💝💝💝
"Siapa itu, Ayub?" Terdengar suara lembut perempuan dari dalam kamar. Ayushita dan Firda langsung tegang seketika.
Sementara Ayub masih menatap kedua gadis di depannya dengan tatapan mengusir.
"Mau pulang atau tidak?" tanya Ayub lagi tajam namun dengan suara rendah. Lebih mirip menggeram. Dia melipat kedua tangannya di depan dada menambah seram penampilannya.
Ayushita menggeleng. Dia masih bersikukuh tidak mau pergi dari tempatnya sebelum dia melihat wajah perempuan itu. Sedangkan Firda sudah pucat ketakutan setengah mati.
'Dasar Sita keras kepala. Duh Gusti! habislah kita ditelan Kak Ayub bulat-bulat,' gerutu Firda dalam hati. Ingin rasanya dia menyeret sahabatnya itu dari sana.
"Aku tidak pulang sebelum lihat perempuan itu. Kalau tidak nanti aku kasi tau Mama," ancam Ayushita dengan suara lirih. Firda melotot makin lebar. Tampang Ayushita sekarang malah kelihatan seperti tikus yang sedang mencicitkan ancaman pada seekor harimau. Ya, dan bersama seekor marmut di belakangnya.
Ekspresi Ayub tidak berubah sama sekali. Ancaman itu seperti desau angin lalu saja baginya.
"Siapa Ayub?" Tiba-tiba pemilik suara lembut muncul di belakang Ayub. Refleks pria jangkung itu berdiri tegak. Dan kedua gadis di depannya pun tak bisa menahan mata mereka untuk tidak melirik ke sumber suara.
"Hanya bocah-bocah kecil yang tampaknya salah memencet bel kamar," jawab Ayub dengan suara perlahan. Seorang perempuan dengan paras yang sebenarnya tidak terlalu cantik namun dandanannya membuat dia tampak sangat elegan. Tubuhnya tinggi semapai dengan pinggang ramping serta bagian tubuh lain yang menonjol seksi.
'Hmm ... cantikan Firda sih. Dia make up nya aja yang tebal plus perawatan setara Cleopatra. Coba kalau Firda dandan dan perawatan malah jauh lebih cantik,' dengus Ayushita menilai si perempuan di samping kakaknya.
'Ternyata selera Kak Ayub yang kaya gini. Tinggi semampai, seksi dan cantik. Benar kata Kak Ayub, sekarang aku lebih mirip marmut di depan seekor burung merak.' Kini suara hati Firda yang sedang membandingkan dirinya dengan perempuan teman Ayub.
"Apakah kamu kenal mereka? Suruh masuk saja mungkin ada sesuatu yang mau dibicarakan denganmu," kata perempuan berambut cokelat.
"Tidak perlu. Mereka cuma salah kamar saja," jawab Ayub sopan.
"Oh, Oke!" Perempuan itu kembali masuk ke dalam kamar diikuti tatapan mata kedua gadis di depan pintu.
"Sudah selesai membanding-bandingkan diri kalian dengan dia?" Ayushita dan Firda terkejut karena Ayub berhasil menebak isi pikiran mereka saat ini.
"Kalau sudah selesai, sekarang kalian pulang. Jangan berkeliaran tak jelas lagi," titah Ayub tegas. Raut wajahnya mengatakan 'tunggu persidangan untuk kalian berdua di rumah nanti'. Firda menelan ludahnya yang kian sepat. Pria itu kemudian menutup pintu di depan kedua gadis tersebut.
Ayushita dan Firda terpaku beberapa saat sampai mereka menyadari hanya sebuah daun pintu yang menatap diam di depan mereka.
"Ayo, Sit!" cicit Firda seraya menarik tangan Ayushita. Gadis itu mengikuti langkah sahabat mungilnya. Kini Ayushita baru tersadar dari khilafnya.
"Fir, jangan-jangan Kak Ayub lagi ada misi menyamar. Terus kita berdua datang dan hampir menggagalkannya. Jadi dia marah. Ya Allah! Kok aku tidak kepikiran tadi ya. Terus kamu kenapa tidak mencegah aku?" seru Ayushita mengetuk kepalanya.
