Download App
22.22% PRINCESS OF MAFIA / Chapter 6: - 5 -

Chapter 6: - 5 -

Cahaya temaram terlihat di sebuah kamar besar, meski sudah pagi hari dan menjelang siang hari kamar besar itu tertutup rapat tanpa ada pergerakan yang berarti di atas sebuah queensize.

Ctek Ctek

Seseorang mencoba membuka pintu kamar, tetapi sayangnya terkunci.

BRAAAKKK

Pintu itu terbuka dengan paksa dan jatuh begitu saja. Terlihat seorang lelaki memakai pakaian serba hitam dan topi hitam dengan kaki setengah terangkat, sepertinya ia telah menendang keras pintu itu.

"Nero, kau merusaknya lagi," ucap lembut seorang gadis yang masih dengan posisi tidurnya yang terlihat seksi.

"Nona, saatnya bangun. Sudah hampir siang dan anda belum terbangun," jawab Nero sambil mendekati gadis itu dan menyibak selimut putih yang menutupi tubuh gadis itu.

"Dan kau, Xavier. Mengapa kau tidur bersama Nona?" Nero menodongkan pisaunya ke leher Xavier yang memeluk tubuh gadis itu.

"Kau berisik sekali, Nero!" jawab Xavier lalu membuka matanya dan melihat gadis yang di peluknya tersenyum padanya.

"Pemandangan pagi hari yang indah, seorang Dewi cantik berada di pelukanku saat aku bangun tidur," gumam Xavier seraya merapatkan wajahnya ke dada gadis itu.

Nero langsung menarik ke arah belakang kemeja Xavier dengan cepat. Lelaki itu menatap sang pemilik mata satu dengan tatapan membunuh.

"Kau! Beraninya melakukan itu pada Nona Felica! Cepat bangun!"kata Nero geram.

"Hahaha ... sudahlah, kalian pergi dari kamarku. Aku akan turun setelah membersihkan tubuhku," jawab Felica sambil tertawa.

"Baiklah, Nona. Ahh, saya akan memanggil tukang untuk memperbaiki pintu kamar anda," jawab Nero sambil masih menenteng tubuh Xavier yang diam saja sambil menguap dan memasang eyepatch miliknya.

"Feeeeliiicaaaaa ...," teriak Vicente masuk ke dalam kamar Felica.

"Si bodoh itu, berisik sekali," gerutu Xavier.

Vicente masuk dan melihat Felica yang masih dengan posisi seksinya itu. Lalu dengan cepat ia mengambil gambar Felica sambil menyeringai.

"Vicente! Apa yang kau lakukan?!"ucap Nero dan Xavier bersamaan.

"Aku akan mengirim foto Felica pada Alucard. Dia pasti akan marah besar," jawab Vicente sambil tertawa, Felica hanya menatap tidak mengerti.

"Dasar bodoh," jawab Xavier.

"Biarkan saja, dia pasti akan dibunuh Alucard," jawab Nero lalu melepaskan tubuh Xavier.

"Cepat kalian keluar, Papa dan Mama sudah pulang. Dan kau Nero, Papa memanggilmu. Dan Felica, Mama memintamu untuk datang ke taman bunga," jelas Vicente, dengan malas Felica bangun dari ranjangnya.

Tanpa Felica sadari ketiga lelaki itu kini wajahnya merona merah. Bahkan Nero sampai menutup hidungnya yang sudah mengeluarkan darah.

"Baiklah, aku akan datang setelah mandi," jawab Felica sambil berjalan menuju walk in closetnya dan mengambil dress dengan pakaian dalamnya lalu membawanya ke dalam kamar mandi.

"Sial! Aku butuh seorang jalang saat ini," umpat Xavier sambil mengusap wajahnya kasar.

"Kau benar-benar menjijikan, Xavier," jawab Vicente sambil terkekeh.

"Salahkan Lica karena sudah membuatku Turn On," Dengkus Xavier sambil berjalan keluar kamar.

"Ya, salahkan Nona karena sudah membuatku seperti Xavier." Kini Nero yang menjawab sambil berjalan keluar kamar.

"Aku akui Felica bisa membuatku seperti itu juga, sayangnya aku tidak bisa memasukinya," gumam Vicente sambil mengangkat bahu dan mengikuti Xavier dan Nero keluar kamar.

***

Di sisi lain, Ace yang kini tengah dihubungi Alucard sambil duduk di ruang kerjanya.

"Ada apa menghubungiku, AG?" tanya Ace sambil menyeruput kopinya.

