22. Soal Benci
Kebencian akan berakhir pada diri sendiri.
"Percaya atau tidak, kebencian nggak akan pernah bisa bikin hidup lo tenang. Karena yang ada dipikiran lo cuma : bagaimana cara bikin orang yang lo benci jatuh sejatuh jatuhnya. Itu berlaku sampai ketika lo stuck dan mulai membenci diri sendiri karena nggak pernah mendapatkan jawabannya."
***
"GIMANA? Jadi nggak hang out akhir pekan ini?" tanya Arsya menyenggol Kaila yang sibuk memakan mie ayamnya.
Arsya mulai mencepol asal rambutnya yang sedikit basah karena keringat sehabis latihan cheerleaders tadi. Sekarang ia dan kedua temannya -Lamanda dan Kaila- sedang nangkring di tribun sambil menonton tim basket sedang latihan di lapangan.
"Jadi dong," jawab Kaila bersemangat. "Bosen satnight di rumah mulu," gadis itu sedikit memberengut lalu menggulung mienya kasar dan melahapnya dengan rakus.
Lamanda mengangkat wajahnya yang sejak tadi fokus pada ponselnya. "Mau kemana? Nonton?"
"Bosen ah," kata Arsya. Ia mengibas-ngibaskan tangannya karena gerah lalu meraih pop ice Kaila dan meminumnya tanpa ijin membuat temannya memekik.
"Jangan dihabisin!!"
"Tilep lo laila majnun," gerutu Arsya lalu meletakkan kembali pop ice Kaila. Kaila melotot.
"Jelajah kuliner aja gimana?" usul Lamanda.
"Oke. Traktir gue!!" seru Arsya dan Kaila berbarengan. Mereka memang kompak kalau soal beginian. Traktir. Gratis. Uang jajan nggak berkurang. Intinya, HEMAT.
Lamanda berdecak. "Nggak jadi deh."
"Ke Kemang Food Festival aja kalau mau jelajah kuliner siapa tau ketemu cogan," kata Kaila lalu mulai melahap mienya kembali.
"Asik tuh. Ajak Kalka ah," ujar Arsya membuat Kaila melotot.
"Aphhan shihh hangan ahg. Ukhuk ukhuk huk." Kaila segera meraih minumanya agar bisa menelan makanan dimulutnya. Wajahnya merah karena tersedak.
"Makanya kalau makan jangan ngomong," nasehat Lamanda.
"Pokoknya jangan ajak Kalka!" seru Kaila.
"Terserah gue lah. Siapa lo," balas Arsya sengit.
Kaila mencebik. Ia tidak menjawab dan kembali makan mie ayamnya. Mengunyahkan kasar sambil mengahadap lapangan tempat beberapa siswa sedang latihan basket.
Seharusnya mereka sudah pulang sejak tadi tapi tiba-tiba saja Arsya merengek minta ditemani latihan. Jadilah mereka masih terdampar di sekolah sampai sesore ini sambil menunggu Kalka datang menjemput Lamanda.
"Makanya jangan gengsian kalau masih sayang. Entar diembat orang baru tau rasa lo," cibir Arsya.
"Tapi gue kan udah nggak sayang sama Kalka," alibi Kaila sambil menunduk. Ia mengaduk mienya tanpa minat.
"Bagus deh. Berarti gue bisa deket sama Kalka tanpa nyakitin hati lo."
Kaila sontak menoleh. "Arsyaaaa," rengeknya.
"Apaan sih?"
"Lo suka sama Kalka?" tanya Kaila. Ia sudah tidak minat pada makanannya padahal tadi ia benar-benar kelaparan.
"Suka lah. Kalka itu baik sama gue, ganteng, rajin ibadah, jago futsal, bisa basket, pinter main gitar, pokok idaman semua cewek deh. Apalagi suara dia--"
"Jelek," sambung Kaila dengan wajah kesal.
"Ter-se-rah!" kemudian Arsya menyeringai. "Pokoknya gue mau dia."
"But he does'nt want you."
"Kata siapa? Kemaren dia malah ngajak gue jalan."
"Pasti bohong!" pekik Kaila.
"Ya udah kalau nggak percaya. Asal lo jangan kaget aja kalau tiba-tiba Kalka post foto gue di IG pake caption "my future" emotnya love," ujar Arsya membuat telinga Kaila terasa memanas.
