4. Hansel & Grettel
"Hanya ada satu yang kurang dari wanita. Yaitu, sering lupa betapa berharga dirinya."
***
Ada banyak hal yang Lamanda benci. Ia benci saat hujan turun, Lamanda juga benci kebiasaan Kalka menyelipkan bungkusan snack di sofa ataupun ketika kembarannya itu ngupil saat ia sedang makan. Ia juga benci ketika ia sedang menata hidupnya kembali, seseorang yang tidak ia kenal datang membawa masa lalunya tanpa penjelasan.
Tapi dari semua itu Lamanda paling benci ketika ia harus melihat tatapan kasihan dari orang-orang saat penyakitnya kambuh, hal itu hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Ia akan terlihat seperti orang yang sangat menyedihkan dan tidak berguna.
Seperti saat ini misalnya.
Beberapa menit yang lalu, dokter yang menanganinya sudah berpamitan keluar usai membicarakan suatu hal dengan bundanya begitu ia sadar. Ia mengamati ekspresi orang-orang di kamarnya yang masih saja bungkam. Mereka tidak berbicara, hanya memandangnya sendu seolah ia adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan.
Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Flora -bundanya- masuk dan duduk di pinggiran tempat tidur, mengusap kepalanya lembut kemudian mengecup singkat keningnya, "Jangan sakit lagi, " bisiknya, intonasinya rendah dan terdengar seperti permintaan.
Lamanda merasakan ketakutan, telapak tangannya dingin, entah karena apa. Ia melingkarkan tangannya, memeluk Flora erat. "Lamanda sayang bunda."
Flora tersenyum. "Bunda lebih sayang Lamanda," balasanya.
Setelah agak tenang ia melepaskan pelukan Lamanda lalu menatap wajah anaknya itu. Ia merasakan air matanya mendesak keluar melihat wajah pucat Lamanda, tangannya terulur mengusap lembut pipi Lamanda. "Bunda keluar dulu ya.."
Lamanda mengangguk.
Flora meraih tasnya yang tergeletak di lantai karena terburu tadi dan keluar dari kamar Lamanda. Bukan ia tidak mau menemani Lamanda saat ini. Ia hanya takut tidak bisa membendung air matanya dan membuat Lamanda semakin sedih. Oleh karena itu, ia bergegas menuju kamarnya, lalu menangisi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya.
Sedangkan Lamanda, ia mulai mengalihkan pandangan pada tiga orang yang menatapnya khawatir.
Arsya duduk di tepian tempat tidur lalu menepuk-nepuk tangannya. "Lo istirahat ya, " ia menatap Kaila kemudian beralih ke Lamanda lagi. "Udah malam, kita pulang dulu. Besok kalau masih sakit jangan sekolah."
"Iya," jawab Lamanda.
Arsya mengusap lengan Lamanda kemudian melangkah keluar kamar diikuti Kaila yang sebelumnya sudah berpamitan, meninggalkan Lamanda dan Kalka berdua.
Lamanda mengikuti gerak-gerik Kalka yang mengambil sesuatu di atas meja belajarnya lalu berjalan ke arah tempat tidurnya sambil membawa buku tebal.
"Tidur biar nggak kecapekan," perintah Kalka sambil menaikkan selimut Lamanda hingga leher. Lamanda mulai memejamkan mata ketika lelaki itu memulai bacaannya.
Bukan bacaan dongeng Red Ridding Hood ataupun Hansel and Grettel yang biasanya ia minta untuk Kalka bacakan, tapi bacaan Al-Qur'an yang membuat hatinya lebih tenang dan lega dari sebelumnya. Ia mulai mengosongkan sejenak pikirannya, mengistirahatkan dirinya dari realita dan mulai bermain dalam mimpinya.
Kalka menghentikan bacaannya ketika mendengar deru napas teratur Lamanda. Ia melirik sekilas jam digital di atas nakas kemudian meletakkan Al-Qur'an yang dibacanya tadi di atas nakas.
23:47:56
Ia mengusap lembut kepala Lamanda. Dan mencium keninganya lama.
"I love you more than you know, cepat sembuh, Lamanda."
***
"Be strong woman, by. Ada ataupun nggak ada aku. Karena Tuhan menciptakan kamu bukan untuk menjadi orang lemah yang gampang menyerah."
Lamanda mengingat jelas perkataan Davino beberapa tahun yang lalu. Meskipun sempat berpikir hidupnya akan terhenti setelah Davino meninggalkannya namun ia tahu bahwa hidupnya akan terus berjalan karena ada banyak hal yang harus ia tuntaskan.
Bahkan saat pagi tadi ketika bundanya beserta Kalka melarangnya masuk sekolah, ia dengan keras kepala dan kekeuh tetap ingin sekolah karena tidak ingin absen di hari-hari barunya. Jadilah ia berada disini sekarang. Duduk di sebelah laki-laki berandal yang hampir menciumnya kemarin. Mengingat hal itu membuat Lamanda lebih hati-hati lagi.
Arsya sedari tadi tidak bisa diam dan sesekali memutar tubuhnya menghadap Lamanda. "Lo kalau masih sakit kenapa sekolah sih? Pokoknya kalau nggak enak badan langsung bilang terus ke UKS."
