Download App
40.74% PRINCESS OF MAFIA / Chapter 11: - 10 -

Chapter 11: - 10 -

"SAM!" teriak Felica mendekati tubuh besar ular itu.

"Cepat lepaskan bocah itu, Sam," kata White yang baru saja memasuki kandang Sam.

Ular raksasa itu hanya menatap White dalam diam, tetapi beberapa detik kemudian tubuh White terlempar dan menabrak kaca.

Brugh

"Sial, ular raksasa ini sampai sebegitunya merindukanku," gumam White sambil mengelap cairan merah di bibirnya.

"Sam, ayolah lepaskan Xavier. Kau bisa bermain dengan White setelah ini, aku akan menjauhkan Xavier darimu," rayu Felica, ular raksasa itu kini menatap Felica.

Terlihat tangan Xavier yang sudah mengepal, Felica yang menyadari itu dengan cepat menyuruh ular raksasa itu melepaskan Xavier sekali lagi.

"Ayolah, Sam. Jika kau tidak mau melepaskannya aku tidak akan datang lagi." Kini Felica tidak memiliki pilihan lain selain mengancam ular raksasa yang seperti anak kecil itu.

Sam langsung saja melempar tubuh Xavier tepat menimpa White yang sedang bersandar di dinding kaca.

Brugh

"Sial," umpat Xavier setelah tubuhnya menimpa White.

"Menyingkirlah, Bocah," desis White yang berada di bawah Xavier.

Xavier langsung saja bangkit dan melihat sedikit luka di perut dan punggungnya karena gigi ular besar itu menancap lumayan dalam. Cairan merah mulai terlihat dan menetes dari tubuh Xavier.

Felica yang melihat itu langsung saja berlari menghampiri Xavier dengan wajah cemasnya.

"Maaf aku terlambat menghentikan Sam," ujar Felica sambil membopong tubuh Xavier.

"Setidaknya aku tidak berlama-lama di dalam mulut ular raksasa itu. Dan lihat sesuatu yang lengket ini, ini menjijikan," jawab Xavier sambil menyibakkan tangannya dari air liur Sam.

"Bagaimana dengan luka-lukamu? Kau berdarah, lebih baik aku merawatmu sekarang." Felica langsung saja berjalan keluar kandang Sam sambil membopong Xavier.

Tetapi Sam menghalangi jalan Felica dengan tubuhnya yang kini menjulang tinggi di hadapan Felica. White yang melihat itu langsung bergegas bangun dan mendekati Felica.

"Sam, aku ingin berbicara padamu jadi lepaskan mereka," ucap White dengan wajah datarnya.

Ular besar itu mengerti yang dikatakan White, setelah itu ia menyingkirkan tubuhnya memberi jalan pada Felica dan Xavier. Felica melambaikan tangannya pada Sam, lalu berjalan keluar ruangan itu. Pintu kembali tertutup rapat dan kini Sam menatap murka pada White.

"Aku ingin memberikan tugas untukmu, tetapi kemungkinan besar kau akan mati. Apa kau mau menjalankannya atau tidak itu tergantung padamu," ucap White yang kini duduk di ekor ular besar itu.

Ular itu membuka mulutnya sedikit berdesis. White yang mengerti apa yang dikatakan ular besar itu mengangguk pasti.

"Ya, benar Rury tidak bisa melakukannya karena kemungkinan dia terbunuh lebih cepat sangatlah besar. Aku tahu kau bukan ular mutan yang kebal terhadap peluru atau apa pun, tetapi aku hanya bisa mengandalkanmu dalam masalah kali ini," lanjut White, ular besar itu hanya diam sambil menatap wajah White.

Beberapa menit hanya menatap dan tidak ada jawaban dari Sam, White mendesah lalu tertawa kecil.

"Hahaha, aku tahu kau pasti akan menolaknya." White bangun lalu beranjak keluar dari kandang ular besar itu.

