"Ikut denganku! Ini tempat kerjaku. Ini adalah rumah sakit jiwa tertua di negeri ini."
"Apa ini tempat yang istimewa?" Vero celingak-celinguk ke beberapa sudut.
"Nggak juga sich! Sering ada yang ngelihat kuntilanak di sebelah sana! Makhluk menembus dinding di sana dan objek bergantung di pohon sebelah sana!" Hendry sibuk mengarahkan jarinya ke spot yang paling banyak menyimpan cerita. Selebihnya, tidak ada yang terlalu berbeda. Lorong dengan pintu jeruji besi, tatapan kosong, dan aroma yang sangat khas.
Vero memang tidak punya rencana khusus hari itu. Dokter lain punya agenda untuk kunjungan ke beberapa tempat pelayanan kesehatan mental. Namun, secara khusus Hendry meminta Vero untuk bersamanya. "Ada yang mau kuperlihatkan padamu," kata Hendry misterius. Seperti yang biasa Vero lakukan, Hendry juga melakukannya. Hendry berkeliling dari satu ruang perawatan ke ruang perawatan lain untuk menemui pasiennya.
"Maaf, Dok! Dokter Lin tidak masuk hari ini. Anda diminta menggantikan beliau di poliklinik," seseorang tiba-tiba menghampiri Hendry.
Hendry menoleh ke belakang, pada seseorang di jarak dua meter darinya.
Vero yang saat itu hanya mengenakan jeans dan kemeja yang dilapis jaket kulit berwarna tanah langsung mengerti. "Aku bisa menunggu," katanya.
"Baik. Aku akan ke poli," tegas Hendry pada orang yang barusan mendatanginya. "Maafkan aku! Ini benar-benar dadakan," katanya kemudian pada Vero saat mereka meninggalkan bangsal perawatan.
Vero mengangguk. Buatnya benar-benar tidak masalah jika harus menunggu sampai semua pekerjaan Hendry selesai. Tidak ada rencana apa pun di otak Vero saat itu. Berada sedikit lebih jauh dari Jakarta tidak cukup buruk. Bogor akan lebih dingin dan menenangkan.
"Aku ini nggak gila. Dokter harus percaya itu! Aku cuman punya masalah bipolar aja. Aku baca di google, kalo orang bipolar itu pas dia lagi happy-happy-nya dia bakalan happy banget, tapi kalo sedih bakal sedih banget sampai mau bunuh diri."
Vero berusaha menahan senyumnya mendengar penjelasan dari seorang pasien, dan itu benar. Sementara Hendry, dia tampak serius mendengar curhatan perempuan berusia sekitar 18 tahun, Arianti Pasya. Kata keluarganya, anak ini mengamuk beberapa kali karena melihat hantu dan mendengar berbagai bisikan yang menyuruhnya untuk pergi ke suatu tempat. Dia terus saja gelisah. Sudah satu minggu ia dikekang dan tidak diizinkan keluar rumah. Tiga bulan yang lalu ia putus sama pacarnya. Pacarnya itu sering memukulinya dan meminjam uang kepadanya tanpa pernah mengembalikan pinjaman tersebut.
"Masak sich Dok aku dibilang gila! Dokter tahu nggak berapa IPK aku? Aku semester empat dan selalu mendapat IPK terbaik. Aku juga kuliah sambil kerja. Aku dibilang gila gara-gara aku bisa ngelihat makhluk halus. Aku ini indigo, Dok! Aku bisa lihat kok ada yang berdiri di belakang mas yang ganteng itu!" kata sang perempuan menunjuk ke belakang Vero. "Rambutnya panjang, mukanya putih dan nyeremin banget. Juga ada yang bergelantungan di atap. Pokoknya rumah sakit ini tempat mereka banget dech!"
"Apa dia serius?"lirih Vero terkesan percaya.
"Dokter!" sebut sang perempuan dengan penekanan. "Dokter ini 'kan orang pintar. Buktinya udah jadi dokter, iya, 'kan?"
