Beberapa hari sesudah tragedi kecelakaan yang menyebabkan kedua orang yang aku sayangi meninggal dunia, aku masih saja enggan untuk beranjak dari kamarku. Aku tidak ingin melakukan apa-apa dan aku rasa sudah tidak ada lagi hal yang membuatku bertahan bahkan sesaat melihat peti kayu milik kedua orang tuaku perlahan hilang dalam gundukan tanah dengan nisan cantik diatasnya.
Diriku terus tenggelam dalam air mata kesedihan dan ingatanku masih melekat pada pagi hari yang cerah dimana hari itu adalah hari terakhir melihat kami bercanda hangat saat sarapan, saling melempar canda dan tawa saat melihat diriku selalu saja melewatkan dering pertama dari alarm nya. Dan ayah yang selalu menggodaku dan mamah yang akan selalu menyelamatkan situasi dengan menu sarapan terbaiknya.
Kehilangan selalu akan terasa lebih menyakitkan dan itu akan selalu menjadi luka yang membekas. Tetapi apa yang bisa manusia lakukan saat mereka kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya? Tidak ada. Kita hanya perlu mengikhlaskannya dan terus melanjutkan hidup dengan segala kemampuan kita agar orang yang tersayang itu bahkan bangga terhadap diri kita. Kehilangan bukan untuk diratapi terus menerus. Itu harus menjadi cambuk kita untuk maju lebih baik dan lebih bermanfaat.
Itulah yang kurasakan saat sekarang, mungkin sudah waktunya aku keluar dari kamar ini dan menghadapi semua hal yang mungkin akan tetap membawa luka akibat hanya aku yang tertinggal disini sendiri. Dan juga membuktikan pada ayah dan ibu jika aku akan berusaha untuk tetap berdiri tegar dan menjadi mandiri. Aku harus menghadapi apapun yang akan terjadi setelah ini, karena mereka mengajarkanku untuk menjadi gadis yang tegar dan sanggup menghadapi apapun kesulitanku. Jangan lari dari kenyataan, Pai.
***
Paize mulai mencoba untuk mulai melakukan aktivitas kembali, dimulai dengan keluar kamar dan berjalan menuju kamar kedua orang tuanya. Tidak dipungkiri jika hatinya masih terasa sakit saat melihat barang-barang yang berhubungan dengan orang tuanya. Semua yang ada di rumah ini seperti tombak tajam yang membuat air matanya selalu mengalir deras mengingat kerinduan yang dirasakan pada orangtuanya.
Agak lama ia terdiam duduk di atas ranjang milik orang tuanya, masih menyakinkan dirinya sendiri jika apapun yang terjadi ia masih bisa untuk mandiri. Ia akan melakukan segalanya untuk bertahan hidup demi mereka, demi masa depannya. Tetapi ternyata hal ini sangat tidak mudah untuk dilakukan, pasalnya semua kenangan yang berada di dalam rumah itupun membuat hati Paize sakit karena memikirkan dirinya harus hidup sendiri di rumah besar itu tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
"Pai, diluar ada tamu yang nyariin kamu." ucap pelan tante Tasya padanya. Hari ini memang masih ada beberapa sanak saudara yang menemani Paize di rumah. Mereka tau jika di waktu-waktu sekarang Pai tidak mungkin untuk di tinggal sendirian dalam keadaan kalut, akhirnya beberapa saudara terdekat dari orang tuanya bergiliran untuk menjaga Pai di beberapa hari ini.
"Siapa Tan?" tanya Pai bingung, ia tidak tau siapa yang berkunjung kemari.
"Gak tau tuh. Tapi yang pasti bukan temen kamu deh, udah pada berumur semua." kata tante Tasya, "apa itu temen-temennya papah sama mamah ya?" sambungnya sambil menerka-nerka siapa kira-kira tamu tersebut.
Pai beranjak dari kamar orang tuanya menuju ruang tengah untuk melihat siapa gerangan tamu yang dimaksud. Sepanjang lorong ia kembali memikirkan orang tuanya atau memikirkan bagaimana nanti kehidupan perkuliahannya tanpa adanya kehadiran orang tuanya itu. Ia terus memikirkan semua situasi itu hingga sesampainya ia di ruang tamu. Hanya saja yang ia temui di sana adalah beberapa orang yang ia sendiri tidak kenal, tidak mungkin teman-teman papah karena melihat dari cara mereka berpakaian pun terlalu formal untuk ukuran pekerja kantoran biasa.
"Maaf, tuan-tuan mencari siapa dan keperluannya apa?" tanya Paize dengan sopan. Ia tidak mau dianggap tidak sopan oleh orang lain sementara ia sendiri pun penasaran tentang apa yang terjadi.
Salah satu pria yang berperawakan tinggi besar itu segera mengulurkan tangannya dengan sopan ke arah Paize dan disambut olehnya.
"Kami turut berduka cita atas kehilangannya kedua orang tuamu. Saya Fadel." pria itu memiliki aura tegas tetapi tidak meninggalkan kesan arogan di setiap ucapannya. Pai tersenyum simpul setelah mendengarkan perkataannya.
"Terima kasih atas kedatangannya." jawab Pai sambil mempersilahkan mereka duduk, tetapi hanya pria itu saja yang beranjak menempati tempat duduk, sedangkan keempat orang di belakangnya masih setia berdiri.
"Maaf kalau boleh tau tuan-tuan kemari selain memberikan belasungkawa pada Almarhum papah dan mamahnya Paize, ada lagi yang bisa kami bantu?" tante Tasya mencoba untuk sesopan mungkin menanyakan perihal maksud mereka. Karena dilihat dari manapun, penampilan dan pembawaan mereka bukan seperti hanya untuk kunjungan belasungkawa semata.
"Saya kemari ingin bertemu dan berbicara dengan Paize langsung." jawab Pria itu seraya menatap langsung ke arah Paize. "Saya ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, jika memungkinkan." sambungnya sambil tersenyum.