Download App
2.42% Bara / Chapter 17: Risen

Chapter 17: Risen

Sepanjang hari Bara terus mengulang-ulang nama lengkapnya di dalam hati. Perbincangannya dengan Kimmy pada dini hari tadi membuka matanya tentang hidupnya yang kini sudah benar-benar berubah. Saat ini bukan perihal mencari uang untuk melunasi kontrakan atau untuk makan sehari-hari yang menjadi beban pikirannya. Saat ini bebannya justru pada apa yang dimilikinya.

"Hoi bengong aja lu," Kimmy mengagetkan Bara yang sedang menyendiri di tepian kolam renang.

"Apa sih," Bara menjawab dengan sedikit kesal.

Kimmy kemudian duduk di sebelah Bara.

"Daripada bengong melulu, mending ikut gue ke galery, ada pembukaan pameran baru."

"Gue ngga ngerti apa-apa soal seni."

"Lu ngga perlu ngerti seni untuk bisa menikmati karya seni, gue juga ngga ngerti-ngerti banget soal seni, tapi gue menikmati setiap kali gue lihat karya seni, gue kagum sama orang-orang yang bisa menghasilkan karya seni."

Bara terdiam sejenak mendengar perkataan Kimmy.

"Gue harus datang sebagai Bara?"

"Ya iyalah sebagai Bara, kan ngga selamanya lu harus nyembunyiin siapa lu sebenarnya, lagian pembukaan kali ini khusus untuk tamu undangan, sebelum nanti dibuka untuk umum."

"Gue masih minder."

"Apa yang lu minderin sih, ngga ada yang perlu lu minderin lagi sekarang, itu galery juga sebentar lagi jadi milik lu."

"Tapi kim,"

"Udah, lu kebanyakan tapi, ayo buruan ganti baju." kimmy menarik Bara untuk segera masuk ke kamarnya. Kimmy kemudian langsung melangkah ke dalam walking closet di kamar Bara dan memilihkan pakaian yang akan Bara kenakan. Kimmy menjatuhkan pilihannya pada kaus turtleneck hitam yang dipadukan dengan jas berwarna maroon dan celana bahan berwarna hitam.

"Nah pakai itu," ujar Kimmy sambil memberikan pakaian yang sudah ia pilihkan pada Bara. "Cepat ganti baju," Kimmy meminta bara untuk segera berganti pakaian.

"Sekarang?"

"Ngga, nanti pas lebaran," jawab Kimmy yang kesal dengan pertanyaan Bara.

"Oke." Bara menggoda kimmy dengan merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam walking closetnya.

"Ya sekarang lah Bara," Kimmy merajuk kesal pada Bara dan menarik tangannya.

"Iya, iya." Bara bangun dari sofanya sambil tertawa dan berjalan menuju ke bilik kecil yang ada di dalam walking closetnya untuk berganti pakaian.

Bara segera melepaskan kaus yang dia kenakan dan menggantinya dengan kaus turtleneck yang dipilihkan Kimmy.

"Wow, phoenix," seru Kimmy ketika sekilas melihat tato burung phoenix di punggung Bara.

Bara menoleh kaget mendengar ucapan Kimmy.

"Lu ngawasin gue ganti baju?" tanya Bara kesal.

"Gue baru tahu lu punya tato," Kimmy menjawab tanpa menghiraukan Bara yang kesal.

"Itu buat nutupin bekas luka," sahut Bara.

"Bekas luka? Coba gue lihat lagi." Kimmy berjalan mendekat ke arah bara dan mengangkat bagian belakang kaus bara untuk melihat tato yang dimiliki bara dari dekat. Kimmy memperhatikan dengan seksama tato bergambar burung phoenix berwarna hitam milik Bara. Pada bagian ujung sayap dan ekor burung phoenix tersebut diberikan aksen warna orange, sehingga tampak seperti percikan api. Jika diperhatikan dari dekat, terdapat guratan bekas luka pada punggung Bara. Guratan luka tersebut tersamarkan dengan baik berkat hadirnya tato burung phoenix yang menghiasi punggung bara. Kimmy kemudian menurunkan kembali kaus Bara dan merapihkannya.

"Gue ngga tahu sekeras apa hidup yang lu jalanin selama ini, tapi setelah gue lihat bekas luka lu, gue jadi tahu kehidupan seperti apa yang lu jalanin," ujar Kimmy.

