💝💝💝
Ayushita dan Firda duduk dengan tenang di sebuah ruangan VIP restoran Hotel Santika. Keduanya diarahkan oleh seorang menejer hotel yang telah ditugaskan mengantar mereka berdua ke ruangan itu dan diminta menunggu beberapa saat. Demi kesopanan Ayushita dan Firda datang lebih awal. Karena mereka tahu bahwa Pak Salam adalah orang sibuk dengan jadwal kerja padat. Sehingga sangat tidak sopan jika membiarkan Pak Salam yang harus menunggu mereka.
Tak lama pintu ruang VIP terbuka dan masuklah seorang pria paruh baya dengan rambut yang sebagian besar telah ditutupi uban. Di belakangnya, seorang pria dengan kisaran usia tiga puluhan ikut masuk. Mungkin dia asisten Pak Salam. Ayushita dan Firda berdiri menyambut kedatangan pria tersebut. Sang asisten menarik kursi untuk pimpinannya kemudian berdiri di samping meja menunggu instruksi selanjutnya. Kedua gadis pun kembali duduk di kursi mereka.
"Selamat datang Nona Ayushita dan salam kenal," sapa Pak Salam sambil menangkupkan tangan di depan dada. Ayushita melakukan hal yang sama.
"Terima kasih, salam kenal Pak. Saya perkenalkan ini kolega sekaligus sahabat saya Firda. Dia penduduk asli kampung Petak Hijau tempat saya mengabdi, Pak." Firda menangkupkan tangan di depan dada juga.
"Saya tidak menyangka masih ada gadis-gadis belia nan cantik seperti kalian yang bersedia menghabiskan masa muda kalian di daerah padalaman yang jauh dari hiruk pikuk kota. Yah seperti yang saya tahu bahwa kebanyakan gadis muda seperti kalian malah akan berbondong-bondong ke kota mencari pekerjaan di kantor-kantor. Mereka menyukai keramaian kota, pergi ke mall, kumpul di kafe atau ke klub-klub malam," cetus Pak Salam.
"Setiap orang punya pilihan dan masing-masing berhak dengan pilihan itu. Bergelut dengan terik matahari dan debu di siang hari serta berselimut pekat malam dan kesunyian yang hanya dihibur oleh jangkrik malam di kampung, itu adalah pilihan kami. Dan kami bahagia dengan pilihan itu," timpal Ayushita. Pak Salam manggut-manggut dengan senyum simpatiknya.
"Saya lihat usia kalian tidak berbeda jauh dengan anak saya, jadi bolehkah saya panggil kalian dengan sebutan Anak?" pinta Pak Salam.
"Tentu saja boleh, Pak!" jawab Ayushita dan Firda bersamaan. Mereka langsung tertawa bersama. Rasa canggung pun langsung menguap.
"Malam itu saya dan istri saya hadir sebagai tamu di acara Danuar Raharja.Saya turut prihatin atas kejadian itu," ucap Pak Salam memulai perbincangan serius mereka.
"Saya mohon maaf karena tidak mengenali Anda malam itu. Dan masalah saya dan Kak Danuar itu sudah diselesaikan baik-baik sejak lama oleh kedua pihak keluarga," ujar Ayushita.
"Hmm! Iya ya. Saya kagum dengan keteguhan dan komitmen Nak Ayushita. Bahkan istri saya lebih bersemangat lagi mendengar proyek penanggulan pemuda dengan kenakalan remaja yang sedang kalian lakukan. Dia mendesak saya agar bertemu dan membicarakan masalah itu." Pak Salam tersenyum.
"Bisa kalian ceritakan sedikit tentang proyek itu?" tanya Pak Salam.
"Tentu saja, Pak," jawab Ayushita.
Maka mengalirlah cerita Ayushita tentang kondisi kampung Petak Hijau sesuai dengan fakta yang dia saksikan selama beberapa bulan tinggal di sana. Mengenai ekonomi, kondisi pendidikan dan sosial budaya masyarakatnya. Dia juga menjelaskan tentang geng preman yang selalu membuat onar dan sangat sulit diberantas. Berdasarkan pengetahuannya tentang dunia kriminal dari kakaknya Ayub, Ayushita menduga kelompok preman ini terstruktur dan memiliki orang kuat yang melindunginya. Sesekali Firda menambahkan beberapa hal karena dia yang lebih tahu kondisi kampungnya.
Firda juga menceritakan tentang geng Joe dan pergumulan mereka dengan Ayushita hingga pemuda preman itu harus mendapat perawatan di puskesmas. Pak Salam tertawa lebar dan memuji keberanian Ayushita. Gadis itu hanya tersenyum malu.
Lalu pembahasan berlanjut pada proyek modal usaha wiraswasta mandiri pemuda kampung Petak Hijau.
