Download App
24.28% My Beauty Slave / Chapter 17: Mustahil

Chapter 17: Mustahil

Tidak pernah terbersit sedikitpun di benak Ardan bahwa hari ini ia akan mengantar langsung jenazah Maudy ke tempat peristirahatan terakhir. Isak tangis ibu Maudy dan Nimas terdengar menyayat hati. Ibu Marinka dan Renata pun ikut menangis dan merasa kehilangan Maudy yang tiga tahun ini berhasil mengubah kepribadian Ardan menjadi lebih manusiawi.

Tuan Felix ikut meneteskan airmata buaya agar tidak ada yang curiga kematian Maudy merupakan ulahnya. Tuan Felix menatap Nimas yang berdiri di samping Ardan. Wajah Nimas sangat mirip dengan Maudy dan rencananya untuk mengeruk harta Ardan yang gagal dilakukan Maudy bisa diteruskan adiknya, Nimas.

"Hari ini terakhir kalian menangisi Maudy. Biarkan dia tidur dengan tenang dan lupakan semua hal tentang dia. Jangan pernah ungkit Maudy di depanku jika ingin hidup tenang." Semua orang yang hadir langsung terdiam mendengar ucapan Ardan yang berarti perintah. Ibu Maudy menghapus air matanya dan mencoba membaca isi hati Ardan. Ibu Maudy takut Ardan mengusirnya dari rumah yang kini ia tempati dan kembali ke rumah kumuh dan kecil.

Ibu Maudy mencoba mencari cara untuk tetap bisa tinggal bersama Ardan di rumah mewahnya dan masih bisa menyicipi harta yang menjadi bagian Maudy semasa hidupnya. Ibu Maudy teringat pembicaraan Ibu Marinka dengan Arjuna tentang penyebab kematian Maudy. Ibu Maudy tersenyum licik dan berencana memberi tahu Ardan di rumah saja agar tidak ada yang tahu rencana busuknya untuk menguras harta Ardan dengan menggunakan kematian Maudy sebagai senjata barunya.

Ardan memakai kembali kacamata hitamnya dan meninggalkan tempat pemakaman Maudy. Arjuna dengan setia mengikuti Ardan dari belakang. Arjuna memilih diam sepanjang perjalanan begitu pun Ardan yang memilih memandang jalanan dengan tatapan kosong. Hidupnya mulai hari ini tidak akan sama sejak kematian Maudy. Hatinya hampa dan jiwanya kosong bersamaan dengan kematian Maudy.

"Kenapa kecelakaan itu bisa terjadi?" akhirnya Ardan membuka mulutnya. Arjuna melirik Ardan melalui kaca spion. Ini yang paling ditakuti Arjuna kalau sampai Ardan tahu penyebab kematian Maudy akibat keteledoran pengemudi lain yang membawa mobil dalam kondisi mabuk. Bisa-bisa semuanya akan menjadi kacau. Pengemudi itu memang sudah meninggal tapi Ardan tidak akan melepaskan keluarga pengemudi itu sampai dendamnya terbalaskan.

"Bukankah tadi Tuan memberi tahu kami untuk tidak pernah lagi membahas Nyonya," jawab Arjuna agar Ardan berhenti membahas kematian Maudy.

"Semua ini seperti mimpi buruk. Kehilangan orang yang sangat kita cintai sangat menyakitkan," ujar Ardan pelan. Arjuna melirik sekali lagi ke arah Ardan melalui kaca spionnya dan tanpa sengaja Arjuna melihat Ardan menghapus airmatanya yang jatuh di balik kacamata hitamnya.

"Baru kali ini aku melihat Tuan menangisi wanita. Cinta Tuan kepada Nyonya sangat tulus dan kematian Nyonya akan mengembalikan sifat dan perilaku Tuan yang arogan dan egois," ujar Arjuna dalam hati.

"Semua ini sudah takdir Tuhan," balas Arjuna.

"Ya, takdir yang sangat kejam dan menyakitkan." Ardan menyandarkan kepalanya di kursi dan mencoba menutup matanya untuk menghilangkan bayang-bayang Maudy yang selalu menghantuinya.

"Mabuk?" tanya Sekar dengan suara bergetar saat pihak polisi memberi tahu penyebab kecelakaan tragis yang menyebabkan Aditya meninggal. Polisi mengangguk dan menyerahkan dokumen pemeriksaan pihak rumah sakit yang menyatakan darah Aditya mengandung kadar alkohol cukup tinggi.

Sekar menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan laporan pemeriksaan ini. Semua ini sangat mustahil terjadi, sampi detik ini Sekar masih belum bisa menerima kematian Aditya secara mendadak dan sekarang polisi memberitahunya tentang penyebab kecelakaan karena darah Aditya mengandung alkohol. Sekar sangat mengenal Aditya walau kebersamaan mereka baru beberapa tahun, tapi Aditya bukan peminum dan pemabuk.

