Selamat datang di chapter 15
Buat diri kalian nyaman saat membacanya
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
_____________________________________________
When I was a good, no one cared
Now I'm bad, everyone pointing out their finger...
••Bad Boy••
_____________________________________________
Jakarta, 8 Januari
12.05. p.m.
Aku yakin itu suara Jayden, dengan penasaran aku mengintip dari celah pintu dan melihatnya bersama seseorang. Aku tidak dapat melihat orang itu karena tubuhnya terhalang Jayden. Tapi ketika ia menyebut nama, "Jayden." Aku yakin itu adalah suara perempuan.
Atau dugaanku salah, suaranya lebih ke arah wanita dewasa. Tutur katanya tertata seperti seorang Lady. Tidak seperti bahasaku yang sekacau bayi.
"Jangan emosi, kita bisa bicara baik - baik," tukas wanita itu sangat lembut, sampai - sampai aku iri padanya. Mungkin beliau adalah wanita kedua terlembut setelah kak Bella.
"To the point, apa mau Anda?" Kali ini terdengar suara Jayden yang tidak berteriak tapi dari getsture-nya seperti masih menyimpan sisa - sisa emosi.
"Papa, minta kamu pulang Jay," ucap wanita itu lagi.
Papa? Aku memepertanyakan dalam hati kemudian mengingat sesuatu. Dulu saat berada di Paris, Jayden pernah cerita jika keluaragnya tidak seharmonis keluargaku. Mendengar wanita itu berkata demikian, hatiku semakin bertanya - tanya. Apa ini masalah keluarga? Apa hubungan Jayden dengan wanita itu? Apa wanita itu termasuk kerabatnya? Kenapa Jayden di minta untuk pulang? Bukankah ini adalah rumah pribadi Jayden? Apa orang tua Jayden tidak setuju jika ia tinggal di apartement sendirian? Tapi kenapa?
Harusnya aku tidak mendengarkannya bukan?
Tapi memang dasar sifat keingintahuanku tinggi, menjadikanku penguping terbaik di dunia seperti saat ini. Aku harus menuntaskan apa yang baru saja kudengar. Atau aku akan terus menggigiti kukuku sepanjang hari karena penasaran.
"Kemaren pesta topeng, sekarang pulang? Di mana letak otaknya?!" Jayden bertanya dengan nada mencemooh.
Dan aku tidak tahu jika laki - laki yang kini sudah mengepalkan tangan, ternyata bisa mengatakan hal seperti itu terhadap papanya. Aku tidak ingin menggurui. Tapi bukankah seharusnya ia menghormati orang yang lebih tua? Terutama seorang Lady—lawan bicaranya saat ini? Dan cara bicara mengenai papanya?
"Jay, tolong maafin papamu, papamu nggak ada maksud—"
"In reality I trust!" potong Jayden cepat. Kata - katanya tegas, seperti tidak terbantahkan. "Kalau cuma itu yang pengen Anda omongin, silahkan pergi, pintunya di belakang Anda, nyonya Gamelita."
Aku bisa mendengar bunyi sepatu wanita itu yang beradu dengan lantai marmer setelah Jayden menyelesaikan kalimat tersebut. Namun hanya beberapa langkah, sebelum akhirnya wanita itu berkata, "papamu nggak bakalan seneng kalau tahu kamu masih ke tempat balapan lagi."
Seakan tidak terpengaruh oleh apa yang wanita itu katakan, Jayden tetap bersikeras mengusir. "Silahkan pergi nyonya, atau saya congkel mata Anda hidup - hidup."
Aku bergindik mendengar ucapannya barusan. Karena Jayden yang mengucapkannya, itu seperti terasa menyesap ke pori - pori hingga ke tulang. Aura gelap yang selama ini menyelimuti dirinya menambah kesan menyeramkan berkali - kali lipat.
Aku bersingkut di balik pintu dengan perasaan campur aduk ; takut, sedih, kecewa, juga iba melihatnya seperti ini. Aku tahu ini bukan urusanku tapi rasanya tidak tepat membiarkannya menanggung beban ini sendirian. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa di jadikan tempat berbagi cerita hanya sekedar untuk meringankan beban di pundaknya. Melihat keadaaan Jayden, rasa simpatiku bertambah. Untuk lelaki seusianya, mungkin waktunya mencari jati diri atau bersenang - senang, bukan menanggung masalah keluarganya seperti ini—menurutku.