Sam menatap White sekilas lalu masuk kembali ke dalam hutan buatan dengan lambat. Felica yang kini tengah membersihkan tubuh Xavier dari cairan merah yang mengental itu mendesah pasrah. Karena ternyata luka di punggung Xavier lumayan dalam dan harus dijahit.

"Luka di punggungmu harus dijahit, tetapi aku tidak bisa melakukannya," ucap Felica sambil menunduk, Xavier terkekeh melihat raut wajah Felica yang bersalah itu.

Xavier membersihkan tubuhnya di kamar mandi terlebih dahulu. Membiarkan darah terus mengalir dari punggung dan perutnya. Setelah selesai ia keluar mengenakan handuk yang tersedia. Felica datang memberikan sebuah celana bahan yang di berikan Laila padanya. Gadis itu menatap Xavier yang tidak memakai eyepatch seperti biasanya. Mata kanan Xavier terlihat berwarna putih debga iris merah dan lingkaran hitam yang sudah pasti itu adalah mata humanoid.

"Luka di punggungmu harus dijahit, tetapi aku tidak bisa melakukannya," ucap Felica sambil menunduk, Xavier terkekeh melihat raut wajah Felica yang bersalah itu

"Luka di punggungmu harus dijahit, tetapi aku tidak bisa melakukannya," ucap Felica sambil menunduk, Xavier terkekeh melihat raut wajah Felica yang bersalah itu.

"Tidak masalah, aku tahu kau-"

Brak

Ucapan Xavier terpotong saat White meletakkan pistol milik Xavier di atas meja medis. Tanpa basa-basi White mencuci tangannya di wastafel lalu menyiram tangannya dengan alkohol. Diambilnya jarum dan benang untuk menjahit kulit.

Felica dan Xavier yang melihat itu hanya terdiam sambil mengerjapkan mata, tidak mengerti dengan apa yang dilakukan White. Dengan cepat White menghampiri Xavier dan Felica.

"Felica, bisakah kau memberi makan Sam terlebih dahulu? Aku lupa memberinya makan," ucap White yang langsung saja menusuk jarum di tangannya ke tubuh Xavier.

"Aw, bisakah kau hati-hati?!" rutuk Xavier.

"Biar aku yang menjahit tubuhnya," lanjut White tanpa menghiraukan erangan Xavier.

"Hmm, baiklah," jawab Felica lalu keluar dari ruangan.

White dan Xavier hanya diam saat punggung Felica menghilang di balik pintu. White kembali meneruskan pekerjaannya menjahit punggung Xavier.

"Kau nyaris saja mengatakan sesuatu yang tidak boleh diingat Felica, Xavier," desis White yang sepertinya sedang merasa kesal.

"Aw, ya ... aku tahu, hampir saja." jawab Xavier sedikit frustrasi karena White dengan kasar menjahit punggungnya.

"Tenang saja, jahitan ini tidak akan berbekas pada tubuhmu. Dan tentunya tidak akan ada pendarahan lagi," jawab White mengerti kekhawatiran Xavier.

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Xavier dengan nada serius.

"Tidak ada, aku hanya meminta bertemu Felica pada Alucard. Ia dan juga Papa sudah mengizinkan aku untuk bertemu Felica," jawab White datar.

"Mengapa Papa dan Mama masih saja baik padamu meski kau sudah berkhianat?!" rutuk Xavier, White tersenyum samar.

"Karena aku tidak akan menyakiti Felica," jawab White yang langsung mendapatkan tatapan aneh dari Xavier.

"Kau menyukai Felica?!"

"Tentu saja aku menyukainya, meski dia tidak begitu cantik setidaknya ia sangat manis," jawab White sambil menggunting jahitannya yang telah selesai.

"Baiklah, sudah selesai. Apa luka di perutmu baik-baik saja? Haruskah aku menjahitnya juga?" tanya White sambil melirik perban di perut Xavier yang mengeluarkan darah.

"Tidak perlu, biarkan seperti ini. Aku tidak ingin memiliki banyak bekas luka jahitan di tubuh depanku," jawab Xavier sambil kembali memakai kemeja milik White yang disiapkan Felica.