"Aku ingin memberitahumu tentang White, aku ingin meminta Papa mengizinkannya untuk bertemu dengan Felica," jawab Alucard dengan nada rendah.

"Mengapa aku harus mengizinkannya?" tanya Ace tajam.

"Karena ia sudah membuatku percaya jika ia benar-benar ingin kembali ke keluarga kita," jawab Alucard masih dengan ketenangannya.

"Jika aku tidak mengizinkan, apa yang akan kau lakukan?" tanya Ace yang kini membakar cerutunya.

"Papa, kumohon kali ini saja–"

"Kau tahu persis keselamatan Felica yang paling utama, bukan?!" potong Ace, Alucard terdiam tidak bisa menjawab.

Beberapa menit mereka terdiam, wajah Alucard semakin terlihat kusut. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan White jika si pawang ular itu mengetahui jika ia tidak diizinkan bertemu dengan Felica.

"Hahaha ... jangan berwajah seperti itu, AG. Aku tahu kau yang paling mengkhawatirkan putriku. Jika kau sudah meminta seperti itu, aku tidak bisa menolaknya,"jawab Ace terkekeh karena telah sukses mengerjai Alucard.

"Papa kau membuatku takut, baiklah mungkin White sudah berada di LA. Akan kukabari lagi nanti. Ahh, aku mendapat misi penting dari Agen Pemerintahan, ini berkas tentangmu yang telah dicuri," jawab Alucard dengan nada serius.

"Dapatkan kembali dan habisi mereka semua. Dan sepertinya kau mendapat misi tambahan, Rudolf akan memberitahumu nanti," jawab Ace tenang tanpa merasa cemas sedikit pun.

"Baiklah, Papa. Sampaikan salamku pada Mama," jawab Alucard lalu mematikan sambungan teleponnya.

"Akhir-akhir ini terlalu banyak pekerjaan." Ace mengembuskan napasnya kasar sambil merebahkan punggungnya ke senderan sofa dan menutup matanya.

"Sepertinya kau perlu beristirahat, Papa." Ace dengan cepat membuka matanya karena mendengar suara yang sudah lama tidak ia dengar.

"White," desis Ace dengan tatapan terkejut, melihat sosok seseorang dengan topeng dan pakaian serba hitamnya.

"Lagi-lagi kau seperti hantu, datang tiba-tiba dan menghilang begitu saja," lanjut Ace yang kini berwajah datar, White hanya terkekeh.

"Jadi, saat ini banyak pekerjaan? Aku bisa membantu jika kau mau," tawar White yang kini duduk di sofa sebelah kanan Ace.

"Kau bisa mengacaukannya jika kau turun tangan," gerutu Ace. "Lagi pula kau kembali hanya untuk Felica, bukan?" lanjut Ace.

"Itu salah satunya." White membenarkan.

"Haaa .... baiklah, pergilah menemuinya. Tetapi ingat, jika ia terluka atau kau mencoba menyakitinya, kupastikan kau yang pertama kuhancurkan," jawab Ace masih dengan wajah yang datar.

"Ya, ya, ya. Kalau begitu di mana Felica?"

"Pergilah ke taman, Mama berada di sana mungkin bersama Felica," jawab Ace.

White menunduk hormat lalu pergi keluar ruangan. Detik berikutnya Nero masuk dengan sambil membenarkan dasi miliknya. Ace mengangkat satu alisnya menatap aneh Nero.

"Papa, memanggilku?" tanya Nero begitu saja.

"Ya, dan ngomong-ngomong apa kau tidak bertemu dengannya? Dia baru saja keluar," jawab Ace kini berjalan menuju meja kerjanya.

"Siapa yang Papa maksud? Aku tidak bertemu dengan siapa-siapa," jawab Nero tenang.

"Shit! Dia benar-benar seperti hantu," umpat Ace pelan, Nero menatap bingung pada Ace.

"Memangnya siapa orang yang Papa maksud?" Ace mengibas-ngibaskan tangannya.

"Nanti saja kuberi tahu, sekarang katakan apa yang terjadi saat penyerangan itu?" anya Ace.

Nero duduk di bangku yang tersedia, wajahnya menjadi serius dan sedikit menyeringai. Di sisi lain, Felica sudah menyelesaikan acara mandinya. Felica keluar dari kamar mandi lalu duduk di meja riasnya. Di sisirnya rambut scarletnya, tiba-tiba saja ia merasa seperti ada yang melilit kaki kanannya.

"Apa ini?"Felica melihat ke arah kakinya dan mendapati seekor ular derik albino melilit di kakinya.

"Astaga, Fupy?!" teriak Felica kaget.