Hendry mengangguk sambil memegangi dagunya.
"Dokter bisa ngebedain dong mana yang gila dan mana yang cuma punya gangguan bipolar kayak aku? Bisa 'kan, Dok!"
"Ok! Gini aja dech! Aku mau ngomong dulu sama nenek kamu. Ntar kita ngobrol lagi, ya!"
"Dokter itu harus percaya sama aku. Dan bilangin juga tuh sama nenek aku, orang tua aku juga. Bahwa yang aku omongin ini benar. Mereka nggak berpendidikan, mereka nggak ngerti apa-apa."
"Ok! Sekarang kamu keluar dulu, ya!"pinta Hendry.
Sesaat setelah pasiennya keluar dari ruang konsultasi, Hendry menghela napas. "Aku kasihan sama dia. Dia percaya banget sama aku kalau aku nggak bakal masukin dia ke ruang perawatan,"ucap Hendry pada Vero. "Soal dia yang peraih IPK tertinggi dan kuliah sambil kerja itu fakta. Anak ini tinggal dengan nenek dan adiknya sejak usia 5 tahun. Orang tuanya bercerai dan terkesan tidak peduli. Parahnya, anak ini pernah gagal menikah berkali-kali karena neneknya tidak merestui. Gara-gara itu pernah depresi dan mencoba bunuh diri. Neneknya ingin agar Rianti tidak menikah selama neneknya masih ada. Sebagai bentuk balas budi karena selama ini neneknya yang ngerawat Rianti dan sekarang Riantilah yang harus ngerawat neneknya. Jelas saja, anak itu tertekan. Dia menghalami halusinasi, waham, depresi, sampai ingin bunuh diri."
"Skizofrenia, kupikir dia cukup cerdas untuk mengerti bahwa itu jenis gangguan jiwa berat. Bukan sekadar gangguan bipolar," tanggap Vero lebih santai.
"Akhhh... dia terlalu muda untuk mendapat stigma itu," Hendry mengacak-acak rambutnya. Tapi, pada akhirnya Hendry harus kembali ke catatan dokter di rekam medis, tentang keputusan RAWAT dengan beberapa catatan obat yang harus diberikan.
~II~
"Apa yang mau kamu perlihatkan?" tanya Vero yang memperhatikan jam tangannya. Ia kira sudah tiga jam ia menunggu sambil mengikuti kegiatan Hendry. Sekarang, sudah tidak ada pasien, tidak ada yang meminta tanda tangan dan mereka benar-benar berdua di ruangan seluas 4x6 meter.
"Bukan sesuatu yang penting. Tapi, aku merasa punya kewajiban untuk ini."
"Katakan saja!" ucap Vero.
Hendry memperhatikan Vero sekali lagi. Ini seperti membuka luka lama sahabatnya itu. Jakarta, mungkin akan selalu menjadi momok yang mengerikan bagi Vero. Selalu menyeretnya pada kisah kelam tanpa ujung. Hanya saja, baik Hendry maupun Vero ragu apakah pilihan Vero untuk menghilang adalah banar. Kadang masalah justru harus dihadapi, agar tidak menyisakan penyesalan.
"Maafkan aku menanyakan ini, apa kamu tidak mau bertemu dengannya?"
Vero diam sejenak sambil melipat tangannya ke depan dada. Ia mencoba menekan kegelisahannya sendiri dengan bersikap seperti itu.
"Ken Murakami," sebut Hendry sambil memperhatikan reaksi Vero.
Vero sendiri yang menitipkan orang itu untuk dirawat oleh Hendry. Sahabat sekaligus orang yang paling ia percayai dalam hidupnya. Dan Vero sendiri yang bilang bahwa dia tidak ingin melihat, bahkan mendengar nama "Ken Murakami" diucapkan di hadapannya. Tapi, apakah Vero terlalu lemah untuk berkompromi dengan dirinya sendiri? Tidak. Bukan itu yang ia inginkan.