"Dari tadi aku sudah mencegah kamu, Sit. Kamu saja yang keras kepala dan tetap ngotot mau menggerebek. Adanya malah kita yang bakal dilibas sama Kak Ayub nanti," ucap Firda dengan wajah cemberut. Wajahnya yang imut tampak makin menggemaskan.
"Harusnya kamu mencegah aku dengan keras. Menarik aku kuat-kuat dari sana. Duh! Maaf ya sudah melibatkanmu," kilah Ayushita dengan wajah tidak bersemangat.
"Sudah. Mari kita hadapi Kak Ayub dengan gagah berani nanti. Mau gimana lagi," kata Firda.
"Hmm!" gumam Ayushita. Kali ini dia sudah kehilangan semangat membayangkan kemurkaan yang akan disemburkan kakaknya nanti. Mereka meninggalkan Hotel Santika di saat adzan Ashar sudah berkumandang.
***
Di dalam kamar hotel yang baru saja ditinggalkan duo gadis.
Ayub menutup pintu perlahan kemudian melangkah masuk.
"Kemana dua gadis tadi?" tanya perempuan berambut cokelat. Dia sedang duduk di salah satu sofa di ruang duduk.
"Mereka sudah pulang, Bu," jawab Ayub. Dia berdiri tegak dengan sikap hormat tak jauh dari sofa.
"Mereka siapa? Sepertinya mereka berdua mengikuti kamu ke sini," tanya perempuan berambut cokelat lagi.
"Maaf, Bu. Mereka berdua adik saya. Tadi mereka ada urusan di hotel ini katanya bertemu teman dan melihat saya di lobi tadi. Sekali lagi maaf, Bu," ujar Ayub dengan wajah menunduk. Perempuan itu tertawa geli.
"Mereka berdua lucu banget. Adik-adikmu cantik. Apalagi yang satunya, imut banget. Sangat berbanding terbalik dengan kamu yang selalu tegas dan dingin. Kasihan mereka kelihatan ketakutan tadi," tutur perempuan berambut cokelat dengan senyum dikulum.
Ayub semakin menunduk dalam. Menghindari tatapan menggoda perempuan di depannya.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Sesosok pria paruh baya dengan postur yang hampir sama tinggi dengan Ayub keluar dari sana.
"Hai sayang!" seru perempuan berambut cokelat sembari berdiri menghampiri pria paruh baya yang hanya mengenakan piyama mandi.
"Hai juga sayang!" balas pria paruh baya tersebut menyambut kecupan perempuan tadi di kedua pipinya.
"Sudah lama?" tanya si pria.
"Belum lama. Baru sekitar lima belas menit yang lalu," jawab perempuan itu.
"Mengapa terlambat Ayub? Apakah kamu terlambat menjemput istri saya?" tanya pria tadi yang tampaknya atasan Ayub.
"Mohon maaf kalau saya terlambat mengantar Ibu ke sini," jawab Ayub dengan sikap lebih hormat.
"Bapak, Ayub tidak terlambat menjemput saya di bandara. Seperti biasa dia pasti tepat waktu. Tadi ada keterlambatan penerbangan karena cuaca buruk. Jadi jangan menyalahkan Ayub," jawab perempuan itu dengan senyum menenangkan suaminya. Ayub adalah ajudan pribadi suaminya yang menjabat sebagai Kapolda di daerah ini. Sudah pasti Ayub tidak begitu saja terpilih menjadi orang kepercayaan orang nomor satu di jajaran pimpinan kepolisian daerah itu jika dia tidak memiliki kualifikasi yang sangat luar biasa untuk mendampingi sang pejabat kemana pun.
Hari ini Pak Kapolda menghadiri sebuah seminar mengenai pencegahan penyalahgunaaan NAPZA yang diadakan oleh sebuah NGO yang bekerja sama dengan BNN. Pihak hotel menawarkan layanan kamar VIP untuk beristirahat sejenak setelah acara makan siang. Pak Salam sebagai pemilik hotel masih sempat menyapa Pak Kapolda sejenak sekaligus mengantar langsung ke kamar VIP yang disediakan setelah bertemu Ayushita dan Firda.
