Jika orang lain akan memberi bunga, coklat, atau menyanyikan lagu romantis untuk membuat gadisnya memaafkan perbuatannya, maka Alva berbeda. Jika orang lain akan memberikan perhatian secara terang-terangan pada gadis yang disukainya, maka Alva juga berbeda. Jika orang lain akan membuat gadisnya seperti tuan putri di hadapan rakyat jelata yang memperhatikan mereka, sekali lagi, Alva berbeda.
Alva Marteen lebih suka menatap gadisnya dari jauh, menghindar dengan senyuman, memberikan perhatian dalam diam, dan membuatnya merasa spesial tanpa ia tahu bahwa diam-diam Alva-lah yang ada di balik semua hal itu. Setidaknya, inilah sosok Alva dalam sebulan terakhir ini. Ya, sebulan sudah berlalu sejak insiden memalukan yang ia lakukan pada Olivia. Dan sebulan juga sudah berlalu, sejak ia menjadi sosok Alva yang baru.
Alva yang punya rasa juang yang tinggi demi impian terbesarnya. Olivia Natasha. Sore ini. hujan tampak turun dengan indahnya. Membuat Alva semakin tersenyum demi melihat gadis yang tengah termenung menunggu berhentinya hujan.
"Dude, ini payung yang kau minta." ucap Richard seraya menyerahkan payungnya kepada Alva. Membuat pria itu mengucapkan terima kasih seraya berlari ke arah Oliv.
Richard memperhatikan apa yang Alva lakukan dari kejauhan. Ya, pria itu tengah berdiri di sebelah Olivia yang sedang asyik bermain ponselnya. Kemudian dengan sengaja meninggalkan payung itu disebelah Oliv, dan kembali ke arah Richard. Membuat pria berambut pirang itu menghela nafas akan perbuatan Alva.
"Sampai kapan terus melakukannya secara diam-diam, bro?" ucap Richard. Pria itu menggelengkan kepalanya, "Sudah satu bulan. Dan dia sama sekali tidak bisa luluh, dan tentu saja. Bagaimana bisa dia luluh jika kau tidak membiarkannya tahu?"
Alva tersenyum, "Yang terpenting untukku saat ini adalah membuatnya bahagia. Aku sudah cukup merasa bodoh jika mengemis permintaan maaf darinya secara terang terangan pula."
"Dude, aku tidak mengerti dengan pemikiranmu." ucap Richard seraya menatap penuh Alva yang masih tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah Oliv, "Kau melakukan sesuatu yang sia-sia. Bukankah kau? Jika kau tidak membiarkannya tahu, maka dia tidak akan pernah tahu, bro. Memangnya dia punya semacam ikatan batin untuk tahu semua hal manis yang kau lakukan?"
Alva tersenyum. Hal yang sia-sia? Tidak. Kejadian tadi pagi membuat Alva sadar bahwa Olivia sudah mulai melihat lagi keberadaannya.
"Come on, kau mau pergi lagi? Kenapa kau jadi jarang sarapan di rumah, sih?" Jonathan menggerutu ketika Alva hendak berpamitan. Hal itu membuat Oliv menatapnya dengan senyuman lebar.
Ya.
Olivia menatap Alva dengan senyuman lebar,bukan lagi tatapan ketakutan dan tidak nyaman yang biasa gadis itu tunjukkan jika Alva ada di dekatnya.
"Daddy benar, Alva. Seharusnya kau lebih sering makan bersama di rumah. Lihat, aku sudah membuat pancake tiramishu kesukaanmu."
Itu adalah ucapan terpanjang pertama dari mulut Olivia yang Alva dengar setelah kejadian sebulan yang lalu. Kalimat yang membuat Alva tersenyum begitu lebar.
"Ku pikir, aku akan makan di rumah." Senyuman Alva melebar. Pria itu duduk di sebelah Olivia, membuat gadis itu tampak tersenyum dan mulai memberikan piring pancake kepada Alva. Membuat pria itu memakan dengan lahap pancake buatan Olivia.
"Ya ampun, lihat, dad. Anakmu makan seperti anak kecil."