"Ada apa dengannya?"
"Kami mengadakan pemeriksaan kesehatan pada Ken Murakami dan menyimpulkan ada tumor di otaknya. Gejala yang timbul sekarang adalah kelumpuhan sebagian, tapi tidak terjadi penurunan kesadaran. Aku tidak bermaksud membuatmu...,"
"Ini benar. Kamu hanya menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan oleh seorang dokter,"potong Vero. "Boleh aku pergi? Aku mau ke suatu tempat," lanjut Vero.
Hendry mengangguk. Dia pasrah dengan keputusan Vero apakah Vero akan menemui ayahnya atau tidak. Ia cukup lega akhirnya masalah itu terucap juga, karena jika sekali ini Vero pergi, mungkin Vero tidak akan pernah menemui ayahnya lagi.
~II~
Keesokan harinya,
Ini baru pukul enam, Hendry harus buru-buru pergi ke rumah sakit karena Vero memaksa masuk ke ruang perawatan pasien VIP padahal ini belum jam kunjungan.
"Biarkan saja dia masuk!"perintah Hendry di telpon pada perawat yang berjaga saat itu.
Vero, ia memasang jas putih dan datang seolah-olah sebagai dokter baru yang ingin memperkenalkan diri. "Ken Murakami", banyak yang bilang Vero sangat mirip dengan orang itu, bahkan ibunya sendiri mengatakan itu. Tapi, lihatlah laki-laki itu sekarang. Rambutnya memutih, tatapannya kosong dan ia hanya duduk di kursi roda.
Vero menarik kursi ke hadapan orang tua yang seharusnya ia panggil ayah. Vero tidak langsung bicara, ia terus saja meratapi laki-laki yang kakinya tampak lunglai. Perlu bertahun-tahun mengumpulkan keberanian untuk hal yang Vero lakukan sekarang. Memori di mana ia dipukuli tanpa alasan oleh laki-laki tua itu dan ia melihat sendiri bagaimana ayahnya menusuk ibunya hingga tewas. Karena ayahnya seorang skizofrenia, maka Vero harus menerima kejadian mengerikan dalam hidupnya adalah sebuah ketidaksengajaan.
"Kamu siapa?" pertanyaan pertama yang diajukan ayahnya.
"Namaku Vero," jawab Vero apa adanya.
"Oh."
Tatapan orang di hadapannya berubah. Sepertinya orang tua itu gelisah, matanya mulai berkaca-kaca dan bibirnya bergetar kelu.
"Bagaimana kabarmu?"
Vero diam sejenak, ia tidak menyangka akan berbicara banyak dengan orang itu. Vero sempat berpikir bahwa ayahnya tidak akan mengenalinya.
"Baik,"jawab Vero.
"Sudah jadi dokter, ya?" Ken tersenyum simpul.
"Begitulah."
Suasana kembali hening untuk waktu yang cukup lama. Perlahan mentari yang mulai meninggi menyelipkan sinarnya ke celah ventilasi. Saat Vero merasa tidak ada lagi yang ingin dibicarakan dengan orang tua itu, Vero berdiri dan berbalik.
Namun,
"Bagimu mungkin aku tidak perlu meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku pantas menerima kebencian darimu atau ibumu. Tapi, biarkan aku mengucapkan kata maaf itu."
Vero terkesiap. Andai itu terungkap dengan tulus dan bisa dipercaya, Vero ingin sekali mendengar itu. Kata-kata maaf, seperti oase ditengah gurun, Vero terus menunggu keajaiban itu datang dan mungkin bisa sedikit membasuh luka yang selama ini menganga di dadanya.
"Tapi, bisakah kamu bawa aku keluar? Tempat ini begitu mengerikan. Banyak yang berbisik padaku, banyak yang ingin menyakiti. Aku mohon, bawa aku keluar dari sini!"
