Suasana airport cukup ramai siang ini. Keluarga Mahesa menanti dengan sabar di ruang VVIP sambil menyantap makan siang. Sekar dan Ardan membahas pernikahan Yana yang akan dilangsungkan satu minggu lagi. Sekar orang pertama yang mendukung keputusan Yana untuk menikah dengan Danu. Menurut Sekar sudah waktunya Yana berumah tangga. Karir Yana sebagai notaris cukup sukses dan Sekar takut jika Yana nantinya lebih mementingkan karir dan melupakan pernikahan.
Di sudut ruangan terlihat Alleia sibuk dengan gadget-nya dan sesekali melakukan selfie untuk dikirim ke ponsel Galang. Mungkin hanya Yana satu-satunya anggota keluarga Mahesa yang diam dan tidak melakukan apa-apa selain berusaha menenangkan debaran jantungnya.
Flashback delapan tahun yang lalu,
Lagi-lagi Yana hanya bisa berkacak pinggang melihat tingkah dua adiknya yang selalu bertengkar. Hari ini ia diberi tanggung jawab menjaga tiga adiknya saat kedua orangtua mereka sedang tidak ada di rumah. Wajah Yana menahan amarah yang sudah memuncak.
"Kalian benar-benar keterlaluan!"
"Dia yang mulai," Daniel menunjuk ke arah Galih. Galih mengambil bukunya dan mulai menulis dengan cepat.
"YA YA YA YA ANAK MANJA CUMA BISA MENGADU,"
Daniel hendak menerjang Galih andai Yana tidak menahan tubuhnya lalu melempar tubuh Daniel ke sofa.
"Stop! Berhenti membela diri masing-masing. Kakak lelah mengurus kalian! Mending kakak mati saja!" teriak Yana. Galih dan Daniel langsung terdiam dan melihat Yana mulai menitikkan airmata.
"Kak, jangan nangis lagi," Galih hendak menunjukkan kertas itu tapi ia urungkan saat melihat Daniel memeluk Yana. Galih mendengus dan meninggalkan kamarnya agar suasana hatinya yang sudah buruk karena Daniel bisa membaik.
Yana melihat kepergian Galih langsung menghapus airmatanya dan menjentik kening Daniel, "Kalian baru berhenti bertengkar kalau kakak sudah nangis?" tanya Yana. Daniel hanya bisa mengeluarkan cengir andalannya, sedangkan Yana mencoba mencari Galih untuk menasehati adiknya itu agar berhenti bertengkar dengan Daniel.
Yana mencari Galih ke kamarnya, sayang kamar itu kosong dan Yana melanjutkan mencari Galih di kamar loteng. Kamar loteng dulunya dijadikan gudang oleh pemilik rumah sebelum dibeli Ardan tapi semenjak mereka pindah kamar loteng disulap menjadi tempat Galih untuk menyendiri dan siapapun dilarang masuk tanpa seizin Galih. Biasanya Galih akan bersembunyi di kamar itu setelah bertengkar dengan Daniel atau kesal dengan kedua orangtuanya terutama Sekar.
Sepuluh tahun tinggal bersama Galih belum mau memanggil ibu ke Sekar. Mereka berkomunikasi melalui tulisan. Ya, sejak awal Galih tahu kalau Sekar adalah ibunya. Sangat terekam jelas di benaknya wajah Sekar yang dulu pernah ditunjukkan Ibu Marinka melalui foto saat menyiksanya meski saat itu usianya baru menginjak empat tahun. Wajah wanita yang tega mengacuhkannya, tega membuangnya, tega membiarkannya disiksa Ibu Marinka hanya karena ia anak yang tidak diinginkan.
Itu juga menjadi alasan kenapa Galih enggan bicara. Baginya lebih baik hidup dalam kediaman daripada mulutnya harus mengutuk kesalahan Sekar yang sampai detik itu tidak mengingatnya dan lebih menyayangi Daniel.
"Galih," suara Yana membuyarkan lamunan Galih.
Galih mengambil bukunya dan mulai menulis kekesalannya kepada Yana.
"BUAT APA KAKAK KE SINI, BELA TERUS ADIK KESAYANGAN KAKAK BIAR JADI ANAK MANJA,"
Yana tertawa dan entah kenapa kekesalan Galih semakin menjadi-jadi seolah Yana sedang menertawainya. Galih merobek kertas itu dan melemparkannya ke arah Yana lalu Galih mengangkat tangannya dan menunjuk pintu supaya Yana pergi dari kamarnya.