"Bapak salah! Suami saya tidak mungkin mengemudi dalam keadaan mabuk. Ini bukan punya suami saya, saya nggak rela dia dituduh sebagai pembunuh dan penyebab kecelakaan itu," teriak Sekar berlinang airmata.

Masih terngiang di telinganya ucapan terakhir Aditya sebelum kecelakaan itu terjadi dan sekarang polisi memberi tahu kalau Aditya menjadi penyebab kecelakaan maut yang merenggut korban lain.

"Hasil pemeriksaan membuktikan kalau suami Ibu menjadi penyebab kecelakaan itu. Hasil ini tidak bisa dibantah. Untungnya pihak korban tidak mengajukan tuntutan apa-apa," ujar polisi dengan kesal. Sekar menggeleng dan menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Ini tidak mungkin. Mana mungkin Mas Aditya mengemudi dalam keadaan mabuk. Sekali pun saya tidak pernah melihatnya minum. Hiksss." Sekar hancur dan terluka sejak mendengar kematian Aditya setelah ia kembali dari kota. Hatinya semakin hancur saat pihak kepolisian menuduh suaminya mengemudi dalam keadaan mabuk. Hatinya tidak terima dengan tuduhan itu tapi hasil pemeriksaan menunjukkan kandungan alkohol di tubuh Aditya memang tinggi.

"Adik saya bukan pemabuk. Sesulit apa pun kehidupannya Aditya tidak akan pernah mau minum minuman beralkohol. Aditya punya penyakit gagal ginjal sejak kecil dan minum minuman beralkohol sama saja membuka pintu kematian untuknya," Sekar kaget mendengar suara yang sangat mirip dengan Pasha. Sekar memutar kepalanya dan melihat Pasha sedang menatapnya penuh rindu. Sekar tidak menyangka keluarga Aditya bisa tahu di mana rumah mereka.

"Mas Pasha," panggil Sekar pelan. Tak lama muncul kedua orangtua Aditya, mereka menatap Sekar dengan benci dan penuh amarah. Ibu Aditya mendekati Sekar dan menamparnya sekali.

"Kamu yang menyebabkan Aditya meninggal! Kembalikan anak saya!" teriak Ibu Aditya membabi buta. Andai Pasha tidak menahan ibunya mungkin Sekar sudah babak belur. Sekar tidak melawan atau pun membela diri. Sekar hanya menunduk sambil meneteskan airmata.

"Kamu itu pembawa sial! Andai Aditya tidak menikah dengan kamu, mungkin sekarang dia masih hidup. Wanita kotor dan hina seperti kamu tidak pantas menikah dengan anak saya!" teriak Ibu Aditya dengan kejam dan kasar.

"Ibu!" teriak Pasha untuk menenangkan ibunya.

"Dia penyebab Aditya pergi dari rumah. Bekerja sebagai supir dan menghentikan pengobatannya dan sekarang dia meninggal!" Ibu Aditya luruh ke lantai dan menangis dengan pilu. Sekar kehilangan kata-kata karena apa yang dibilang Ibu Aditya semuanya benar. Andai Aditya tidak menikahinya, andai Aditya tidak mengenalnya mungkin sekarang Aditya masih hidup.

"Ma … maaf, maaf."

Pasha tahu apa yang dirasakan Sekar. Malu, merasa tersudut, merasa hina, dan hancur dirasakan Sekar saat bertemu dirinya dalam posisi dan hubungan yang semakin rumit.

"Hanya kamu satu-satunya anak Ibu yang tersisa. Jangan pernah kamu seperti Aditya yang buta karena wanita. Jangan pernah cari wanita seperti dia!" teriak Ibu Aditya sambil menunjuk Sekar. Pasha memeluk ibunya sambil memandang Sekar yang semakin menundukkan kepalanya dan enggan menatapnya.

"Maaf," ujar Sekar dengan lirih. Pasha membawa ibu dan bapaknya meninggalkan rumah Sekar dan berjanji akan bicara dengan Sekar setelah kondisi mulai membaik walau kemungkinan Sekar menolak kehadirannya cukup besar setelah tahu kalau dirinya dan Aditya punya hubungan cukup dekat. Pasha juga ingin menyelidiki kematian Aditya yang terasa janggal.

"Pengemudi mabuk? Ibu tahu dari mana?" tanya Ardan saat Ibu Maudy memberi tahu penyebab kecelakaan Maudy. Ibu Maudy menghapus airmatanya dan mulai menceritakan apa yang ia dengar dari perbincangan Ibu Marinka dan Arjuna. Amarah Ardan yang tadi mulai mereda kembali muncul dan dendam menguasai seluruh hatinya.

