Hari yang ku lalui kini tengah berbeda seiring hubungan ku yang semakin membeku dan berjarak padahal pada kenyataannya statusku dengannya hanya sebatas kenal karena bertegangga, belum menjadi seauatu yang berharga. Beberapa kali ku lihat Andrew menemui Mira untuk sekedar mengajaknya berangkat bekerja bersama atau memang sengaja ingin bertemu saja, namun itu berarti bagus untuknya agar bisa lebih cepat bahagia.
Dari pintu gerbang komplek terlihat mobil berjalan perlahan masuk melewatinya, kaca dari pintu mobil di turunkan oleh pengemudi yang langsung tersenyum di balik kaca mata hitam yang serasi dengan pakaian yang hari ini melekat di tubuhnya.
Setelah tepat berada di depan rumah mobil itu berhenti.
"Hai."
Ana keluar dari mobil lalu menghampiriku. Aku membalas sapaannya hanya dengan seulas senyum yang berarti bahwa pertengkaran kami sebelumnya telah berakhir, dengan Ana meminta maaf melalui pesan malam itu pun aku telah memaafkannya.
"Oh iya, Davina mana? Sendirian aja."
"Iya, dia gak ikut."
Aku langsung mengajak Ana masuk untuk menemui Syafina sekedar agar kami tak ngobrol hanya berdua.
Syafina yang melihat kedatangan Ana cukup senang namun sama sekali tak antusias, dia masih lebih memilih untuk bermain bersama boneka-bonekanya yang salah satunya adalah boneka pemberian Mira.
Sejak kejadian itu, aku melarang Syafina untuk terlalu dekat dengan Mira, dengan alasan kalau Mira sedang sibuk dan khawatir ketika Syafina menemuinya malah akan mengganggu aktifitas Mira, padahal itu semua hanya alasanku saja yang ingin membuat Mira menjauh dariku, agar dia bisa menjalin hubungan dengan orang lain. Tak pantas rasanya orang sepertiku masih mengharapkan jodoh yang baik seperti Mira, biarlah Mira bahagia dengan pasangan yang bisa membuatnya merasa sempurna, dan Andrew adalah pilihan yang sangat tepat.
"Sebentar ya, aku bikinin minum."
Mungkin Ana merasakan setelah kejadian itu, sikapku padanya tak lagi sama, tapi aku bersikap berbeda bukanlah karena masalah itu, ini hanya lebih kepada perasaan yang sedang ku alami.
"Mas, sebenernya kamu masih marah ya gara-gara masalah kemarin?"
Benar dugaanku, Ana merasakan perbedaan sikapku padanya. Aku menggeleng sebelum akhirnya beberapa kata keluar dari mulutku begitu saja.
"Aku gak apa-apa ko, masalah itu jangan di fikirin lagi."
Dengan senyum, aku berusaha menutupi perasaan ku yang sekarang ku alami, ternyata ikhlas adalah ilmu yang paling sulit.
"Aku tau mas, senyum kamu itu kepaksa, kalau kamu gak pengen kita ketemu atau mungkin gak ada hubungan lagi juga gak apa-apa ko, maaf selama ini aku sering ganggu waktu kamu, aku pulang ya."
Ana langsung beranjak dari duduknya untuk pergi, namun dengan refleks aku mencegahnya dengan menggenggam tangannya.
"Bukan karena masalah itu ko, maaf."
Aku menyuruh Ana kembali duduk.
"Gak tau kenapa kayaknya aku lagi gak mood aja, mungkin karena kecapean kali."
Hanya alasan seperti itulah yang bisa ku jelaskan padanya, tak mungkin rasanya menjelaskn situasi saat ini tentang apa yang sedang terjadi.
"Oh gitu, mau aku pijitin?"
Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencerna kalimat yang dia maksud.
"Jangan mikir yang aneh-aneh deh, ini mijit beneran."
Ana berkilah setelah aku tak menanggapi ucapaannya.
"Oh, hhhmmm boleh deh, ininya aja ya."
Aku lngsung duduk di bawah kursi dengan posisi memunggunginya yang berarti aku menyuruh Ana untuk memijit bagian pundakku, dan Ana pun mengerti. Rupanya cara ini berhasil mengalihkan perhatiannya tentang masalah tadi, dan juga membuat obrolan kami bisa lebih santai. Telapak tangan Ana yang begitu lembut membuatku merinding namun sepertinya dia piawai dalam melakukan pijatan, tenaganya yang tak terlalu keras membuatku merasa sangat rileks. Setelah dirasa cukup memijat bagian pundak, Ana melanjutkannya ke bagian dahi dan kepalaku lalu menyandarkan kepalaku pada kedua pahanya, Ana benar-benar memperlakukan ku dengan sangat lembut, ketika Ana melakukan pijatan di bagian kepala, mataku selalu terpejam, bukan saja karena merasa rileks, namun aku juga tak ingin melihat wajah Ana yang bisa saja menggodaku. Pijatan Ana terfokus pada dahiku hingga aku tak sanggup menahan kantuk dan sekejap kemudian tanpa sadar aku telah terlelap bersandar pada paha Ana.
Aku terbangun ketika mendengar suara tawa dari mereka, rupanya Ana sedang menemani Syafina menggambar di kamarnya, sepertinya mereka bahagia.
Hari telah beranjak sore, Ana memutuskan untuk segera pulang karena telah berjanji pada putrinya untuk pulang tak terlalu malam. Aku mengantar Ana sampai halaman depan, ku lihat di seberang mobil Mira sudah nampak terparkir, menandakan Mira pulang lebih cepat, mungkin pekerjaannya sedang tak terlalu banyak sehingga bisa pulang lebih cepat dari biasanya.