"Sekitar beberapa bulan lalu kami mengajukan permohonan modal ke Dinas Peternakan Kabupaten. Kami mendapat respon baik dan pihak berwenang telah mengucurkan dananya. Namun dana yang dikabulkan hanya 50% dari estimasi yang kami ajukan karena kondisi keuangan kas daerah yang lebih fokus pada penanganan wabah. Tentu saja dana tersebut tak sesuai dengan rencana penggunaan dana yang telah kami hitung dalam cetak biru proyek pembangunan rumah peternakan tersebut Pak. Kami sudah mencoba mencari sedikit bantuan dana di sana sini namun kami tak bisa berharap lebih dengan kondisi ekonomi saat ini," tutur Ayushita panjang lebar mengulas setiap detil rencana mereka.
"Sudah berapa persen proses pembangunan rumah peternakannya?" tanya Pak Salam.
"Saat ini bangunan telah berdiri dengan skala medium karena tujuan kami usaha ini akan menjadi usaha bersama dengan pembagian keuntungan bersama sehingga siapa pun yang ingin terlibat di dalamnya dengan serius akan diizinkan. Kemudian dengan pembenahan di banyak aspek dan selanjutnya penyediaan calon bibit ternak, pakan dan perawatannya selama 3 bulan pertama, maka semuanya baru berjalan 50% dari rencana." Ayushita menjelaskan dengan gamblang membuat Pak Salam tak berhenti manggut-manggut.
Sebagai sosok yang bergelut di dunia bisnis, pria paruh baya itu kagum dengan pola pikir dan perencanaan Ayushita yang detil dan hati-hati. Dia tidak heran karena jelas Ayushita mewarisi darah bisnis ayahnya. Hanya saja menurutnya itu adalah suatu hal yang luar biasa karena gadis itu lebih memilih sebuah profesi yang sangat jauh dari dunia bisnis. Begitu pula dengan kakaknya. Mereka memilih menjadi abdi negara.
Jika saja Ayushita itu adalah gadis lain maka pastilah dia lebih memilih bekerja di perusahaan, mewarisi bisnis sang ayah, tanpa perlu lelah-lelah bekerja dengan gaji minim apalagi hanya pegawai kontrak. Pak Salam termangu mendengar semua penuturan Ayushita. Dia teringat pada seseorang yang memiliki prinsip hampir sama.
"Baik, Nak Ayushita. Penjelasan kalian sangat menarik dan detil. Saya ingin secepatnya kalian mengirim sebuah proposal permohonan ke perusahaan saya. Kebetulan di perusahaan setiap tahunnya dialokasikan dana untuk pengembangan SDM bagi masyarakat ekonomi bawah. Sepertinya tahun ini dana tersebut akan menjadi rezeki kalian," kata Pak Salam dengan senyum lebar. Ayushita dan Firda saling pandang tak percaya. Ada binar bahagia di mata kedua gadis itu.
"Tentu. Tentu saja saya akan segera mengirimkan proposal permohonan kami beserta draft detil pengerjaan proyek itu," sambut Ayushita antusias. Pak Salam mengangguk dengan senyum yang sama.
"Terima kasih. Terima kasih Pak," tanpa sadar Ayushita berdiri dan membungkuk hormat karena rasa syukur yang dalam.
"Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah pada Allah yang telah menitipkan rezeki ini pada saya dan mempertemukan dengan kalian," sahut Pak Salam.
"Baiklah. Sudah saatnya kita makan siang. Pak Yanto, silahkan makanannya dibawa masuk," titah Pak Salam kepada asisten yang sedari tadi berdiri tak jauh dari mereka. Sang asisten mengangguk dan membuka pintu mempersilahkan pramusaji yang telah berada di depan pintu dengan troli makanan.
Segera pramusaji menghidangkan berbagai makanan di atas meja. Kemudian Pak Yanto dan pramusaji tadi keluar membiarkan atasan mereka makan siang bersama tamunya.
"Silahkan Nona-Nona. Saya harap hidangan yang saya siapkan sesuai selera kalian." Dengan ramah Pak Salam menjamu keduanya.
"Kami tidak pilih-pilih makanan Pak karena sudah terbiasa dengan makanan ala kadarnya di kampung," jawab Firda lugas. Pak Salam terpaku sejenak kemudian tergelak mendengar jawaban jujur Firda.
"Nak Firda sangat lugas. Saya suka dengan orang-orang yang jujur dengan keadaannya tanpa memaksakan diri untuk ikut arus di sekitarnya," sahut Pak Salam. Dia mulai menyendok beberapa makanan ke piringnya. Di susul oleh Ayushita dan Firda.