Ular itu menjalar naik sambil berdesis dan melilit tangan kanan Felica. Sedangkan tiba-tiba saja di hadapannya kini terdapat ular cobra albino yang berdesis lalu melilit tangan kiri Felica. Terlihat raut wajah Felica yang gembira.

"Diego!" seru Felica senang, ular itu kembali berdesis lalu seperti menciumi wajah Felica.

"Jadi, kapan kalian datang?" tanya Felica pada kedua ular itu.

"Ssstttt," desis ular itu, terlihat mata Felica yang berbinar-binar.

"Benarkah? Kalian sudah 2 hari lalu datang?" Kedua ular itu kembali berdesis.

"Lalu di mana White?" tanya Felica lagi, dan ular itu kembali berdesis.

Dengan cepat ia menyisir rambutnya, setelah terlihat rapi ia langsung berlari keluar kamarnya.

Felica, ia kenal kedua ular albino itu. Ular albino itu sudah seperti temannya sendiri. Ketika usia Felica menginjak 8 tahun dan bermain di sekitar hutan Felica bertemu dengan seseorang.

***

Seorang lelaki yang terluka, lelaki bersurai perak dan memakai jubah hitam itu terlihat sedang menyandar pohon besar. Tubuh pucatnya banyak mengluarkan darah, napasnya terlihat lambat. Felica terkejut dengan apa yang dilihatnya, tetapi ia tidak terkejut dengan tubuh lelaki itu. Felica terkejut melainkan karena wajah lelaki itu. Wajah yang memiliki sisik seperti ular.

Felica dengan gugup ingin menyentuh lelaki itu. Akan tetapi, ada yang melindungi tubuh lelaki itu. Suara desisan terdengar si telinga tajam Felica, sesaat ia menatap tubuh lelaki itu dan mendapati dua ekor ular melilit tubuh lelaki itu.

"Astaga! Aku harus bagaimana? Lelaki ini tergigit ular," gumam Felica saat melihat kedua ular itu.

Felica mendekat lalu mencoba mengusir kedua ular itu, tetapi tanpa diduga salah satu ular itu menggigit kaki Felica.

"Akh!" Felica jatuh terduduk mengerang kesakitan.

"Sssstttt." Ular itu kembali berdesis lalu mendekati Felica.

"Kumohon, aku hanya ingin menolongnya. Bisakah kalian pergi?!" ucap Felica sambil terisak menangis menahan sakit di kakinya.

"Ugh." Suara erangan terdengar dari bibir lelaki itu.

Mata berwarna emas pucat itu terbuka perlahan. Lelaki itu mendengar suara isakan gadis kecil yang membuatnya terbangun. Lelaki itu mulai memperhatikan sekitarnya, dan tatapannya berhenti saat melihat seorang gadis yang menangis itu.

Suara desisan terdengar mengalihkan perhatiannya, dilihat ular putih mendesis di depan wajahnya.

"Sial, anak kecil itu tergigit." Lelaki itu bangun dan menyibakkan jubah hitamnya dan mengambil sesuatu.

Sedikit tertatih lelaki itu menarik kaki Felica lalu menghisap racun dari bekas gigitan ular yang kini melilit lengan kanannya. Felica hanya diam mengerang menahan sakit, lelaki itu menyodorkan botol kecil berisikan cairan biru pada Felica.

"Cepatlah minum, jika kau tidak ingin cepat mati," ucap lelaki itu dingin.

Felica dengan cepat meminum cairan biru itu dari botol kecil yang diberikan lelaki yang terluka di hadapannya. Felica melihat lelaki itu kembali menyandarkan tubuhnya.

"Apa kau baik-baik saja?" Felica mencoba mendekat dengan kaki yang terseok, suara desisan terdengar kembali.

"Fupy, jangan menggigitnya. Gadis itu tidak berbahaya," gumam lelaki itu, tetapi dapat didengar Felica, lelaki itu kini menatap dingin Felica.

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya lelaki itu.

"Rumahku dekat dari sini, dan lagi pula hutan ini masih wilayah rumahku," jawab Felica kini kembali mencoba mendekat.

"Wilayah rumahmu? Sejauh apa aku pergi melarikan diri?" gumam lelaki itu sambil menutup matanya.

"Kau terluka, aku akan mengobatimu, tapi tidak di sini, aku akan memanggil Papa untuk menolongmu terlebih dahulu," ucap Felica sambil membalikkan tubuhnya.

"Tunggu!" Felica menoleh dan mendapati tangan lelaki itu menggenggam tangan Felica.

"Tanganmu penuh dengan sisik ular, kau manusia atau ular?" tanya Felica polos, lelaki itu terkekeh.