Almira Shofia Prameswary
Beberapa hari ini aku tak bisa menikmati hidupku seperti dulu, semenjak kejadian itu dia terasa sekali ia menjauhiku bahkan sepertinya dia pun melarang Syafina untuk bertemu denganku karena selama beberapa hari setelah Syafina menginap dirumahku, sampai saat ini aku hanya sesekali bertemu dengannya, itu pun dengan waktu yang sangat singkat. Aku tak tau apa yang Angga katakan pada Syafina sehingga ketika kami bertemu, dia selalu mencari alasan untuk segera pergi.
Walau seperti ini, hidup akan tetap berlanjut dan akan tetap berharap yang terbaik.
Setelah rutinitas pekerjaan semuanya beres, aku ingin segera pulang untuk beristirahat, beruntungnya pekerjaan hari ini sedang tak terlalu banyak sehingga aku bisa pulang lebih cepat walaupun untuk saat ini lingkungan rumah sedang tak membuatku bahagia, tapi tetap banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan. Sebagai orang yang hidup mandiri, aku harus bisa mengatur waktu agar semuanya bisa dikerjakan oleh sendiri, lelah memang tapi ini masih belum seberapa dibandingkan nanti ketika aku akan menjadi seorang ibu, terlebih lagi telah memiliki anak, walaupun anakku nanti akan sebaik Syafina, Syafina? Ah kenapa aku teringat dengan anak itu, sepertinya aku memang begitu merindukannya.
Menghabiskan waktu seperti biasa yang tak terlalu jauh berbeda, aku telah sampai pada gerbang komplek perumahan, pak satpam yang melihat mobilku tersenyum menyapa seperti biasa, aku pun membalas dengan menoleh kearahnya seraya tersenyum ramah, namun seketika senyumku hilang melihat mobil yang cukup ku kenal terparkir tepat di depan rumahnya. Semangat yang telah susah payah ku bangun kini sirna seketika yang pada akhirnya membuatku malas melakukan pekerjaan rumah dan lebih memilih untuk merenungi apa yang sebenarnya terjadi hingga semua menjadi seperti ini.
"Sebenernya apa yang udah kalian lakuin malam itu?"
Masih jelas teringat kejadian malam itu ketika aku menghubunginya melalui panggilan video, aku melihat Ana yang sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi karena rambutnya masih terlihat basah, hanya dengan mengenakan handuk yang tak mampu menutupi seluruh tubuh, aku rasa wanita manapun yang melihat kejadian itu akan langsung berfikir ke hal yang negatif, dan wanita manapun pasti terluka melihat orang yang disayanginya seperti itu. Aku memang tak memiliki hubungan resmi atau spesial dengannya sehingga aku tak memiliki hak untuk marah atau melarangnya, tapi tetap saja melihat semua itu dadaku terasa sesak hingga terhenyak.
Kejadian itu telah terjadi hampir dua minggu yang lalu namun masih saja membuatku menitikan air mata, mungkin kemesraan mereka yang baru saja terjadi memicu ingatan buruk itu, usapan lembut yang Ana lakukan sepertinya begitu ia nikmati dan membuatku iri, kenapa bukan aku yang melakukannya? Kenapa bukan aku yang berada di posisinya?
Kejadian itu sepertinya membuatku sedikit kurus, terlihat dari pantulan wajahku di cermin jelas menampakkan pipiku yang mulai tirus.
"Mungkin seperti ini lah diet yang paling cocok untukku."
Aku mengingat kejadian beberapa bulan lalu ketika berat badanku naik secara drastis karena entah kenapa waktu itu aku sering sekali merasa lapar di malam hari, sepertinya makan malamku saat itu tak mampu memberikan rasa kenyang cukup lama yang pada akhirnya membuatku terbangun ditengah malam karena lapar, hingga akhirnya demi bisa tidur nyenyak kembali aku pun harus mengisi perut dengan makanan.
Namun aku harus berjuang keras untuk menurunkan berat badan ketika ia datang bersama putri kecilnya menjadi tetangga baru tepat di depan rumah yang pemilik sebelumnya harus pindah tugas ke kota lain. Mengingat kejadian ketika pertama kali aku menyukainya membuatku bisa sedikit tersenyum, memang ia bukan cinta pertama bagiku namun sosoknya yang begitu sederhana dan penyayang membuatku benar-benar luluh dan kembali merasakan perasaan yang telah lama hilang.
Pada awal keberadaan mereka sebenarnya aku tak pernah berinisiatif untuk lebih dulu dekat dengannya, namun putri kecilnya lah yang pada akhirnya membuat kami menjadi akrab. Syafina sering dengan sengaja main ke rumahku ketika melihatku baru saja datang, namun tujuannya main hanyalah ingin bertemu denganku, tak pernah sekalipun dia meminta lebih dan ketika dia masih tak tau kapan harus pulang, Angga selalu menjemputnya, seringnya kejadian seperti itu membuat kami menyempatkan diri untuk mengobrol yang terkadang justru kami berdua lah yang seperti lupa dengan waktu dan tujuan kenapa Angga berada di rumahku. Semakin hari hubungan kami semakin akrab hingga menjelang akhir pekan untuk pertama kalinya Syafina meminta sesuatu dariku, dengan polosnya ia bertanya, "apa tante besok mau ikut sama Syafina?" Awalnya aku tak mengiyakan ajakannya, namun setelah memastikan tujuan ia mengajakku, aku pun setuju dan akan ikut berlibur bersama mereka berdua.