Download App
75% Bad Boy in the Mask / Chapter 18: Chapter 17

Chapter 18: Chapter 17

Selamat datang di chapter 17

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

_____________________________________________

Madness, as you know, is a lot of gravity, all it takes is a little push

••Joker••

______________________________________________

Jakarta, 8 Januari

18.00 p.m

Apa yang bisa di lakukan seorang remaja umur enam belas tahun saat melihat kekasihnya berpelukan dengan wanita lain? Apa lagi wanita itu lebih dalam hal segala - galanya? Lebih cantik, lebih sexy, lebih tinggi, lebih kelihatan dewasa, bukan kekanakan, polos, tolol, atau pendek, apa lagi masih bau kencur seperti kata kak Brian.

Jadi jangan salahkan aku jika saat ini lebih memilih untuk mengingkari janji dengan pergi tanpa mengatakan apa pun, tanpa meminta penjelasan apa pun, menghiraukan panggilannya, atau tanpa memikirkan tindakan apa yang harus kuambil ketika sudah tersesat di gedung tua pinggiran kota yang kini suasananya sudah gelap.

Hanya ada penerangan minim, yang lamat - lamat memperlihatkan dua orang laki - laki dengan dandanan berandalan sama seperti lelaki beraroma mint itu—yang melihatku seperti kucing kelaparan. Namun rasa takut yang semestinya kurasakan dapat teralihkan oleh rasa sedih, marah, dan kecewa. Membuatku berani melangkah secara perlahan melewati mereka yang sedang nongkrong di kursi kayu panjang sambil bermain ponsel, sedangkan yang satunya merokok.

"Wah wah liat nih, cewek si bos yang manis dan imut," kata salah satu laki - laki yang kupingnya ditindik banyak. Kaki laki - laki itu di tekuk dan di angkat satu serta di letakkan di atas kursi. Aku juga melihat tangannya memegang ponsel dengan layar masih menyala.

Sementara dari ekor mataku—terlihat di sebelahnya—laki - laki yang sedang merokok kini mengernyitkan alis. Mengamati wajahku selama beberapa saat karena mungkin merasa menemukan kejanggalan. Pada detik yang lain ia sedikit memekik, "eh kok nangis non?"

Menjadikan kesiap laki - laki bertindik. Ia bahkan menurunkan kakinya dan langsung fokus ke ponsel. "Gawat nih, cepet telpon bos, ceweknya nangis nanti kita yang di salahin," tukasnya.

"Bisa - bisa gigi gue abis di rontokin si bos, kalau sampe tahu ceweknya nangis. Buruan telpon, Bego!" tanggap laki - laki lain yang dengan segera mematikan rokok dan membuangnya asal karena panik.

"Ntar gue ngomong apa, Gila?!" sahut laki - laki bertindik lagi. Aku melihat tangannya gemetaran memegang ponsel.

Dan itu membuatku secara tidak sadar berhenti mengamati mereka dan bertanya - tanya. Kenapa mereka malah ribut sendiri? Sebegitu takutnya kah mereka dengan laki - laki yang namanya sedang tidak ingin kusebut itu? Memang apa yang membuat mereka setakut itu padanya?

"Tu-tunggu," cegahku dengan kedua tangan terangkat ke udara. Bukannya bergegas pergi selagi ada kesempatan, aku malah kaget menemukan diriku sendiri dengan berani mengeluarkan suara dan ingin menanyakan hal tersebut pada mereka. Namun teringat kembali apa yang telah di lakukannya, otakku menolak dan memilih pertanyaan lain. "Di mana jalan keluar gedung ini?"

Masih dengan tangan gemetar, mereka menunjuk arah samping dengan takut - takut. Selaras dengan kepala yang kutolehkan mengikuti petunjuk tangan mereka, tanpa menunda waktu lagi aku segera berlari sambil mengelap air mata kasar kemudian merogoh ponsel untuk memesan taxy online.

Jakarta, 8 Januari

18.12 p.m.

Memilih tempat sedikit jauh dari beberapa berandalan lain yang sedang nongkrong dan lain - lain, tidak terasa sudah bermenit - menit aku menunggu taxy online di pinggiran degung tua. Selama itu juga tidak ada tanda - tanda dari laki - laki itu akan mengejar atau sekedar menelponku.

Ah, pasti dia lebih milih sama wanita sexy itu dari pada gue. Batinku, kini kembali menunggu taxy online yang akhirnya datang setelah bermenit - menit kemudian.