Sebagai bentuk kesopanan, kedua gadis itu memberikan kesempatan kepada orang yang lebih tua untuk mengambil makanan pertama kali. Bahkan Ayushita menuangkan air putih ke dalam gelas milik Pak Salam, ke gelas Firda barulah ke gelasnya sendiri. Lalu keduanya tampak berdoa sejenak kamudian menikmati makanannya ketika Pak Salam mempersilahkan. Diam-diam pria paruh baya itu memperhatikan sikap dan perilaku kedua gadis itu. Dia tersenyum penuh arti.
Mereka menikmati makanan di piring mereka masing-masing dengan tenang. Hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan piring. Ayushita melihat Pak Salam sesekali melirik jam tangannya. Jam istirahat makan siang memang sudah selesai. Ayushita memberi kode pada Firda yang tentu saja dipahami oleh gadis mungil itu.
Mereka berdua menyudahi makan siang dengan cepat karena mereka tahu Pak Salam harus segera balik ke kantor.
"Silahkan tambah makanannya, Nak," tawar Pak Salam. Dia sendiri telah selesai.
"Alhamdulillah sudah kenyang, Pak. Terima kasih banyak atas jamuannya," jawab Ayushita.
"Baiklah. Saya mohon maaf karena harus segera balik ke kantor. Untuk selanjutnya kalian akan berkomunikasi dengan Pak Yanto asisten saya setelah draft proposal saya terima," tutur Pak Salam.
"Tidak apa-apa. Kami yang memohon maaf karena telah menyita waktu berharga Bapak. Dan kami sangat berterima kasih atas bantuan Bapak," timpal Firda.
"Baik, saya permisi. Assalamu'alaikum."
Pak Salam lebih dahulu keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh asistennya. Kemudian Ayushita dan Firda pun melakukan hal yang sama.
Mereka berdiri di lobi sejenak memperhatikan interior hotel yang begitu megah.
"Hotelnya bagus banget ya. Malam itu aku tidak perhatikan dengan jelas karena gugup diajak ke sini," celutuk Firda sembari memperhatikan sekeliling. Decak kagum lolos dari bibir mungilnya.
"Kalau tidak salah sih Hotel Santika ada beberapa cabang di beberapa daerah. Ini termasuk yang terbesar. Cuma tidak menyangka juga kalau pemilik hotel sebesar ini adalah orang yang sangat dermawan," ujar Ayushita. Firda setuju dengan pendapat Ayushita.
Tak lama pandangan Firda terfokus pada satu titik tepatnya pada satu orang yang memasuki lobi hotel beserta seorang perempuan cantik.
"Sit, itu Kak Ayub apa bukan ya?" colek Firda pada lengan Ayushita. Ayushita menoleh ke arah yang ditunjuk Firda.
"Iya. Dia ngapain di sini ya? Mmm ... eh sama perempuan cantik?" celutuk Ayushita.
Ayub mengenakan setelah kemeja cokelat dan celana hitam bahan sedangkan perempuan yang berjalan di sampingnya mengenakan gaun cokelat senada dengan rambut panjangnya serta sepatu tinggi yang membungkus tumitnya.
Keduanya berjalan sambil bercakap-cakap dan melempar senyum satu sama lain. Mereka berjalan melewati Ayushita dan Firda tanpa Ayub menyadari keberadaan mereka.
"Mau samperin, Sit? tanya Firda.
"Jangan. Sebentar. Kita lihat dulu Kak Ayub mau ngapain di sini dengan seorang perempuan," cegah Ayushita.
Mereka berdiam di tempat mereka berdiri yang terlindung oleh sebuah tanaman pot yang lumayan tinggi.
Ayub dan perempuan tinggi semampai itu berjalan menuju resepsionis. Tak lama mereka kembali beriringan menuju ke lift.
Ayushita segera menarik tangan Firda menuju ke meja resepsionis.
"Permisi Mbak?" sapa Ayushita pada pegawai resepsionis.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya si pegawai ramah.
"Saya mau tanya, pria baju cokelat dan perempuan bersamanya yang tadi nginap di kamar momor berapa?" tanya Ayushita yang langsung mendapat sikutan dari Firda. Tapi gadis itu tidak menggubrisnya.
"Maaf, segala yang berhubungan dengan privasi tamu kami tidak bisa kami sampaikan ke orang lain. Kecuali ada izin dari tamu yang bersangkutan," jawab pegawai resepsionis.
"Kok bisa begitu?" tanya Ayushita polos.
"Iya karena mereka tamu VIP kami," jawab sang resepsionis ramah. Ayushita diam. Dia sibuk cari akal.