"Udahlah itu ngga usah dibahas lagi, lagipula itu jadi pelajaran hidup buat gue."

"Ngomong-ngomong katanya dulu lu cari uang buat makan aja susah, tapi kok bisa sampai bikin tato sebagus itu?"

"Tatonya gue tuker sama jasa."

"Maksudnya?"

"Jadi, di tempat gue biasa markir dulu ada studio tato. Gue bilang sama yang punya studio, gue mau bikin tato tapi duit gue ngga cukup, gue tawarin buat bantuin bersih-bersih ditempatnya. Pas banget karyawan dia yang buat bersih-bersih lagi mudik, jadilah gue punya tato sekarang," jawab Bara sambil terkekeh.

Kimmy melongo mendengar penjelasan bara.

"Lu mau lihat gue ganti celana juga?" tanya Bara yang sudah bersiap untuk membuka celananya.

"Ngga lah, males banget."

"Terus, ngapain lu masih disini?"

"Ya udah, gue tunggu diluar."

Kimmy segera melangkah keluar dari walking closet dan menunggu Bara di teras kamarnya.

***

Bang Jali pergi berziarah ke makam anak pertamanya yang berada di pemakaman umum. Hari itu rasanya dia sangat merindukan puteranya yang sudah lama tiada. Ditengah perjalanan akan kembali dari pemakaman, dari kejauhan Bang Jali seperti melihat siluet pria yang mirip dengan Pak Ardan. Bang Jali mencoba mendekat untuk memastikan apakah yang dia lihat benar Pak Ardan.

"Ardan!" Bang Jali berteriak memanggil Pak Ardan.

Pak Ardan menoleh. Benar dugaan Bang Jali, pria yang dia lihat adalah Pak Ardan. Seketika Bang Jali langsung naik pitam begitu melihat pria yang dia lihat benar-benar Pak Ardan.

"Bajingan lu ya." Bang Jali mendaratkan bogem mentah ke wajah Pak Ardan.

Pak Ardan memegang pipinya yang ngilu akibat pukulan Bang Jali. Pak Ardan mendekat ke Bang Jali dan memegangi kerah baju Bang Jali.

"Berani-beraninya lu mukul gue, hah!" ucap Pak Ardan sambil memegang kuat kerah baju Bang Jali.

"Orang brengsek kaya lu emang pantes di pukul." Bang Jali menggenggam tangan Pak Ardan dan menarik tangan Pak Ardan yang memegangi kerah bajunya.

"Masih berani lu datang kesini, lu udah bikin bini lu sendiri meninggal, habis itu lu pergi gitu aja ninggalin hutang, anak lu hampir mati gara-gara lu juga, brengsek!" Ucap Bang kalinya sambil mendorong Pak Ardan.

"Lu tahu, si Bara hampir mati dikeroyok sama preman yang ngejar-ngejar lu," Bang Jali melanjutkan ucapannya sambil terus mendorong Pak Ardan. Sampai akhirnya pak ardan terpojok di sebuah pohon besar yang berada di pinggir pemakaman.

"Anak itu emang harusnya mati," ucap Pak Ardan pelan.

"Apa lu bilang?" kali ini Bang Jali yang mencengkeram erat kerah baju Pak Ardan.

"Anak itu harusnya mati, dia itu cuma beban buat hidup gue," Pak Ardan berkata sambil setengah berteriak.

"Untungnya sekarang Bara udah ketemu keluarganya, jadi dia ngga perlu hidup sama orang tua brengsek macam lu." Bang Jali melepaskan cengkramannya dan mencoba mengatur emosinya.

"Apa maksud lu?"

"Gue udah tahu, Bara bukan anak kandung lu."

"Siapa yang ngasih tahu lu?"

"Bara."

"Jadi maksud lu, Bara sudah kembali ke keluarga Pradana?" Pak Ardan bertanya dengan ekspresi wajah ketakutan.

"Lu tahu darimana kalau keluarga Bara itu keluarga Pradana?" Bang Jali balik bertanya pada Pak Ardan.

"Minggir lu." Pak Ardan mendorong badan Bang Jali yang berdiri di hadapannya dan berjalan melewatinya.

Bang Jali mengejar Pak Ardan yang sudah berjalan cepat menjauhinya.