Vero bergeming. Aliran udara tetap mengalir ke paru-parunya tanpa suara. Menyusup di antara rasa sakit hatinya yang perlahan bertambah. Satu hal yang dimengerti Vero adalah orang itu masih saja dikuasai oleh halusinasinya. Dan untuk itu, Vero harus meninggalkannya begitu saja.
"Jika semakin sering kambuh, maka akan semakin berat", pikir Vero sambil menyeruput sekali lagi kopi hitam tanpa gula. Tangannya tertahan di pagar balkon kamar tempatnya menginap dan tatapannya kosong pada barisan gedung-gedung pencakar langit yang dibangun di sekitar hotel.
"Kamu baik-baik saja,'kan?" tanya Hendry yang sedari tadi berada bersamanya.
Vero menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ada beban di pikirannya ketika tidak mengerti apakah yang ia lakukan benar.
"Aku sendiri dokter ahli kejiwaan, tapi aku justru memintamu untuk merawat orang tua itu," lirih Vero.
Ini terdengar tidak wajar. Tapi, Vero sudah hidup dalam ketidakwajaran sejak usia sebelas tahun. Ketika ibunya sekarat di rumah sakit hingga meninggal karena serangan tidak jelas oleh ayahnya. Sejak saat itu Vero tidak mengerti mana benar dan yang salah. Ibunya mati, dan ayahnya tidak mendapat hukuman apa pun karena perbuatannya. Orang itu bahkan tidak menunjukkan rasa bersalahnya. Kadang laki-laki tua itu bertanya pada Vero, "Mana ibumu?" dan Vero tidak mampu menjawabnya. "Skizofrenia" istilah yang banyak ia dengar kemudian. Itu istilah yang begitu sulit untuk dimengerti, sangat sulit hingga membuatnya sering sakit kepala dan merasa mual. Ayahnya mungkin berada posisi tidak menyadari bahwa "membunuh orang" adalah hal yang salah secara nilai, atau ia hanya berusaha membela dirinya terhadap sesuatu yang muncul dan mengganggu pikirannya hingga tidak sadar telah melukai orang lain. Dan untuk itulah hukum tidak bisa ditegakkan pada orang seperti itu.
Vero berusaha menerima bahwa ayahnya "sakit". Ia sudah mencoba beberapa kali untuk tetap berada di sisi orang itu. Tapi, itu terlalu berat karena Vero hanya sendiri. Ia sering dipukuli ketika penyakit ayahnya kambuh, dipukuli hingga hampir sekarat tanpa ada yang menariknya dari sesuatu yang mengancam nyawa itu. Tidak ada yang menjadi pendengarnya ketika ia berusaha menjadi pendengar yang baik saat ayahnya terus menerus berkeluh kesah. Tidak ada yang mencoba memahaminya saat ia dituntut harus memahami ayahnya.
Vero masih tidak bisa menilai mana yang benar, memilih tetap besama orang tua itu sebagai anak yang baik atau bertahan dengan keputusannya sekarang.
"Saat aku masih tinggal dengannya, ada waktu di mana aku berpikir "Dia" lebih baik mati. Jika bukan "Dia", maka aku yang harusnya mati. Aku tahu aku punya perasaan benci dan dendam padanya. Aku mungkin punya niat membunuhnya. Makanya kuputuskan untuk tidak merawatnya lagi, dan berhenti menemuinya. Apa itu salah?" ungkap Vero.
Hendry menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia melangkah pelan ke arah Vero, kemudian merangkul sahabatnya itu. "Aku tahu itu. Jika aku berada di posisimu, aku tidak akan sekuat dirimu. Aku pasti sudah gila!"
"Sampai sekarang aku masih berharap bahwa kejadian itu tidak pernah terjadi. Aku, ibu, dan ayah... harusnya bahagia. Tapi, itu harapan yang tidak akan pernah terwujud,"Vero tersenyum sinis dengan mata yang berkaca-kaca. "Sesuatu yang membuatku merasa tidak pernah sempurna."
~II~