💝💝💝
Pagi yang cerah di kota P. Bising deru kendaraan perlahan membangunkan penghuni kota untuk memulai aktifitas harian masing-masing. Rumput dan pepohonan masih berembun namun kesibukan tak menunggu semua embun menguap ditelan matahari pagi.
Seluruh penghuni rumah keluarga Ruslan Ramadhan bangun pagi. Tak terkecuali Firda yang bangun lebih awal menunaikan shalat Subuh kemudian membaca beberapa lembar ayat Alquran. Suasana lantai dua masih sepi. Kecuali lantai bawah dimana Bi Sumi ART di rumah itu sudah berkutat dengan kompor dan panci menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah. Nyonya Aliya juga tampak bergelut di dapur. Sebagai ibu rumah tangga, Nyonya Aliyah terbiasa mengurus makan minum suami dan anak-anaknya. Apalagi hari ini kedua anaknya berkumpul bersama mereka, tentu saja dia akan menyiapkan sarapan lezat untuk keduanya.
Pukul enam pagi, Firda bergegas mandi dan berpakaian. Dia berniat turun ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan. Dia mengenakan gamis rumah berwarna merah muda dipadu jilbab hitam dengan tali seperti mukena.
Saat membuka pintu kamar dan hendak keluar, wajahnya lebih dahulu membentur sebuah dinding lunak yang lumayan lebar.
"Ya Allah!" seru Firda seraya mengelus jidat jenongnya yang berdenyut.
Ketika dia melebarkan matanya, bola matanya terpaku pada punggung lebar seorang pria tanpa baju. Wajahnya diangkat lebih tinggi maka tampaklah belakang kepala dengan potongan rambut cepak. Scanning mata Firda yang canggih langsung memindai cepat pemilik punggung itu. Itu Kak Ayub.
Firda segera berbalik sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan bertepatan dengan sang pemilik punggung berbalik ke arahnya.
Ayub heran mendapati ada makhluk pendek yang hanya setinggi dadanya sedang berdiri memunggunginya. Dia mengamati seksama tetapi sulit untuk melihat wajahnya karena tertutup kedua tangannya.
"Siapa ini? Heh, kamu anak siapa? Kenapa bisa ada di sini? Tersesat ya?" Pertanyaan panjang kali lebar yang membuat Firda semakin enggan untuk berbalik.
"Kamu siapa, Nak?" tanya Ayub sambil berusaha memutar tubuh si gadis mungil. Firda berusaha bertahan tetapi tenaga Ayub lebih kuat. Kedua tangan Ayub pun berhasil menyingkirkan dua tangan mungil yang melekat di wajah gadis itu.
"Heh, kamu ...?" Ayub terkejut mendapati wajah Firda yang terpampang di sana.
"Astagfirullah! Astagfirullah! Astagfirullaaah ...!!!" Firda kembali menutup kedua matanya karena di depannya kembali terpampang pemandangan vulgar namun 'lezat'.
"Apaan sih?" Ayub kesal melihat tingkah absurd Firda.
"Itu- Kak Ayub ... Kakak tidak pake baju. Duh Gusti Kakak sudah menodai mataku yang masih suci dan murni ini," gerutu Firda masih mata tertutup.
Ayub menatap dirinya sendiri. Iya sih saat ini dia hanya mengenakan celana training tanpa atasan. Sebelumnya dia baru saja selesai melakukan olahraga di ruang fitnes pribadinya di lantai bawah. Karena berkeringat dia membuka bajunya sambil menaiki tangga ke lantai atas. Pikirnya hanya ada mereka di rumah.
Tetapi kenapa gadis kecil ini bersikap lebay seperti ini. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan tubuhnya pada orang lain. Ketika mereka latihan di barak, biasanya mereka buka baju dan para gadis-gadis Polwan biasa melihat tubuh mereka yang berpeluh.
'Hadeh dasar gadis kampung," gerutu Ayub dalam hati.
"Sudah. Buka saja matanya," pinta Ayub yang masih berdiri di depan Firda.
"Tidak mau. Kak Ayub belum pakai baju kan?" tolak Firda. Dia berusaha mengintip melalui celah-celah jarinya. Tuh kan masih seperti tadi.
"Fir, ngapain di situ?" Suara Ayushita menginterupsi mereka. Gadis itu baru keluar dari kamarnya dengan memakai daster panjang dan jilbab yang sama dengan Firda.
"Kak Ayub juga ngapain menghalangi jalan. Mana tidak pakai baju pula. Mau pamer otot? Tidak ada yang minat," omel Ayushita pada kakaknya. Dia tahu Firda pasti merasa malu melihat penampilan kakaknya saat ini.
Ayushita mendorong tubuh kakaknya ke samping, menggamit tangan Firda dan menariknya menuju lantai bawah. Setelah lolos dari sergapan Ayub, Firda langsung menurunkan tangannya dari wajah dan menarik napas lega. Dia tidak berani berbalik sedikit pun.
"Dasar anak kecil," ledek Ayub kemudian masuk ke kamarnya untuk mandi.