"Oh, sebenarnya saya mau ketemu pria tadi, Mbak. Dia kakak saya yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Ponselnya juga tidak aktif. Saya harus menyampaikan pesan dari ibu saya. Tolong Mbak kasi tahu nomor kamarnya," mohon Ayushita.
Sang resepsionis menatap mereka dengan tatapan menyelidik.
"Mbak tidak percaya ya kalau dia kakak saya? Ini saya perlihatkan!" Ayushita mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto dia bersama dengan Ayub yang tidak memakai pakaian dinas. Sang resepsionis mencondongkan badannya dan menatap layar ponsel dengan seksama.
"Sama kan? Kami kakak beradik benaran Mbak," tukas Ayushita. Resepsionis tersebut mengangguk pelan.
"Mbak, saya tidak punya banyak waktu. Boleh saya tahu kakak saya di kamar nomor berapa?" desak Ayushita lagi.
"Baiklah, Mbak. Beliau di kamar VIP No. 1066 lantai 10," jawab resepsionis tersebut. Ada rasa ragu terselip dalam nada suaranya.
"Terima kasih, Mbak. Yuk Fir!"
Ayushita dan Firda langsung naik lift ke lantai enam. Tidak sulit mencari kamar yang dimaksud karena jumlah kamar di lantai ini tidak terlalu banyak.
"Sit, kita pulang saja. Aku takut dimarahi Kak Ayub kalau kita berkeliaran di sini," ujar Firda seraya menggamit lengan Ayushita.
"Ih, sudah terlanjur, Fir. Aku penasaran kenapa Kak Ayub ada di sini dengan seorang perempuan. Sewa kamar lagi. Emangnya kamu tidak penasaran?" pungkas Ayushita.
"Penasaran sih. Tapi rasa takutku lebih besar, Sit. Takut kalau Kak Ayub marah. Kamu kan adiknya, lha aku? Bisa mampus aku kalau dia tahu aku juga terlibat mau gerebek dia," balas Firda dengan wajah takut.
Ayushita tertawa mendengar Firda menggunakan kata "gerebek". Mereka kaya istri-istri yang mau menangkap basah suami mereka selingkuh di hotel.
"Tenang. Aksi penggerebekan ini murni diprakarsai oleh aku. Dan kamu hanya menemani saja karena kamu khawatir aku kenapa-kenapa. Kak Ayub tidak bakal marah sama kamu. Yuk!" Ayushita melangkah perlahan di sepanjang koridor hotel yang dilapisi karpet sangat lembut. Firda mengikuti dengan enggan.
Satu persatu mereka memindai nomor di depan pintu kamar hingga tiba di depan kamar nomor 1066.
Ayushita dan Firda menelan ludah bersamaan sebelum Ayushita memencet bel pintu dua kali. Mereka menunggu dengan jantung berdebar tak karuan. Sepersekian detik kemudian hendel pintu bergerak dan pintu terbuka.
"Siapa?" tanya pria di depan pintu yang ternyata Ayub. Ayuhsita dan Firda langsung terkejut mendapati tubuh menjulang Ayub di depan mereka. Apalagi menatap wajah datar sang abang polisi.
"Ngapain kalian di sini?" tanya Ayub dengan suara yang terdengar menggelegar di telinga kedua gadis itu. Firda langsung melipir bersembunyi di belakang Ayushita yang juga refleks bergerak mundur.
"Se- seharusnya aku yang- yang tanya begitu. Nga- ngapain Kakak di hotel ini?" tanya Ayushita tergagap dengan mengerahkan semua keberaniannya.
"Ini bukan urusanmu. Pulang sana! Jangan berkeliaran di sembarang tempat," titah Ayub dengan raut tegas.
"Ayo, Sit!" cicit Firda dengan suara lirih. Dia benar-benar takut, pasalnya Ayub menatap tajam juga ke arahnya. Tatapan itu seolah berkata 'ngapain kamu ikut-ikutan juga'.
"Kak, aku dan Firda tidak berkeliaran. Kami punya janji bertemu seseorang di sini. Terus lihat Kak Ayub masuk hotel ini juga dengan ... dengan seorang perempuan." Ayushita menelan ludah yang terasa sepat di kerongkongannya saat mengucapkan kalimatnya.
"Siapa itu, Ayub?" Terdengar suara lembut perempuan dari dalam kamar. Ayushita dan Firda langsung tegang seketika.
Bersambung ....
💝💝💝
Nah lho Ayub ngapain di hotel? Kena gerebek pula hahaha
Wokeh selama menikmati keseruan perjalanan duo sahabat Ayushita dan Firda. Yang tungguin Babang Arjuna sabar ya! Dia masih sibuk di RSUD ada pasien darurat. Ntar juga dia nongol mungkin seribu purnama lagi ... #halutingkatRT
Bye jangan lupa power stone ya ... 😉