Download App
79.31% Sistem Transmigrasi: Cinta Pertama Tuan Penjahat / Chapter 23: Istri Kecil Raja Setan (22)

Chapter 23: Istri Kecil Raja Setan (22)

"Amelia, kamu mau kemana?"

Raina menoleh ke arah Ganesha yang menatapnya dengan bingung. "Geni memintaku untuk mengikutinya," ucapnya.

"Tapi... aku akan kembali ke sekolah," ucap Ganesha.

"Oh? Kalau begitu, sampai jumpa!" ucap Raina sambil melambaikan tangannya.

Ganesha menatap Raina dengan dahi berkerut. "Kamu... tidak akan kembali bersamaku?"

Raina menggeleng. "Untuk apa?"

Ganesha: "..."

Geni: "..."

Geni mendesah. "Itu benar. Kamu harus pergi ke sekolah supaya bisa menjadi penyihir yang baik."

Raina cemberut. "Aku tidak mau menjadi penyihir."

Geni melihat ini dan wajahnya memerah. "Jangan... jangan lakukan itu!" pintanya pelan.

"Apa?"

"Jangan menunjukkan ekspresimu di hadapanku," ucap Geni sambil menutupi wajahnya dengan malu-malu. "Aku tidak terbiasa dengan itu."

Sekarang, akhirnya Geni menyadari apa yang aneh pada gadis itu. Sejak terbangun, dia merasa bahwa Amelia menjadi lebih aktif dan agresif dengannya. Hal ini membuatnya ketakutan sampai mati dan tidak tahu harus berbuat apa karena godaannya dikalahkan oleh Amelia yang sepertinya sudah belajar merayu dalam semalam.

Geni tidak salah, dia hanya tidak tahu dan tidak akan tahu. Pria itu tidak akan percaya sekalipun dia mengetahuinya.

"Tidak bisakah aku mengikutimu saja?" tanya Raina yang sepertinya tidak memperdulikan wajah kemerahan Geni.

"Kenapa?"

Raina terdiam. Apa dia bisa mengatakan kalau keberlangsungan misinya bergantung pada perasaan pria itu?

Oh, tentu saja, tidak.

"Aku rasa... aku menyukaimu," ucap Raina.

Geni: "..."

Ganesha: "..."

"Apa kamu pikir aku percaya padamu?" Geni menyipitkan mata.

Raina berkedip. "Kenapa tidak?"

Geni menyilangkan tangannya. "Wajahmu tidak mengatakan hal yang sama," ucapnya.

"... Apakah itu terlihat begitu jelas?"

Geni mengangguk.

Ganesha yang ada samping Raina juga mengangguk.

Raina: "..."

Sistem: "..."

"Tuan, aku berjanji akan memberimu kelas akting setelah kita menyelesaikan misi ini," ucap sistem dengan serius.

"Oh, haruskah aku berterima kasih?"

"..."

"Amelia," panggil Geni saat melihat gadis itu hilang dalam pikirannya sendiri.

Dia tidak tahu apa yang gadis itu pikirkan tapi dia selalu merasa tidak nyaman saat melihatnya seperti ini. Seakan-akan dia dikesampingkan dan itu membuat hatinya terasa buruk.

"Tidak bisakah aku mengikutimu tanpa alasan?" tanya Raina.

Geni menatap ekspresi memohon Raina. "... Ya, kamu bisa."

"Geni!" seru Ganesha.

"Apa? Dia yang menginginkannya sendiri," ucap Geni dengan senyuman bangga. Hmm, entah bagaimana dia memiliki rasa kepuasan tersendiri.

"Amelia!" Ganesha menatap Raina dengan mata melotot.

Raina bergeser mendekat Geni.

Ganesha menatap Raina dengan sedih seakan-akan dia adalah istri yang ditinggalkan.

Geni langsung menampar tangan Ganesha yang mencoba meraih Raina. "Dia sudah bilang kalau dia tidak mau kembali."

Ganesha menatap mereka berdua sebelum mendesah. "Aku akan meminta cuti atas namamu untuk beberapa hari. Segera kembali, oke? Guru-guru mulai menanyakan keberadaanmu."

Raina mengangguk dengan enggan dan berbalik pergi bersama Geni.

Ganesha menatap punggung mereka berdua dengan tatapan nanar lalu pergi ke arah yang berlawanan dengan mereka.

[Ding! Misi sampingan: <Selamat Tinggal, Kekasih Masa Kecil> Mematahkan hati pemimpin utama pria ✓ ]

Raina membalikkan badan dan melihat punggung Ganesha yang semakin menjauh. Itu terlihat begitu lebar dan... kesepian.

Geni menatap Raina setelah kepergian Ganesha.

