Download App
84.84% Ai no Kiseki / Chapter 28: BAB 28

Chapter 28: BAB 28

Rolls-Royce putih metalik memasuki halaman keluarga Uzumaki, dan keluarlah dari sana Hikari dengan gaun terusan selutut dan mantel berwarna gelap, berkerah bulu-bulu lembut. Hikari turun hati-hati ketika seorang pembantu wanita menerima uluran tangannya yang terbungkus oleh sarung tangan beledu ringan. Asisten wanitanya membawa bingkisan kecil yang diserahkan ke pembantu keluarga Uzumaki lainnya.

Dari dalam, Mito menyambutnya dengan senyuman, lalu membungkuk sebagai rasa hormatnya, dikunjungi oleh bangsawan seanggun Hikari, senyumannya terlihat tulus dan menyejukkan Mito. "Tidak perlu repot-repot sampai membawakan sesuatu."

"Itu hanya bingkisan kecil dariku. Kudengar kau sangat menyukai bermacam teh. Jadi, aku bawakan jenis yang benar-benar favorit bagi keluarga kami." Hikari memberitahu, kali ini dia melepas sarung tangannya, dan tentu saja kemudian dengan topi kecilnya berwarna senada, persis seperti gaunnya berwarna putih pucat. "Kau tahu apa yang aku inginkan?"

Sebelum menunjukkan ke mana mereka harus pergi, Mito mengumbar senyum kecil. "Aku tahu apa yang kau inginkan." Ucap Mito.

"Aku tidak menutupinya dari suamiku, dan mungkin dia akan... sedikit murka mendapati aku kemari tanpa mempertimbangkan berulang kali untuk membawa Hinata pulang secepatnya, dan sebelum itu terlambat, aku memikirkan rencana."

Mito masih tersenyum, kemudian mempersilakan Hikari untuk melanjutkan jalannya. Diantarnya ibu Hinata menuju ke rumah kaca, di mana Naruto dan Hinata sudah ada di sana, tanpa gadis itu tahu bahwa ibunya ada di situ—lagi pula, Hikari sudah berpesan pada Mito kalau Hinata jangan sampai tahu kedatangannya ke tempat itu. Karena Hikari hanya ingin melihat dari jauh, apakah putrinya baik-baik saja bahkan menikmati kehidupan barunya.

"Silakan, kau bisa melihat dari ambang pintu rumah kaca. Hinata ada di dalam sana bersama cucuku, dan kau bisa menilai sendiri, betapa gadis itu menjadi dirinya sendiri di sini."

Hikari menengok ke dalam dengan perasaan waswas—dan tanpa disangka-sangka kemudian dia lega. "Putriku," suaranya bergumam lemah, matanya berkaca-kaca. "Dia tersenyum... sebahagia itu." Hikari mendekap kedua tangannya di depan dada. Kedua tangan yang bergetar, dia bahkan tidak bisa menahan tubuhnya yang rasanya akan limbung kalau dia tidak lebih kuat untuk menahan rindu serta rasa bahagianya.

"Ma'am, Anda tidak apa-apa?" bisik asisten Hikari di samping wanita itu yang kemudian mengangkat tangannya. Lalu, yang dilakukan oleh asisten Hikari, wanita berperawakan tinggi, ramping, berambut kuncir kuda itu langsung mundur ke belakang Hikari kembali.

Di tempatnya, Hikari melihat interaksi Naruto dan Hinata. Putrinya yang terlihat bebas untuk berbicara, tersenyum, dan bersikap. Sekarang Hikari mengerti, apa yang dikatakan oleh Neji dan Hanabi tadi malam secara bersamaan di ruangan pribadinya, tanpa sepengetahuan suaminya, dan mereka benar, bukan sebagai cerita penuh kebohongan, bahwa putrinya dan laki-laki dari Uzumaki itu pun saling memiliki perasaan yang menyatu. Dan Neji berkata padanya. "Bu, Hinata sangat menyukai laki-laki itu, Mrs. Shiori pernah menamparnya karena kasus salah paham, dan membuat hubungan mereka sedikit renggang, aku tahu semua itu dari surat Hinata yang aku bakar."

"Mengapa sampai kau perlu membakar surat-surat itu?" dengan nada cemas, Hikari bertanya pada Neji saat itu.

Neji mengangkat wajahnya, anak laki-lakinya terlihat sangat lemah, bahkan sepertinya tidak sanggup untuk menjalani hidupnya. Hikari mengerti, bahwa putranya merasa begitu tertekan oleh apa yang digariskan kepadanya. Dan hanya pada Hikari, Neji selalu terbuka dalam segala sesuatunya—pengecualian ketika masalah Shion hamil anaknya—karena sebenarnya yang sering kali Neji beritahukan, jika dia tidak sanggup lagi untuk tetap berada di dalam keluarga Hyuuga.

"Pada saat itu ibu bahkan takut pada sikap ayah, aku pun memiliki perasaan semacam itu. Kita semua takut, dan kita mulai memiliki tujuan yang sama, untuk melindungi Hinata. Bagaimana jika ayah menemukannya, mengingat dayang-dayang di rumah ini sangat patuh pada ayah, mereka adalah telinga ayah. Dan, jika saja ayah benar-benar menemukan surat itu, Hinata pasti akan mendapatkan hukuman.

"Kita harusnya tidak boleh lupa pada sistem kuno di rumah ini sudah seperti sistem kerajaan di zaman-zaman di mana etiket kebangsawanan begitu sangat menggelikan, wanita hanya sebagai objek pemersatu negeri, tunduk pada suami, ya mungkin beruntung kalau para janda tidak harus mati bersama suaminya di masa kini, setidaknya sistem konyol itu tidak ada. Aku tentu saja tidak mau memikirkan bahwa Hinata akan mendapatkan cambukan rotan dari ayah, bahkan menyebut putrinya sendiri mungkin dengan sebutan yang tidak masuk akal, hanya karena surat-surat penuh ungkapan perasaan tulus seorang gadis. Hinata tidak mencoreng nama keluarganya dengan itu.