"Tutuplah mata kananmu itu, jika Felica melihatnya ia pasti akan bertanya-tanya," ucap White sambil berlalu.

"Bukan hanya bertanya bahkan ia sudah hampir menangis saat melihatnya tadi," gumam Xavier sambil memakai eyepatch miliknya.

Xavier mengambil pistol miliknya lalu berjalan keluar ruangan. Xavier memilih keluar gedung laboratorium itu untuk mencari udara segar. Ia sudah tidak sudi memasuki kandang ular raksasa itu, sesampainya di luar ponsel miliknya berdering.

"Ada apa?" jawab Xavier setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Mengapa aku sulit menghubungimu sedari tadi?" jawab orang di seberang telepon.

"Ahh, aku lupa. Di dalam laboratorium itu tidak ada signal sama sekali. Lagi pula ada apa kau menghubungiku?"

"Apa Felica baik-baik saja? Kau bersama dengannya dan juga si pengkhianat itu bukan?!" jawab orang itu yang terdengar sangat cemas.

"Ya, aku bersama mereka berdua. Felica baik-baik saja hanya saja aku baru saja hampir ditelan oleh ular raksasa itu," jawab Xavier sedikit menggerutu.

"Apa? Kau hampir ditelan? Maksudmu Sam?"

"Memangnya siapa lagi yang berani menelanku hidup-hidup selain ular raksasa itu?!" jawab Xavier ketus, Xavier memilih duduk di pohon yang tumbang di dekat pintu masuk laboratorium.

"Hahaha, aku lupa jika Sam sangat membencimu. Baiklah, jika si pengkhianat itu kembali macam-macam kau bunuh saja," jawab orang itu.

"Apa kau gila? Saat ini aku berada di sarang ular, jika aku membunuh induknya sudah dipastikan anak-anaknya akan mengejarku. Saat ini saja aku sudah dikelilingi ratusan ular jika kau ingin tahu," jawab Xavier ketus sambil menodongkan pistol miliknya ke salah satu ular yang mulai mendekatinya.

"Enyahlah kalian dari pandanganku," desis Xavier pada ular-ular di dekatnya.

Seperti mengerti yang dikatakan Xavier, ratusan ular itu pergi menjauh, tetapi tidak dengan ular besar yang bertengger di atas kepala Xavier. Ular besar albino itu mendesis ke arah Xavier. Xavier yang mengetahui itu hanya menatap malas ke atas kepalanya.

"Kau pasti bernama Rury," kata Xavier lalu meletakkan ponsel miliknya ke telinganya.

"Aku akan menghubungimu lagi nanti," ucap Xavier lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Xavier menyimpan kembali ponsel miliknya lalu kembali melihat atas kepalanya dengan malas. Sebelum ia mengatakan sesuatu suara teriakan Felica terdengar di pintu masuk laboratorium.

"Rury!" panggil Felica sambil berlari kecil ke arah Xavier dan Rury yang berada di batang pohon besar.

Ular itu merayap turun dari pohon dan mendekati Felica yang kini di hadapan Xavier. Ular itu melingkar hingga seperti membuat tempat duduk. Felica langsung saja mendaratkan punggungnya di atas tubuh ular itu.

"Katakan pada ular itu agar tidak berkeliaran sembarangan, ia bisa saja diburu karena sisiknya yang langka itu," ucap Xavier sambil menyalahkan cerutu miliknya.

"Kau dengarkan, Rury? Kau tidak boleh berkeliaran didekat Xavier, ia tidak suka dengan ular," kata Felica dengan polosnya.

"Aku tidak berkata seperti itu, Lica," gerutu Xavier dan Felica hanya terkekeh.

"Bagaimana lukamu? Kata White kau tidak ingin dijahit dibagian perutmu, memangnya kenapa?" tanya Felica sambil mengelus kepala Rury.

"Aku tidak ingin memiliki banyak luka jahitan di tubuh bagian depanku, aku tidak ingin kau melihatku dengan jijik," jawab Xavier sambil tersenyum menggoda.

