Download App
100% Mangnolia Lotus / Chapter 3: Chapter 03 - Syair Bukan Pedang

Chapter 3: Chapter 03 - Syair Bukan Pedang

Tiga hari berlalu bagaikan neraka dalam hidupku. Aku harus selalu bersama Huang Lien, Pagi sampai malam, ia tidak membiarkan aku istirahat dengan tenang. Tiga hari aku harus makan satu hal yang dia hidangkan, makanan kematian.

Pernah ia menghidangkan aku sup kepala ikan, tapi warna dan baunya bagaikan terong layu yang busuk. Aku hampir tidak mau makan, tapi karena rasa laparku aku akhirnya memaksa diriku untuk makan.

Namun, sekarang aku sudah sembuh. Waktunya untuk kembali ke Lanling (Kelas putih embun).

"Lengkapilah diri kalian dengan bunga surga, bunga kemenangan. Para pahlawan turun dari surga dan menebarkan kedermawanan. Tiga hal yang masing masing mereka miliki, pertama: Sastra, Kedua: Irama kecapi, dan ketiga: Ilmu beladiri. Tapi satu dari ketiga pahlawan tersebut mematahkkan impian lama temannya untuk menjadi satu tubuh, satu daging, dan satu tulang. Ia sang pembawa pedang menghunuskan satu tebasan pada satu teman dan berlanjut pada yang satunya. Kemudian nama dari ketiga pahlawan itu tidak pernah didengar lagi."

Aku memperhatikan seorang guru dengan prawakan tegas dan dermawan, Guru Lang Dai. Kebanyakan sekte Dai adalah pengumpul, pendidik, dan pembawa syair ternama nomor satu. Tempat yang terkenal itu diberi nama Daizu. Daizu dibagi lagi menjadi beberapa bagian, Kamar istirahat para murid, Langling kelas syair, Mangdong Kelas musik dan beberapa tempat lain.

Aku yang dari tadi sibuk memperhatikan mulai teralihkan ke samping kanan tempat Huang Lien duduk, ia memberikanku sebuah kertas yang diremas. Dengan senyum ia memperlihatkan gambar adegan dewasa yang sebenarnya dilarang di Daizu.

Aku tidak ingin membuka kertas yang aku pegang dan membuangnya jauh jauh.

"Sikap yang keterlaluan." Ucapku dalam hati.

Aku kemudian mendengar sebuah buku yang terjatuh dengan kasar, Lang Dai sedang marah.

"Aku sudah dua puluh tahun mengajar murid untuk mendidik dan memberikan perhatian kusus. Kini aku melihat ada murid yang benar benar berani dalam kelas syair kali ini." Ucapnya.

Aku melirik ke Huang Lien.

"Huang Lien." Sebut Lang Dai.

"Ya, Aku disini." Jawab Huang Lien mengangkat tangan.

"Izinkan aku bertanya: Kenapa seorang penyair tidak mengizinkan dirinya terlibat dalam pertarungan?." Tanya Lang Dai.

Huang Lien menjawab, "Karena mereka mengikat diri mereka dengan sebuah janji, Berbunyi: "Tuanmu adalah tulisan, dalam tulisan kau memiliki pedang." Artinya: Seorang penyair adalah pedang dengan tulisan yang bermakna bagaikan sutra."

Lang Dai memainkan jenggotnya, "Kau adalah anak dari sekte terkenal, jadi pasti kau tahu. Tapi izinkan aku bertanya: Kenapa di Daizu tidak mengizinkan ilmu beladiri?."

"Karena, anak anak di Daizu sangat lemah dalam pertarungan fisik, lihat saja. Mereka hanya membaca dan menulis, membaca dan bermusik. Berbeda dengan kalangan anak anak kultivator lain yang fisik mereka lebih bagus dan kekar, lihat, mereka kurus dan tidak bertenaga kurang dalam pemanasan. Tapi sekali pemanasan pasti akan menyerah." Ucap Huang Lien.

Lang Dai kembali melempar buku tepat dimuka Huang Lien Dan berkata, "Kau pikir kau siapa? Kita di sini membahas mengenai aturan para penyair, bukan merendahkan akademi sendiri. Cepat keluar!."

Aku Melihat Huang Lien melompat keluar dengan tawa kerasnya.

"Haha, ini lebih baik dari pada melamun dalam akademi." Ucap Huang Lien sambil berlari.

Aku mendesah, "Kapan Daizu akan tenang?."

Kelas sudah berakhir, aku memikirkan diri untuk berjalan ke luar untuk melihat-lihat.

