pertamaku jatuh ke pipiku. Alex memejamkan matanya lalu kedua tangannya menyusup ke rambutnya dengan frustasi.

"Maaf." Ia membuka kedua matanya lagi, suaranya kali ini lebih lembut. Tangannya berusaha menyentuh tanganku yang berada di atas meja tapi aku menariknya lebih dulu. Aku berdiri dari kursiku lalu berjalan menuju pintu, tapi saat aku berusaha membukanya pintu itu terkunci. Kubalikkan badanku ke arahnya dengan marah, "Kau mengunciku?"

"Aku tidak yakin kau tidak akan kabur lagi." Jawabnya dengan wajah tanpa ekspresi. Jawabannya membuat hatiku terasa sakit dan marah.

"Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku tinggal, Alex."

"Kau pikir aku tidak memikirkannya sebelumnya? Aku sudah—"

"Mencari jalan keluar?" potongku dengan sengit, "Melepaskan gelar Alphamu dan packmu lalu kabur bersamaku? Atau memulai perang antar pack? Itu rencanamu?"

Alex menggertakkan rahangnya dengan marah, "Itu jalan yang terbaik."

Aku menatapnya dengan ekspresi setengah jijik, setengah tidak percaya, "Jadi kau akan mengorbankan packmu sendiri?"

"Untukmu." Jawabnya tanpa keraguan sedikitpun.

Jawabannya kembali membuat hatiku terasa seperti diremas, tapi kali ini rasa sakitnya membuatku marah. Tapi semua kemarahan ini dan rasa frustasi yang menggumpal di dadaku hanya membuatku lelah, "Kau harus melepaskanku. Itu jalan yang terbaik."

Alex berdiri dari tempatnya dengan tiba-tiba, Ia terlihat sangat marah hingga aku bisa melihat tangannya sedikit gemetar. "Jangan pernah" Ia melangkah ke arahku, "mengatakan", lalu melangkah lagi, "hal itu lagi." Ia berhenti di depanku. Tubuhnya yang tinggi memancarkan aura Alphanya yang mengintimidasi. Tapi hal itu tidak mempunyai efek yang berarti bagiku.

"Aku akan pergi."

"Aku tidak akan membiarkanmu."

Aku tersenyum sedih padanya. "Dan aku tidak akan berhenti berusaha untuk pergi."

Alex melayangkan tinjunya ke tembok di sebelah pintu, Ia memejamkan kedua matanya sambil mengatur nafasnya. Ia berusaha keras menahan amarahnya di depanku. Lalu kedua tangannya beralih ke samping kanan dan kiriku, memerangkapku. Saat Ia membuka kedua matanya lagi, kedua matanya terlihat mati. Tidak ada ekspresi di dalamnya.

"Apa kau tahu apa yang harus kulalui setelah tahu kau pergi?" suaranya terdengar serak dan putus asa. "Neraka. Aku baru saja melalui neraka beberapa hari ini. Kau tahu rasanya seperti apa? Seperti seseorang menancapkan pisau ke jantungmu setiap kali kau melangkah, tapi kau tidak melangkah, kau harus berlari. Kau harus berlari dengan rasa sakitnya."

Kedua mataku mulai terasa panas lagi. Kami saling menatap selama beberapa saat hingga akhirnya Ia berbicara lagi.

"Kau bisa mengakhirinya, Cara." Tangannya membawa tanganku untuk melingkari lehernya. Aku bisa melihat penderitaan di kedua matanya saat menatapku, aku bisa mengerti rasanya, karena aku juga merasakan hal sama dengannya. "Jika kau tidak ingin kembali padaku... paling tidak hentikan rasa sakitnya." Seluruh tembok pertahananku runtuh saat itu juga. Kutarik tanganku dari genggamannya lalu memeluk tubuhku sendiri, aku tidak tahu sejak kapan air mataku mengalir, yang jelas kedua pipiku sudah terasa sangat basah. Alex sedikit membungkuk lalu menempelkan keningnya padaku, Ia melingkarkan tangannya di tubuhku dengan erat seakan-akan Ia tidak berani melepaskannya lagi. Kutempelkan pipiku yang basah di dadanya hingga aku bisa mendengar jantungnya yang berdebar keras.

"Kau harus mengakhirinya sekarang." Bisiknya dengan lembut. Tidak ada kemarahan atau ekspresi apapun di dalam suara Alex, hanya ada kelembutan... dan sedikit putus asa.

Tenggorokanku tersedak oleh air mataku sendiri. "Kau pikir aku bisa melakukannya?" tanyaku dengan suara bergetar sambil menarik tubuhku sedikit dari pelukannya. "Jika kau mati, aku akan mati bersamamu."

Jika Ia mati aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Melihatnya tersiksa seperti ini sudah cukup untukku. "Jadi jangan pernah mengatakannya lagi."

Alex melepaskan dirinya dariku, tangannya menggantung di kedua sisinya. Tubuhnya yang tinggi dan atletis memancarkan aura mengintimidasi, tapi dengan ekspresi di wajahnya saat ini Ia terlihat menyedihkan. Tiba-tiba Ia tertawa, bukan suara tawa yang menyenangkan untuk didengar.

"Jadi apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak bisa bersamamu dan aku tidak bisa melepaskan rasa sakit ini. Katakan padaku, Cara, apa yang harus kulakukan? Apa lagi yang harus kuberikan? Siapa lagi yang harus kubunuh agar kau bisa kembali padaku?"

Kupejamkan kedua mataku membiarkan air mata mengalir dari kedua sudutnya. Saat aku membukanya lagi, Alex sudah pergi.