"Kau tidak takut padaku?" tanya lelaki itu, Felica menatap bingung ke arah lelaki itu.

"Apa yang harus aku takutkan?" jawabnya polos, lelaki itu menatap Felica dengan mata yang sedikit melebar.

"Tubuhku bersisik dan aku adalah manusia ular. Apa kau tidak takut?"jawab lelaki itu kini menatap lucu Felica.

"Tidak sama sekali, yang menyeramkan itu hanyalah manusia biasa," jawab Felica dengan polosnya, lagi-lagi lelaki itu terkekeh.

"Kau gadis kecil yang aneh,"jawab lelaki itu sambil menggeleng-geleng kepalanya, cara bicaranya berubah dari dingin menjadi seperti biasa saja.

"FELICA!" teriak seseorang dengan suara kerasnya, Felica menoleh mengetahui suara berat yang penuh dengan rasa khawatir itu.

"Papa!" jawab Felica dengan teriakan kecilnya.

Seketika terdengar banyak suara langkah kaki yang mendatangi di mana Felica berada.

"Papa ...." Felica merentangkan kedua tangannya ke arah Ace yang berlari menuju Felica.

"Putriku." Ace langsung saja memeluk Felica dengan erat.

"Felica!" panggil Nero dan Vicente bersamaan.

"Lica!" panggil Xavier yang baru tiba setelah Nero san Vicente.

"Moe!" Suara dingin Alucard dengan penuh kekhawatiran terdengar mulai mendekat.

"Aku baik-baik saja, Papa," jawab Felica sambil menepuk-nepuk punggung Ace dengan lucunya.

Tiba-tiba suara desisan ular terdengar, kini suara desisan itu banyak sekali hingga beberapa mafioso, Alucard dan yang lainnya kini bersiaga.

"Ahh … Papa, lelaki itu terluka parah. Kita harus menolongnya," ucap Felica sambil menunjuk ke arah lelaki bersurai putih dengan penuh darah itu.

"Kau! Snake White." Ace menatap terkejut ke arah lelaki itu.

"Ahh, Ace, apa kabar?" jawab lelaki itu dengan wajah datar.

***

Setelah kejadian itu, Felica dekat dengan White bahkan Felica juga dapat berbicara dengan kedua ular albino milik White. Entah bagaimana White pun tidak mengetahui banyak tentang Felica.

Felica berlari ke arah taman dengan cepat, mengabaikan teriakan Xavier yang tengah memakan roti panggangnya. Dilihatnya Shizuku tengah bercanda dengan seseorang lelaki bersurai perak yang memakai pakaian khas pelayan.

Dilihatnya Shizuku tengah bercanda dengan seseorang lelaki bersurai perak yang memakai pakaian khas pelayan

"White!" teriak Felica lalu kembali berlari dan berhambur memeluk White.

"Felica, gadis kecilku kini sudah besar,"jawab White dengan wajah datarnya.

"Di mana Rury?" tanya Felica, White mendengkus kesal.

"Kita sudah bertahun-tahun tidak bertemu dan kau malah bertanya di mana Rury?" Shizuku terkekeh melihat White yang menggerutu.

"Felica," panggil lembut Shizuku.

"Ahh ... Maafkan aku, Mama,"jawab Felica lalu duduk di samping kanan Shizuku.

"Kau lupa dengan pelajaranmu tentang berjalan dengan anggun?" Shizuku melirik Felica yang kini menundukkan kepalanya.

"Mama, biarkan Felica seperti itu. Lagi pula aku senang Felica memelukku." Shizuku terkekeh mengangguk menyetujui.

"White, wajahmu," ucap Felica yang kini tengah menatap wajah White.

"Ya, sisik ular di wajahku menghilang jika aku meminum obat yang dibuat Nero,"jawab White kini tersenyum pada Felica.

"Sudah lama sekali, mengapa kau tidak pulang dan menemuiku? Apakah 6 tahun waktu yang sebentar untukmu?"tanya Felica, White terdiam, ular-ular miliknya yang melingkar di tangan Felica turun dan merambat naik ke punggung White.

"Ssstttt." Ular derik itu berdesis.

"Apa?" Felica mengerti apa yang dikatakan ular derik itu.

"Fupy, diamlah," dengkus White pada ular deriknya.

"Felica apa kau rindu Rury dan Sam?" tanya White mengalihkan pembicaraan

"Di mana mereka?" kini Felica tersenyum sumringah mendengar dua nama itu.

"Di rumahku, apa kau ingin mampir ke rumahku?"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login