Nimas sesekali melihat ke arah Sekar melalui cermin yang ada di kamarnya. Mulutnya terasa sulit untuk bertanya alasan Sekar mau menikah dengan Ardan. Bagi Nimas melihat raut wajah Sekar hari ini saja sudah cukup menjawab semua rasa ingin tahunya.
Ya, tidak ada senyum dan kebahagiaan ditunjukkan Sekar walau hari ini rencananya Sekar akan menikah dengan Ardan. Nimas mengurungkan niatnya dan kembali memoleskan riasan tipis di wajah chubby Sekar.
Tidak ada hiasan atau pun baju mewah yang dipakai Sekar. Hari ini pernikahan paling sederhana yang pernah Nimas hadiri. Sekar hanya menyanggul rambutnya, memakai baju yang sederhana, dan riasan tipis.
"Sudah Mbak," ujar Nimas setelah memoleskan lipstick berwarna soft di bibir Sekar. Sekar membuang napas dan melihat penampilannya melalui cermin yang ada di depannya.
"Mbak tidak pernah mau menjadi istrinya. Mbak membencinya Nimas," ujar Sekar dengan mimik sedih. Sekar tahu kalau Nimas tidak rela Ardan menikah dengan wanita lain sedangkan kuburan Maudy saja belum kering.
"Aku tahu. Semua orang bisa lihat bagaimana wajah Mbak sekarang," balas Nimas. Semuanya sudah terlambat dan Nimas akan merelakan cinta Ardan ke Maudy hilang perlahan demi perlahan karena sejak awal cinta itu ada karena kebohongan bukan tulus dari hati.
"Sebentar lagi acara pernikahannya akan dimulai. Sebaiknya Mbak tersenyum jika tidak mau Mas Ardan cari masalah lagi," balas Nimas dan ia sengaja membuat gerakan tersenyum dengan jarinya.
Sekar tertawa miris, bisakah ia tersenyum jika hidupnya akan semakin terikat lebih lama dengan Ardan jika pernikahan ini terjadi. Bisakah ia tersenyum saat Nimas membawanya keluar dari kamar dan melihat Ardan sedang menunggunya bersama penghulu dan beberapa orang saksi yang tidak ia kenal. Bisakah ia tersenyum saat jantungnya tanpa diminta berdetak sangat kencang saat melihat Ardan untuk pertama kalinya tersenyum tulus padanya.
"Ya Tuhan ... kenapa hidupku jadi serumit ini," ujar Sekar dalam hati.
Penghulu memulai acara dengan memberi petatah petitih dan nasehat pernikahan. Sekar menundukkan kepala dan tanpa sadar ia menitikkan airmata. Ardan samar-samar mendengar isak tangis tertahan Sekar langsung menggenggam tangan Sekar walau langsung dihalau Sekar.
"Jangan berani menyentuhku! Walau sebentar lagi kita menikah. Aku tidak akan membiarkan kamu menyentuhku," ujar Sekar dalam hati.
"Aku tahu, aku tidak akan memaksanya langsung menerimaku. Dosaku terlalu banyak dan wanita mana pun tidak akan mudah menerima laki-laki yang pernah menginjak harga dirinya untuk menyentuhnya," ujar Ardan dalam hati.
Prosesi akad nikah akhirnya dimulai. Dengan lancar Ardan melafazkan ijab qabul dengan lancar dan tanpa masalah. Para saksi secara bersamaan mengucap kata sah. Isak tangis Sekar semakin pecah dan Nimas terpaksa menenangkannya. Hidup Sekar perlahan demi perlahan, dari status budak menjadi nyonya besar.
Tidak ada resepsi, tidak ada gelak tawa, dan tidak ada senyum setelah acara pernikahan. Sekar diam dan membisu sejak acara pernikahan tadi. Ardan menutup pintu dengan pelan dan melihat Sekar sedang berdiri di dekat jendela masih dengan memakai baju dan riasan pas mereka menikah tadi.
"Lebih baik kamu istirahat," ujar Ardan sambil membuka beskap yang ia pakai. Sekar menutup jendela dan saat ingin masuk ke kamar mandi, Sekar sengaja berhenti persis di samping Ardan.
"Akhirnya Tuan mendapatkan apa yang Tuan inginkan. Bahagiakah Tuan dengan pernikahan palsu ini? Bahagiakah Tuan setelah berhasil memaksa saya dengan keji? Bahagiakah Tuan membawa wanita lain ke dalam kamar yang masih memajang foto Tuan dengan mantan istri Tuan?" tanya Sekar dengan suara menggelegar sambil menunjuk foto-foto Maudy yang masih terpajang di dinding.