"Bahkan kita semua tahu, jika Hinata yang membuat satu kesalahan saja, akan menjadi besar, dia tidak dapat memilih apa yang menjadi haknya, atau apa yang diinginkannya. Ayah membenci Hinata karena dia memiliki semua yang harusnya dimiliki anak laki-laki di keluarga itu."

Kemudian, Hanabi menimpali dengan sikap anarkisnya—ucapan-ucapan yang seharusnya tidak boleh diucapkan seorang wanita di keluarga itu. "Memang sialan, aku ingin keluar dari tempat jahanam ini!" Hikari tentu saja tidak mencegah ucapan tidak sopan itu keluar karena dia berada dalam situasi yang sebenarnya ingin memaki, tetapi pada akhirnya dia hanya terdiam karena menjaga harga dirinya sebagai istri Hiashi.

Keluar dari area rumah kaca, Mito membimbing Hikari masuk ke perpustakaan pribadinya yang hampir lantainya dilapisi oleh permadani berwarna cokelat tua. Interior ruangan itu seperti perpustakaan Inggris, rak-rak kayu cokelat menguasai hampir seluruh ruangan. Dan di tengah terdapat meja bundar, empat kursi yang mengelilingi meja. Mereka berdua duduk di sana.

Berhasil duduk, dan butuh setidaknya tiga menit untuk membiasakan diri di pertemuan dadakan itu. Hikari akhirnya mengeluarkan kembali suaranya. "Kupikir, mereka berdua harus pergi ke suatu tempat yang jauh—jangan berada di Jepang, aku merasa suamiku bisa saja datang ke tempat ini dengan sangat tidak sopan."

"Jadi..." Mito memotong ucapannya, wajahnya kini terlihat menggoda, tidak menanggapi apa yang dikatakan Hikari serius. "Apakah kami perlu mempersiapkan pasukan?"

Hikari membuang tawanya. "Seperti perang antar negara, tapi kurasa memang seperti itu."

"Kami bahkan tidak pernah tahu pastinya sistem keluarga kerajaan di Jepang, walau kami mempelajarinya bertahun-tahun karena tuntutan status kami seorang diplomatik." Kata Mito, terdiam sejenak, dan kembali melanjutkan ketika pembantu wanitanya selesai menghidangkan teh dan kudapan di atas meja bundarnya. "Mengapa—setidaknya berikan alasan pada kami, mengapa Hinata harus menjadi seperti ini?" Hikari menjatuhkan air matanya, dia sangat lemah, lemah sekali sampai harus menangis terlebih dahulu karena hal tersebut adalah bagian dari gangguan emosinya.

Selesai menyapu air matanya. Hikari menarik napasnya. "Putriku memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Suamiku tidak menyukainya, dia lebih menyukai putra kami. Sejak kecil dia menunjukkan sikap-sikap kepemimpinan, dia bisa melakukan apa pun yang harusnya dilakukan oleh anak laki-laki untuk menjadi pemimpin—sementara kakak laki-lakinya tidak bisa melakukan semua yang diinginkan oleh ayahnya, dia sedikit lambat untuk memahami apa yang sudah diterapkan dalam keluarga kami.

"Hinata sangat berjiwa kuat dan tidak mudah menyerah. Suamiku tidak pernah menyukai itu, dia ingin menghapus Hinata dari kenyataan itu, dia memiliki tekad seorang anak laki-laki. Namun suamiku, tidak pernah menyukai perempuan setara dengan laki-laki, karena itu bisa menghancurkan keluarga kami. Suamiku hanya ingin Hyuuga tetap dipimpin seorang laki-laki." Hikari menjelaskan, wanita itu kembali becucuran air mata.

"Bukankah, jika Hinata menikah dengan cucuku, suamimu harusnya merasa senang karena Hinata tidak terlibat ke dalam keluarga kalian lagi. Sepenuhnya gadis itu akan berada di keluarga kami."

"Bawalah dia pergi," Hikari merestui—tentu saja, mengingat kondisi Hinata yang jauh lebih baik berada di tempat ini, dan berada di sisi lelaki itu. "Tolong, bawa dia pergi dari Jepang. Lindungi putriku."

Mito menangkap tangan Hikari yang dingin. "Kami akan membawanya pergi ke Inggris," Hikari terkesiap. "Desa Grasmere menjadi tujuan utama mereka, dan memulai kehidupan yang baru di sana. Ketika cucuku pergi ke Jepang, dia memiliki tujuan untuk memimpin perusahaan kakeknya, tapi yang dilakukannya," Mito tersenyum tulus. "Dia justru berkata padaku tadi malam, dia ingin menikah dengan Hinata, dan memberikan hadiah untuk gadis itu dari Bank Mata, kami sudah mendapatkan kornea yang cocok untuk Hinata."

Hikari terkesiap, air matanya kembali berjatuhan. Ia nyaris turun dari kursinya hingga bersujud untuk berterima kasih secara tulus dengan itu, tapi Mito mencegahnya secepat mungkin. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih." Hikari memegangi lengan Mito kuat-kuat. "Rasanya, ini masih tidak bisa kupercaya."

"Mereka akan berangkat nanti malam, dan sebenarnya Hinata tahu kalau—" Hikari mencermati Mito dengan pengakuan yang amat terkejut. "Hinata tahu kalau ibunya akan datang kemari."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C28
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login