Nafsu makan Sekar langsung hilang saat mendengar ramalan penjual nasi goreng yang seakan tahu tentang hidup dan masa lalunya. Sekar meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya dengan kasar dan menatap penjual nasi goreng dengan tatapan tajam.
"Jangan sok tahu Mas. Tahu apa Mas tentang hidup saya!" emosi Sekar akhirnya pecah. Ardan terkesima melihat amarah Sekar, sebenarnya Ardan ingin memaki penjual nasi goreng tapi ia urungkan setelah mendengar amarah Sekar.
Senyum tiba-tiba keluar dari mulut Ardan. Entah kenapa Ardan suka melihat Sekar seperti tadi.
"Maaf Mbak, saya hanya menyampaikan apa yang indera keenam saya lihat. Seharusnya saya lebih hati-hati menyampaikan kelebihan saya. Maaf kalau Mbak tersinggung," penjual nasi goreng merasa tidak enak dan meminta maaf berulang kali supaya Sekar bisa memaafkannya.
Ramalan tadi sangat menyesakkan dada Sekar, susah payah ia melupakan Biyandra dan juga rasa bersalah di hatinya. Sialnya penjual nasi goreng dengan seenaknya mengungkit tentang masa lalunya itu.
Dengan dada masih sesak Sekar meninggalkan Ardan dan masuk ke dalam mobil lalu menangis tersedu-sedu. Ingatannya langsung tertuju pada Biyandra. Anak yang dulu ia buang dan telantarkan.
"Maaf kelancangan saya tadi Tuan. Sungguh, saya hanya bermaksud memberitahu kalau banyak monster di luar sana menginginkan nyawa anaknya," ujar penjual nasi goreng. Ardan terdiam, ucapan penjual nasi goreng tentang anak pertama Sekar mengusik hatinya.
Awalnya Ardan berpikir kalau itu hanya sebuah gurauan, tapi melihat wajah penjual nasi goreng yang serius membuatnya ingin tahu.
"Temui saya besok di alamat ini," Ardan menyerahkan alamat villanya ke tangan penjual nasi goreng, "Besok jelaskan apa saja yang kamu lihat," sambung Ardan.
"Baik Tuan," balas penjual nasi goreng. Ardan lalu menyusul Sekar dan melihat Sekar masih menangis dengan pilu.
"Ya Tuhan, apa aku harus memberi tahu Tuan itu kalau kesalahannya akan menghancurkan cinta di antara mereka. Wanita itu akan membunuh suaminya jika tahu ... ya Tuhan!" Penjual nasi goreng menggeleng-gelengkan kepalanya dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Sudah puas?" tanya Ardan setelah Sekar selesai menangis. Mata Sekar sembab dan hidungnya memerah.
"Sudah, hiksss."
"Kenapa semua wanita itu sangat menyebalkan, bisa-bisanya kamu menangis hanya karena ramalan penjual nasi goreng, ckckck" ujar Ardan sambil melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Sekar tidak menjawab dan memilih menyandarkan kepalanya di kursi. Ingatannya masih ke sosok Biyandra.
"Maaf ... Maaf kalau kamu lahir dari ibu kejam seperti saya," ujar Sekar dalam hati. Rasa lelah membuat Sekar memejamkan matanya. Rencananya untuk kabur gagal total dan sekarang ia masih dalam sekapan Ardan.
Ardan menghentikan mobilnya dan melihat Sekar yang sudah tertidur dengan pulas. Ucapan tentang anak pertama Sekar kembali terngiang di telinganya.
"Apa yang kamu sembunyikan?" tanya Ardan.
"Hikssss Biyandra ..." igauan Sekar membuat Ardan semakin penasaran.
"Biyandra? Siapa Biyandra?"
Airmata kembali jatuh dari mata Sekar yang tertutup. Igauan tadi berganti menjadi isak tangis tertahan meski mata Sekar masih tertutup.
Ardan menghapus airmata Sekar dengan jarinya, "Wajahnya sangat jelek kalau sedang menangis, aku tidak suka! Aku tidak mau anaknya ikutan cengeng kalau ibunya juga cengeng," gerutu Ardan sambil melepaskan jaket kulitnya dan menyelimuti agar Sekar tidak kedinginan.
Ardan pun ikut berbaring di samping Sekar dan mencoba menutup matanya dan akan kembali ke rumah sakit keesokan paginya.
Sebuah ketukan membangunkan Ardan dan Sekar secara bersamaan, Ardan melihat seorang bapak berusia renta sedang berdiri di samping mobilnya.