Dddddddrrrrrrttttt
Suara ponsel dalam ransel mini yang kuletakkan di sofa depan TV bergetar—memecah lamunanku. Masih di balik pintu dan menyintip dari celahnya, aku melihat Jayden sudah mengambil ponselku dan menjawab panggilan telpon—entah dari siapa.
"Dimana?" tanya Jayden. Nada yang ia gunakan sudah normal. Normal dalam artian datar. Karena nada datar itu adalah nada normal Jayden.
"..."
"Gue kesana sekarang." Lalu ia menutup telpon, berjalan menuju kamar mandi—mungkin untuk mencuci muka.
Dari pengamatanku, sepertinya Jayden mengenal orang yang menelponku. Dan satu - satunya yang terintas di pikiranku hanya kak Brian.
Memikirkan kembali bagaiamana keadaanku sekarang yang masih seperti idiot—tidak melakukan apa - apa dalam kamar lelaki itu selain mengintip—aku terkesiap saat mendengar langkah Jayden mendekat ke kamar. Praktis syaraf di otakku bekerja lagi untuk segera bangkit berdiri menjauh dari pintu. Cepat - cepat memakai outer YSL-ku, mengambil sembarang buku di rak atas kasur dan duduk, pura - pura membaca dan ketika pandangan kami bertemu, aku memasang wajah pura - pura tidak tahu apa - apa tentang apa yang baru saja terjadi.
"Brian udah telpon, ngajakin makan," katanya—sesuai dengan prediksiku—dengan nada datar seperti biasanya, seperti tidak terjadi apa- apa. Jauh berbeda dengan nada penekanan yang ia gunakan untuk berbicara dengan wanita yang ia sebut sebagai Gamelita tadi.
"Oh ayo kita makan siang," kataku berusaha seriang mungkin. Tidak ingin membebaninya dengan pikiran penasaranku. Dan aku sangat menahan diri untuk tidak menggigiti kukuku saat ini.
Tampaknya Jayden juga tidak ingin membahas masalah ini. Walau pun penasaran setengah mati, namun jika ia tidak ingin menceritakannya, maka aku akan memilih menjadi bisu untuk tidak menanyakan hal tersebut. Meski kukuku akan berakhir bocel - bocel. Tidak masalah. Aku ingin Jayden selalu nyaman berada di dekatku. Tapi jika sebaliknya, aku dengan senang hati dapat menjadi pendengar yang baik.
Untuk beberapa saat, Jayden terlihat menghembuskan napas berat yang singkat.
Dan kau tahu apa yang kulakukan? Dasar memang kadang hati dan pikiran tidak singkron, aku yang sudah meletakkan buku tebal kembali ke rak, malah berdiri menghampiri Jayden dan memeluk laki - laki beraroma mint itu. Menenggelamkan wajah di dada bidang Jayden dengan harapan dapat memberikan kenyaman padanya tapi entah kenapa malah justru terlihat menyedihkan.
"Hei ngapain?" tanyanya heran tapi ikut mekingkarkan lengan - lengan kekarnya dengan maksud membalas pelukanku.
Di dalam pelukan Jayden, aku menjawab, "pengen meluk aja, nggak boleh ya?"
Jantung Jayden berdegup lebih kencang dari normal. Aku bisa mendengar itu sebelum akhirnya ia menyahut, "boleh, selamanya juga boleh."
Menurutku ini terbalik. Bukan aku yang menenangkan Jayden, tapi justru suntikan kalimat laki - laki yang hembusan napasnya dapat kurasakan di sekitar kepalakulah yang malah membuatku tenang.
Selewat beberapa saat, kuputuskan untuk memilih topik yang lain. "Oh ya, gue penasaran sama pemutar musik classic itu, bisa kita muter itu dulu? Cuma satu lagu doang kok, abis itu kita makan, please," pintaku yang kini mendongak untuk menatap kedalaman matanya dan menunjuk arah luar kamar dengan posisi masih saling berpelukan. Sebenarnya, aku berusaha untuk mencoba mengalihkan emosional Jayden.
"Anything for you," katanya datar, mirip suami yang pasrah ketika di ajak shopping istrinya.
Jadi, kami sepakat melepas pelukan dan keluar kamar menuju pemutar musik classic tersebut.
"Lagu mana yang lo suka?" tanyaku ketika sudah beridri di depan pemutar musik itu sambil melihat - lihat judul albumnya lagi.
