Download App
25.92% PRINCESS OF MAFIA / Chapter 7: - 6 -

Chapter 7: - 6 -

"Aku mau," jawabku bersemangat, aku rindu mereka semua.

Fupy si derik, Diego si cobra, Rury si anaconda, dan terakhir Sam rasa ular terbesar dunia dunia, boa. Dan mereka semua adalah ular jantan. White sedari dulu memang tidak tinggal di mansion keluarga Roulette, tetapi ia tetap bagian dari keluarga Roulette.

10 tahun yang lalu aku menemukannya bersimbah darah, lalu aku meminta Papa untuk menolongnya. Ternyata Papa mengenal White, Papa berkata White orang yang berbahaya karena itu saat aku meminta Papa untuk merawatnya Papa menolak keras.

Aku pun meminta Papa dengan alasan White sudah menolongku. Akhirnya Papa menolong White dan aku mengurus kedua ular milik White, Fupy dan Diego. Setelah itu aku tahu bahwa White tidak punya lagi tujuan untuk hidup. Karena itu aku memintanya untuk menjadi keluargaku.

Setahun berlalu saat usiaku 11 tahun, entah apa yang terjadi aku mengerti apa yang dikatakan kedua ular milik White. Saat itu aku tidak sengaja mendengar percakapan dua orang dan betapa terkejutnya aku melihat Fupy berbicara dengan White. Kurasa aku sudah menjadi gila, akan tetapi setelah aku mencoba bertanya pada Fupy, ular itu berbicara dengan bahasa ularnya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku mengerti apa yang dikatakan Fupy.

Setelah beberapa minggu, White datang ke mansion dengan seekor anaconda yang mengikutinya dari belakang. Nyaris saja ular besar itu memakan Xavier jika White tidak menghentikannya. Dan White memperkenalkan ular besar itu dengan nama Rury, dan tidak lama sejak itu Rury juga menuruti perintahku seperti White.

Dan tidak lama dari itu, White membawa malapetaka ke mansion. Boa, ular raksasa sepanjang hampir 23 meter dan diameter 40 cm. Beberapa maifoso Papa mati di makan ular raksasa itu, tetapi saat ular itu melihatku dan mencoba berbicara padaku, ular itu tidak lagi sulit dijinakkan. Aku tidak tahu mengapa bisa mengerti bahasa mereka. Dan ular raksasa itu kunamai Sam.

"Menjauhlah dari Lica," desis Xavier sambil menodongkan pistolnya di kepala White.

"Xavier, singkirkan pistolmu sebelum Fupy menggigitmu. Aku tidak membawa penawar hari ini jadi persiapkanlah makam untukmu," jawab White kini berwajah datar tanpa menoleh ke arah Xavier.

Lagi-lagi Xavier bersikap kasar pada White, aku tidak tahu harus bagaimana membuat mereka akur. Sejak pertama kali White menjadi bagian dari keluarga Roulette semua orang tidak menyukainya.

"Baiklah, kapan kita akan pergi? Aku tidak ingin membuang waktuku melihat kalian bertengkar." Putusku dan White mengangguk.

Xavier menarik kembali tangannya dan langsung berjalan ke belakangku dan memegang kedua bahuku.

"Aku akan ikut, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Lica-ku," ucap Xavier dan White hanya bisa mendengkus kasar.

"Terserah," jawab White malas lalu kembali menghadap Mama.

"Mama, apakah aku boleh membawa Felica berjalan-jalan ke kediamanku?" White meminta izin, dan mendapat anggukkan dari Mama.

"Terima kasih, aku akan menjaga Felica dari Xavier," jawab White masih dengan wajah datarnya.

"Kau–"

"Cukup, kita pergi sekarang," potongku, aku tidak ingin mendengar celotehan Xavier lagi.

"Mama, aku akan berangkat sekarang, Mama sebaiknya kembali ke dalam mansion," ucapku meminta izin, Mama tersenyum lalu mengelus kepalaku lembut.

"Berhati-hatilah," jawab Mama lalu mengecup keningku dengan sayang.

"Kami berangkat," ucap Xavier menunduk hormat pada Mama.

Kami pergi bertiga dengan White yang memimpin jalan. Sedangkan aku mengikutinya dari belakang, saat aku berbalik untuk melihat Mama, Mama sudah tidak ada di sana. Cepat sekali Mama pergi, ke mana Mama pergi?

