"Sebentar lagi. Tunggu, ya!" perempuan itu membuka pintu, dan menarik sang lelaki yang bersandar di dinding.
Dari balik tembok, Lia menyipitkan mata berkali-kali, harusnya ia tidak meninggalkan kacamatanya di motor. Sekarang ia mengalami kesulitan yang tak disangka-sangka. Lelaki itu terus-terusan membelakangi Lia, hingga saat lelaki itu berdiri dan memeluk perempuan bernama Jena itu, Lia mengerjapkan mata berkali-kali, menggosok-gosoknya lalu kembali mengerjapkan mata.
"Zaflan, ayo, kita sudah di kamarku!" Jena tersenyum manis.
"Kau baik sekali," lelaki bernama Zaflan itu mengecup pipi Jena, lalu menarik Jena ke dalam pelukannya sambil berputar memasuki kamar.
Lia berdiri membeku di tengah lorong. Dokumen yang digenggamnya terjatuh ke lantai. Rasanya seluruh tubuhnya lemas tak berdaya.
"Bu-bukankah itu Jena teman sekantorku? Da-dan Zaflan, pa-pacarku?" Lia megap-megap, bulir-bulir air mata menuruni kedua pipinya. Ia duduk terpuruk ke lantai. "Apa yang mereka lakukan di hotel ini?"
***
Lia berdiri tak jauh dari meja resepsionis, matanya sembab oleh air mata. Ia diam bagaikan patung dengan dokumen kusut dalam genggamannya. Meski matanya tertuju langsung pada meja resepsionis, pandangan matanya kosong. Orang-orang di sekitar hilir mudik tanpa henti, beberapa di antaranya diam-diam memandang takut-takut, tapi tak mencoba untuk menegurnya.
Pikirannya sibuk dengan kejadian yang baru saja dialaminya di lantai lima, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Haruskah dengan Jena, teman sekantornya? Haruskah dengan Zaflan, pacarnya? Apakah semua rentetan kejadian hari ini adalah takdir yang ingin menyibak kebenaran dengan cara yang kejam? Tak bisakah dengan cara yang tidak menyayat hati seperti ini? Hotel? pakaian seksi? tuxedo? Mereka sedang berpesta apa saat dia, Lia, sibuk-sibuknya bekerja dan hampir tertabrak mobil? Kenapa pacar yang sangat dicintainya sampai mengkhianatinya? Apa salahnya? Dan Jena? Bagaimana bisa Jena mengenal Zaflan? Mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Ia bahkan tak begitu pamer mengenai pacarnya. Kenapa bisa hal ini sampai terjadi? Kenapa?
Begitu banyak pertanyaan kenapa yang muncul dalam benaknya, tapi tak ada jawaban yang mampu menutupi kekosongan dalam hatinya saat itu juga.
"Kenapa takdir begitu kejam?" isaknya pelan.
Kepalanya tertunduk, lagi-lagi air mata menuruni kedua pipinya. Dokumen penting yang digenggamnya kini seolah-olah bagian dari tempat sampah saking kusutnya.
Lia diam sejenak, sesekali ia sesenggukkan lalu menghapus air matanya. Pikiran mengenai mereka berdua tengah tertawa dan melakukan hubungan suami-istri di luar nikah seolah-olah menikam otak dan jantungnya. Sakit, perih, dan sesak sekali. Tangisnya pecah detik berikutnya, orang-orang yang lewat di dekatnya tampak terkejut, ada yang menghampiri kali ini namun Lia hanya menggelengkan kepala dan berkata baik-baik saja.
Seorang bellboy menghampirinya dan diikuti oleh seorang pria berjas hitam dengan papan nama berkilau, bertuliskan: Rahardiono Sucipto.
"Nona, ada yang bisa kami bantu? Ada apa?" tanya bellboy itu.
"Maaf, nona, anda menarik perhatian para tamu. Jika ada masalah, anda bisa bicarakan dengan saya. Saya adalah manajer hotel di sini," ucap pria dengan papan nama berkilau itu.
Lia tak menjawab, ia menegakkan kepala dan tangisannya makin keras dan meraung-raung.
Bellboy dan sang manajer salah tingkah dibuatnya.
"Pak! Pak Ardi, mungkin dia dimarahi atasannya." salah satu resepsionis perempuan datang menghampiri sang manajer. Ia menunjuk dokumen yang digenggam kuat oleh Lia.
"Oh, begitu. Nona. Ada baiknya jika Anda duduk dulu daripada menjadi pusat perhatian seperti ini. Ayo, kita duduk dulu," Pak Ardi berusaha menggiringnya menuju kursi tamu, Lia masih saja tetap tak bergerak.
"Apa Pak Bos anda sebegitu marahnya? Anda dipecat?" bisik sang resepsionis tanpa pikir panjang.