***

Alex membawa mobil Jeep hitam milik Jake, kami berkendara selama setengah hari lebih setelah pergi dari hotel. Kami belum berbicara sejak kejadian pagi tadi, Ia bahkan tidak menatapku sama sekali. Aku melirik ke kaca spion sekilas, beberapa baju lamaku dan baju miliknya berceceran di jok belakang mobil. Lalu aku melirik sekali lagi saat Alex juga menatap kaca spion, kualihkan pandanganku saat itu juga, menghindari tatapannya.

Pikiranku kembali pada Vincent. Aku tidak tahu dimana Ia sekarang, tapi aku yakin Ia masih hidup. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan setelah ini. Aku tidak tahu apa yang Alex akan lakukan setelah ini. Aku sudah terlalu lelah untuk berpikir.

Alex. Aku tidak bisa memandangnya tanpa berpikir tentang kematian orangtuaku. Kakeknya adalah pembunuh orangtuaku, dan sekarang kami adalah pasangan mate... bibirku sedikit bergetar saat aku mencoba menarik nafas dalam-dalam. Semakin aku memikirkannya, semuanya semakin terasa buruk.

"Cara, hentikan..." suara Alex membuatku menoleh ke arahnya. Ia masih memandang ke jalanan di depan, tapi aku bisa melihat keningnya yang sedikit berkerut. Bukan berkerut bingung... tapi ekspresi kesakitan. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Rahangnya mengeras saat berbicara lagi, "Aku bisa merasakan rasa sakitmu."

"Apa?" suaraku terdengar serak karena terlalu lama diam.

"Aku bisa merasakan semua perasaanmu saat kau berada di dekatku." Suaranya terdengar lebih lembut, tapi Ia tidak menatapku sama sekali saat berbicara. Kedua matanya masih menatap lurus ke depan. "Apa kau benar-benar tidak ingin kembali?" kali ini Ia bertanya dengan suara sedikit tercekat.

Ia berpikir aku ingin meninggalkannya selama-lamanya?

Tanganku terulur untuk menyentuh lengannya yang masih berada di kemudinya, lalu menariknya lagi saat Ia tidak merespon sentuhanku. "Alex, aku meninggalkanmu bukan karena aku ingin." Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahunya. Akhirnya kepalanya menoleh ke arahku, walaupun hanya sedikit. Kedua matanya yang berwarna coklat terlihat semakin gelap saat menatapku.

"Aku melakukannya untukmu, Alex. Itu adalah pilihan terbaik bagi semuanya." Gumamku.

Kali Ia benar-benar menatapku. Kedua matanya berkilat marah. "Kau tahu aku akan melakukan apapun untuk melindungimu."

"Kau pikir aku tidak akan melakukan hal sama padamu?" balasku tanpa mengalihkan tatapanku dari kedua matanya. "Jika aku bersamamu, mereka akan menghukummu dan packmu juga. Kau pikir aku akan melakukannya padamu?" suaraku terdengar semakin tercekat.

Tatapan tajamnya sedikit melunak, "Cara, aku lebih memilih mati melindungimu."

"Kau tidak mengerti juga? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika kau terluka karenaku, Alex." Kurasakan air mata mulai berkumpul di sudut mataku walaupun aku sudah berusaha menahannya.

Tiba-tiba tangannya terulur ke belakang leherku, menarikku mendekat padanya. Lalu sebelum aku mengerti maksudnya, Ia menciumku. Alex tidak menciumku dengan lembut. Ia menciumku dengan posesif. Aku bisa merasakan amarahnya di dalam ciumannya. Dan aku membalasnya dengan intensitas yang sama. Kedua tanganku menyusupi rambutnya yang mulai terasa lebih panjang, berusaha menariknya semakin mendekat padaku. Kami menumpahkan perasaan kami di dalam ciuman ini, semua rasa putus asa yang kami rasakan beberapa hari belakangan ini, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kalimat.

Aku harus mendorongnya menjauh saat nafasku mulai habis. Satu-satunya suara yang terdengar saat ini hanya suara nafas kami yang terengah-engah, nafasnya yang panas berhembus di pipiku. Lalu bibirnya perlahan menyusuri wajahku turun ke rahang, hingga berada di pangkal leherku. Bibir Alex mencium tanda gigitannya di pangkal leherku dengan lembut. Kupejamkan kedua mataku saat lidahnya membasahi tanda di leherku, lalu sedetik kemudian, Ia menggigitku.

Kedua mataku terbuka lebar saat itu juga, aku bisa mendengar suara teriakan lemahku menggema di dalam mobil. Tapi kali ini bukan rasa sakit seperti yang pertama kali kurasakan saat Ia menggigitku, jari-jariku mencengkeram rambutnya dengan erat ketika rasa menyenangkan menjalari tubuhku hingga ke ujung-ujung jariku. Aku tidak bisa bernafas untuk sesaat. Alex kembali mencium bekas gigitannya dan baru melepaskannya setelah puas, bibirnya menyusuri leherku hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang tidak teratur di kulitku, semakin turun mendekati jantungku yang berdebar keras.

Aku tidak bisa melihat wajahnya di dalam kegelapan, dan aku tidak bisa mendorongnya menjauh. Aku tidak ingin. Sebelum bibirnya berada tepat di atas jantungku, Alex menarik dirinya menjauh dariku.

"Brengsek." Gumamnya dengan marah sebelum membanting setirnya.

"A—ada apa?" tanyaku dengan suara serak yang terdengar bingung. Alex tidak menjawabku, Ia hanya menyalakan kembali mobilnya lalu mengemudikannya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hanya ada satu hal yang terlihat jelas dari sikapnya saat ini.

Ia menarik dirinya sejauh mungkin dariku.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C30
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login