"Apakah kita akan berangkat sekarang?" tanya Nyonya Kapolda.
"Kita shalat Ashar dulu di sini baru berangkat," jawab Pak Kapolda.
"Siap, Pak!" seru Ayub.
***
Di RSUD kota M.
Arjuna menyandarkan tubuhnya yang letih di sebuah sofa dalam ruang istirahat dokter. Dia baru saja selesai menemani Dokter Hendry melakukan operasi terhadap pasien anak yang mengalami kecelakaan motor. Dokter Hendry adalah salah satu dokter bedah andalan di RSUD ini. Dia telah bertugas selama hampir dua tahun. Dia terlihat mulai betah tinggal di kota ini. Mungkin karena tunangannya ikut datang tinggal di kota M. Tunangan Dokter Hendry adalah dokter umum di RSDU tersebut.
Pintu terbuka dan Dokter Hendry masuk dengan dua gelas kopi di kedua tangannya.
"Lemas amat, Bro!" ujar Dokter Hendry.
"Capek," sahut Arjuna. Dia mengambil cangkir kopi yang disodorkan Dokter Hendry.
"Capek atau lagi kangen?" goda Dokter Hendry. Senyum jahil terulas di bibirnya.
"Tsk!" Arjuna mendecih.
"Sudah berapa hari Ayushita pergi?" tanya Dokter Hendry. Dia menyesap kopi panasnya perlahan.
"Tiga hari," jawab Arjuna. Diingatkan tentang Ayushita membuat sang dokter semakin merana karena tidak bertemu langsung pujaan hatinya.
"Tidak rindu berat tuh?" Lagi-lagi kalimat ledekan meluncur dari mulut usil Dokter Hendry sambil sesekali menyesap kopinya yang mengepul.
"Tidak. Biar Dilan saja yang rindu berat," jawab Arjuna sekenanya. Dokter Hendry langsung tersedak sejenak kemudian disusul tawanya yang membahana di seluruh ruangan.
"Juna ... Juna. Ngenes banget nasibmu mencintai anak gadis orang. Selama tiga hari dia pergi dia tidak pernah nelepon gitu?" tukas Dokter Hendry.
"Sekali. Itu pun aku yang telepon duluan," jawab Arjuna sambil memainkan jemarinya pada permukaan cangkir.
Dokter Hendry tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala prihatin.
"Jangan-jangan cintamu bertepuk sebelah tangan. One side love gitu," ujar Dokter Hendry.
"Dia terima kok," kilah Arjuna cepat.
"Apanya?"
"Pernyataan cintaku."
"Mungkin saja dia hanya tidak tega menolakmu," imbuh Dokter Hendry.
"Tsk!" Arjuna kembali mendecih. "Bukannya membantu malah bikin pikiranku tambah ruwet," omel Arjuna. Senyum licik belum pudar dari bibir Dokter Hendry.
"Coba langsung to the point saja," usul Dokter Hendry.
"Maksudnya?" Arjuna mengernyit.
"Langsung dihalalin saja."
"Hah?" Arjuna terperangah.
"Kenapa? Takut ditolak?" pancing Dokter Hendry semakin menyudutkan Arjuna.
"Waktu aku nyatakan perasaanku ke Ayushita aku beberapa kali ditolak dan diabaikan. Kalau saja aku tidak masuk ruang isolasi dan sekarat mungkin sampai sekarang dia masih nolak aku. Apalagi mau melamar. Aku takut kecewa Senior," ujar Arjuna dengan mimik serius.
"Kalau tidak coba kan tidak akan tahu hasilnya. Gadis tipe kaya Ayushita itu bukan tipe yang mau pacaran-pacaran sana sini lagi. Dia orangnya serius dan maunya diberi kepastian dalam hubungan," tandas Dokter Hendry. Arjuna merenungkan ucapan seniornya itu ada benarnya.