"Yang ini," kata Jayden. Ia menunjuk salah satu kepingan musik yang masih berada di deretan rak sebelum akhirnya mengambil salah satu piringan musik album milik Queen—yang ia tunjuk tadi. Kemudian memasang piringan hitam itu ke alat musik dan praktis Love of My Life mengalun dengan merdu.
Senyumku mengembang dan berpikir jika lagu ini cocok untuk berdansa. Sambil menikmati lagu tersebut, tubuhku bergerak—menari—menyesuaikan lagu.
Kuamati Jayden yang hanya memperhatikanku dengan raut wajah tidak dapat di baca. Sesaat setelah itu, tanganku terulur padanya.
"Would you like to dance with me, my princess?" ajakku menirukan kata - kata ala formal kerajaan dengan sedikit dilebih - lebihkan—sengaja ingin menghibur laki - laki yang kini tengah dilanda keheranan.
"My princess?" tanya Jayden. Mengira aku salah ucap.
"Pssstttt, anggap aja gue pangerannya dan kakak putrinya. Yuklah my princess." Tanganku masih terulur, menunggu Jayden menyambutnya. Ia sempat tersenyum sedikit dan menggeleng karena kekonyolanku. Namun di rasa tangan besar dan hangat itu tidak kunjung meraih tanganku, jadi kutarik tangan Jayden dengan keras.
Kau tahu, aku tidak mengajakknya berdansa romantis seperti di film - film. Aku malah mengajaknya menari tidak jelas. Menggila, berusaha membuatnya tersenyum and I did it.
"Konyol," kata Jayden yang tidak dapat menahan senyum karena tarian gilaku. "Lagu ini nggak cocok buat joget nggak jelas kek gini, coba yang ini," kata Jayden lagi yang kini tengah mengambil piringan lagu The Smith yang judulnya There is a Live is Never Goes Out. Selesai lagu tersebut, ganti Bon Jovi yang judulnya Bed of Roses yang sekarang menjadi penghuni alat pemutar musik classic tersebut. Ia bahkan ikut bernyanyi.
"Bukannya lagu ini harus punya suara kayak Judika ya?" tanyaku menduga - duga kala teringat seperti pernah mendengar lagu ini.
"Iya, tapi gue bisa. Your boyfriend is multi talents," katanya bangga sambil menunjuk dadanya sediri. Sejenak aku membayangkan seandainya Jayden menepuk dadanya mirip Samson, mungkin aku adalah orang pertama yang tertawanya paling keras.
Dengan wajah di sombong - sombongkan, aku menantangnya. "Oh ya buktiin dong."
Tidak butuh waktu lama Jayden menyelesaikan tantanganku. Ia mengawali nyanyiannya dengan berdehem terlebih dahulu. "I wanna lay you down in the bed of roses, for the night I sleep on a bed of nails."
Jayden bernyanyi langsung dengan nada tinggi persis Bon Jovi, tapi dengan suara khas Jayden—berat dan dalam. Mungkin karena tidak pemanasan pita suara dan langsung indro nada tinggi, pada akhir lagu ia terbatuk. Membuatku tidak tahan untuk tidak menertawainya. Jayden menyusul dengan tawa lepas.
Dan pada akhirnya bukan hanya satu lagu yang di putar, tapi lima.
~~~
Jakarta, 8 Januari
13.07 p.m.
Kami berhenti di depan kampus Jayden—tempat janjian makan siang bersama kakakku dan kak Bella. Pandanganku menyapu ke luar kaca jendela mobil dan sedikit terkejut karena melihat pasangan kekasih tersebut yang duduk nyaman di kursi plastik depan grobak biru yang bertuliskan 'bakso dan mie ayam pak Man.'
"Apa kita makan di situ?" tanyaku implusif pada Jayden yang sedang menurunkan hand rem.
"He'em," jawab laki - laki itu singkat.
Sekali lagi aku melihat ke arah kak Brian dan kak Bella yang tampak nyaman dan sudah terbiasa duduk di sana. Walau demikian, kegamangan tidak dapat kucegah ketika menyusupi pikiranku.
Dengan ragu, aku turun dari mobil mengikuti Jayden yang menatapku sekilas. "Tenang, bakso sama mie ayamnya juara," katanya berusaha menenagkanku saat mempersilahkanku duduk di kursi plastik depan gerobak bakso dan mie ayam Solo Pak Man. Sedangkan laki - laki itu sendiri menghampiri dan berdiri sejajar dengan sang penjual yang kuyakini bernama pak Man.