"Jangan coba-coba berisik dan memberitahunya, atau saya tidak akan segan menyakiti dia," ancam Ardan.
"Iya Tuan yang selalu melibatkan orang lain untuk mengancam saya," sindir Sekar. Ardan membuka jendelanya dan melihat bapak itu menawarkan dagangannya.
"Ada apa, pak?" tanya Ardan.
"Sejak pagi tidak ada satu pun yang mau membeli dagangan saya," Sekar mencoba mengintip dan ingin tahu apa yang dijual bapak tua itu. Air liurnya langsung menetes melihat dan mencium aroma wangi yang dikeluarkan pepes yang dijualnya. Sekar memegang ujung baju Ardan dan menggoyangnya pelan.
"Saya mau," pinta Sekar dengan wajah mengiba. Ardan melirik tangan Sekar dan langsung menghalaunya.
"Lancang! Siapa yang menyuruh kamu memegang baju saya ... Tuan pasti akan mengomeli saya seperti itu. Ya, kan?" Sekar sengaja menyindir sebelum Ardan mengucapkan hal yang sama. Kesedihannya hilang saat bertikai dengan Ardan.
"Nggak, saya bosan mengatakan hal yang sama setiap hari," balas Ardan acuh. Ardan lalu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu ke tangan penjual pepes.
"Terima kasih, tapi uang ini ..."
"Ambil saja," Ardan lalu menutup jendela mobilnya supaya bapak tua itu tidak mengembalikan uangnya.
"Awas kalau tidak dimakan," ancam Ardan setelah menyerahkan semua pepes itu ke tangan Sekar.
Sekar yang kebetulan sedang kelaparan langsung melahap beberapa pepes dengan nikmat. Aroma wangi pepes membuat perut Ardan langsung bergejolak, sejak kemarin nafsu makannya hilang.
"Tuan mau?" tanya Sekar sambil membuka satu pepes baru.
"Perut saya bisa sakit kalau makan makanan tidak jelas seperti itu," tolak Ardan dengan angkuhnya.
"Beuhhh, terkadang makanan kayak gini lebih enak dibandingkan makanan di restoran mewah," balas Sekar.
"Lebih baik kamu habiskan makanan itu dan setelah itu kita kembali ke rumah sakit,"
"Kita pulang saja. Kondisi saya sudah cukup membaik," ujar Sekar. Ardan melihat wajah Sekar tidak lagi pucat.
"Seharusnya aku tidak mengubah wajahnya. Semakin lama aku semakin tidak bisa mengontrol tanganku untuk mengusap kepala dan perutnya." Ardan merasa mengubah wajah Sekar menjadi wajah Maudy merupakan tindakan bodoh.
"Wajah kamu ..."
Sekar berhenti makan saat Ardan membahas masalah wajahnya, "Kenapa wajah saya?" tanya Sekar.
"Sepertinya kita harus melakukan operasi sekali lagi," Ardan menutup matanya. Entah kenapa ia berani berkata seperti itu, tapi Ardan harus melakukannya demi ketenangan batinnya. Ardan berharap dengan mengembalikan wajah Sekar ke bentuk semula bisa membuat hatinya tenang selama Sekar berada di sampingnya.
"Maksud Tuan?"
"Saya tidak sudi wajah Maudy berada di tubuh kamu,"
"Bukannya Tuan yang seenaknya mengubah wajah saya," balas Sekar dengan kesal.
"Besok kita ke Thailand," ujar Ardan sesampainya mereka di villa.
"Thailand, uhukkkk. Maksud Mas besok kita ke Thailand untuk melakukan operasi lagi?" tanya Nimas penasaran meski kondisi tubuhnya sedikit drop setelah semalam Arjuna membuatnya hujan-hujanan.
"Iya, kita berempat akan ke Thailand dan melakukan operasi plastik,"
"Tapi kehamilan Mbak Sekar semakin membesar,"
"Dokter itu kenalan Mas dan dia tidak memiliki izin praktek. Semua tindakan yang kita ambil illegal dan tidak berizin. Dokter itu tidak akan mempermasalahkan kondisi kehamilan dia,"
Nimas mencoba membaca hati Ardan melalui matanya. Nimas bisa menyimpulkan kalau Ardan semakin peduli dengan Sekar walau mulutnya belum mengakui hal tersebut.
"Kenapa Mas? Apa mungkin bayangan wajah Mbak Maudy membuat Mas jatuh cinta ke wanita itu?" tanya Nimas.