Awalnya Ardan sudah mengikhlaskan kematian Maudy tapi setelah mendengar dan mengetahui kematian Maudy akibat keteledoran seseorang yang mengemudi dalam keadaan mabuk. Jiwa jahat di hati Ardan langsung muncul dan menguasainya.

"Bajingan itu harus membayar kesalahannya," ujarnya dengan geram.

"Pengemudi mabuk itu sudah meninggal nak Ardan. Ibu masih tidak rela bajingan itu ikut menjadi korban. Ibu tidak rela anak dan cucu Ibu meninggal karena kesalahan pengemudi itu." Ibu Maudy melirik wajah Ardan yang mulai memerah seakan ingin membunuh siapa pun yang menjadi penyebab kematian Maudy.

Ardan tertawa miris dan gelas berisi minuman beralkohol yang disajikan Ibu Maudy langsung habis diminum Ardan. "Pengemudi itu memang sudah meninggal, tapi dendam aku tidak akan berhenti sampai pengemudi itu merasakan apa yang aku rasakan sekarang." Ardan melempar gelas kosong tadi ke dinding.

"Nak Ardan,"

"Ibu masih boleh tinggal di rumah ini bersama Nimas. Jaga rumah ini selama aku tidak ada di sini, aku harus menyelesaikan sebuah urusan." Ardan meninggalkan ruang kerjanya dan memanggil Arjuna untuk menyelidiki pengemudi yang menjadi penyebab kematian Maudy. Ibu Maudy tersenyum bahagia karena rencananya berhasil untuk bisa tetap tinggal di rumah mewah milik Ardan.

"Maudy … Maudy … setelah meninggal pun kamu tetap berguna untuk Ibu. Ibu pikir setelah kamu meninggal semua kekayaan ini tidak akan bisa lagi Ibu nikmati. Kamu cukup tidur dengan tenang di dalam kuburan dan biarkan Ibu menjaga harta yang seharusnya milik kamu."

Arjuna melihat wajah Ardan berubah saat keluar dari ruang kerjanya. Ia melihat wajah Ibu Maudy yang sedang tertawa sambil menikmati minuman. Arjuna membuang napasnya dan sadar sebentar lagi akan terjadi hal yang tidak ia inginkan.

"Nyonya lahir dan tumbuh di keluarga yang salah. Mereka hanya memanfaatkan Nyonya untuk mengeruk harta Tuan. Aku sudah berjanji akan menjaga Tuan dan aku akan menepatinya. Aku tidak akan membiarkan wanita tua itu dan anak gadis satunya mengeruk harta Tuan," ujar Arjuna pelan.

"Awwww," Arjuna melihat Nimas mengaduh kesakitan saat mereka tanpa sengaja bertabrakan.

"Jalan pakai mata dong!" maki Nimas sambil mengusap pantatnya yang sakit.

"Maaf, waktu saya lebih berharga daripada meladeni orang seperti kalian," sindir Arjuna sambil melewati Nimas yang sudah berkecak pinggang untuk memaki Arjuna.

"Sialan!" maki Nimas dengan kesal. Entah kenapa setiap bertemu Arjuna emosinya sulit untuk dikontrol dan lucunya setiap bertemu mereka selalu bertabrakan.

Di tempat lain

Pasha kaget saat tetangga memberi tahu kalau Sekar pergi pagi-pagi buta dengan membawa semua barangnya. Pasha mengeram kesal dan menendang kursi kayu yang tertinggal di depan rumah Sekar. Kesempatannya untuk bicara dengan Sekar hilang setelah kepergian Sekar yang entah ke mana.

"Sekar, kamu menghilang ke mana lagi!" teriak Pasha sambil mengeram kesal. Perginya Sekar tidak membuat Pasha mengurungkan niatnya untuk melindungi Sekar, Pasha berjanji akan menemukan di mana pun keberadaan Sekar walau harus mencarinya ke seluruh pelosok.

"Kayla, ya hanya dia yang tahu kejadian tiga tahun yang lalu. Aku harus mencari Kayla dan bertanya tentang kejadian dulu," Pasha mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi nomor ponsel Kayla dan sialnya nomor itu tidak aktif.

Pasha pun memutuskan mengunjungi rumah orangtua Kayla dan lagi-lagi jawaban tidak tahu ia dengar dari mulut orangtua Kayla. Kayla hilang bagaikan ditelan bumi membawa rahasia kelam kejadian tiga tahun yang lalu.

"Kenapa semua orang menghilang tanpa jejak!" teriak Pasha dengan kesal. Janjinya di depan makam Aditya untuk menjaga Sekar tidak berhasil ia penuhi.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C17
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login