White menghampiri mobil Jeep Wrangler berwarna putih miliknya membuka pintu penumpang belakang untukku. Aku masuk dan ditutupnya pintu mobil. Xavier memilih duduk di depan bersama White.

"Kuharap kalian tidak bertengkar untuk hari ini," ucapku mencoba sedingin mungkin agar mereka berdua mengerti.

"Ba-baiklah, Lica." Sepertinya berhasil, kualihkan pandanganku keluar jendela.

Mobil pun mulai meninggal mansion, setahuku rumah White terletak di Hidden Springs, pegunungan Angeles. Di sana hanya ada hutan belantara, karena banyaknya ular peliharaan White dan tidak ingin menimbulkan banyak korban akhirnya White memilih tinggal di Hidden Springs dan semua dana yang dibutuhkan berasal dari Papa.

"Felica," panggil White tiba-tiba, kualihkan pandanganku kini padanya yang sedang menyetir.

"Ada apa?" jawabku.

"Kau memikirkan sesuatu? Aku sudah memanggilmu berulang kali," tanya White yang sesekali menyingkirkan tubuh Fupy yang melilit kepalanya.

"Fupy! Menyingkir dari kepalaku, aku sedang menyetir," desis White, aku hanya terkekeh melihatnya lalu mengambil tubuh Fupy dari kepala White.

"Hanya memikirkan tentang rumahmu, selama 2 tahun belakangan ini aku telah mendekam di asrama putri jadi aku tidak bisa mengunjungi rumahmu seperti biasanya," jawabku sambil kembali melihat keluar jendela.

"Kau? Ke rumahku? Untuk apa? Aku tidak tinggal di sana selama beberapa tahun ini," jawab White terkejut.

"Dasar bodoh! Lica selalu berharap dapat bertemu denganmu di sana. Andai saja kau tidak ber–" Ucapan Xavier terpotong oleh White.

"Xavier! Kau tidak perlu mengungkitnya," desis White.

"Haha, apa kau sekarang menyesal?! Aku ingin sekali melubangi wajah menyebalkanmu itu!" Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti.

"Kalian sudah berjanji tidak akan bertengkar," gumamku pelan dan seketika mereka berdua terdiam.

Tidak ada lagi berbicara, hanya terdengar desisan ular derik dan cobra yang sesekali menjawabku. Sesampainya kami ke wilayah rumah White, ia disambut dengan ratusan ular yang kini mengelilinginya.

"Apa kalian sehat?" tanyaku seraya mendekati sebuah pohon yang terdapat berbagai macam ular.

Para ular itu mendesis banyak pula yang mendekati White sambil menggigit tubuhnya. White hanya mengelus semua kepala ular yang menggigitnya, Xavier bergidik ngeri melihat White yang tidak mati tergigit puluhan ular beracun.

"Jangan mencoba mematahkan tulangku jika kalian tidak ingin kukuliti," desis White sambil tersenyum.

Ular-ular itu turun dari tubuh White setelah puas menggigit majikannya. Seseorang wanita keluar dari pintu utama lalu membungkuk hormat pada White.

"Selamat datang kembali, Tuan," sapa wanita itu.

"Laila, bagaimana kabar Sam?" tanya White langsung.

"Seperti biasa, ia selalu memakan pemberi makannya. Sam sangat sehat, tetapi dua tahun terakhir ini ia seperti tidak bersemangat dan mudah marah," jawab Laila sambil berjalan masuk ke gedung besar yang seperti laboratorium itu.

Di sanalah White tinggal bersama Laila, Laila adalah asisten White dan mantan seorang professor yang meneliti tentang ular. Betapa bahagianya ia dapat meneliti Sam, akan tetapi ia tidak terlalu mengerti tentang kebiasaan ular raksasa itu.

"Felica, kau coba temui Sam. Jika aku langsung menemuinya sudah dipastikan ia akan meremukan tulangku," ucap White dan aku mengangguk.

Sam tidak bisa hidup berkeliaran seperti ular kecil pada umumnya. Sam sangat berbahaya untuk orang lain, bisa saja ia langsung memakan orang yang sedang melewati Hidden Springs. Sam ditempatkan di sebuah ruangan besar yang berisikan hutan buatan untuk menyamankan ular raksasa itu. Dengan dinding yang terbuat dari besi baja yang kuat dan kaca yang sangat tebal untuk melihat perkembangan ular raksasa itu dari luar.