Olivia terkekeh seraya mengambil selembar tisu untuk membersihkan sudut bibir Alva. Perlakuan sederhana yang cukup membuat Alva seolah teraliri listrik dahsyat. Yang mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
❤❤❤❤❤
From : Hot Daddy
To : Olivia
Aku sudah selesai rapat. Kau dimana? Hujan deras, tunggu aku!!
Olivia tersenyum lebar membaca pesan dari pria yang sudah sebulan ini membuatnya tersenyum tidak jelas baik pagi, siang, sore, maupun malam. Demi Tuhan, jika menyangkut tentang Jonathan, Oliv akan bertingkah seperti orang gila. Gadis itu menatap sebuah payung yang tergeletak di sebelahnya. Payung yang ditinggalkan oleh sosok Alva, yang meskipun Oliv pura-pura tidak tahu, Oliv jelas tahu itu perbuatan Alva.
"Terima kasih, Alva." Gumam Oliv seraya membawa payungnya dan berlari menuju gerbang sebelah, tempat Jonathan melakukan meeting. Gadis itu semakin tersenyum lebar ketika melihat tubuh tegap Jonathan sedang berjalan ke arahnya.
"Ayo pulang!" ucap Oliv, membuat Jonathan tersenyum dan mengusap kepala gadis itu.
"Alva lagi ya, ini?" Jonathan terkekeh melihat payung yang sedang Oliv bawa, membuat gadis itu tertawa geli, "Alva sungguh manis. Dia benar-benar berusaha, daddy. Aku tidak bisa membencinya dengan segala sifat manisnya."
Serius. Jonathan ingin membekap mulut Oliv agar gadis itu tidak lagi membicarakan tentang pria lain di depannya. Namun, Jonathan lebih memilih untuk tersenyum, "Baguslah jika kau sudah mulai membuka hati untuknya lagi." Oliv mengangguk seraya mendekap payung pemberian Alva ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.
"Dad, aku sudah dapat uang beasiswanya. Ku pikir aku ,,,"
"Oliv, aku berubah pikiran. Kau harus membayar hutangmu tentang baju baju yang kala itu." Mata Oliv membulat tak percaya, "Apa?!"
"Ya, bayar sekarang. Aku butuh uang." ucap Jonathan seraya menengadahkan tangannya. Membuat Oliv menghela nafas dan memberikan semua uang yang baru ia dapatkan tadi.
"Aku sangat menyesal bahwa kau tidak bisa menyewa apartment untuk bulan ini." Jonathan menatap gadis itu prihatin, membuat Oliv mengangguk-angguk, "Apa kau berniat mengusirku? Aku bahkan tidak punya niat untuk mencari apartment baru." mata Jonathan membulat dan berbinar-binar, "Hah?! Benarkah?"
Oliv terkekeh, "Mana bisa aku meninggalkan pria setampan .... "
Jonathan tersenyum lebar.
"Setampan Alva." lanjut Oliv dengan cengiran lebar yang mampu membuat Jonathan tampak menatapnya kesal.
"Ya, ingat saja Alva dan segala perbuatan manisnya itu!" Oliv tertawa seraya mencium pipi Jonathan. Menggoda Jonathan mrnjadi moodboaster tersendiri bagi Oliv.
"Aku bercanda, daddy. Duh, kau tampak menggemaskan ketika cemburu. Membuatku ingin memakanmu bulat bulat." goda Oliv membuat Jonathan tertawa seraya mengecup singkat bibir Oliv.
"Aku tidak jadi butuh uang. Ini, ku kembalikan." ucap Jonathan seraya meletakkan kembali uang yang sudah Oliv berikan, membuat gadis itu tampak menatap tak percaya ke arah Jonathan, "Ayolah. Aku juga berniat memberikannya kepadamu."
"Tabunglah untuk membeli keperluanmu. Atau terserah apapun itu." Jonathan menatap Oliv tajam, "Tapi, jika kau berani menggunakannya untuk menyewa apartment, aku tidak akan segan segan untuk menambahkan bunga 100% atasmu." Oliv tertawa mendengar ancaman Jonathan. Membuat pria itu segera menjalankan mobilnya menembus hujan.
