Aku meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan sangat hati hati. Wajah gadis itu memerah, mungkin efek kerena terlalu banyak alkohol yang diminumnya. Atau efek karena dia marah padaku?
Aku memperhatikan tubuh mungil gadisku dan lagi lagi harus mengerang karena sesuatu di balik celanaku terasa keras. Gadis ajaib ini selalu berhasil membuatku keras hanya karena melihatnya.
Aku berjalan menuju lemarinya dan mengambil salah satu gaun tidurnya dan kembali duduk disebelahnya. Aku menarik nafas panjang, menghilangkan kegugupan yang entah sejak kapan aku rasakan. Dengar. Aku tahu, aku pernah melihatnya telanjang. Dan dengar. Aku juga tahu perasaan senangnya karena akulah yang pertama kali melihat tubuhnya. Tetapi aku, Jonathan Marteen, tidak akan mau memanfaatkan keadaan mabuk gadis itu untuk kembali melihat tubuh telanjangnya. Dan masalahnya, aku harus mengganti gaun bodoh itu dengan gaun tidur Oliv!
"Okey!" aku menghela nafas panjang dan.mengangguk. Aku menatapi wajahnya yang tertidur, dan lagi lagi menghela nafas panjang.
"Tahan, Jonathan, tahan!" aku menyemangati diriku sendiri, kemudian menutup mataku rapat rapat.
Aku mendudukkan Oliv dan membuka resleting gaunnya dengan mata yang tertutup. Kemudian mulai menarik bagian bawah gaunnya. Yang membuat punggung tanganku bersentuhan dengan bongkahan bokong telanjangnya.
"Fuxk. Fuck!" aku mengerang menyadari tanganku yang tidak bisa pindah dari posisinya. Jantungku berdecak kencang. Mati matian aku menahan mata dan tanganku agar tidak berbuat sesuka mereka.
"Jonathan, lakukan secepat yang kau bisa" aku kembali mengangguk dan menghela nafas, kemudian kembali mengangkat gaunnya. Kini, punggung tanganku bersenyuhan dengan perut ratanya. Kemudian naik hingga ke tepi payudaranya. Lagi lagi aku mengerang. Juniorku benar benar tidak bisa diajak kompromi! Ditambah dengan bayangan tubuh telanjang Oliv di layar laptopku waktu itu. Membuatku merutuki pikiranku kesal.
Sialan. Aku benar benar ingin meremasnya.
"No! Jonathan! Jika dia mengetahuinya, dia akan sangat membencimu!" aku kembali berkata pada diriku sendiri, kemudian melanjutkan untuk mengeluarkan dress itu dari kepalanya. Aku menghela nafas lega dan segera memasangkan gaun tidurnya ke tubuhnya.
"Baik, sekarang, kau harus keluar. Tidak! Jangan buka matamu!" aku kembali berkata pada diriku sendiri. Benar benar seperti orang gila.
Aku berjalan dengan mata yang tertutup dengan erat, karena, jika aku memberikan kesempatan pada mataku untuk membuka barang sedikit saja, aku tidak akan tahu apa yang akan selanjutnya terjadi.
Duak.
"Oh, shit!" aku merasakan sesuatu yang keras terpentok di kepalaku, tapi aku masih enggan membuka mataku. Dengan cekatan, aku mengeluari kamar Oliv, dan menutup pintunya.
Saat itulah, aku bisa bernafas lega.
❤❤❤❤❤
"Pagi, Olivia" aku tersenyum ketika gadis itu berjalan menuju ruang makan. Namun berbeda denganku, dia tampak menatapku begitu tajam. Apakah dia masih marah?
"Apakah kau sudah merasa baik? Jika belum, kau bisa beristirahat di rumah. Oh ya, nanti aku akan pulang malam, jadi kau tidak perlu menungguku!"
Gadis itu masih terdiam. Dia mengoleskan selai strawberry pada rotinya dan berteriak," Patricia! Aku berangkat dulu!"
Mendengarnya, aku membulatkan mataku. Dengan segera, aku menelan roti terakhirku dan berlari mengikutinya. Gadis itumelewati mobilku, membuatku menatapnya tidak percaya," Where will you go?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku dan terus berjalan, membuatku mengerang frustasi dan segera memasuki mobilku.
Aku melihat Oliv yang berjalan cepat cepat, membuatku tersenyum lebar seraya menyejajarkan mobilku dengannya. Aku membuka jendela dan menoleh ke arahnya, " Masuklah, Oliv!"
Dia hanya melirikku sebentar, kemudian.mempercepat jalannya lagi. Apakah dia bodoh? Sampai kiamat pun, kecepatan jalannya tidak akan bisa mengalahkan kecepatan mobilku.
"Ada apa denganmu? Bicaralah padaku" ucapku lagi. Tapi dia tetap bungkam. Gadia itu seolah mengabaikan keberadaanku dan iti membuatku kesal.
"For God's shake, Olivia! Berhentilah berjalan dan bicaralah padaku!" ucapku kesal.Gadis itu akhirnya berhenti dan menoleh, membuatku tersenyum lebar.
"Lebih baik kau jemput wanita pirang berbibir tebal itu dan memberinya ciuman selamat pagi daripada menggangguku di sini!"
Aku membuka mulutku tak percaya. Jadi, gadis ini masih marah karena masalah kemarin?!