Melihat ada seseorang yang berdiri di sebelah beliau, pak Man tersenyum. "Eh mas Jayden, lama ndak ketemu mas," sapa penjual itu dengan logat jawa khas medhok. Aku sedikit terkejut karena pak Man mengenal Jayden. Bahkan mereka terkesan sangat akrab.
Aku dapat menyimpulkan demikian karena siapa pun yang pertama kali melihat Jayden pasti akan takut dengan aura laki - laki itu. Sedangkan pak Man tidak.
"Sibuk, kayak biasanya pak, dua porsi," jawab Jayden sebelum duduk di kursi plastik warna merah bergabung denganku, kak Brian dan kak Bella.
"Kalian lama banget, abis ngapain sih?" goda kak Bella.
"Biasa, urusan dewasa," jawab Jayden enteng menekan kata 'dewasa' dengan tangan membentuk tanda kutip, yang langsung kuberi hadiah pukulan di lengannya pelan, sedangkan kak Brian sudah melotot ingin mengamuk seperti singa kelaparan. Kak Bella malah cekikikan melihat wajah merahku yang seperti kepiting rebus.
"Jay, inget adek gue masih bau kencur!" teriak kak Brian hampir melempar kursi plastik ke Jayden. Sedangkan orang yang yang akan di lempar santai - santai saja. Malah menyalakan rokok.
Kakak tenang setelah kak Bella mengelus punggungnya. Dasar bucin.
"Ck, ngerokok terus sih?" tanyaku mulai sebal melihat Jayden merogoh kantung celana ripped jeans untuk mencari korek api. Sedangkan seputung rokok sudah terselip di antara bibir merah tuanya.
"Yang tadi kurang," jawabnya enteng kemudian menyalakan rokoknya.
"Ya bagus dong di kurangin dikit - dikit, kok malah ngerokok lagi?" kataku sekaligus bertanya.
"Ciumannya maksudnya, tadi kurang, makanya gue ngerokok lagi, pengganti ciuman lo."
"Jaaayyydddeeeeennn!" teriakku dan kak Brian kompak.
Kak brian yang semula sudah tenang, kini mengangkat kursinya lagi. Tapi tentu di cegah kak Bella yang masih cekikikan. Sedangkan aku? Lebih memilih menutup wajah dengan ransel karena malu.
"Jadi itu alasan kamu panas - panas gini pake turtle neck?" bisik kak Bella yang langsung mebuatku blushing dan mengkode agar tidak menceritakan ke kak Brian. "Ok santai," katanya.
"Abis makan, Mel langsung pulang sama gue." Pernyataan kak Brian. Nadanya tegas.
"Aku gimana Yank?" protes kak Bella.
Mendengar kekasihnya, kak Brian seperti teringat sesuatu. "Oh iya Yank, hehe," katanya sambil nyengir kuda.
"Gue masih pengen pinjem adek lo," kata Jayden sambil smirk smile dan merokok.
"Awas aja lo kalo macem - macem ama adek gue!" Ancam kakakku dengan mengacungkan kepalan tinjunya ke arah Jayden.
Sedangkan yang menjadi objek pembicaraan? Hanya diam saja sambil menikmati mie ayam yang ternyata enak sekali.
"Paling cuma making out doang," ungkap Jayden santai. Kak Bella sampai tersedak bakso.
Dan kak Brian kembali uring - uringan. "Apaa? Sini gue gorok lo!"
Senyum jemawa terlintas di susut bibir Jayden dan menjawab kak Brian. Lagi - lagi dengan gaya santai khas Jayden. "Kayak bisa aja gorok gue."
Lalu para lelaki ribut sendiri. Aku yang tidak tahu penyebab kakak marah karena ucapan Jayden pun menanyakan hal itu pada kak Bella. "Kak Bel, making out apaan sih?"
Mendengar pertanyaanku, kak Bella langsung menepuk jidatnya sendiri."Mel, mending kamu pake baju zirah kalo lagi sama Jayden."
"Ha?" tanyaku bingung.
"Astaga yang satunya berandalan, yang satunya polosnya kebangetan. Cocok dah kalian," gerutu kak Bella sambil menyerutput es jeruk manisnya.
_____________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah nyempetin komen dan vote
Kelan luar biasa
See you next time teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Revisi : 3 Mei 2020