"Tubuhmu sudah cukup bagus untuk dipandang. Menambahkan bekas luka mungkin bisa membuatmu terlihat sexy," jawab Felica asal dan sukses membuat wajah Xavier merona.

"Da-dasar bodoh," gumam Xavier sambil menyembunyikan raut wajahnya yang memerah.

"Bagaimana reunimu dengan ular raksasa itu?" tanya Xavier mengalihkan pembicaraan.

"Sam? Ia sudah agak baikkan dan sudah memakan semua rusa dan babi hutan bulat-bulat. Sepertinya Sam sangat kelaparan hingga melahap semuanya," jawab Felica tanpa menoleh ke arah Xavier.

"Bisakah kita pulang sekarang juga?" tanya Xavier yang terlihat sudah tidak betah berlama-lama di tengah hutan.

"Besok kita akan kembali, Sam sedang sakit dan aku ingin berbicara sedikit dengan White. Lebih baik kau bermain dengan Rury dan yang lainnya. Sejujurnya mereka menyukai aroma tubuhmu," jawab Felica tanpa dosa dengan senyuman di wajahnya.

Xavier menatap tidak percaya pada Felica, pantas saja ular-ular tadi mendekatinya. Terlebih lagi ular besar yang sedang diduduki Felica, seketika membuat Xavier merinding.

"Baiklah, aku akan ke dalam dulu untuk berbicara dengan White, kau bermainlah dengan Rury," pamit Felica lalu bangkit dari duduknya.

"Rury, jangan patahkan tulang Xavier jika kau tidak ingin ditembak olehnya, okey?!" ular besar itu hanya mendesis menjawab perintah Felica.

"Bagus jika kau mengerti, kalau begitu aku pergi dulu. Ingatlah jika sudah malam kalian kembalilah ke dalam laboratorium," jawab Felica lalu berlari kecil menuju pintu masuk laboratorium.

Setelah kepergian Felica, Xavier dan Rury hanya saling bertatapan. Tidak seperti ular pada umumnya yang malas atau agresif jika ada yang melewati batas wilayahnya. Rury lebih mirip berkelakuan seperti manusia, lebih tepatnya hanya pada perilaku yang membuatnya mengerti apa yang diinginkan manusia.

"Ayolah, jangan menatapku seperti itu, kau membuatku takut," kata Xavier tanpa sadar berbicara pada ular besar itu.

***

Felica yang kini mencari White membuka satu per satu tempat yang sering dimasuki oleh White. Hingga akhirnya sang asisten mengejutkannya dengan tatapan sinis. Felica yang melihat tatapan sinis asisten White itu hanya menatap heran.

"Jika mencarinya ia sedang berada dalam kamarnya," ucap wanita itu dingin sambil berlalu.

"Setidaknya ia memberitahuku," gumam Felica lalu bergegas ke kamar White.

Menyusuri lorong-lorong yang terbuat dari kaca transparan itu membuat Felica selalu saja merasa takjub saat melewatinya. Bagaimana tidak, hutan buatan yang terlihat dengan jelas di atasnya membuat daya tarik tersendiri akan indahnya laboratorium itu. Hingga akhirnya Felica melewati lorong yang terbuat dari baja dan sampai pada tujuannya, kamar White.

"White, apa kau di dalam?" tanya Felica sambil mengetuk pintu besi kamar White.

"Masuklah," jawab suara seseorang dari dalam ruangan.

Felica memundurkan kakinya selangkah lalu keluarlah alat pemindai kornea mata dari pintu besi di depannya. Felica mendekatkan matanya hingga proses scaning selesai, pintu pun terbuka. Tidak sembarang orang yang bisa memasuki kamar White, hanya Felica dan dirinya sendiri yang bisa memasuki kamarnya itu, bahkan sang asisten pun tidak diizinkan untuk masuk kawasan pribadinya.

