Lantai merekah dan satu prajurit kavaleri muncul. Jubah hitam legamnya tampak cocok, tombang panjangnya mengacung dengan ujung yang berkilat-kilat mengancam, dan kuda kerangka yang ia tunggangi meningatkan akan hantu paling seram di rumah hantu yang aku datang bersama "keluarga"-ku ketika masih kecil.
"Anggota kavaleri?!" Anak buah Strength terpana. "Kenapa kamu ada di sini?! Apa master yang memerintahkanmu?!"
Anggota kavaleri itu membuyarkan jeruji besi sebelum berderap melindungi ketiga temanku yang masoh shock.
Aku tidak menghentikan terjangan.
Bunyi dentingan terdengar keras.
"Kamu tidak bisa mengalahkanku!" pekik anak buah strength. "Aku yang akan mencincangmu di sini, Half-blood!"
Satu sentakan darinya cukup untuk membuat tubuhku terlempar. Sempat menghantam dinding jeruji sebelum mendarat mantap.
"Azalea! Apa kamu baik-baik saja?!" seruan Isla terdengar nyaring.
"Lebih baik, khawatirkan dirimu sendiri," ujarku acuh.
"Kami dijaga oleh kavaleri menyeramkan itu," sahut Rick. "Khawatirkan dirimu juga."
Aku melompat ke samping ketika anak buah strength menyerbu. Aku mengayunkan pedang, melukai pipinya.
Aku menahan bobot berat jeruji itu dan melemparnya hingga menabrak dinding jeruji.
Aku bangkit dan baru menyadari bahwa pakaian yang kukenakan sudah kotor dan robek sana-sini.
Aku memandang ke arah ketiga temanku dan melihat Avery yang berkomat-kamit.
Dia hendak memberi tahu.
"Kelemahannya ada di kepalanya," ujar Avery. "Penggal kepalanya dan dia akan mati."
Aku mengangguk singkat.
Aku bergegas menerjang dan mengayunkan pedang sebuas dan sekuat mungkin. Berdentangan dengan jeruji miliknya. Aku cepat-cepat menangkisnya, membuat tubuhnya terlempar dan menendangnya ke bawah.
Hantaman tubuhnya dan lantai membuat debu berterbangan. Aku menahan tubuhnya, sempat bergulat dan memenggal kepalanya ketika dia menahanku.
Itu membuat tubuhnya terjatuh, aku bergegas berguling menghindar agar tidak tertimpa tubuh menjijikan itu.
Ketiga temanku berdentuman turun.
Kavaleri menghilang.
"Ok," Aku mengatur nafas. "Dimana kepingan itu berada?"
Avery mengacungkan kepingan ia ambil dari lengan si anak buah strength.
"Dia menjadikannya sebagai gelang," ucap Avery. "Mari kita lanjut."
"Dimana tempat selanjutnya?" tanya Rick.
Aku melihat ke peta dan menghela nafas ketika melihat tulisannya.
"Sekolah yang berada sekompleks dengan sekolah adik tiriku, North High School," gumamku.
"Kalo gitu, ayo cepat kesana!" Rick tampak lebih semangat.
"Dan kita harus berganti pakaian," ujar Isla.
Kami mengambil pakaian dari lemari dan bergantian menggunakan kamar mandi untuk pengunjung.
Aku memilih untuk menggunakan celana kapri hitam dengan motif percikan cat ungu, hoodie hitam dengan motif tengkorak, dan sepatu pantofel yang nyaman. Aku mengikat rambutku menjadi kuncir kuda rendah dengan pita sewarna langit malam.
"Bagaimana kita ke sana?" tanyaku. "Jarak ke sana nyaris 2 mil."
"Apakah ada kereta ke sana?" tanya Isla.
"Mari kita cek," Avery mengangguk. "Tapi, kita harus pergi dari sini."
Malam sudah larut. Toko-toko sudah tutup, kecuali supermarket 24 jam.
Jalanan sudah mulai sepi, hanya ada beberapa mobil yang sepertinya hendak pergi untuk melihat night city.
Kami melintasi zebra cross dan masuk ke supermarket. Memesan di bagian cafe kecil dan duduk di teras supermarket.
Rick tampak sibuk dengan ponselnya.
"Ada kereta ke daerah itu," ujarnya.
"Kapan?" tanyaku penasaran.
"Um, sekitar jam 8 pagi," jawabnya.
Kami mengangguk. Itu artinya, kami terpaksa istirahat di sini, tanpa tidur.
Aku membuka situs sekolah itu.
"Dan kita akan kesusahan," keluhku.
Mereka memandangku, meminta penjelasan tentang apa yang aku ucapkan tadi.
"Mereka sedang mengadakan festival budaya yang dibuka untuk umum," jelasku.
"Itu akan sulit," ujar Avery. "Jika kita terpaksa bertarung, pergerakkan kita tidak akan bebas. Sehingga kita mudah kalah."
Aku menghela nafas dan men-charger ponselku di stop kontak yang sudah disediakan di meja yang kami tempati.
Aku membuka novel tebal yang kubawa, 'Barisan Vorona'. Itu adalah novel detektif.
"Barisan vorona?" Avery tampak tertarik.
"Apa maksudnya?" Isla yang sejak tadi tenggelam dalam majalah mode yang ia beli tadi mulai penasaran.
"Vorona dalam bahasa rusia berarti 'Burung gagak'," jelasku. "Burung gagak sering kali diartikan sebagai kematian. Karena itu, arti dari judul itu adalah Barisan Kematian."
"Apakah itu novel detektif?" tanya Avery.
Aku mengangguk.
"Anak necromancer memang suka dengan hal berbau kematian, ya," kekeh Rick.
"Bukannya kamu bilang kalau aku anak satu-satunya Necromancer?" tanyaku.
"Ah! Kami tidak tahu benar atau tidak, ada yang bilang kalau Necromancer punya anak lagi," jelas Avery. "Tapi, belum ada yang melihatnya."
"Chaos juga katanya punya anak lagi," lanjut Isla.
"Aku berharap punya saudara," ucapku. "Tidak seperti Bella."
"Aku juga," Avery mengangguk setuju. "Kadang kalau sendirian di pondok, membosankan juga. Mungkin lebih seru kalau punya saudara, apalagi jika sepaham."
"Saudaraku kebanyakan," kekeh Rick. "Jadi, berisik sekali di pondokku."
"Anak-anak fraudulance lebih memilih sendiri-sendiri," lanjut Isla. "Aku ingin punya saudara yang bisa diajak bermain."
Lagi-lagi, kami berempat punya kesamaan.
Ah... aku ingin sekali punya saudara...
___________________________________
--Place : No Data--
"Pergi, Anak Sial!" Seorang perawat di panti asuhan muncul di ambang pintu dengan wajah garang. "Kamu selalu membawa sial! Kamu membuat mereka ketakutan! Sejak ada kamu, banyak yang meninggal!"
Perawat lain juga tampak marah, perawat yang masih muda berbisik dan menunjuk seorang anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun yang terduduk di halaman.
Ia menunduk. Rambut hitamnya tampak acak-acakan. Bola mata hitam pekatnya tampak sedih dan datar. Kulitnya pucat.
Anak-anak lain bersembunyi di balik perawat.
Mereka masuk, meninggalkan anak laki-laki itu sendirian.
Seorang lelaki dewasa mengulurkan tangannya, disambut oleh anak itu.
"Tidak apa-apa," ucapnya. "Kamu akan bertemu dengan keluarga yang menyayangimu. Sebentar lagi."
"Aku menunggunya," isak anak laki-laki itu.