"Oh ya," ucap Jonathan, "Besok malam, aku ada undangan pesta peresmian kantor cabang dari seorang pebisnis California."
"Lantas?" tanya Oliv.
"Apa kau mau ikut?" tanya Jonathan membuat alis Oliv terangkat. Well, pesta terakhir yang ia datangi adalah pesta membosankan sebulan yang lalu. Dan pesta itu berakhir dengan kejadian mengerikan. Sebenarnya, Oliv enggan untuk menghadiri pesta lagi.
But, why not?
"Ajak Alva juga, ya?" tanya Oliv. Pertanyaan yang mampu membuat Jonathan membulatkan matanya, "Kenapa jadi Alva?!"
Oliv menyipitkan matanya, "Jane pasti ikut, kan?"
Pria itu berdehem, "Karena pebisnis California itu adalah mantan bos Jane, jadi, Jane pasti ikut."
Oliv menyipitkan matanya, "Kenapa kau jadi kenal dengan mantan bos Jane? Demi Tuhan, apakah kau sering mengantar jemput Jane hingga tidak sengaja berkenalan dengan bos-nya, kemudian bos itu juga mengundangmu karena ia mengira kau adalah suami Jane?!"
Jonathan menganga, "Ya ampun, Oliv. Kau ini bicara apa, sih?"
"Lantas apa?! Kenapa pebisnis California bisa mengundangmu?!" ucap Oliv kesal.
"Aku pernah menjadi pembicara pada acara bisnisnya. Dia menyukai materiku, jadi dia mengenalku." ucap Jonathan.
"Lalu, kenapa kau tahu dia adalah mantan Bos Jane?"
"Ya ampun, apa aku sedang berbicara dengan polisi?!" Jonathan memutar bola matanya karena Oliv yang tidak berhenti memberikan pertanyaan.
"Jawab aku!!"
"Fine!" Jonathan mendengus, "Aku mengenal Jane dari acara itu."
"Lalu? Jane tertarik padamu dan mengikutimu ke New York?! Kau bahkan tidak pernah bercerita apapun tentang Jane padaku, Jonathan!" ucap Oliv kesal.
"Kenapa Jane harus tertarik padaku jika mantan bosnya bahkan jauh lebih tampan dan muda dari aku." balas Jonathan membuat Oliv memberengut. Pertanyaan yang sama yang harus Oliv tanyakan pada dirinya sendiri. 'Kenapa aku bibir Jonathan yang melumat bibirku, padahal ada puluhan pria muda yang lebih menarik untuk ku cium?'
"Oliv, kau terdengar seperti pacar yang sedang cemburu. Ayolah!" Oliv menatap Jonathan kesal, "Kenapa aku harus cemburu?! Tidak?!"
Gadis itu meraih ponselnya dan menelpon Alva yang langsung diangkat oleh pria itu.
📞"Alva, apa kau sibuk besok malam?" tanya Oliv membuat Jonathan menatapnya dengan pandangan protes.
📞"Tidak, memangnya kenapa?"
📞Oliv tersenyum, "Daddy, akan ada pesta, ku pikir kita bertiga bisa pergi bersama?"
Fuck. Jonathan mendesah kesal.
📞"Tentu saja! Aku akan datang!"
📞Oliv semakin tersenyum lebar, "Baiklah. Cepatlah pulang, ya! Hati hati!"
Tepat setelah gadis itu mengakhiri panggilannya, Jonathan mendesah kesal, "Aku hanya ingin mengajakmu, Oliv. Demi Tuhan!."
Oliv memutar bola matanya, "Lalu meninggalkanku agar kau bisa berciuman dengan Jane lagi?!"
Jonathan menganga, "What?!"
Baiklah. Jika Oliv sudah menyinggung tentang kejadian itu, maka artinya, Jonathan sudah kalah. Pria itu mendesah pasrah, namun tertawa kecil.
Dia bahkan tidak berhubungan dengan Jane lagi, demi menjaga perasaan gadis kecilnya ini.