"Mau pergi kemana lu?" Bang Jali kembali memegang bahu Pak Ardan begitu berhasil menyusul langkahnya.

"Jangan sentuh-sentuh gue lagi." Pak Ardan berbalik dan kembali mendorong tubuh Bang Jali.

"Satu lagi, jauhi Bara kalau lu ngga mau kena sial," Pak Ardan melanjutkan ucapannya kemudian kembali berjalan menjauhi Bang Jali.

Sementara itu, Bang Jali terdiam mendengar ucapan Pak Ardan. Ucapan Pak Ardan terdengar seperti sebuah peringatan.

Pak Ardan berjalan cepat menuju gerbang keluar pemakaman umum. Begitu sampai di gerbang keluar, pak ardan memanggil seorang tukang ojek. Dipikirannya saat ini adalah dia ingin pergi sejauh mungkin. Seorang tukang ojek menghampirinya, belum sempat Pak Ardan menaiki motor tukang ojek tersebut, sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan mereka. Lalu muncul sekelompok pria berpakaian hitam-hitam dan mendatangi Pak Ardan. Tukang ojek yang ketakutan segera menyalakan motornya dan meninggalkan Pak Ardan. Pria-pria tersebut berdiri mengerubungi Pak Ardan.

"Apa-apaan ini?" Pak Ardan berteriak ketakutan ketika dua orang pria memegang kedua tangannya.

"Bawa masuk." Seorang pria yang sepertinya ketua dari kelompok tersebut memberikan instruksi pada anak buahnya untuk membawa Pak Ardan masuk ke dalam mobil.

"Gue mau dibawa kemana?" Pak Ardan meronta-ronta mencoba melawan pria yang memegangi tangannya. Akan tetapi tenaga Pak Ardan tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan dua pria tersebut. Dua orang tersebut dengan mudahnya membawa masuk pak ardan kedalam mobil. Kemudian seorang diantara mereka mengeluarkan kain hitam dan menutupi kepala pak ardan dengan kain tersebut, seorang lagi mengikat tangan pak ardan menggunakan pengikat kabel. Pak Ardan hanya bisa pasrah. Kali ini hidupnya benar-benar berada di ujung tanduk.

***

Bara dan Kimmy tiba di galery untuk menghadiri pembukaan pameran lukisan. Begitu tiba mereka langsung disambut hangat oleh manager pengelola galery tersebut. Manager tersebut berbisik pada Kimmy untuk menanyakan tamu yang dibawa bersama Kimmy. Kimmy memberitahu manager itu bahwa yang datang bersamanya adalah putra mendiang Ibu Rania, pemilik gallery tersebut. Manager tersebut kaget dan segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bara sambil memperkenalkan dirinya. Bara menyambut jabat tangan manager itu dengan ramah. Mereka diajak berkeliling untuk melihat karya seni yang sedang dipamerkan. Setelah selesai melihat karya seni lukis yang sedang dipamerkan, mereka dibimbing untuk ke halaman belakang galery tersebut. Disana terdapat sebuah taman yang dijadikan sebagai tempat jamuan untuk pembukaan pameran.

"Eyang juga datang kesini?" Bara berbisik pada Kimmy ketika melihat Pak Haryo sudah duduk di kursi yang berada di samping panggung.

Pak haryo nampak sedang berbincang dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengannya. Pria tersebut mengenakan kain sarung khas bali yang dipadukan dengan atasan model kimono dan rambutnya yang berwarna perak dibiarkan tergerai di bahu, tidak lupa kacamata bulat yang disampirkan di kepalanya.

"Iyalah, ini kan pamerannya sahabat sekaligus seniman favorit eyang." Kimmy menjelaskan pada Bara.

Mereka kemudian menghampiri tempat duduk Pak Haryo.

"Seru banget ngobrolnya," Kimmy menyela obrolan Pak Haryo.

"Kimmy!" Seru seniman di sebelah Pak Haryo begitu melihat Kimmy.

"Lama kita ngga ketemu, kamu semakin cantik saja." Seniman itu melanjutkan dan berdiri menghampiri Kimmy kemudian merangkulnya.

"Pak Ketut bisa aja," Kimmy tersipu mendengar ucapan Pak Ketut.

"Siapa di sebelah kamu?" Pak Ketut melirik kearah Bara.