Ayushita dan Firda sampai di ruang makan disambut Pak Ruslan dan Nyonya Aliyah yang sudah menunggu di meja makan.
"Selamat pagi sayang-sayangnya Mama," sambut Nyonya Aliyah dengan senyum lebar.
"Ayo Firda, duduk di sini." Nyonya Aliyah menepuk kursi yang ada di sampingnya. Gadis mungil menurut dan duduk sambil mengucapkan terima kasih.
Sementara Ayushita duduk di antara ayah dan ibunya. Mereka duduk mengitari meja makan bundar yang telah terhidang nasi goreng, goreng telur mata sapi dan beberapa lauk serta buah.
"Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" Nyonya Aliyah melanjutkan pertanyaannya.
"Alhamdulillah nyenyak Tante. Ranjangnya empuk dan nyaman," jawab Firda jujur. Pak Ruslan dan Nyonya Aliyah terkekeh mendengar jawaban lugas dari sahabat putri mereka.
"Syukurlah kalau Nak Firda betah tinggal di sini. Jangan sungkan ya. Kalau perlu sesuatu minta saja sama Ayushita. Kalau ingin makan sesuatu kasi tau sama Bi Sumi, nanti dibuatkan," timpal Pak Ruslan.
"Iya Nak Fir. Anggap saja seperti rumah sendiri," imbuh Nyonya Aliyah.
"Terima kasih Om, Tante. Saya bersyukur diterima dengan baik di sini," cetus Firda malu-malu.
"Hei, jangan bilang begitu. Ayu cerita kalau bapak dan ibumu juga memperlakukannya dengan baik di kampung. Maka hal yang wajar jika kami juga melakukan hal yang sama," kilah Nyonya Aliyah sambil mengelus pundak Firda lembut. Firda mengangguk dan tersenyum.
"Kakakmu mana nih?" tanya Pak Ruslan.
"Masih di kamarnya, Pa," jawab Ayushita.
Tak lama terdengar langkah kaki berat menuruni tangga dan Ayub muncul di pintu ruang makan.
"Selamat pagi, Pa, Ma!" sapa Ayub kemudian duduk di salah satu kursi kosong di dekat ayahnya dan Firda.
"Jam berapa kamu pulang semalam?" tanya Nyonya Aliyah pada putranya.
"Tengah malam," jawab Ayub. Dia mulai menyendok nasi goreng ke piringnya.
"Ayu dan Firda kapan tiba?" Ayub balik bertanya.
"Kemarin sore, Kak," jawab Ayushita. Dia mengambil giliran menyendok nasi goreng ke piring ayahnya lalu ke piringnya.
"Memangnya kamu kenal Firda?" selidik Nyonya Aliyah.
"Hmm!" gumam Ayub cuek.
"Ayo Nak Firda sini Ibu sendok nasi gorengnya," tawar Nyonya Aliyah.
"Saya ambil sendiri saja Tante."
"Tidak apa-apa Ibu senang bisa melayani tamu. Tapi jangan panggil tante dong. Panggil Ibu atau Mama sekalian kaya Ayu dan Ayub," celutuk Nyonya Aliyah sambil mengisi piring Firda.
Ayub langsung tersedak dan terbatuk-batuk.
"Makanya sebelum makan berdoa dulu. Tidak berdoa kan?" sindir Ayushita. Dia langsung memimpin doa dengan suara pelan kemudian mereka mulai menikmati sarapan.
Ayub melirik ke arah Firda yang tampak canggung menyuap makanannya.
Keluarga ini sangat terbuka satu sama lain, menurut Firda. Mereka saling menghargai satu sama lain dan juga menghormati orang lain. Terbukti dari sifat dan sikap yang ditunjukkan Ayushita dalam kehidupan sehari-harinya. Kecuali pria yang duduk di depannya. Sedari tadi ekspresi wajahnya datar-datar saja.
'Apakah otot-otot wajahnya tidak tegang tuh?' batin Firda sambil mengunyah makanan. Pikirannya pun sibuk menilai interaksi keluarga sahabatnya ini yang begitu saling menyayangi.
Selesai sarapan, Firda menawarkan diri membersihkan piring bekas makan mereka. Nyonya Aliyah keberatan tetapi Firda berkeras. Akhirnya Nyonya Aliyah mengalah. Ayushita ikut serta membersihkan dapur dan juga meja makan. Hal ini menjadi kebiasaannya saat di rumah.
Di rumah itu, Bi Sumi hanya bertugas memasak sekali-kali, membersihkan rumah dan berbelanja kebutuhan dapur. Sedangkan pakaian penghuni rumah dicuci masing-masing oleh empunya pakaian. Kecuali pakaian Pak Ruslan yang ditangani langsung oleh Nyonya Aliyah.
Taman bunga di halaman dirawat oleh Nyonya Aliyah dibantu oleh Pak Kardi yang juga bertugas membersihkan sekeliling halaman, dan kolam renang di belakang.
Sehabis membersihkan dapur dan alat makan, Ayushita mengajak Firda untuk bergabung dengan orang tuanya dan Ayub yang sedang duduk di beranda belakang. Beranda ini menghadap langsung ke kolam yang luas yang sekelilingnya ditanami pohon mangga dan jambu air.