"Shit!" maki Ardan dalam hati.
"Setelah bayi itu lahir kita akan kembali ke Jakarta," jawab Ardan tanpa mau memperpanjang masalah dengan Sekar. Sekar tertawa miris dan memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk mengeluarkan semua rasa kesalnya.
Setelah Sekar pergi barulah Ardan mulai melepaskan satu persatu foto Maudy dan menyimpannya dengan rapi dan baik di dalam lemari.
"Maaf Maudy," ujar Ardan pelan dan ia pun menutup lembaran masa lalunya bersama Maudy dan berharap masa depannya dengan Sekar bisa terwujud dalam waktu dekat walau ia harus melakukan berbagai cara meluluhkan hati Sekar.
Sudah tiga minggu Renata bersembunyi di rumah Pasha, awalnya Pasha tidak terlalu suka Renata terlalu lama bersembunyi di apertemennya tapi rasa iba Pasha langsung muncul saat tahu kalau Renata tidak punya keluarga yang bisa menampungnya. Pasha pun membiarkan Renata untuk tetap tinggal bersamanya.
"Wow, kali ini sarapan apa lagi?" tanya Pasha saat melihat meja makannya sudah penuh dengan sarapan yang dimasak Renata.
"Makanan kesukaan kamu, maaf aku lancang baca buku ini dan di dalamnya tertulis apa saja makanan yang kamu suka dan benci," Renata menunjukkan buku tahunan milik Pasha saat sekolah dulu. Di dalamnya tertulis apa pun yang berhubungan dengan Pasha termasuk apa saja makanan kesukaannya.
"Oh, kamu ternyata kreatif ya. By the way, nanti malam sepertinya aku akan telat pulang. Ada acara di restoran dan aku pasti lembur sampai malam, sebaiknya kamu jangan menunggu aku." Renata mengangguk dan menyuruh Pasha mulai memakan sarapannya.
Tiga minggu hidup bersama membuat Renata sadar jika di dunia ini masih ada laki-laki sebaik Pasha. Laki-laki yang rela menerima wanita asing untuk tinggal di rumahnya. Laki-laki yang membuatnya untuk pertama kali rela terkena minyak goreng demi membuat makanan untuk Pasha.
"Kamu tidak bosan di rumah?" tanya Pasha. Renata menggeleng, walau sudah tiga minggu tapi hatinya belum tenang jika Ardan belum tahu masalah kejahatan maminya.
"Tidak bosan? Mau ikut aku ke restoran?" tanya Pasha lagi. Renata semakin menggeleng, ia tidak mungkin ikut Pasha ke restoran dan akhirnya bertemu Ibu Marinka atau Tuan Felix.
"Tidak apa-apa kok, atasan aku sudah dua hari ini liburan ke luar nageri," balas Pasha.
"Mami keluar negeri? Walau mami tidak ada di Indonesia tapi tetap saja keselamatanku belum terjamin selama Ardan belum tahu," ujar Renata dalam hati.
"Saya lebih nyaman di rumah," tolak Renata. Renata menyusun piring-piring kotor dan membawanya ke dapur. Pasha melihat perubahan raut wajah Renata dan Pasha semakin penasaran tentang masa lalu Renata.
Rencananya siang nanti Pasha akan mengunjungi ibunya di rumah sakit dan ia akan bertanya tentang asal usul Renata. Entah kenapa Pasha merasa ada yang ditutupi Renata darinya.
"Baiklah, aku tidak akan maksa kamu untuk ikut bersamaku, tapi kalau kamu membutuhkan sesuatu jangan malu minta langsung ke aku ya," Renata mengangguk dengan senyum sumringah.
Nimas memandang langit yang menunjukkan kilapnya dengan taburan bintang-bintang. Beberapa kali Nimas membuang napas dengan berat. Niatnya untuk pulang ke Jakarta dihalangi Ardan, Ardan beralasan meski kini hubungan mereka berakhir sebagai adik dan kakak ipar tapi Ardan sudah menganggap Nimas sebagai adiknya dan sudah seharusnya adik menolong kakaknya.
"Nimas," lamunan Nimas buyar saat mendengar Ardan menyapanya.
"Mas kok di sini," tanya Nimas kaget melihat Ardan menghampirinya. Di belakang mereka Arjuna sedang mengamati dari kejauhan. Arjuna melihat lampu di kamar Ardan baru dimatikan dan itu berarti Sekar sudah tidur.