"Oh saya tahu, kamu pasti Bara?" Pak Ketut melepaskan rangkulannya pada Kimmy dan beralih pada Bara.

"Senang akhirnya kamu kembali," Pak Ketut kemudian merangkul Bara.

Meskipun salah tingkah, Bara membalas rangkulan Pak Ketut.

"Dulu kamu sekecil ini, sekarang kamu bahkan lebih tinggi dari saya." Pak Ketut melepaskan rangkulannya dan bercanda bahwa dulu bara hanya setinggi pinggangnya.

Seorang MC naik ke atas panggung dan mempersilahkan semua tamu undangan untuk duduk di kursinya masing-masing.

"Oh acaranya sudah dimulai, mari kita duduk dulu," Pak Ketut kemudian kembali ke tempat duduknya. Bara segera duduk di sebelah Kimmy.

Setelah MC selesai memberikan sedikit sambutan mengenai pameran yang akan digelar, MC tersebut mempersilahkan Pak Ketut memberikan sambutan dan menceritakan tentang pameran yang digelarnya saat ini. Pak Ketut bercerita tentang tema lukisannya kali ini yaitu tentang pencarian. Pak Ketut bercerita dengan santai sambil sesekali diselingi dengan candaan. Para tamu dibuat tertawa dengan becandaan ala Bapak-Bapak yang dilontarkan Pak Ketut. Sehingga para tamu undangan tidak merasa jenuh dengan penjelasan Pak Ketut. Menjelang akhir penjelasannya Pak Ketut bercerita tentang seorang sahabatnya yang tidak pernah lelah mencari sesuatu yang berharga baginya. Pak Ketut bercerita bagaimana usaha sahabatnya menemukan kembali cucunya yang telah lama hilang. Jerih payah sahabatnya akhirnya berbuah manis.

"Cucu sahabat saya, Bara Aditya Pradana akhirnya ada ditengah kita semua, selamat datang kembali Bara," ucap Pak Ketut sambil menunjuk kearah bara.

Sontak para tamu undangan ikut menengok kearah yang ditunjuk Pak Ketut. Bara yang terkejut dengan ucapan Pak Ketut hanya menganggukkan kepalanya pada Pak Ketut sambil tersenyum. Pak Ketut kemudian turun dari panggung lalu menghampiri Pak Haryo dan Bara. Pak Ketut mengajak keduanya untuk berdiri dan merangkul erat keduanya. Para tamu undangan yang lain ikut berdiri dan memberikan tepuk tangan pada mereka.

***


Chapter 18: North Wind

Damar membaca berita online yang saat ini sedang menjadi trending di dunia maya. Hampir semua berita menampilkan berita tentang sepupunya, Bara, yang telah kembali. Bahkan berita kembalinya Bara juga di muat dalam kolom ekonomi dan bisnis. Para analisis menyampaikan pendapatnya bagaimana kembalinya cucu Tubagus Haryo Pradana akan mempengaruhi peta kepemilikan saham di MG Group. Berita tentang Bara juga ternyata banyak dibahas oleh netizen di dunia maya, banyak yang mengagumi paras Bara yang rupawan dan di tambah kekayaan yang dimilikinya membuat Bara menjadi idaman para budak-budak cinta alias bucin.

"Benar, selama ini Kimmy sudah tahu." Damar memfokuskan penglihatannya pada siluet rambut keperakan milik Kimmy pada foto tersebut yang duduk di sebelah Bara.

***

Di kediaman Pak Haryo,Kimmy terus menggoda Bara dengan membacakan komentar-komentar bucin yang muncul di jagat maya perihal dirinya.

"Udah, Kim. Malu gue dengernya," ucap Bara yang merasa malu sendiri mendengar komentar tentang dirinya.

Seumur hidup baru kali ini dia menjadi pusat perhatian seperti ini, bahkan sampai menarik perhatian para budak-budak cinta. Pak Haryo ikut tertawa mendengar komentar-komentar yang dibacakan Kimmy.

"Tahu begitu, gue ngga mau ikut ke pembukaan kemarin," ucap Bara bersungut-sungut.

"Kamu nyesel ikut pembukaan kemarin?" tanya Pak Haryo sambil menahan tawanya.

"Kalau tahu Kimmy bakal punya bahan buat ngeledekin saya, saya ngga bakal ikut, mau dia mohon-mohon sampai guling-guling di tanah juga ngga bakal saya ikut."