Lia terdiam sejenak, ia memandang dokumen bosnya di tangan. Lalu, pecah lagi tangisnya dan semakin menjadi.
"Hei! Kau itu bikin suasana tambah parah saja! Ambilkan tisu atau air sana!" bentak sang bellboy pada resepsionis itu.
"Oh! Baik! Baik!" ia menganggukkan kepala, lalu ketika buru-buru berbalik, kakinya berhenti, kedua tangannya mengepal. "HEY! KENAPA MALAH AKU? KAMU YANG AMBIL!"
Sang bellboy tersenyum cengar-cengir dan bergegas lari ke bagian restoran hotel.
Kali ini, Lia duduk terpuruk di lantai, make up-nya luntur dan mengotori baju sifon merahnya, rok hitam selututnya robek beberapa senti saat ia jatuh terduduk. Sebelah sepatu high heels-nya putus sang manajer kebingungan entah harus bagaimana lagi.
"Pak, mungkin Anda bisa bicara dengan bos perempuan ini. Dia mendapat tugas mengantarkan dokumen penting untuk rapat di lantai 3 ruang A-5. Mustahil menyuruhnya untuk pergi, menyeretnya apalagi. Apa yang akan dikatakan orang-orang, Pak?" bisik sang resepsionis pada manajernya.
"Oh, baiklah! Baiklah!" Ia mengangguk cepat, lalu menepuk-nepuk pundak Lia sembari berkata, "tenang saja, aku akan coba bicara dengan bosmu agar kau tak dipecat, ok? Mungkin aku bahkan bisa mencarikan pekerjaan untukmu di sini jika kau dipecat?"
Lia mengangkat wajahnya menghadap langit-langit, dan mulai menjerit histeris diiringi bulir-bulir air mata besar-besar. Rambut ikal panjangnya bergerak mengikuti arah gelengan keras kepalanya. Ia tak sudi bekerja di tempat di mana ia mendapati pasangannya selingkuh dengan perempuan lain, lebih-lebih perempuan itu adalah teman satu kerjanya sendiri.
"Pak! Bapak ini bicara apa, sih? Dia jadi tambah rewel!" pekik sang resepsionis.
"O-oohhh!!! Aku harus bagaimana? Bagaimana? Sebentar lagi Gala Dinner akan segera mulai. Kita seret saja dia!"
"Pak! Bapak punya hati tidak, sih?"
Lia kembali menjerit, dan tangisnya semakin keras membahana mendengar percakapan mereka.
"Ini airnya! Tissu! Tissu!" teriak sang bellboy yang datang setengah berlari, ketika semeter lagi sampai, kakinya tersandung ujung karpet dan segelas air dingin melayang tepat ke kepala Lia. Sang bellboy jatuh terjerembab ke lantai.
"APA LAGI INI?" jerit Lia histeris. Matanya melotot pada sang bellboy yang masih kesakitan di lantai, tangannya melambai-lambaikan beberapa lembar tissu.
"Hey! Hati-hati kalau jalan! Kau bisa merusak karpetnya tahu!" bentak sang manajer.
Mata Lia memicing tajam pada sang manajer, bibirnya mengerucut.
"APA? KARPET? ANDA LEBIH PEDULI PADA KARPETNYA DARIPADA DIRIKU?"
Sang manajer tersentak kaget.
"Pak! Bapak ini ngapain lagi, sih!" tegur sang resepsionis melalui pandangan mata.
Beberapa orang mulai berkumpul menonton adegan aneh itu, beberapa di antaranya bisik-bisik sambil terkikik geli.
Dada Lia terasa panas dan ingin meledak. Ini sungguh memalukan!
"HEY! KAU!" tunjuknya pada sang manajer. "BERIKAN AKU KUNCI CADANGAN KAMAR 504!"
"A-apa katamu tadi?" sang manajer mengerjapkan mata, tampak kebingungan.
"KUBILANG BERIKAN AKU KUNCI CADANGAN KAMAR 504!" suara jeritan Lia memenuhi ruangan itu, membuat hampir seluruh orang di sana kaget bukan main.
"Ma-mana bisa begitu! Itu menyalahi aturan! Anda kenapa, sih?" ujar sang manajer takut-takut.
"BERIKAN AKU KUNCI CADANGANNYA!" dan Lia mulai menyentak-nyentakkan kakinya di lantai seperti anak umur lima tahun yang direbut es krimnya.
"Anda gila, ya!" maki sang manajer, ia lalu melempar pandang dari sang resepsionis ke sang bellboy. "Kenapa kalian bisa membiarkan orang gila masuk ke hotel kita? Apa saja kerja kalian? Seret saja dia bagaimanapun juga!"
***