"Mas hanya nggak sudi wajah mereka sama, itu saja." Ardan lalu meninggalkan Nimas.
"Mas membohongi diri sendiri," Nimas melihat kepergian Ardan dengan panjang setelah itu ia masuk ke dalam kamar Sekar.
"Kita berempat mau ke Thailand," ujar Nimas memberi tahu Sekar.
"Aku tahu. Wajah ini ... wajah ini bukan milikku dan sudah seharusnya kita mengembalikan ke pemilik aslinya," balas Sekar.
"Mbak, aku mau tanya satu hal penting. Aku harap Mbak bisa menjawabnya dengan jujur."
"Tanya apa?"
"Kita tidak tahu bagaimana nanti ke depannya. Beberapa bulan yang lalu Mas Ardan masih bahagia dengan Mbak Maudy dan dalam hitungan hari semuanya berubah. Mbak Maudy meninggal dan sekarang Mas Ardan menyekap Mbak yang wajahnya mirip dengan mendiang istrinya. Jika ... jika nanti suatu saat Mas Ardan jatuh cinta ke Mbak, apa yang akan Mbak lakukan?" tanya Nimas dengan hati-hati.
"Hahahaha cinta? Sampai kapan pun Mbak nggak akan pernah mencintai laki-laki arogan, sombong, kejam, dan berhati batu seperti dia. Kamu coba di posisi Mbak, apa mungkin kamu mencintai laki-laki yang membuat Mbak harus minum air kotor demi kesenangannya? Tidak, semua perbuatannya sulit Mbak maafkan," mendengar jawaban Sekar entah kenapa sedikit membuat Nimas lega.
Tidak, Nimas sama sekali tidak menyukai Ardan. Hanya saja, Nimas mau Ardan tetap mencintai Maudy sampai semua masa lalu kakaknya terbongkar.
"Kamu suka ya sama dia?" tebak Sekar.
"Hahaha ya nggak mungkinlah Mbak,"
Ehemmmm
Pembicaraan mereka terhenti saat Ardan memanggil Sekar untuk datang ke kamarnya. Sekar melewati Nimas dan langsung masuk ke dalam kamar Ardan.
"Jadi .... wanita tamak ini mulai menyusun rencana," lamunan Nimas buyar saat mendengar sindiran Arjuna.
"Terserah otak lo mau pikir apa tentang gue. Sampai berbusa pun gue jelaskan tapi kalau dasarnya otak lo kotor maka semua penjelasan gue tidak akan ada gunanya," balas Nimas acuh dan melewati Arjuna begitu saja.
Sebelum keberangkatan mereka, Ardan terlebih dahulu menemui penjual nasi goreng. Ardan menyuruh Arjuna tidak membiarkan Sekar melihat pertemuannya dengan penjual nasi goreng.
"Silakan duduk,"
Penjual nasi goreng pun duduk sesuai perintah Ardan.
"Baiklah, saya akan langsung to the point saja. Ceritakan apa saja yang kamu lihat," tanya Ardan langsung.
"Saya hanya bisa bilang, berhati-hatilah. Para penjahat tidak saja mengincar Tuan tapi juga ... anak Tuan," bisik penjual nasi goreng.
"Maksud kamu?"
"Suatu saat Tuan akan tahu kebenarannya. Maaf hanya itu yang bisa saya sampaikan. Berhati-hatilah dan jaga satu-satunya keturunan Tuan,"
Penjual nasi goreng langsung pergi sebelum Ardan bertanya lebih lanjut. Lidahnya kelu memberi tahu Ardan tentang apa yang dilihatnya. Kelebihan yang Tuhan beri terkadang membuatnya sakit kepala dan ia benci harus menutupi bagaimana teganya laki-laki yang berdiri di depannya tadi menghancurkan hidup orang lain.
Pembicaraan mereka tanpa sengaja di dengar Arjuna saat ingin mengantar segelas air. Rasa penasaran membuat Arjuna diam-diam mengikuti penjual nasi goreng itu.
"Kita harus bicara," ujar Arjuna menahan langkah kaki penjual nasi goreng.
"Kamu ... saksi malam itu," tebak penjual nasi goreng.
"Saksi? Saksi apa?" tanya Arjuna.
"Hey, lo dipanggil Mas Ardan." Panggilan Nimas membuat Arjuna terpaksa melepaskan tangannya.
"Saya tidak mau ikut campur, permisi."