24. Sheeps and Sleep
Setiap manusia mempunyai ritme hidup dengan jenis yang berbeda-beda. Tergantung cara mereka menggunakannya. Dengan tempo teratur atau tidak.
***
Sekuat apapun Flora menenangkan dirinya saat memasuki ruang dokter pada akhirnya pertahanannya luruh ketika ia mulai duduk. Ia masih belum siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Meskipun ia sudah mempersiapkan diri sejak lama untuk menerima kemungkinan terburuk sekalipun.
Selama ini Flora terlihat selalu kuat menghadapi segala masalahnya dan bertahan hingga sekarang namun tidak bisa dipungkiri bahwa ia juga seperti kebanyakan wanita lainnya, memiliki hati yang sensitif dan rapuh.
Melihat raut wajah Flora, Aileen, -dokter sekaligus teman semasa SMA Flora- yang menangani Lamanda tadi jadi tidak tega untuk mengatakan kenyataan bahwa kondisi Lamanda tidak bisa dibilang baik.
Namun, bagaimanapun juga sudah merupakan sebuah keharusan untuk ia berkata jujur meski itu akan menyakiti hati Flora. Aileen hanya menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Aileen menghembuskan napas berat. "Lamanda sakit, Flo.."
Flora menatapnya. Ia sudah tahu tanpa Aileen mengatakannya, maka Flora mengangguk samar. "Aku cuma shock lihat dia mimisan tadi. Darahnya nggak cepet berhenti," papar Flora. Sempat terbesit rasa takut akan adanya penyakit lain yang mengincar keselamatan anaknya.
"Pembuluh darah di hidungnya tegang akibat pernapasan dia terganggu ditambah tekanan darahnya tinggi karena stress." Aileen melepas kacamatanya lalu berjalan ke arah jendela dan membuka korden, ia ingin menenangkan dirinya sejenak dengan melihat taman samping rumah sakit yang tergenang air karena hujan. Kemudian Aileen berjalan mendekati Flora dan kembali duduk.
"Apa dia punya riwayat penyakit lain?"
Flora mengangguk. "Panic disorder."
Jawaban itu membuat Aileen terdiam. Aileen menatap lekat mata Flora namun wanita dihadapannya itu malah memutus eye contact sepihak.
"Hanya itu?" tanya Aileen tidak yakin.
"Lamanda memang sakit Panic Disorder, Len. Cuma itu. Kamu mau dia sakit apa lagi?" ucap Flora sedikit emosi.
Aileen menggeleng. "Flo..Saluran koronerya kembali tersumbat dan... rusak. Kamu masih mau bilang kalau Lamanda cuma sakit panic disorder?"
Kalimat itu jelas membuat Flora membeku. Ia langsung bungkam.
"Kamu pikir dengan kamu menyembunyikan penyakitnya dari aku bisa membuat dia sembuh?!" suara Aileen naik satu oktaf.
Flora diam tidak menjawab.
Pada akhirnya kemungkinan yang ditakutinya itu menjadi kenyataan. Seberapa kuatpun ia mengelak dan menepis kemungkinan itu semuanya tetap berjalan seperti yang sudah ditentukan.
"Heart disease, right?" tanya Flora dengan suara serak.
Flora mengangguk lemah. "Jantung koroner."
"Jadi benar kalau dia pernah operasi bypass?"
Flora menganguk kembali. Ia memandang Aileen sendu. "Sekarang, separah apa?"
"Jantungnya sangat lemah, Flo. Hampir tidak bisa memompa darah. Kita tidak bisa melakukan operasi bypass kembali karena kerusakannya sudah tidak bisa diintervensi lagi." Aileen menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Ia tidak tega tapi ia harus mengatakannya. "Heart Failure. Lamanda udah masuk fase gagal jantung, Flo."
"Kita harus mengganti jantungnya agar dia bisa bertahan hidup. Jalan satu-satunya hanya transplantasi jantung. Itupun beresiko karena bisa saja ada penolakan sewaktu-waktu."
"Sekarang aku harus gimana?" suara Flora terdengar putus asa.
Aileen mencoba menenangkan Flora dengan menepuk-nepuk punggung tangan wanita itu. Ia tahu bagaimana perasaanya saat ini karena ia juga seorang ibu. Tidak ada ibu yang akan baik-baik saja ketika mengetahui anaknya sakit parah. "Berdo'a. Aku dan lainnya akan melakukan yang terbaik. Kita pasti menemukan pendonornya," ucap Aileen meskipun ia sendiri tidak yakin. Karena, mencari pendonor itu tidak mudah dan... tidak murah.
"Untuk sementara dia bed rest dulu. Kita juga perlu mengetahui sampai ditingkatan mana penyakitnya saat ini."
Flora memaksakan tersenyum lalu mengangguk. Ia berdiri dari duduknya dengan tubuh gemetar. "Buat aku percaya kalau semuanya akan baik-baik aja, Len."
Aileen berjalan mendekati Flora lalu merengkuh tubuh temannya itu.
"Trust me. Everything will be alright," bisik Aileen pelan.
***
Tidak pernah terlintas dipikiran Kalka untuk melawan dan berkata kasar pada Rian. Semua yang ia lakukan pada Rian tadi sudah keterlaluan tapi Kalka tidak bisa menahan amarahnya jika sudah menyangkut bundanya. Memikirkan hal itu membuat amarah Kalka meruak kembali ke permukaan.
Ia mengusap wajahnya lalu menoleh pada Lamanda yang bergerak tidak nyaman dari posisi tidurnya. Gadis itu sudah bangun sejak tadi setelah sebelumnya membuat Kalka dan Flora panik karena sempat kejang-kejang dan jantungnya mendadak berhenti berdetak.
"Mau pulang," ucap Lamanda setengah merengek. Ia tidak bisa tenang daritadi karena mimpi buruknya. Lamanda berusaha bangun dari tidurnya. Ia hampir saja berhasil menarik selang infusnya kalau saja Kalka tidak segera mencegahnya.
"Jangan macem-macem deh. Nurut coba."
Kalka mengarahkan tubuh Lamanda untuk kembali berbaring dengan benar. Ia menatap Lamanda penuh intimidasi.
"Gue takut.."
"Ada gue, Lam. Lo mending tidur lagi."
Lamanda menggeleng. Ia benar-benar takut untuk tidur. Ia takut kembali ke lorong gelap itu lalu tidak bisa kembali dan bangun lagi.
Lamanda merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya. Awalnya hanya di kaki, kemudian terus merambat ke atas sampai wajahnya. Rasanya sangat dingin seperti disiram air es. Ia menggigil sampai giginya bergemelatuk.
"Dingin. Gue takut.." racau Lamanda dengan suara rendah. Setetes air mata lolos dan mengalir melalui pelipisnya. "Ka, dingin.."
Kalka menyentuh telapak tangan Lamamda yang sangat dingin seperti terkena hipotermia.
"Gue mau pulang."
Kalka tidak menanggapi. Ia menaikkan selimut Lamanda sampai leher lalu menyentuh kening adiknya itu. Dingin juga. Saat Kalka kebingungan harus bagaimana, Lamanda memiringkan tubuhnya ke samping dan terisak kecil.
Kalka duduk di tepian brankar. Ia menyentuh pundak Lamanda. "Lam. .." panggilnya.
Beberapa menit Lamanda masih mendiamkannya. Ia meraih persediaan selimut di laci dan menyelimuti Lamanda lagi agar dinginnya berkurang. Setelah itu Kalka memilih membiarkan Lamanda menangis dan duduk di sofa.
Dengan itu, mungkin Lamanda akan sedikit lebih tenang.