Well, biarlah dia marah. Wajahnya semakin cantik ketika marah.
"Olivia, aku bisa menjelaskannya jika kau masuk ke dalam mobil sekarang juga."
Gadis itu mengabaikanku dan mempercepat jalannya, membuatku mendengus kesal.
"Jangan membuatku marah." aku kembali berkata, "Kau ingin masuk sukarela atau paksaan?"
Sekali lagi, dia mengabaikanku. Aku benar benar kesal sekarang. Dengan cekatan, aku membuka pintu mobilku dan menggendong gadis itu, membawanya ke dalam kursi penumpang dan membuatnya berteriak minta diturunkan. Setelah meletakkannya, aku berjalan menuju kursi kemudi, mengunci semua pintu mobil dan menjalankan mobilku.
"Don't mess with Mr. Marteen." Aku tersenyum miring, membuatnya tampak berteriak, "Apa sih, maumu?!"
"Listen, Oliv!" Aku mengurangi kecepatanku dan berkata, "Aku mabuk. Aku benar benar lupa jika kau menungguku sendirian."
Dia mengalihkan pandangannya ke jalan raya, membuatku memutar bola mataku. Serius, aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus menjelaskan masalah aku .... mencium Jane kepada gadis ini.
"Aku tidak sadar jika Jane lah yang ada di dekatku" Aku menghela nafas, "Aku berfikir itu kau."
Dia menoleh sedikit, namun kemudian kembali melengos. Sialan. Aku benar benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
"Turunkan aku di gerbang kampus." Ucapnya membuatku menoleh tak percaya ke arahnya.
"For God's shake, Oliv! Apakah kau harus semarah itu?!"
Oliv menoleh, "Harusnya kau bertanya sepwrti itu sebelum meninggalkanku kemudian menciumnya dihadapanku!"
Sialan. Gadis ini selalu bisa membalikkan keadaan. Membuatku memberhentikan mobil tepat di gerbang kampus dengan frustasi.
"Baiklah, jika kau akan turun disini." Ucapku, namun kemudian menyeringai, "Tapi aku akan menggendongmu hingga sampai di fakultasmu!"
Aku memang gila.
Gadis itu menatapku dengan alisnya yang terangkat, "Kau tidak akan melakukannya."
Dan setelah mengatakan itu, Oliv mengeluari mobilku. Membuatku mendesah kesal dan ikut mengeluari mobilku dan berjalan di hadapannya. Aku yakin mata mata itu menatap kami, namun aku tidak peduli.
"I said, don't mess with Mr. Marteen." Aku menatapnya tajam. Membuatnya berkata, "Kau tidak akan berani melakukannya."
"Aku akan menggendongmu sekarang juga. Kau punya pilihan lain, masuk ke mobil."
"Kau akan menciptakan skandal."
Oliv tersenyum sinis, membuatku semakin tertantang untuk meladeninya, "Dan kau pikir aku peduli? Bahkan jika Alva harus melihatnya, aku tidak peduli."
Ya. Jonathan Marteen sudah gila. Dan hanya gadis ini yang mampu membuatku gila.
"Lakukan semaumu." Oliv berjalan melewatiku, membuatku memutar mata kesal. Olivia, jika kau berfikir aku main main, kau salah besar. Aku menarik lengannya dan mengangkat tubuh Oliv. membuat gadis itu menatapku tak percaya.
"Demi Tuhan! Apa yang kau lakukan?! Apa kai tidak tahu dimana kita sekarang?!" Oliv berteriak tertahan seraya melihat lalu lalang orang yang tengah benar benar menatap kami. Aku sedikit bersyukur karena kampus belum ramai.
"Kau yang memaksaku, Olivia."
Gadis itu menutup matanya sementara, "Fine! Turunkan Aku!"
Aku tersenyum penuh kemenangan dan menurunkan tubuhnya, membuat Oliv kembali masuk ke dalam mobilku dengan wajah yang berkali lipat lebih kesal. Aku menatapnya sejenak sebelum kembali menjalankan mobilku.
"Aku membencimu." Dia berkata membuatku tersenyum lebar, "I love you too,sweetheart."
Lihat, betapa bodohnya aku demi gadis yang satu ini? Aku bahkan tidak peduli apapun ketika sedang bersamanya. Sebenarnya, Apa yang dia lakukan padaku?!
Aku memarkirkan mobilku dan saat itulah Oliv segera berlari, membuatku tertawa kecil. Setelah mengunci pintu, aku memasukkan tangan kananku ke saku celana. Menatap Oliv yang tampak menaiki tangga karena kelasnya memang ada di lantai dua. aku berhenti sejenak. Ketika gadis itu sudah sampai di lantai dua, ia memberhentikan langkahnya dan menatapku dari sana. Membuatku mengeluarkan tangan kananku dan melambai kecil ke arahnya, dengan senyuman yang entah mengapa tidak pernah bisa hilang dari bibirku.
Melihatku melambaikan tangan, aku sadar bahwa dia sedang mendengus sebelum pergi menuju kelasnya.
"Fucking gosh! Kau lihat itu? Mr.Marteen tersenyum! Aaaa dia sangat tampan!!"
Aku kembali menetralkan ekspresi wajahku ketika deaas desus mulai ramai di telingaku. Aku menatap mereka datar dan segera menuju kelas tempatku akan mengajar.