Masa lalu Ayushita membuat gadis itu tidak mudah menerima hubunga baru, apalagi yang hanya bermodalkan janji-janji.
"Terus aku gimana?" tanya Arjuna mengharapkan jawaban.
"Gercep. Gerakan cepat. Jangan loyo. Jangan banyak mikir. Perempuan kaya Ayushita itu banyak yang suka" pungkas Dokter Hendry.
'Kecuali Danuar,' batin Arjuna. Dia tersenyum miring.
"Tapi aku masih ragu dengan perasaan Ayushita ke aku," imbuh Arjuba.
"Hmm," Dokter Hendry menghela napas panjang. "Teruslah ragu sampai Ayushita disambar orang lain hehehe." Dokter Arjuna berlalu dari hadapan Arjuna membawa cangkir kosong di tangannya.
Arjuna galau.
***
Malam harinya di kediaman Pak Ruslan Ramadhan.
Ayub pulang agak telat setelah seluruh penghuni rumah selesai makan malam. Pak Ruslan dan Nyonya Aliyah masih duduk di ruang keluarga sembari menonton televisi yang menampilkan program berita.
"Assalamu'alaikum!" Ayub melangkah masuk.
"Wa'alaikumussalam. Kakak baru pulang?" balas Nyonya Aliyah mengalihkan perhatian pada putra sulungnya yang tampak lelah.
"Iya, Ma. Baru pulang dari temani Pak Kapolda dan istrinya kunjungan," jawab Ayub seraya mengecup pipi ibunya. Nyonya Aliyah bahagia dengan perhatian putranya.
"Ayushita dan Firda kemana, Ma?" tanya Ayub celingak celinguk.
"Di atas," jawab Nyonya Aliyah.
"Kakak ke atas ya. Pa, selamat istirahat."
"Hmm."
Ayub langsung menuju ke lantai dua dengan langkah lebar. Tidak sabar ingin menyeret dia bocah itu untuk diadili.
Ketika tiba di lantai atas, tampak Ayushita dan Firda sedang mengobrol sambil tertawa-tawa. Namun ketika pandangan mereka bertemu dengan tatapan datar sang abang polisi, tawa mereka seketika menghilang berganti dengan raut tegang di wajah masing-masing.
Keduanya beranjak berdiri. Tetapi ....
"Duduk!" titah Ayub dengan tatapan memerintah. Tubuh keduanya kembali merosot ke sofa. Dengan wajah menunduk dan tangan di simpulkan di atas paha.
Ayub melangkah ke salah satu sofa yang berdekatan dengan Firda. Tubuh gadis mungil itu langsung melipir ke arah Ayushita.
Dengan tangan bersedekap di depan dada, Ayub menatap duo gadis bergantian.
"Ada urusan apa kalian tadi siang di hotel?" tanya Ayub membuka persidangan.
"Kami- kami ketemu dengan Pak Salam pemilik hotel," jawab Ayushita dengan suara serak ketakutan. Dia kembali bernostalgia pada masa sekolah saat dia menghadapi kemarahan kakaknya itu karena sekali dia pulang terlampau sore dari sekolah. Ketika itu dia terbuai rayuan temannya untuk pergi jalan-jalan ke mall sepulang sekolah. Sejak saat itu dia jera.
"Dalam rangka apa?" Pertanyaan selanjutnya.
"Bahas proyek usaha anak-anak muda di kampung Kak. Pak Salam mau jadi donatur kami." Kali ini Firda membantu menjawab. Dia belum berani menatap Ayub.
"Hmm. Lalu, mengapa kalian membuntuti aku ke kamar hotel," tanya Ayub lagi. Tak ada yang berani bersuara.
"Jawab!" bentak Ayub. Keduanya terkejut. Tetapi tetap diam.
Tiba-tiba ponsel Ayushita berdering. Dia melirik ponsel di tangannya. Arjuna meneleponnya. Awalnya dia takut mengangkat panggilan. Namun terbersit ide untuk menghindari kakaknya.
Ayushita langsung menjawab panggilan telepon tersebut di depan kakaknya dan memasang ekspresi serius.