"Kamu cemburu?" tanya Yana sambil duduk bersila di samping Galih, "Mau kakak bela juga? Makanya ngomong dong dan bela diri kamu supaya kakak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kakak tahu kalau sebenarnya kamu itu bisa bicara, hanya saja kamu memutuskan untuk diam," sambung Yana.
Galih mendengus dan kembali menulis di bukunya, "Sok tahu!" Yana tertawa dan Galih semakin kesal mendorong Yana untuk keluar dari kamarnya.
"Kakak nggak akan keluar sampai kamu panggil 'kakak' atau apapun yang bisa meyakinkan kakak kalau kamu itu bisa bicara," Yana menyatukan tangannya dan enggan keluar sampai Galih mau bicara. Sepuluh tahun Yana rasa sudah cukup Galih hidup dalam dunianya sendiri dan belajar untuk bersikap selayaknya remaja seperti Daniel.
Galih memaksa Yana untuk keluar dengan cara mendorong Yana dengan tangannya. Dorongan Galih sedikit demi sedikit membuat Yana tersudut dan hampir jatuh tapi Yana bersikeras tetap berdiri di tempatnya sampai keinginannya terwujud. Galih mulai hilang kesabaran dan menghentakkan tubuhnya secara mendadak hingga keseimbangan tubuh Yana menghilang. Yana akhirnya terjatuh ke lantai dengan hentakan cukup keras. Yana meringis dan memegang pinggangnya sambil menatap Galih dengan kecewa. Galih tertawa senang dan berniat meninggalkan kamar loteng untuk kembali ke kamarnya.
"Kakak kecewa sama kamu," kata-kata Yana cukup singkat tapi entah kenapa tersirat kesedihan.
Yana sengaja melewati Galih sambil menahan rasa sakit di pinggangnya. Galih merasa iba langsung mendekati Yana dan menggendongnya walau Yana menolak karena ia masih marah.
"Turunkan! Bukannya kamu nggak pernah sayang sama kakak," omel Yana dengan kesal. Galih lalu berhenti dan melepaskan pegangannya di tubuh Yana.
"Awwww," Yana meringis menahan rasa sakit di pinggangnya.
"Bawel!" gerutu Galih dalam hati sebelum meninggalkan Yana yang masih mengomelinya.
Flashback off
Panggilan Alleia membuyarkan lamunan Yana tentang Galih.
"Ayo kak ... mereka sudah mendarat tuh," ajak Alleia.
Yana melepaskan pegangan Alleia, "Kakak ke toilet dulu ya," Yana lalu meninggalkan ruang VVIP dan berlari ke toilet agar debar di jantungnya bisa ia kendalikan. Bertahun-tahun Yana berusaha menghapus rasa cinta yang mulai tumbuh sejak Galih menggendongnya dan ia pikir dengan berlalunya waktu rasa itu bisa hilang tapi nyatanya Yana semakin sesak memikirkan beberapa menit lagi mereka akan bertemu setelah berpisah selama delapan tahun.
"Semangat Ayana! Ingat kalau dia itu adik kamu, jangan rusak hubungan itu demi rasa yang belum tentu benar," ujar Yana dalam hati.
Saat Yana ingin keluar tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah SMS dari nomor yang tidak dikenalnya muncul di layar ponselnya. Yana penasaran tapi panggilan Alleia membuatnya menyimpan kembali ponsel itu dan mengacuhkan SMS yang masuk.
"Lama banget sih, pasti kakak lagi deg-deg ser ya nunggu kedatangan Kak Galih," bisik Alleia. Yana memukul tangan Alleia agar adiknya itu berhenti menggodanya apalagi kedua orangtua mereka berdiri di dekat mereka.
"Awas kalau kamu masih rese, kakak nggak akan beri uang jajan lagi." Ancaman Yana sepertinya mempan dan Alleia membuat gerakan tutup mulut dengan tangannya.
Mata Alleia tidak berhenti mengagumi Galang yang berdiri membelakanginya.
"Ya ampun ... punggungnya pelukable banget," tanpa sadar Alleia mengeluarkan pujian dengan mata berbinar-binar.
"Siapa yang pelukable?" tanya Ardan penasaran. Alleia langsung sadar setelah mendengar pertanyaan ayahnya dan berusaha mencari jawaban agar ayahnya tidak tahu kalau tadi ia mengagumi Galang. Bisa-bisa ayahnya ngamuk dan memecat Galang.