"Untungnya kemarin lu ikut, jadi gue sekarang punya bahan buat ngeledekin lu," ucap Kimmy ceria. Seakan kemenangan ada di pihaknya.

Bara memanyunkan bibirnya mendengar ucapan Kimmy.

"Wah, lagi pada kumpul rupanya," sapa Pak Angga yang tiba-tiba muncul di ruang makan kediaman Pak Haryo.

Suasana yang awalnya ceria, seketika berubah ketika Pak Angga tiba-tiba datang. Pak haryo segera meletakkan alat makannya di piring dan mengelap mulutnya.

"Tumben kamu datang?" Pak Haryo balas menyapa Pak Angga.

"Bara, sekarang kamu sudah besar ya. Kamu mirip sekali sama Papamu." Pak Angga tidak menghiraukan sapaan Pak Haryo dan berjalan mendekati Bara.

Pak angga menepuk bahu Bara. Bara mendadak membatu di tempatnya. Bara bingung harus bersikap bagaimana.

"Ngga usah kaku begitu, masa kamu lupa sama saya, mungkin karena sudah terlalu lama kita ndak ketemu ya?" ujar Pak Angga.

Bara masih terdiam mendengar ucapan Pak Angga sementara Pak Angga terus menepuk-nepuk bahunya.

"Kimmy, Kimmy, kamu jarang main kerumah Eyangmu, tapi kalau main kerumah Eyang Haryo kamu rajin sekali," sindir Pak Angga sambil menatap Kimmy.

Kimmy balas menatap Pak Angga. Sorot mata Kimmy menunjukkan amarah pada Pak Angga.

"Sebenarnya kamu mau apa datang kesini?" Pak Haryo kembali bertanya pada Pak Angga.

"Tentu saja saya mau bertemu Bara, dia kan juga cucu saya," jawab Pak Angga.

"Tapi melihat ekspresi kalian yang seperti tidak suka saya ada disini, saya akan menunggu saja saja di ruang kerja, daripada kehadiran saya bikin kalian ngga nafsu makan." Pak Angga kemudian pergi meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju ruang kerja Pak Haryo.

Pak Haryo bangkit berdiri dan menyusul Pak Angga yang berjalan menuju ruang kerjanya.

"Apa sebenarnya maksud kedatangan kamu kesini?" Pak Haryo langsung mengkonfrontasi Pak Angga begitu mereka berdua sudah berada di dalam ruang kerjanya.

"Kan tadi saya sudah bilang. Saya mau bertemu Bara," jawab Pak Angga santai.

"Saya tahu kamu Angga. Kamu bukan orang yang datang berkunjung hanya untuk bertemu Bara, kamu pasti punya maksud lain."

"Saya ngga punya maksud lain. Saya hanya mau bertatap muka dengan Bara, kenapa Mas Haryo curiga sekali dengan kedatangan saya?"

Pak Haryo diam tidak menjawab. Dirinya masih tidak percaya jika Pak Angga datang tanpa maksud apa pun.

"Sepertinya Bara tumbuh dengan baik, tapi kenapa reaksi Bara seperti itu ketika melihat saya?" Pak Angga kembali bertanya dengan tatapan penuh curiga pada Pak Haryo.

Sekali lagi, Pak Haryo diam dan tidak menjawab pertanyaan Pak Angga. Pak Haryo tidak ingin adiknya itu tahu bahwa sebenarnya Bara sama sekali tidak ingat akan keluarganya.

"Wajar saja, hampir sepuluh tahun dia tidak bertemu kita semua," Pak Haryo mencoba untuk beralasan pada Pak Angga.

"Kapan Mas akan mengenalkan Bara dengan para pemegang saham yang lain? Mereka pasti penasaran dengan kapabilitas yang dimiliki Bara."

Pak Angga berbicara dengan nada yang sedikit merendahkan ketika dia berbicara tentang kapabilitas yang dimiliki Bara.

"Saya yakin Bara memiliki kapabilitas yang sama dengan Mahesa, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Saya tidak meragukan itu, karena sedari kecil Bara sudah menunjukkan kepandaiannya," timpal Pak Haryo.

"Saya harap juga begitu, karena akan memalukan jika Bara tidak memiliki kemampuan apa pun," ucap Pak Angga sambil menyunggingkan senyum meremehkan.