Apa yang kalian bayangkan tentang kamar White? Penuh dengan berkas-berkas berserakan seperti kamar seseorang pada umumnya kah? Taman buatan yang di sekelilingnya terdapat ularkah? Atau penuh dengan gelas-gelas kaca yang berisikan cairan untuk bahan percobaan? Dari ketiga bayangan di atas hampir saja mencerminkan seorang White.

Akan tetapi, pada kenyataannya adalah kamar White yang bercat putih dengan garis emas berbentuk persegi panjang dengan semua barangnya yang juga berwarna putih. Dari rak buku, lemari baju, meja dan vas bunga yang berwarna putih. Tidak ada barang lain selain papan tulis dengan peta yang tertempel dan garis-garis melintang yang membuat Felica tidak mengerti untuk apa White menempelkan peta sebesar itu.

Terlihat White yang sedang menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh melalui tangan kirinya, Felica berjalan mendekat lalu duduk di sofa kecil berwarna putih memang dikhususkan untuk Felica.

"Ini adalah obat buatan Nero untuk membuatku seperti manusia normal," kata White tanpa ditanya.

"Apakah ada efek samping memakai obat itu?" tanya Felica hati-hati.

"Kau tidak akan suka jika mengetahuinya," jawab White datar.

"Mengapa kau memakai obat itu?" Felica mendelik karena White selalu merahasiakan apa pun darinya.

"Agar kau tidak merasa takut saat melihatku, kau tahu kan semakin lama tubuhku semakin menjadi seperti ular. Kau pasti akan takut saat melihatku yang seperti itu, tetapi sayangnya obat itu hanya tinggal beberapa saja. Aku harus kembali menyetok obat itu untuk beberapa tahun ke depan," jawab White sambil mengikat perban di tangan

kirinya.

"Sejak kapan aku merasa takut padamu? Sejak dulu juga kau sudah seperti itu, bukan?" Felica memalingkan wajahnya kesal.

White bangkit berdiri menuju rak bukunya lalu mengambil selembar foto dari salah satu buku di tangannya. Dilemparkannya foto hingga terjatuh di pangkuan Felica, Felica menatap bingung selembar foto di pangkuannya.

"Lihatlah, itu wujudku 2 tahun lalu sebelum Nero memberikan obat itu," kata White sambil kembali memasukkan buku di tangannya ke dalam rak.

Felica membalik foto di tangannya hingga matanya menatap terkejut dengan apa yang ia lihat. White kembali duduk di hadapan Felica sambil mengamati raut wajah Felica yang masih terkejut menatap selembar foto di tangannya.

"Apa karena ini kau pergi menghilang tanpa kabar?" tanya Felica langsung membuat White sedikit terkejut.

"Bisa dikatakan seperti itu," gumam White sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jadi ada alasan lain saat kau pergi?" tanya Felica menyelidik.

"Ti-tidak ada, alasanku hanya itu dan lagi pula aku sedang dalam menjalan tugas dari Papa," jawab White sedikit gugup, Felica menyipitkan matanya.

Mengetahui jika ada yang tidak beres dengan manusia ular di depannya. Merasa tidak ingin mencampuri urusan White, Felica memilih untuk percaya meskipun hatinya berkata tidak. Felica mengembalikan foto di tangannya pada White.

"Kau akan menginap, bukan? Apa kau mau tidur bersamaku?" tanya White mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya boleh? Kau kan selalu menolak saat aku ingin tidur bersamamu," jawab Felica sambil mengerucutkan bibirnya.

"Itu dulu, saat tubuhku masih penuh dengan sisik. Aku tidak ingin kau bermimpi buruk gara-gara hanya tidur denganku." White beralasan, alasan sebenarnya karena saat ini White benar-benar menyukai Felica.

"Baiklah, biar Xavier yang akan tidur di kamarku,"jawab Felica tanpa curiga pada White.

"Aku akan memberitahukan kamarmu padanya, kau tunggulah di sini," jawab White sambil tersenyum meninggalkan Felica.

"Dasar pria aneh," gumam Felica lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang putih milik White yang terbilang cukup besar.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login