Selama perjalanan aku sengaja mengabaikan driver taxy online yang terus - menerus menatapku dengan pandangan ngeri melalui kaca spion tengah. Mungkin karena melihat keadaan kacauku. Dalam hati aku berharap, semoga saja driver itu tidak mengira aku korban penculikan karena pesan taxy di gedung tua, benar - benar mirip bocah terlantar.

Sepuluh menit kemudian, taxy online memasuki pelataran rumahku. Aku segera membayar dan turun. Berjalan ke undakan pintu utama, melewati foyer depan dan ruang tamu, kemudian mengarah ke ruang keluarga serta melewati dapur sebelum akhirnya naik ke lantai dua—tempat kamarku berada.

Belum juga langkah kakiku mencapai tangga, aku tidak sengaja melihat kakak dan kak Bella sedang berciuman di ruang keluarga. Mereka sedikit kaget ketika melihatku lewat dengan wajah tertutup kedua tangan dan terus berjalan sambil berkata, "sorry, nggak liat kok, lanjutin aja, anggap aja angin lewat."

Mungkin untuk menutupi rasa malunya, kakak bertanya, "woi bocah! Mana Jayden?"

Aku ingin berteriak 'DI NERAKA!' tapi tidak jadi. Selain tidak ingin di tanyai macam - macam, aku juga tidak ingin kakak bertengkar dengan sahabatnya jikalau mengetahui tentang hal ini. Kakakku itu paling tidak bisa melihatku menangis. Ia akan mengorek dan mencari tahu penyebabnya lalu akan menangani persoalnya tanpa pandang bulu. Jadi yang kulakukan adalah terus berjalan naik ke kamar dan mengunci pintu. Kemudian baru menjatuhkan diri telungkup ke kasur dan melanjutkan acara menangis. Kepalaku kututup dengan bantal agar tidak terdengar kakak mau pun seluruh penghuni rumah ini. Aku bahkan tidak peduli dengan ransel mini yang masih menggantung di punggungku.

"Berandalan brengsek!" teriakku sekencang - kencangnya untuk meredakan emosi namun bantal mampu meredam suaraku dengan baik. Sebelum akhirnya memutuskan bangkit dan erjalan ke arah cermin untuk membuang ransel dengan asal, melepas outer serta turtle neck. Seketika tanda laki - laki itu di sekujur leher dan dadaku terlihat dari pantulan cermin. Bukan hanya hickey saja yang terlihat, rasanya aku juga dapat melihat bayangan apa yang kami lakukan tadi siang di apartement-nya. Hanya selama beberapa detik seperti putaran film.Namun dengan cepat, rasa sedih dan kecewa kembali merayapi tubuhku.

Aku mencoba menghilangkan tandanya yang ada di mana - mana. Menggosoknya dengan tangan secara kasar hingga kulitku berwarna merah tapi tak kunjung hilang. Yang ada malah sedikit menjadi lecet.

"Brengsek! Berangdalan brengsek!" umpatku berkali - kali sambil menangis.

Padahal aku tahu, dan pernah mencari tahu tentang cara menghilangkan hickey di Internet kemarin. Tapi entah kenapa hatiku berlainan dengan otakku. Di saat otakku memerintahkan untuk menghapus tanda - tanda itu, sebagian hatiku tidak merelakannya.

Untuk itu kuputuskan untuk mandi. Siapa tahu dengan berendam di jacuzzi di penuhi garam mandi aroma vanilla dapat mengikis tanda maha karyanya—yang kutahu memang tidak bisa. Aku hanya ingin menolak keinginan hatiku untuk mempertahankan tanda itu dengan cara ketidak mungkinan.

Jakarta, 8 Januari

19.30 p.m.

Ddddddrrrrrrrrtttttttttt

Ponsel dalam ransel mini bergetar. Dan aku tidak ingin menerka - nerka siapa yang menelpon atau mengirim pesan. Sudah kutuskan dalam hati. Walau pun sangat berharap, tapi jika dari laki - laki itu, aku tidak akan sudi mengangkatnya.

Tampaknya memang kekecewaan berkomplot dengan baik, saat aku melihat layar ponsel, bukan laki - laki itu yang menelpon, melainkan pesan dari Karina dan kak Jordan. Aku praktis mengembuskan nafas berat lalu membaca pesan  tersebut satu persatu. Di mulai dari pesan Karina.

From my best Karina :

Jangan lupa sabtu ini! Awas kalo nggak dateng!

Ada apaan sabtu ini? Dateng ke mana? Batinku. Sembari berpikir ada apa, kuputuskan beralih membaca pesan dari kak Jordan.

From J ❤ :

Gue di undang ke acara ultahnya Karina sabtu ini, yuk ke sana bareng.

