"Dokter Chris!" David berusaha meraih gelas itu, tapi keburu dicegat oleh tanga sang dokter satunya.
"Biaya rumah sakit?"
Milena tak tahu apa maksudnya, tapi kalimat itu cukup membuat David terlihat gentar.
"Biaya rumah sakit?" ulang Milena, bingung.
"Bukan apa-apa. Kurasa pra-pemeriksaan itu adalah ide yang tidak buruk." Sangat jelas david mengatakannya dengan terpaksa.
"Benar. Sekarang, ayo, meludahlah!" perintahnya lagi.
Milena memandang David dengan tatapan nanar. Sayangnya, David hanya mengangguk pelan dan samar-samar berkata, "lakukan saja."
Milena menatap gelas kosong itu, menelan ludah berat. Apakah dokter Chris mencurigai sesuatu?
Tingkahnya sangat ganjil saat ini.
"Ayo! Aku dokter yang sibuk!" gelas itu digoyangkan di depan wajah sang peri.
"Baiklah..." suaranya serak dan lemah, seolah-olah dengan begitu ia telah mengakui semuanya secara diam-diam pada sang dokter. Ia meludahkan cukup banyak air liur, tepat saat ia terbayang wajah Max. Hatinya tiba-tiba saja terbakar amarah.
Awas saja kalau ada hal yang aneh dengan hasil tesku! Ancamnya dalam hati.
Dokter Chris menaikkan gelas itu di udara, menggoyangkannya perlahan, "yup! Sampel pra-pemeriksaan yang cukup banyak. Terima kasih, Milena!"
"Hentikan itu!" seru David dan Milena serempak, jijik.
"Beruntung kalian bukan dokter. Ini bukan apa-apa bagi kami." Ia tersenyum mengerikan. "Ok. Aku akan pergi sekarang! Silahkan lanjutkan adegan perselihan mesra kalian atau apalah itu!" sindirnya lagi, mata kanannya mengedip pada David yang dibalas dengan desahan dan putaran bola mata. Tangannya meraih sisa cokelat Max, berjalan memutari tempat tidur, dan meraih cokelat yang dibuang.
"Apa yang kau lakukan?" David keheranan.
"Aku tipe yang benci buang-buang makanan!" Teriaknya memunggungi David, ia melambaikan cokelat itu di udara.
"Apa? Sejak kapan? Itu jorok!"
"Sejak detik ini! Tidak kotor selama masih memiliki wadah yang tertutup rapat dan isinya tidak kotor." Ia berbalik, tersenyum penuh kemenangan, "cokelat gratis! Siapa yang tak suka? Sampaikan maafku pada dokter Ames!" lanjutnya riang, lalu ia lenyap dari balik dinding.
"Pamanmu sangat aneh, kau tahu?" celutuk Milena tanpa sadar.
David terbahak mendengarnya.
"Kau baru sadar?" Ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Milena mengangguk pelan. Keduanya tergelak.
"Jorok. Itu dari tempat sampah. Gila!" Milena mengerutkan muka, pura-pura jijik.
"Yeah. Tapi, kadang di tempat sampah kita tak sadar membuang sesuatu yang berharga. Tak salah untuk memeriksanya kembali. Belum terlambat sebelum hilang selamanya." Gumam David, pandangan matanya kosong.
"Apa maksudnya itu?"
David menghela napas keras, bahu merosot, "bukan apa-apa."
Milena terdiam. Ada yang aneh dengan ucapan David, namun ia lebih memilih untuk tidak melontarkan pertanyaan yang bisa menjadi pemicu konflik.
Kini, Milena hanya peduli pada hasil pra-tes dokter Chris. Sepertinya entah bagaimana paman David mencurigai sesuatu. Ia memandang meja yang sebelumnya tergolek sisa cokelat Max. Bulu kuduknya merinding. Rasanya ia telah menjadi seorang kriminal di hadapan David.
"Oh, ya, Milena." Kata David lembut.
"Ya?"
"Aku tidak akan melakukan semua ini jika bukan dirimu." Suaranya terdengar kalem dan dalam.
"Apa? Maksudnya?" Tanyanya kebingungan.
David menggeleng keras, mendengus, "lupakan saja."
Perkataan lelaki itu membuat Milena mematung dengan sorot mata penuh tanda tanya. David sibuk membersihkan sisa-sia piring kotor dan menyeka permukaan meja, terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Ada apa dengan semua orang hari ini? Batin Milena kebingungan.[]
Ayo vote novel ini dengan batu kuasa!
Sampai jumpa minggu depan!^^