Alleia ingat betul nasehat Ardan agar tidak terlalu mempercayai laki-laki sampai usianya beranjak dewasa. Minimal Alleia harus menyelesaikan kuliahnya dulu baru boleh mengenal cinta dan tentu laki-laki itu harus disukai Ardan seperti Ardan menyukai Danu makanya mengizinkan Yana menikah dengan Danu.
Ardan termasuk ayah otoriter kepada dua anak perempuannya. Ardan merasa tanggung jawabnya sebagai ayah tidak hanya mencari nafkah tapi juga mencarikan jodoh terbaik untuk anak-anaknya. Terutama kepada Alleia, sampai usia delapan belas tahun Ardan belum memberi tahu Alleia kalau dirinya bukan ayah kandung Alleia. Ardan belum siap jika nanti Alleia membencinya dan tidak mau memanggilnya ayah lagi.
"Sayang," panggilan Sekar membuyarkan lamunan Ardan tentang Alleia. Alleia bersyukur ayahnya tidak bertanya lebih detail.
"Selamattttt," ujar Alleia dalam hati.
"Jadi siapa yang pelukable? Bule yang baru keluar tadi?" tebak Yana asal. Alleia memanyunkan bibirnya dan memilih mendekati Ardan lalu bergelayut manja di tangan ayahnya. Yana tertawa walau setelah itu ia kembali tegang. Jarum jam terasa lambat dan dua adiknya tak kunjung keluar dari pintu kedatangan.
"Kamu yakin mereka datang jam segini?" tanya Sekar ke Galang. Galang mengeluarkan ponselnya dan memeriksa email yang dikirim Galih sebelum mereka berangkat.
"Benar Nyonya, di email tercantum tanggal dan jam kedatangan mereka," balas Galang. Ardan melirik jam di tangannya. Ia rela membatalkan rapat dan pertemuan dengan salah satu kliennya demi menjemput kedua anaknya dan ternyata sampai detik ini Galih dan Biyandra tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Dasar anak-anak nakal," oceh Ardan dengan kesal.
"Sabar ... mungkin mereka lagi ambil bagasi," seperti biasa Sekar selalu membela anak-anaknya saat Ardan kesal dan bete.
"Kakakkkkk," teriakan Alleia membuat Yana semakin tegang. Ardan dan Sekar langsung melihat ke arah pintu kedatangan. Dua laki-laki dewasa keluar dengan penampilan berbeda, satu dingin dan tanpa senyuman sedangkan satu lagi slengean dan lebih ceria.
Daniel dengan penampilan punk rock, rambutnya sepanjang bahu, tangannya penuh dengan tatto, dan lidah serta kupingnya penuh dengan tindikan. Berbeda dengan Galih yang lebih rapi dengan penampilan lebih macho dan manly.
Ardan melotot melihat penampilan Daniel dan tekanan darahnya langsung naik. Ardan tidak mengeluarkan sepatah katapun dan memilih pergi meninggalkan Sekar dan kedua anak perempuannya.
"Ibu," Daniel mendekati Sekar lalu mencium kedua pipi ibunya.
"Ya ampun, kenapa penampilan kamu seperti ini. Ya Tuhan, sampai kapan kamu buat ayah dan ibu stress memikirkan kalian?" tanya Sekar yang terlalu fokus dengan Daniel dan mengacuhkan Galih. Galih melewati Sekar tanpa banyak basa basi bahkan Galih tidak menyapa Sekar dan lebih memilih mendekati Alleia.
"Kak Galihhhhh ... Alleia kangen bangetttttt," Alleia memeluk Galih dengan erat. Sekar sadar kalau ia terlalu fokus dengan Daniel dan mengacuhkan Galih.
"Kakak juga kangen," mata Alleia, Yana, dan Sekar langsung melotot setelah mendengar suara Galih untuk pertama kalinya.
"Kakak nggak bisu?" tanya Alleia dengan muka kagum. Galih menjentik kening Alleia dan melihat ke arah Yana.
Sekar ingin mendekati Galih untuk bertanya kabarnya tapi Galih menghindar dan mengacuhkan Sekar lalu mendekati Yana. Sekar tidak bisa berbuat apa-apa karena sejak awal Galih memang tidak dekat dengannya.
"Long time no see Ayana," Galih memeluk Yana dan mendekatkan mulutnya di telinga Yana lalu berbisik pelan di telinganya. Yana semakin menegang dan ia kesulitan untuk bernapas.
"Batalkan pernikahan kamu atau aku sendiri yang akan membatalkannya," bisik Galih pelan dengan senyum licik.
Sekar melihat senyum itu dan merasa Galih lebih mirip Ardan dibandingkan Daniel.