Aku baru paham sekarang. Sahabat macam apa aku ini? Bagaimana bisa lupa ulang tahun sahabatnya sendiri?

Saat akan mengirim pesan balasan pada Karina, aku teringat nama kak Jordan yang kutulis di kontak ponselku. Kemudian memutuskan untuk segera menggantinya. Bagimana pun juga aku tidak ingin laki - laki itu salah paham dengan kak Jordan.

Ah, kenapa aku malah memikirkan perasaannya yang tidak memikirkan tentang perasaanku sama sekali? Mel, fix, lo idiot!

Tapi  tetap saja, dengan mengganti nama kak Jordan, perasaanku menjadi lebih baik. Sebelum beralih membalas pesan Karina.

To my Best Karina :

Gue pura - pura amnesia

Setelahnya aku beralih ke pesan kak Jordan sambil menimbang apakah harus menerima ajakannya? Tapi bagaimana jika laki - laki itu...

Ck, udahlah, dia nggak mikirin lo. Lagian dia sekarang lagi ama mbak - mbak sexy. Kenapa lo nggak terima aja ajakan kak Jordan? Toh cuman berangkat bareng, bukan pelukan kayak dia. Batinku menginterupsi. Mengingat mereka berpelukan kembali membangkitkan rasa sakit hatiku.

Bener! Lagian cuman berangkat bareng! Apa salahnya?!

Sebelum jempol - jempolku aktif bergulir ke layar ponsel untuk mengetik balasan kak Jordan, pesan dari Karina lebih dulu tampil.

From my Best Karina :

Gue ngundang kak Jordan juga kok

Sekali lagi aku menghembuskan nafas berat. Memutuskan mengabaikan pesan dari Karina dan beralih ke pesan kak Jordan lagi. Tanpa pikir panjang—karena sedang sakit hati pada laki - laki itu—aku mengiyakan ajakannya.

Jika ia bisa di peluk wanita lain—yang bahkan sempat kulihat ia membalasnya—di depan mataku sendiri, kenapa aku tidak boleh berangkat ke pesta Karina bersama kak Jordan? Toh hanya berangkat bersama, bukan pelukan atau aneh - aneh seperti lelaki itu.

Jakarta, 9 Januari

01.04 a.m.

Tengah malam aku terbangun karena tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Aku melihat jam di dinding yang baru pukul satu malam. Lalu mengecek ponsel. Dan nihil, tidak ada pesan mau pun panggilan dari laki - laki itu.

Kenapa dia sama sekali nggak khawatir ama gue?

Aku mengerung. Aku tidak bisa mencegah diriku sendiri saat berpikiran aneh - aneh tentang lelaki itu. Dan itu membuat hatiku jadi semakin sakit. Air mataku keluar lagi. Sialan!

Malam itu aku menangis lama sekali hingga lelah dan ketiduran. Alarm pukul enam pagi—yang masih tersetel seperti hari kemarin—menyala, membangunkanku yang baru saja terpejam. Dengan malas aku mematikannya dan berusaha tidur kembali, tapi kak Brian tidak menginjinkanku dengan suara ketukan pintunya.

Tok tok tok

"Dek, bangun!"

Aku mencoba mengabaikannya dengan menutup kepalaku menggunakan bantal jumbo.

Ceklek ceklek ceklek

Terdengar suara kak Brian yang tampaknya memaksa masuk.

Ceklek ceklek ceklek

Demi neptunus aku butuh ketenangan!

Dengan berat hati—selain takut handle kunci pintu kamarku di rusak juga karena ingin mengomelinya—akhirnya aku membukakan pintu. Dan kak Brian yang melihatku langsung kaget.

"Astaga kenapa mata lo bengkak gitu?" pekiknya ngeri sekaligus penasaran. "Siapa yang bikin lo nangis?!"

"Abis baca Autumn in Paris," dalihku. Jelas mengandung kekesalan dalam kalimatku karena merasa sanhat terganggu. Tapi memang dasar kakak, mana ia peka?

"Ck, novel itu terus nggak bosen apa? Kalo Jayden liat muka lo kayak gini, kabur dia."

Gue yang kabur kak, bukan dia. Sohib lo juga nggak ngejar atau bahkan nggak ngasih kabar sama sekali.

"Mau apa sih pagi - pagi ganggu orang tidur aja," tanyaku dengan nada yang sama sekali tidak ramah dan pandangan yang kuusahakan menusuk. Walau rasanya tidak nyaman karena mataku bengkak.

"Ck, sensi amat pagi - pagi! Tuh Daddy pulang, bawa bule."

"What? Kenapa lo nggak bilang dari tadi sih? Mana?" tanyaku yang sekarang sudah ganti celingukan melihat keluar kamar.