"Halo! Assalamu'alaikum Pak Kepsek. Iya, kabar baik. Bagaimana dengan Bapak? Oh, iya ... Iya Pak ... Iya. Siap! Tunggu sebentar saya catat Pak, Iya ..." Ayushita berdiri dan memberi kode kepada kakaknya bahwa dia akan menerima telepon penting. Segera dia kabur ke kamarnya meninggalkan Firda yang ketakutan sendiri di depan Ayub.
"Sita ...!" jerit Firda tertahan melihat sahabatnya kabur sendiri. Dia tak bisa berkutik dan tak punya alasan untuk kabur. Dia berharap saat itu ponselnya berdering. Meskipun yang menelepon Pak Hansip di siskamling, tak apalah. Asalkan punya alasan untuk melarikan diri dari singa di depannya. Tetapi sepertinya keberuntungan tidak memihak padanya saat ini.
Firda sempat melirik nama pemanggil di layar ponsel Ayushita. Sangat jelas tertera di sana nama Dokter Arjuna. Tapi Ayushita begitu licik memanfaatkan situasi untuk kabur sendiri. Firda menggerutu dengan mulut komat kamit tak jelas.
"Kenapa menggerutu sendiri? Tidak mau jawab pertanyaan saya tadi?" tukas Ayub.
"Maaf, Kak! kami tidak sengaja," jawab Firda menunduk.
"Tidak sengaja gimana?" sambar Ayub.
"Kami hanya penasaran." Wajah Firda semakin pias. Tadi Ayushita bilang akan bertanggung jawab, tetapi kini malah dia yang menanggungnya sendiri.
"Kenapa menunduk? Takut?" Firda mengangguk. "Kemarin malam saja berani menggertak saya," ujar Ayub. Firda semakin menunduk tak karuan. Sebersit senyum terukir di bibir Ayub.
Sejenak keheningan membentang di antara keduanya. Ayub masih duduk tegak sambil bersedekap di dada. Memandang si gadis mungil yang tak berani mengangkat wajahnya. Hanya helaan napas mereka yang terdengar samar bergaung di udara.
Seketika Firda terkejut saat sebuah tangan lebar menyentuh kepalanya yang berbalut kerudung dengan lembut. Tangan itu mengusap kepalanya perlahan.
"Maafkan saya kalau sudah buat kamu takut. Saya harap kejadian seperti tadi tidak terulang lagi," pinta Ayub dengan suara pelan namun tetap tegas. Firda mengangguk. Dia mengangkat wajahnya menatap Ayub yang juga sedang menatap langsung di manik matanya. Secepat kilat Firda menunduk menghindari kontak mata lagi. Ayub tersenyum kecil.
"Oke. Kamu masuk istirahat sana. Tidak usah ladeni Ayu mengobrol lagi. Jaga kesehatanmu," pungkas Ayub kembali menepuk lembut pundak mungil Firda sembari berdiri dan melangkah ke kamarnya.
Firda terdiam di tempat duduknya berusaha mencerna yang baru saja terjadi. Tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya.
Ayushita yang baru saja selesai bertelepon ria dengan Arjuna keluar kamar hendak menemui kakaknya dan Firda. Tetapi dia hanya mendapati Firda yang duduk diam sambil menggigit kukunya. Wajahnya merona merah.
"Fir, kamu kenapa? Kak Ayub benar-benar marah sama kamu? Ya Allah! Maaf Fir. Harusnya aku tidak tinggalin kamu," cerocos Ayushita dengan wajah menyesal.
Firda hanya menatap Ayushita dengan wajah merahnya lalu berlari masuk ke kamarnya.
"Itu anak kenapa ya?" Ayushita hanya bisa melongo.
Bersambung ...
💝💝💝
Big thanks untuk semua pembaca yang setia menunggu hadirnya BWW 😘
Dan big ❤ untuk pembaca yang sudah memberikan dukungan berupa batu kuasa dan komen lucu-lucu serta membangun.
Jangan kendor dukungannya ya.
See you next chapter 😄