Kutemukan pintu besar yang dulu sudah sering kulihat begitu tebalnya. Membuka pintu dengan ledakan bom pun tidak akan berguna. Pintu itu terbuka setelah aku menggesekan kartu milik White. Ya, akses untuk masuk hanya bisa memakai sebuah kartu milik White dan Laila.

Kulangkahkan kakiku dan disambut dengan pepohonan besar yang rindang. Pintu masuk itu tertutup kembali dengan otomatisnya, kembali kuedarkan pandanganku melihat sekeliling mencari Sam.

"Sam," panggilku.

Tidak ada tanda-tanda dari ular raksasa itu, pasti Sam sangat marah karena aku meninggalkannya sejak dua tahun yang lalu. Aku mendengarnya tadi saat Laila membicarakan tentang Sam. Sepertinya asisten White sedang menyindirku karena membuat Sam seperti itu.

"Sam, aku pulang. Ayolah, mana sambutan darimu?" teriakku, masih tidak ada tanda-tanda ular raksasa itu bergerak.

"Sam, apa kau marah padaku?" Kini ku sudah masuk ke tengah hutan buatan itu.

Saat ku melihat ke bawah kulihat ada bekas kulit ular yang mengelupas di dekat kakiku. Sepertinya ia sedang mengganti sisiknya, apa seekor boa juga mengganti sisiknya?

"Sam, ayolah jika kau tidak datang padaku aku akan pergi lagi," kataku mencoba mengancamnya.

Dan benar saja setelah itu aku mendengar suara pergerakan tubuh ular raksasa itu sedang merayap menuju arahku. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, dan mendapati kepala Sam yang tiba-tiba di depan wajahku.

"Woaahh." Aku jatuh terduduk saat melihat kepala Sam yang tepat di hadapanku.

Hei ingatlah aku juga seorang manusia biasa yang bisa terkejut melihat ular besar yang kepalanya tepat di hadapan wajahku.

"Kau mengagetkanku," dengkusku, Sam hanya menatapku tanpa menjawab.

"Baiklah, aku minta maaf padamu karena aku tidak datang dua tahun terakhir ini," ucapku sambil mencoba berdiri. Seperti biasa ular raksasa di hadapanku ini memiliki ego yang tinggi.

Jika aku bersalah, aku harus meminta maaf padanya. Terkadang aku merasa heran, ia seekor hewan atau seorang manusia seperti White. Ular raksasa itu memundurkan kepalanya, sesaat melihatku lalu bergerak mengelilingi tubuhku. Kini terlihat tubuhnya yang besar dan masih banyak kulit yang mengering belum terkelupas.

"Apa? Kau memintaku untuk membersihkan tubuhmu dari kulit keringmu itu?" Ular raksasa itu membuka mulutnya sedikit, ia sedang menjawab pertanyaanku.

"Baiklah, baiklah," jawabku, Sam kini merebahkan kepalanya ke tanah sambil menutup matanya.

"Kau benar-benar seperti manusia saja," gerutuku, mata Sam terbuka sambil melihat ke arahku.

"Tidak perlu menatapku seperti itu, aku tidak menggerutu tentang tubuhmu yang besar," jawabku sambil mencoba melepas kulit kering di tubuh Sam.

Asal kalian tahu, Sam itu ular jantan yang menyukai wanita atau gadis manusia. Ia tidak tertarik dengan ular betina, dasar aneh. Kudengar pintu masuk terbuka, Sam bangkit meski sebagian tubuhnya masih berbaring di tanah. Mulutnya terbuka lebar menandakan ada orang asing yang memasuki wilayahnya.

"Felica." Itu Xavier, ini gawat mengapa Xavier masuk.

"Xavier, keluarlah. Sam tidak menyukai kedatanganmu," teriakku.

Terlambat, ular raksasa itu bergerak cepat ke arah pintu masuk.

"Sam!" teriakku lalu berlari mengejar Sam.

Sial, ini akan terlambat. Pasti Xavier akan ditelan hidup-hidup oleh Sam. Ku percepat lariku melewati pepohonan besar.

Doorrr

Suara tembakan terdengar, ohh jangan sampai tembakan Xavier mengenai Sam. Sam bisa mati dan White akan mengamuk.

"Sam!" Aku kembali berteriak dan betapa terkejutnya aku melihat Sam setelah sampai dekat pintu masuk.

Praak

Pistol kesayangan Xavier terjatuh dan saat ku melihat ke atas, setengah tubuh Xavier sudah berada di dalam mulut Sam.

"Xavier!"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login