"Noh, di ruang tamu bawah!" jawab kak Brian sambil menunjuk bawah dengan jempolnya.

Aku tidak mengikuti petunjuk kakakku melainkan memikirkan sesuatu. Tidak biasanya Daddy pulang mengajak seseorang, pasti orang itu sangat penting bagi daddy. Penting dalam artian nyaman, bukan menyangkut pekerjaan. Kenapa aku tiba - tiba sedih karena tidak sengaja teringat Gamelita?

"Eh kenapa lo? Kok mewek sih?"

Kak Brian panik, ia segera  mendorongku masuk, menutup pintu, dan mendudukanku—yang sedang menangis sesenggukan—di kasurku sendiri.

"Kenapa sih dek?"

Kenapa? Mungkin karena daddy sudah punya pasangan lagi. Mungkin karena aku takut daddy nikah dengan bule itu yang sifatnya mungkin seperti Gamelita. Mungkin karena aku takut berakhir seperti laki - laki itu.

Itu semua hanya alasan yang di karang oleh otakku. Walau pun sebagian itu kebenaran, tapi kala mengingat lelaki itu, air mataku mengucur sendiri akibat mengingat kejadian kemarin. Dan karena laki - laki itu tidak ada kabar sama sekali. Aku jadi merasa seperti jeruk, habis manis sepah dibuang.

Tapi aku tidak bisa mengatakan itu pada kak Brian dan memilih mengarang alasan yang lebih masuk akal serta ada kaitannya dengan ini. "Gue masih pengen monopoli daddy, gue belum rela punya mommy baru," rengekku sambil mengusap air mata dengan punggung tangan.

Mendengar alasan yang kuberikan, kak Brian sontak melepas napas berat kemudian memeluk serta mengusap punggungku sambil berkata, "kok lo jadi cengeng gini sih, biasanya kagak, kecuali baca novel Paris - Paris itu sih."

"Gimana kalau bulenya jahat kayak di film - film kak?"

"Ck, kebanyakan nonton film lo! Belom kenal juga! Tapi bule itu pasti pemikirannya lebih terbuka dek, jadi kita harusnya nggak boleh egois sama daddy."

Laki - laki itu juga awalnya berpikir positive tentang Gamelita, tapi sekarang apa yang di dapatkannya?

"Buruan mandi, daddy ngajak kita sarapan di luar," lanjut kak Brian selepas pelukannya sambil keluar kamar utnuk membiarkan aku mandi.

Sekali lagi aku menghembuskan nafas berat perlahan, mulai mandi.

Jakarta, 9 Januari

07.30 a.m.

Setengah jam kemudian, aku bergabung dengan kakak, daddy, dan bule itu di ruang tamu.

"Sweety, sini, kenalin ini Amanda Cabral," ucap daddy kemudian mengalihkan pandangannya dariku untuk menatap bule yang duduk di samping beliau. "Amanda this is my daughter, Melody," lanjut daddy begitu melihatku sudah duduk di sofa berlengan di ruang tamu. Aku dapat melihat senyum beliau mengembang.

"Hai, Miss Cabral," sapaku sambil memaksakan senyum senatural mungkin.

"Melody, Just call me Amanda."

"How do you do Amanda?"

"Saya bisa bahasa Indonesia kok."

"Oh great," ucapku sambil melirik kak Brian yang hanya diam mirip manekin toko baju.

Well, seperti yang di katakan kak Brian, pagi ini kami sarapan di luar sambil berbincang. Atau lebih tepatnya daddy dan Amanda yang saling berbincang, sedangkan aku dan kakak hanya diam, kadang sesekali menanggapi. Aku juga memperhatikan raut wajah daddy yang keliahatan bahagia.

Itu malah membuatku semakin tidak enak. Lalu aku melihat ponsel dan berkata, "maaf, saya ada urusan mendadak, sampai jumpa lagi." mengagguk hormat kemudian pergi meninggalkan meja kami.

Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku hanya sedang tidak ingin berusaha beramah tamah atau sekedar berbasa - basi, atau berpura - pura turut bahagia melihat mereka. Hatiku juga sedang kacau. Tanpa sadar aku malah sudah berada di depan apartement lelaki itu, memencet bel, menunggu dan wanita sexy kemarin—hanya mengenakan handuk—yang membuka pintunya.

_____________________________________________

Thanks for readong this chapter

Thanks juga yang udah nyempetin baca, vote dan komen

See you next chapyer teman temin

With Love

©®Chacha Prima

👻👻👻

Revisi : 15 Mei 2020


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C18
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login