Terdapat air terjun di Daizu, aku menutup mata dan berkata, "Air terjun yang turun bagaikan kain sutra, membawa seorang nelayan pada banyak kenangan. Tiap pagi dia pergi ke danau dan tiap malam ia bertemu dengan air terjun. Di bawah air terjun nelayan itu melihat pantulan cahaya bulan dan kenanganpun di mulai. Sejak kecil nelayan itu di berikan cerita kalau di bawah cahaya bulan dekat air terjun akan turun seorang putri yang cantik dengan kain sutra bermotif merah muda, sangat cantik parasnya. Namun itu hanya cerita anak-anak, karena nelayan itu sadar kalau itu tidak akan pernah terjadi, sampai pada besok malamnya, ia melihat sosok perempuan dengan kain sutra merah muda menari di atas pantulan sinar bulan. Mata pelayan itu berbinar bagai berlian, dan terdiam melihat sosok wanita cantik jauh disana."

Aku menghentikan kata-kataku karena aku mendengar suara seseorang seakan sedang ikut dalam kata-kata yang aku buat. Aku melihat ke atas pohon sumber suara dan melihat sosok pria dengan kain hijau emerland duduk di atas pohon dengan kasar dan mendengar kelanjutan kata yang aku buat.

"Nelayan itu jatuh cinta pada pandangan pertama dan saat gadis itu mendekat ke perahu, gadis itu duduk dan berkata, "bolehkah aku menemani malammu." Nelayan yang mendengar kata itu hanya mengangguk diam dan seketika malam yang indah itu berubah menjadi malam bagi burung pemakan bangkai, nelayan itu di bunuh dengan lidah panjang dari gadis cantik itu, leher nelayan itu berlubang dan tiadalah nelayan itu... huahaha.."

Aku yang mendengar kata itu mulai menepis dan berkata, "Huang Lien, itu bukan kisah 'nelayan muda dan gadis sutra'."

Huang lien turun dan berkata, "tidak, tidak, tidak. Itu adalah kisahnya: bagaimana seorang yang baru pertama kali dilihat bisa jatuh hati? Kau harus hati-hati, orang yang pertama kali di temui bukannya harus di waspadai bukan? Ya kan? Maka dari itu kisahnya lebih baik begini bukan menikah dan punya keturunan. Lagi pula gadis di bawah bulan itu banyak yang seperti gadis malam yang ada di penginapan malam."

"Itu adalah kisah yang di tulis oleh penyair Ming duo, dan itu dari kisah nyata." Ucapku.

Huang Lien tertawa sambil memegang perutnya. "Lihat siapa yang mengajariku? Kau mirip dengan pamanmu, Lang Dai. Ini adalah kisah nomor 109 bagian akhir kan? Aku tebak."

"Ya benar, tapi kau membuat alaurnya menjadi kacau. Bisakah tingkahmu seperti anak normal lainnya?." Lanjutku.

"Normal? Aku sudah normal. Hanya satu: Daizu kurang seni beladiri." Ucapan Huang Lien mengingatkanku pada kejadian malam lalu, dan aku membalas. "Kau, kau beraninya mengunakan seni kultivator di Daizu. Itu melanggar aturan, para penyair melarang diri mereka untuk terlibat pertarungan."

"Tunggu, tenang dulu. Kau sedang demam, bisa saja kau salah lihat. Matamu pasti berhalusinasi." Ucapnya.

Aku melihat sebuah kipas putih yang tergantung di pinggul Huang Lien dan mengambilnya dengan paksa. Aku terkejut setelah mengambilnya, rupanya itu adalah belati, belati terdapat di dalamnya.

Dan aku berkata, "Kau membawa benda tajam? Baeraninya."

Sekarang aku melihat wajah yang penuh ketakutan, Huang Lien terdiam dengan keringat dingin dan berkata. "Berikan padaku. Ini untuk memotong sayuran, aku habis dari dapur memotong sayuran untuk di olah menjadi soup."

"Itu alasanmu? Aku akan beritahu para tentua dan persiapkan saja hukumanmu." Ucapku berangkat ke aula tentua.

Huang Lien menghentikanku dengan memegang lengan bajuku dan berkata, "tolong percayalah, aku habis dari dapur dan memotong bahan makanan untuk diriku sendiri."

"Tidak ada yang membawa belati yang tersembunyi di dalam kipas." Ucapku memberontak.

Huang lien memelas. "Tolonglah, percaya padaku... hue...."

"Lepas." Ucapku dengan kasar. Dan aku berangkat pergi.

"Dao Dai, tunggu." Ucap Huang Lien.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login