"Mas tidak bisa tidur," jawab Ardan sambil duduk di samping Nimas. Ardan membuang napasnya berkali-kali sebelum memulai obrolan dengan Nimas.
"Cinta sulit ditebak dan itu kini sedang Mas rasakan,"
Nimas tersenyum dan menatap Ardan, "Mas lagi curhat tentang Mbak Sekar ya? Kenapa Mas?" tanya Nimas penasaran.
Ardan tertawa miris, "Selama ini apa yang Mas inginkan tinggal menjentik jari dan dalam sekejap semuanya ada dalam genggaman Mas. Begitu pun saat menikah dengan Maudy, rasanya terlalu gampang. Sejak awal pertemuan sampai kami menikah pun semuanya terasa cepat dan gampang," Ardan tertawa miris. Setelah tiga tahun barulah ia sadar kalau selama ini kedekatannya dengan Maudy seperti sudah direncanakan. Terlalu gampang dan tidak sesulit saat ia mengajak Sekar menikah.
"Mas menyesal menikah dengan Mbak Maudy?" tanya Nimas.
"Tidak, sedikit pun Mas tidak menyesal hanya saja ... Mas merasa ada banyak rahasia yang masih belum dia sampaikan. Mas baru ingat di hari kematiannya Maudy ingin bicara tentang sesuatu hal. Wajahnya sangat serius dan penuh ketakutan, apa mungkin Maudy pernah bicara sama kamu?" tanya Ardan.
Nimas meneguk air ludahnya untuk menutupi rasa gugupnya. Ardan mulai mencurigai niat Maudy menikahinya.
"Aku tidak tahu," balas Nimas.
Arjuna sengaja duduk di belakang pohon untuk mendengar pembicaraan Ardan dan Nimas. Satu hal yang bisa disimpulkan Arjuna, Nimas sebenarnya tahu tapi lebih memilih tutup mulut. Rasa penasaran membuat Arjuna ingin menyelidiki tentang semuanya. Tentang Nimas, Maudy, dan apa tujuan mereka masuk ke dalam hidup Ardan.
Ardan lalu berdiri dan kembali ke dalam dan meninggalkan Nimas yang masih belum siap berkata jujur tentang masa lalu Maudy.
"Hai Biyandra," bocah laki-laki berusia hampir tiga tahun itu menoleh dan tersenyum girang saat mendengar ada yang menyapanya.
"Mama ... Mama ..." ocehnya.
"Bukan Mama tapi Oma. Mulai sekarang panggil saya Oma," Ibu Marinka menunjukkan senyum palsunya lalu menggendong Biyandra. Aset masa depan yang kini berhasil ia kuasai setelah terlebih dahulu menyingkirkan Kayla untuk selama-lamanya.
"Mbak,"
"Bocah ini beberapa tahun lagi akan mewarisi seluruh harta Mahesa Group. Kita harus merawatnya sebaik mungkin sampai waktunya dia muncul dan menuntut hak sebagai satu-satunya keturunan Ardan Mahesa," ujar Ibu Marinka.
"Mbak akan mengasuhnya?"
"Tentu saja, mulai sekarang namanya Biyandra Mahesa. Satu-satunya emas berharga milik kita, kita akan memanjakannya bagai pangeran."
"Bagaimana dengan Ardan dan istrinya?" tanya Tuan Felix.
"Mereka akan kita bereskan setelah memastikan semua harta itu jatuh ke tangan dia," Ibu Marinka mencium pipi Biyandra.
"Mama ... Hiksss ... Au Mama," Biyandra mulai tidak nyaman dan memanggil Kayla yang dianggapnya sebagai mama.
"Sttttsss, Oma sayang ..." Ibu Marinka berusaha menenangkan Biyandra yang ngamuk dan sulit ditenangkan. Emosi Ibu Marinka tersulut dan untuk menenangkan kerewelan Biyandra, Ibu Marinka tidak segan memukul Biyandra.
"Diam! Mulai sekarang hapus nama wanita itu, paham!" ancam Ibu Marinka. Tangis Biyandra langsung berhenti dan Ibu Marinka membuang napasnya.
Di tempat lain,
Prakkk
Sekar tanpa sengaja menjatuhkan piring yang dipegangnya. Dadanya sesak sejak pagi, hatinya tidak tenang dan merasa ada sesuatu sedang terjadi dan tiba-tiba bayangan serta isak tangis Biyandra terngiang-ngiang di benak Sekar.
"Ya Tuhan, perasaan apa ini."