Ketiganya sedang menikmati teh hangat sambil bercakap-cakap. Ayushita dan Firda duduk di salah satu sofa panjang.
"Ini sayang-sayangnya Mama sudah pada mandi?" tanya Nyonya Aliyah pada kedua gadis.
"Sudah Ma tadi habis shalat subuh," jawab Ayushita. Firda hanya diam. Dia merasa jengah ditatap tajam oleh Ayub.
"Jadi Nak Firda mau panggil apa? Ibu atau Mama?" Pembahasan masalah panggilan berlanjut.
Ayub kembali tersedak teh yang diminumnya.
"Kamu kenapa sih Kak?" tanya Nyonya Aliyah heran melihat tingkah putra sulungnya. Ayub tidak menjawab. Dia malah berdiri dan naik ke lantai dua. Dia mau mengganti bajunya yang basah karena tertumpah teh waktu tersedak.
"Dia kaget kali Ma?" goda Ayushita dengan senyum licik. Kali ini dia punya bahan untuk menggoda kakaknya.
"Itu- saya panggil tante saja," sahut Firda.
"Tidak ah. Saya tidak suka dipanggil tante. Kaya tante girang aja," celutuk Nyonya Aliyah. Pak Ruslan terkekeh mendengarnya.
"Emang siapa yang ngomong begitu? Mama saja yang suka berasumsi," timpal Pak Ruslan. Nyonya Aliyah melengos.
"Saya panggil Ibu saja," ujar Firda.
"Oke. Ibu suka seperti itu." Nyonya Aliyah langsung berbinar. Dia lalu menuangkan secangkir teh dan memberikan pada Firda.
"Makasi, Bu," ujar Firda menerima cangkir teh dari Nyonya Aliyah. Wanita paruh baya itu langsung terkekeh senang.
Ayub yang baru turun dari lantai dua memutuskan berhenti sejenak di dekat pintu menuju beranda belakang. Dia menghela napas berat mendengar percakapan absurd antara ibunya dan kedua gadis itu.
Entah rencana apalagi yang dipikirkan ibunya. Ayub memilih menghindar agar tidak terlibat dalam rencana aneh sang ibu.
Dia berbelok ke ruang kerjanya yang terletak di sebelah ruang kerja ayahnya dan ruangan fitnes. Menghabiskan waktu berkutat dengan tugas-tugas dari atasannya.
Riuh suara tawa terdengar dari beranda belakang. Ayub hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya
***
Hotel Santika, kamar VIP Danuar dan Elena.
Pasangan pengantin baru saja bangun setelah menghabiskan malam panjang memadu kasih.
Elena keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut piyama mandi dan sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Dia lalu mengambil pakaian dalam lemari dan mengenakan di sana. Danuar sudah bangun namun masih berbaring di atas ranjang. Dia mengamati gerak gerik istrinya dengan senyum lebar.
"Sayang!" panggil Danuar.
"Hmm ..." gumam Elena. Dia masih sibuk mengancingkan kemejanya.
"Apakah aku sudah pernah mengatakan kalau kamu cantik?" goda Danuar.
"Memangnya aku cantik?" tanya Elena. Kini dia menyisir rambut basahnya di depan meja rias.
"Tentu saja sayang," pungkas Danuar sambil beranjak dari tempat tidur. Memeluk Elena dari belakang dan mengecup puncak kepala istrinya.
"Cantikan siapa? Aku atau Ayushita?" pancing Elena. Dia menatap wajah suaminya lewat kaca rias di depannya. Danuar ikut menatapnya dengan tatapan yang rumit. Menghela napas sejenak.
"Tentu saja istriku paling cantik," jawab Danuar berbisik di telinga Elena. Perempuan itu tersenyum senang.
Danuar paham, Elena selalu merasa insecure setiap kali berada di sekitar Ayushita atau mengingat tentang mantan tunangan suaminya. Padahal mau bagaimana pun, Danuar tidak mungkin akan kembali pada Ayushita.
Terdengar bunyi bel kamar.
"Sepertinya itu pelayan yang membawa sarapan kita sayang. Biar aku buka. Kamu mandilah dulu," ujar Elena melepaskan diri dari pelukan suaminya. Dia mengecup pipi Danuar sebelum beranjak untuk membuka pintu. Danuar pun melangkah ke kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek.
Elena membuka pintu kamar dan terkejut melihat sosok yang berdiri di sana.
"Handi?" Elena melotot tidak senang.
"El ...!" lirih Handi dengan seulas senyum.
"Ngapain kamu di sini? Kamu memata-matai aku dan menguntitku ya?" sergah Elena dengan wajah kesal.
"El, bukan begitu," sanggah Handi.
"Siapa sayang?" Terdengar suara Danuar dari dalam. Elena langsung tegang dan wajahnya pias.
"Siapa El?" tanya Danuar yang telah berdiri di belakang Elena dan berhadapan dengan Handi.
Bersambung ...
💝💝💝
See you next chapter 😘