"Ish lo kok tega sih sama gue."
"Kan lo bukan siapa-siapa Kalka jadi bebas dong. Lagian lo juga udah nggak cinta lagi sama dia."
Lamanda geleng-geleng kepala mendengar ocehan kedua temannya. Ia kembali fokus pada ponselnya dan bermain game piano tiles. Masih stuck di Level 34, nggak ada peningkatan. Alunan nada The Fountain terdengar samar-samar karena riuh dengan keadaan sekitarnya. Lamanda fokus menekan tuts-tuts yang berjalan. Semakin lama semakin cepat membuat jari-jarinya kelimpungan.
Terpaan angin pada wajahnya sedikit mengurangi aura panas disampingnya karena Arsya dan Kaila masih berdebat soal Kalka. Tidak ada yang mau mengalah.
"Udah deh jangan pada rebutan Kalka," gumam Lamanda tanpa menoleh.
"Gue nggak ngerebut Kalka. Lagian Kalka bukan punya Kaila," ucap Arsya santai.
"Tapi kan lo sahabat gue. Masa lo embat mantan gebetan gue sih. Kan nggak etis banget!" seru Kaila tidak mau kalah.
"Bilang aja lo cemburu, pake ngeles segala."
"Dih ogah!!"
"Ya udah Kalka buat gue!"
"Nggak bol--"
Prangg
Arsya dan Kaila sontak mengalihkan pandangan ke arah suara. Dilihatnya ponsel Lamanda yang tergeletak mengenaskan di lantai dengan baterai dan casing yang terpisah. Lamanda mengibas-ngibaskan tangannya yang sakit karena terkena bola basket. Untung tidak mengenai kepalanya.
"Anjing!! Siapa yang lempar bolanya kesini?" teriak Arsya yang mulai berdiri menatap beberapa anggota tim basket yang terlihat sedang break. Tidak ada yang menjawab. "Lapangan segede ini masih aja nyangsangin bola sampe ke sini!! Tolol banget sih!!"
Arsya geram. Ia menatap tajam satu persatu anak dilapangan. Termasuk Raskal dan Satya yang saat ini sedang duduk memunggunginya dipinggiran sambil nyebat.
Kemudian Vero yang sedari tadi terlihat sedang minum melangkah naik ke atas tribun.
Arsya berkacak pinggang.
Lamanda dan Kaila beranjak berdiri dan menelan ludah.
Mampus. Perang dunia ketiga.
Vero berhenti dan berdiri tepat di hadapan Arsya. "Gue yang lempar. Emang sengaja," paparnya enteng. "Kenapa?"
"Bangsat lo ya!" Arsya hendak melayangkan pukulan namun tangannya di tangkap langsung oleh Vero. Kemudian dihempaskan dengan kasar.
"Jangan kasar jadi cewek. Gue nggak suka." ujar Vero. Ia menatap wajah Arsya kemudian turun ke bawah dan menyeringai. "Kalau mau main kasar sama gue aja nanti. Lo boleh juga. Lumayan lah.. gede."
Plak
"Set*n lo!!" sembur Arsya dengan wajah memerah.
Vero mengusap pipinya yang terkena tamparan Arsya. "Wow tenaga lo oke juga. Gue jadi makin tertarik."
Wajah Arsya memerah. Ia hendak melayangkan tamparan lagi namun Vero kembali menepisnya.
"Simpen tangan lo baik-baik sebelum gue patahin," ancam Vero yang kemudian melangkah mendekati Lamanda. Dengan sengaja kakinya menginjak tutup casing ponsel Lamanda. Menimbulkan suara retakan kecil.
Kaila tercengang melihat adegan barusan. Ia mematung seperti orang tolol tapi matanya mengikuti setiap pergerakan Vero.
"Halo babe," sapa Vero tersenyum dihadapan Lamanda.
"Udah?" tanya Lamanda dengan raut datar.
"Belum. Gue masih mau main-main sama lo."
Lamanda diam sejenak kemudian memilih memunguti bagian-bagian ponselnya.
Vero mengikuti pergerakan Lamanda. Ia ikut jongkok di hadapan gadis tersebut dan mengambil baterai ponsel yang terletak tidak jauh dari jangkauannya. "Gue bakal ganti," ujarnya lalu melempar baterai tersebut ke sembarang arah.
