INIKAH Goanya?" tanya Wiro seraya melompat turun dari
punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri
bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua
ekor kuda hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda
Sakti.
Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari
kudanya.
Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa.
Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja
keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa dising–
kirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke
dalam.Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya.
"Kanda Panuluh!"
Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini lak–
sana diburu sctan lari ke depan dan meraung keras.
Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi!
Wiro Sableng berdiri termangu.
Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menye–
dihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya
diikat dengan rantai besi yang dipakukan ke dinding kuat
sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur
tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam
bekas cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi
lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung. Pada
bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang
telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh
pemuda itu.
Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu
sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak,
"Jangan!" Dan secepat kilat melompat ke muka
menangkap tubuh Permani. "Bunuh diri tak ada gunanya!"
seru Wiro.
Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka
tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa.
Untung Wiro masih sempat menghalanginya.
"Tenanglah Permani," bisik Wiro coba menghibur.
"Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!" teriak sang dara
keras dan meronta-ronta laksana orang gila!
"Jangan mengambil jalan sesat!"
"Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi
telah tiada!" Lengking Permani. "Lepaskan! Biar aku bunuh
diri Wiro! Lepaskan!"
Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat
didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah
baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan
disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati.
Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang
mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan
pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua
matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu.
"Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini?"
tanya Wiro.
"Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang
melakukan!"
"Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak!" desis
Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. "Masih ada
waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum
senja datang. Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak,
aku tak bisa melepaskan totokanmu..."
Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi
seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan
membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia
masuk, Permani masih juga menangis meskipun kedua
matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi
bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak
berkata apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikan
sendiri tangisnya, pikir Wiro.
Senja telah turun dan malampun tiba. Di luar angin
malam yang dingin merambas masuk ke dalam goa. Wiro
merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah
perih oleh hembusan angin dingin itu.
Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata,
"Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini!
Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!"
Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia
mencapai mulut goa mendadak di luar sana, dalam
kegelapan malam didengarnya suara semak belukar
bergesekan dan suara langkah-langkah kaki yang banyak
sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah beberapa sosok
manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum akan
datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika
terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia
bisa kepepet!
Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang
pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta,
kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lain-
lainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan
Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang!
Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samar-
samar di kegelapan malam dilihatnya orang yang keenam
belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya
waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar
biasa seperli bola api, lucunya celana panjang dan bajunya
sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat menutupi
tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia
berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan
kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa
diam!
Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke
hadapan Wiro dan membentak nyaring, "Mana anakku?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada
kuburan baru yang tanahnya masih merah.
"Tanyakanlah pada makam baru itu!"
Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya.
"Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?!" Manik Tunggul
menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar
ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro.
"Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!" teriak
Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu
tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang
lainnya segera menyerbu! Empat belas batang pedang
berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar
dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut
menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih.
Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus berkomat-
kamit!
"Tahan!" teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu
goa.
Tapi yang menyerangnya terus memburu!
"Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini
jangan menyesal!"
Bogananta dan yang lain-lainnya tak ambil perduli.
Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya.
Wuut!
Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan
tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan
Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya
tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi
kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali!
"Manik Tunggul!" kata Wiro dengan suara keras
sehingga semua orang mendengar. "Anakmu masih hidup.
Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya
lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahu–
luinya!"
"Kalau masih hidup di mana dia sekarang?" tanya
Sokananta lantang.
"Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak
bicara pada kau!" tukas Wiro.
Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan!
"Lalu ini kuburan siapa?!" tanya Manik Tunggul.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau
lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang
ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan
itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui
kematian dalam cara yang mengerikan?!"
Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta.
Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro
kembali, "Lekas katakan di mana calon istriku!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah
kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?!"
Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat.
Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta,
lalu bertanya, "Calon menantuku, apakah yang diucapkan
bedebah ini betul?!"
Sokananta tertawa. "Namanya saja manusia bedebah.
Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia
melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini
masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan
mengadu domba kita satu sama lain!"
Wiro menggerendeng. "Keparat, dosamu sudah lewat
takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki
dari sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama
yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu
itu!"
"Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari
liang kubur yang telah kau gali sendiri!" Sokananta
palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang
tasbih. "Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!"
Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai.
Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga ber–
komat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya sudah berada
di samping Sokananta.
"Inikah tampang manusianya yang kau minta aku untuk
membereskannya, Soka?" tanya Tasbih Kumala dengan
mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokanantanmengangguk.
Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara
tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu!
Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro
lalu membentak, "Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya
yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!"
"Sobat," sahut Wiro, "melihat kepada gelarmu pastilah
kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau.
Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau
tak kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera
angkat kaki!"
"Bapak moyangmu!" bentak Tasbih Kumala, dia
melangkah ke muka.
"Tunggu dulu!" seru Manik Tunggul. "Sebelum kita
mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu
beberapa hal!"
"Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa
detik saja, Manik Tunggul!" kata Bogananta.
"Sokananta, betul kau yang menangkap dan menyiksa
Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa
ini?!"
Sokananta jadi beringasan! "Kenapa antara kita musti
berprasangka yang bukan-bukan?!"
Wiro menengahi, "Manik Tunggul, kau juga ikut ber–
tanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang
memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam
cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas
satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh
Ketua Perguruan Merapi..."
"Tutup mulutmu!" teriak Manik Tunggul marah.
Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka
Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguru–
an Merapi segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri
dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat
Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam
pertempuran!
Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan,
"Wiro!
Wiro!
Kaukah yang bertempur itu? Wiro...!"
Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang
ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan
pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba
dia melompat ke muka dan berteriak, "Sokananta
bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus
mampus di tanganku!"
Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas menyambar
Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu
dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka
Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya
kesempatan untuk mengelak!