"Kita lihat saja nanti."

Pak angga hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Pak Haryo.

***

Pak angga pamit pergi meninggalkan kediaman Pak Haryo. Pada saat berjalan menuju mobilnya yang sudah ada di depan lobi rumah Pak Haryo, Pak Angga tidak sengaja berpapasan dengan penyidik swasta yang disewa oleh Pak Haryo. Keduanya saling bertegur sapa singkat sebelum akhirnya penyidik tersebut masuk kedalam rumah sambil tergesa-gesa. Pak Angga hanya tersenyum melihatnya sedang terburu-buru seperti itu.

"Halo, bagaimana?" Pak Angga langsung menelpon seseorang begitu dirinya masuk ke dalam mobil.

"Jaga dia, jangan biarkan dia lolos." Pak Angga memberikan instruksi pada orang yang sedang ia telpon.

Pak Angga menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil, akhirnya setelah beberapa tahun tidak menggunakan jasa orang itu, Pak Angga kembali menggunakan jasanya.

"Kita ke tempat main golf, sudah lama saya ngga main golf," ujar Pak ang9ga pada Supir pribadinya.

Supir pribadinya mengaangguk dan segera menyalakan mobilnya. Mereka akhirnya pergi meninggalkan kediaman Pak Haryo.

***

Pak Ardan terus menggebrak-gebrak pintu tempat dia disekap untuk meminta dibebaskan. Tentu saja permintaannya tidak dihiraukan oleh orang-orang yang sedang berjaga di depan pintunya. Perintah dari atasan mereka sudah jelas, mereka harus menjaga agar orang yang ada di dalam sana tidak melarikan diri. Mereka tidak berani mengambil resiko jika melanggar perintah atasannya. Karena atasannya tidak akan pandang bulu jika apa yang di perintahkannya itu dilanggar.

"Kamu ingat suara saya?" tanya seseorang dari balik pintu kepada Pak Ardan.

Pak ardan terdiam mendengar suara orang tersebut. Pak Ardan perlahan mundur ketakutan.

"Kalau kamu diam, itu artinya kamu ingat siapa saya."

Pak Ardan jatuh bersimpuh. Dia ingat jelas siapa orang yang saat ini sedang berbicara dengannya.

"Mampus gue," batin Pak Ardan ketakutan.

Perlahan Pak Ardan melihat kenop pintu yang diputar dari luar. Seorang pria masuk ke dalam dan menemui Pak Ardan. Pria tersebut berdiri tepat dihadapan Pak Ardan.

"Bagaimana kabar kamu?" Tanya pria tersebut sambil membungkukkan sedikit badannya.

"Tolong lepasin gue, Bang." Pak Ardan menatap pria tersebut dengan ekspresi ketakutan.

Pak Ardan tahu betul dengan reputasi pria yang saat ini sedang berdiri dihadapannya. Pria yang kerap disapa Bang Ojal ini sangat terkenal dikalangan preman. Bang Ojal dikenal setia pada siapa saja yang berani membayarnya dengan imbalan yang sangat tinggi dan Bang Ojal juga berani melakukan apa pun yang diperintahkan meskipun itu harus membunuh seseorang.

"Kebetulan hari ini pelanggan saya ada yang datang mau main golf sama kamu," ucap Bang Ojal sambil menggeser sedikit tubuhnya.

Seorang pria paruh baya sudah berdiri di belakang Bang Ojal sambil membawa stik golf iron nomor tujuh. Bang Ojal kemudian mundur dan berdiri di belakang pria tersebut. Dengan ekspresi dingin, pria paruh baya tersebut mengelap ujung kepala stik golf miliknya dan melemparkan lapnya ke lantai. Tanpa berkata-kata pria itu melangkah mendekati Pak Ardan. Pak Ardan terus memohon ampun pada pria tersebut. Tanpa mempedulikan Pak Ardan yang memohon ampun padanya, pria tersebut mengayunkan stik golfnya dan mengenai kepala Pak Ardan. Seketika Pak Ardan jatuh tersungkur di lantai. Darah segar keluar dari hidungnya dan membasahi lantai tempatnya terjatuh.

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C17
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank 200+ Power Ranking
    Stone 0 Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login

    tip Paragraph comment

    Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

    Also, you can always turn it off/on in Settings.

    GOT IT