Sebenarnya Arsya hanya khawatir. Ia tidak mau kehilangan sahabatnya itu lagi. Sekuat tenaga ia berusaha terlihat biasa saja selama bertahun-tahun, tapi tidak dengan sekarang, setelah ia pernah merasakan kehilangan. Mungkin ia terlihat berlebihan untuk ukuran seseorang yang menyayangi sahabatnya, namun ada hal yang harus orang lain tahu bahwa ia bukan apa-apa tanpa Lamanda di hidupnya.
Arsya itu sosok yang adaptif. Ada banyak hal yang harus disyukuri karena kelebihannya itu. Salah satunya ia bisa mendapatkan banyak teman karena dapat bergaul dengan mudah dan percaya diri. Tapi, Arsya juga gampang terpengaruh oleh orang lain, baik itu hal positif ataupun negatif. Maka saat Lamanda datang dihidupnya ia sangat bersyukur karena sosok gadis itu membuat dirinya jauh dari hal-hal negatif.
Dan saat Lamanda pergi dua tahun lalu. Entah mengapa ia seperti kehilangan kompas dan tersesat di dalam hutan. Kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurus bisnis. Sebenarnya masih ada Kaila, tapi Arsya tahu bahwa Kaila masih terlalu labil dan tidak mampu mengimbangi dirinya. Mungkin, karena ia lebih lama mengenal Lamanda daripada Kaila.
Bahu Lamanda meluruh. Ia menepuk tangan Arsya yang berada di atas mejanya lalu tersenyum tulus. "Iya, Sya."
Raskal yang sedari tadi curi-curi pandang jadi bergidik ngeri. "Alay lo, Sya. Udah kayak lesbian." Raskal to the point. Ia memang typilkal orang yang suka blak-blakan. Tidak peduli respon orang dihadapannya, yang penting Raskal sudah mengutarakan apa yang ada dipikirannya.
Arsya menatap horror Raskal dan mencubit lengannya. Membuat lelaki itu memekik tertahan karena takut membuat Pak Sean-guru fisika yang terkenal killer- mengamuk.
"Kalau gue cium lo masih mau bilang kalau gue lesbi?" tanya Arsya kesal, yang mengundang pelototan tak percaya dari Lamanda.
"Ogah gue dicium lo, apalagi cium lo" jawab Raskal kemudian mendekati Lamanda dan mencium pipi kanan gadis itu. "Mending gue cium Lamanda." ia tersenyum puas kemudian mencubit gemas pipi Lamanda yang sontak diam. Arsya menahan napas. Dalam hati Arsya merutuki kelakuan Raskal.
Lamanda hendak melayangkan tamparan ke wajah Raskal, tapi entah kenapa ia kembali menurunkan tangannya ketika melihat Raskal memejamkan mata.
"Bisa nggak sih lo jaga attitude? " desis Lamanda dengan mata berkaca-kaca.
Melihat itu, Raskal jadi serba-salah. Tapi kemudian ia menyeringai jahil. "Yaealah, pipi doang bukan bibir"
"Jangan lakuin itu lagi," entah kenapa Lamanda tidak bisa marah.
"Kalo gue suka sama lo gimana?"
"Sampai kapanpun jangan pernah suka sama gue."
"Paling nanti lo yang bakal suka sama gue."
Lamanda diam. Harusnya ia menuruti perkataan Arsya dan Kaila untuk pindah tempat duduk. Harusnya ia tidak masuk saja hari ini.
"Tuhkan lo nggak bisa jaw-"
Arsya mulai kesal. Ia menggebrak meja. "Lo makin hari makin ngeselin aja ya!!"
"Dih, cemburu lo ya?" goda Raskal tidak mau kalah.
"Najis cemburu sama lo!"
"Lo harus latihan menguatkan diri dari sekarang, Sya kalau mau jadi pacar gue selanjutnya," ucap Raskal sambil menyeringai.
"Gue benci lo!!"
"Benci? Benar-benar cinta, huh?"
"Yang ada lo kali yang cinta sama gue!!"
"Kalau ia gimana?"
"Kalau lo cinta sama gue, gue nggak bakalan balas cinta lo biar lo mati karena sakit hati," ketus Arsya.
"Jahat banget sih kamu. Jadi makin cinta," goda Raskal.
"EWHH, JAUH-JAUH LO!!" teriak Arsya ketika Raskal menarik tangannya dengan iseng.
"ITU YANG BELAKANG JANGAN RIBUT. ATAU KALIAN MAU NGEPEL TOILET SELAMA SATU SEMESTER." Suara Pak Sean menggelegar, terdengar mengerikan. Ketiganya langsung mengalihkan perhatian kembali ke pelajaran di depan. Meskipun dengan pikiran yang masih melayang-layang.
"Lo bisa cium cewek lain seenaknya. Tapi jangan gue," ucap Lamanda dengan sedikit bergetar, membuat Raskal berada pada posisi serba tidak enak.
Mau minta maaf gengsi, nggak minta maaf nggak enak sendiri.