"Lo emang harus ganti," tukas Lamanda. Ia mengambil bagian yang masih bisa selamat.
"Santai aja. Sekarang lo ikut gue!" Vero menarik Lamanda berdiri kemudian ia mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu dan berbisik. "Kita lanjutin ciuman kita yang ketunda. Waktu itu kan masih sampai leher."
Lamanda jelas membelalakkan matanya mendengar kalimat frontal Vero. "Apaan sih lo!!" ia mendorong tubuh Vero dan menarik tangannya membuat tubuhnya agak terhuyung kebelakang dan hampir saja terjungkal ke bawah kalau saja...
Raskal tidak menangkapnya.
Raskal membantu Lamanda menyeimbangkan tubuhnya. Kemudian menatap sengit Vero, begitu juga sebaliknya.
Raskal mengambil bola basket dibawahnya lalu melemparkannya pada Vero dengan keras. Semua mendadak diam.
"Impas. Sekali lagi lo ganggu dia, habis lo ditangan gue!"
Vero tertawa sumbang. "Lo ada di pihak dia ternyata. Its oke, udah nggak kaget sih gue. Kalian emang sama.. sama-sama sialan."
"Lo lebih sialan."
"Apes banget adek gue pernah pacaran sama lo."
Raskal maju selangkah dan langsung mencengkram kerah baju Vero. "Tutup mulut lo, anj*r!!"geram Raskal emosi.
Satya turun tangan dan mencoba menarik lengan Raskal. "Kal, udah!! Emosian banget sih lo kaya cewek lagi dapet. Ayo bal--"
"Minggir lo!" sentak Raskal membuat Satya berjengit kaget.
Raskal melayangkan satu pukulan di rahang Vero membuat Kaila dan Arsya memekik sedang Lamanda menahan napas dengan refleks. Vero hampir terjerembab jatuh kalau saja ia tidak segera menyeimbangkan diri.
Satya segera meraih lengan Raskal. "Gue bunuh lo lama-lama. Udah dibilangin jangan ladenin masih aja ngeyel," cerocos Satya. "Buru balik!!"
Raskal lagi-lagi menghempaskan tangan Satya. Kemudian ia menatap Vero remeh. "Harusnya gue bikin lo bisu aja sekalian biar mulut lo itu nggak lagi ngomong sembarangan dan nambah-nambahin dosa buat lo. Gimana, mau nggak?" tawarnya dengan maksud mengejek.
Vero mengelap sudut bibirnya yang berdarah. "Verdammt," desisnya kemudian membalas pukulan Raskal.
Mereka terlibat adu jotos. Tidak ada yang berani melerai. Semua hanya bisa memekik dan diam sambil menahan napas.
Satya segera menghampiri Raskal yang berada di atas tubuh Vero lalu menarik bahunya dengan kasar dan membawanya menjauh dari Vero.
"Gue bilang udah jangan diladenin!! Kampr*t banget lo nggak denger nasehat gue!!" umpat Satya sambil mengeplak kepala Raskal.
"Iye iye ane denger. Ente rombeng banget dah congornya," ucap Raskal sambil memegangi pipinya yang ngilu.
Satya tidak menggubris. Ia menghampiri Vero lalu menyerahkan bola basket -yang jadi alat biang masalah sore ini- padanya.
"Udah ya mending lo bawa nih bola dan pergi sekarang. Gue lagi encok jadi libur dulu ributnya."
Vero diam. Ia mengambil bola basket itu sambil memandang lurus ke arah Lamanda yang juga menatap ke arahnya. Napasnya masih memburu.
Entah mendapat keberanian dari mana Lamanda menghampiri Vero dan berdiri tepat dihadapan lelaki itu. Gadis itu menepuk bahu Vero pelan.
"Lo tau, Roo. Gue memaklumi apapun alasan lo benci ke gue." Lamanda tersenyum.
"Tapi, gue cuma mau bilang satu hal. Jangan biarin rasa benci itu menguasai lo dan membuat lo menyebarkannya ke orang lain. Karena dalam hidup, lo nggak bisa cuma sendiri."
Kemudian Vero meraih tangan Lamanda dibahunya. Ia menatap tajam gadis itu. Kemudian berbalik. Turun tanpa mengucap apapun. Tidak ada makian atau pukulan lagi.
Tapi rasa benci itu masih ada.