Download App
44.44% The Hunter: Sang Malam / Chapter 7: Teman Lama

Chapter 7: Teman Lama

Safira sedang termenung di dalam mobil. Seharian ini ia hanya duduk bersandar pada jendela sambil menatap pemandangan dari kaca. Di sebelahnya Paman Edgar sedang menyetir mobil yang akan membawa mereka ke sekolah baru Safira.

Safira tidak menyangka perjalanan ini akan memakan waktu yang lama. Pertama, ia harus naik pesawat dari Jakarta menuju Bali. Sesampainya di Bali, mereka mengendarai mobil. Safira sudah duduk di mobil selama 2 jam dan belum menunjukan tanda-tanda akan sampai ke suatu tempat yang berbentuk seperti sekolah.

Pikiran Safira kini melayang-layang. Ia teringat ekspresi mama melepas kepergiannya di bandara Soekarno-Hatta. Mama berusaha menahan air matanya. Namun Safira tahu begitu ia masuk ke terminal, mamanya pasti menangis sejadi-jadinya.

Entah kenapa ekspresi sedih mamanya tadi pagi sangat berbeda. Ini bukanlah perjalanan jauh pertama yang dilakukan Safira. Dulu sewaktu kelas 1 SMP, Safira pernah 1 minggu ke Bali bersama teman-teman sekelasnya. Mamanya biasa-biasa saja kala itu. Raut muka mama pagi ini seolah mengisyaratkan Safira akan pergi ke tempat yang jauh dan tidak akan pernah kembali selamanya.

Kegelisahannya bertambah. Safira juga sangat penasaran dengan sekolah yang digadang-gadang mampu menjaga ke-a-ma-nan-nya itu. Seperti apa sekolahnya, seperti apa lingkungannya, seperti apa teman-teman dan guru-gurunya dan yang paling penting dimanakah sekolah itu berada!

Dari awal, baik mama maupun Paman Edgar tidak menjelaskan secara detail tentang sekolah itu. Paman Edgar menjadi lebih pendiam sejak kejadian pengakuan ledakan gudang. Bila ditanya seperti apa sekolah itu, Paman Edgar hanya akan menjawab singkat bahwa sekolah itu ada di sebuah tempat di dekat Bali. Itu saja.

Sangat menjengkelkan.

"Kamu tidak lapar?" Paman Edgar membuyarkan lamunan Safira.

Safira seolah tersadar. Ia menatap ke sekeliling. Mobil mereka terparkir manis di sebuah restoran babi guling khas Bali di daerah Gianyar. Safira turun dari mobil mengikuti Paman Edgar masuk ke dalam restoran.

Restoran ini pasti cukup terkenal. Setidaknya itu yang dipikirkan Safira saat melihat desain arsitektur restoran yang tradisional dan berlokasi di tengah sawah hijau.

[Pemandangannya bagus]

Begitu masuk ke dalam restoran, Safira dan Paman Edgar disambut seorang pria berumur 30an bertubuh besar, berkulit sawo matang dan memiliki bentuk wajah khas Bali.

"Apa kabar?" pria itu memeluk Paman Edgar.

"Aku baik, Made," senyum Paman Edgar mengembang memamerkan gigi-gigi putih. "Kita sudah lama tidak bertemu. Wah bisnismu semakin maju sekarang."

Pria bernama Made itu tersenyum. "Tentu saja."

"Perkenalkan ini Safira, keponakanku," Paman Edgar memperkenalkan Safira pada Made. "Safira, ini Paman Made. Dia adalah teman lamaku."

"Wah tidak kusangka bisa bertemu pujaan hati yang selama ini kamu bicarakan," Paman Made menjabat tangan Safira.

Safira tersenyum. Paman Made cukup humoris. Safira jadi tahu kalau pamannya yang satu ini suka menceritakan dirinya kepada orang-orang.

Setelah ramah tamah singkat itu, Safira dan Paman Edgar diantar menuju meja yang langsung menghadap pemandangan sawah hijau. Safira senang sekali. Angin sepoi-sepoi berhembus kesana kemari di dalam restoran yang di desain terbuka tanpa jendela kaca ini.

Makanan di restoran ini luar biasa. Safira tidak ingat kapan terakhir kali datang ke restoran yang menyuguhkan makanan seenak ini. Safira makan satu porsi nasi babi guling lengkap dengan lawar sayur, sup tulang, sate babi dan kulit babi krispi. Ini surga.

Sementara Safira sibuk makan, Paman Edgar terlibat pembicaraan serius dengan Paman Made di depan restoran. Safira tidak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Namun beberapa kali mereka menoleh menatap Safira seolah dirinya adalah topik pembicaraan yang sedang mereka bahas.

Paman Edgar berjalan menuju Safira. "Hari ini kita akan menginap disini."

Safira hanya mengangguk. Dia terlalu fokus dengan makanannya.

***

Rumah keluarga Paman Made cukup besar. Rumah seluas 500 meter persegi itu dibangun 3 lantai. Sewaktu masuk ke rumah tersebut, Safira iseng menghitung berapa banyak kamar yang ada di rumah itu. Total ada 10 kamar tidur belum termasuk ruang keluarga, ruang makan, toilet, dapur, ruang kerja, ruang tamu, kamar para asisten rumah tangga dan halaman.

Safira mendapat kamar di lantai 2 yang langsung menghadap ke halaman belakang. Halaman belakang rumah keluarga Paman Made diisi dengan pohon manga, pohon jambu dan kolam ikan seluas 100 meter persegi. Sepertinya Paman Made pecinta ikan.

Safira duduk di sofa di pinggir jendela. Dia habis menelpon mama. Mama sangat senang mengetahui putri kecilnya ini sudah sampai di Gianyar dan menginap di rumah Paman Made.

Sebenarnya Safira sangat merindukan mamanya. Baru sehari tidak bertemu, ia ingin kembali pulang ke Jakarta. Tapi ada daya, ia harus sekolah ke tempat yang sangat jauh dari mamanya. Andai kejadian penguntit itu tidak pernah ada tentu nasibnya tidak seperti ini.

Safira memilih memandangi jendela kamarnya. Saat menoleh ke jendela, Safira melihat pria. Tidak hanya satu tapi sepuluh orang. Mereka semua memakai kaos hitam dan celana jeans dengan warna senada.

[Siapa mereka?]

Firasat Safira mengatakan ini buruk. Pria-pria berbaju hitam itu mengingatkannya pada si penguntit yang dulu mengejarnya. Ini tidak baik.

[Aku harus memberi tahu Paman Edgar!]


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C7
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login