"Apa? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Raina dengan senyuman yang masih setia menghiasi wajahnya.

"Kamu tidak perlu tersenyum lagi," ucap Geni. "Dia sudah pergi."

Senyum Raina menegang. "Apa maksudmu?"

"Kamu tidak perlu berpura-pura lagi."

Raina tertawa canggung. "Omong kosong apa yang kamu bicarakan?"

Geni hanya menatap Raina.

"Ayo, bukankah kamu ingin mengajakku ke suatu tempat?"

"Ya," jawab Geni. "Tunggu di sini."

Raina mengangguk. Dia menatap Geni yang berjalan ke belakang rumah sebelum kembali memfokuskan diri ke sistem. "Apa yang terjadi? Kenapa dia tidak bereaksi seperti yang ada di buku?"

"Tuan, kita berdua memahami dengan jelas bahwa teori dan praktek terkadang tidak sesuai."

"Aku tahu. Hanya saja, ini terlalu berbeda."

"Yah, mungkin kamu harus berusaha menyesuaikannya sedikit?"

"Berusaha bagaimana? Aku pikir ak..."

"Amelia?"

Raina mengangkat kepalanya dan melihat Geni yang duduk di atas seekor kuda hitam.

"Apa kamu bisa naik?"

Raina menatap kuda itu sejenak sebelum menggeleng pelan.

Geni turun dari kuda lalu mengangkat Raina ke atas kuda. Dia segera menyusul setelah memastikan bahwa gadis itu sudah duduk dengan mantap di atas kuda.

"Kamu selalu melamun sendiri setiap aku memperhatikanmu," ucap Geni. "Apa yang sebenarnya ada dalam otak kecilmu itu, huh?"

"Huh?"

Geni menghela napas. "Lupakan."

Raina mengalihkan tatapannya ke kuda hitam yang dia tunggangi.

Geni melihat Raina yang mengelus-elus surai kuda dengan lembut dan tersenyum tipis.

"Apa yang kamu pikirkan saat melihatku tadi? Apa kamu teringat dongeng seorang kesatria berbaju besi dengan kuda hitam?"

Raina menggeleng. "Aku hanya teringat sebuah kalimat."

"Oh, apa itu?"

"Lalu aku melihat seekor kuda pucat. Penunggangnya bernama Kematian[7]"

"... Apa kamu menghinaku."

"Tidak aku memujimu," ucap Raina sambil tersenyum.

"..." Kenapa aku tidak merasa seperti itu?

"Kemana kita akan pergi?" tanya Raina saat melihat bahwa mereka pergi ke jalan yang terasa asing baginya.

Geni tersenyum. "Tebak?"

"Suatu tempat romantis dimana kamu akan menyatakan perasaanku," jawan Raina terdengar asal-asalan.

"..."

"Apa aku benar?"

"..."

"Geni?"

"Ya. Dan kamu mengatakannya dengan sangat spesifik."

Raina mengulum senyum.

"Tuan, apa yang membuatmu tersenyum?" Sistem merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat senyuman Raina. Yah, itu pun kalau dia memiliki bulu kuduk.

"Aku hanya merasa bahwa usahaku membaca buku-buku konyol itu tidak sia-sia."

"Oh."

Geni melihat Raina yang sekali lagi melamun dan matanya menyipit. "Pegangan erat-erat," ucapnya.

Raina tidak mengerti kenapa Geni mengatakan itu tapi masih mengikuti perintahnya.

Geni langsung menarik tali kekang kuda itu hingga hewan itu berlari kencang setelah memastikan bahwa Raina sudah berpegangan dengan erat.

"Tuan, apa yang kamu lakukan?"

"Memangnya, apa yang aku lakukan?"

"Dia terlihat kesal. Apa kamu mengganggunya?"

Raina melirik Geni dari sudut matanya dan diam-diam menyetujui ucapan sistem saat melihat wajah Geni yang menggelap. Tapi apa kesalahannya? Dia hanya duduk diam dan pria itu tiba-tiba kesal?

Geni melihat Raina yang menatapnya dan memberinya senyuman. "Sudah selesai melamun?"

Raina: "..."

Sistem: "..."

"Apa dia marah karena aku melamun?"

"Aku rasa begitu?"

"..."

"..."

Apa yang salah dengan sirkuit otak pria ini, hah?!

Pada akhirnya, Raina berusaha mengajak Geni berbicara dengan susah payah mengingat dia tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya.

"Kalau kamu memiliki kendaraan, kenapa kita harus berjalan kaki di dalam hutan?"

Tubuh Geni membeku saat mendengar ini. "Oh, benar, kenapa aku tidak memikirkannya?"

"..." Itu karena kamu idiot.

"Yah, itu juga tidak masalah," lanjut Geni. "Aku menjadi semakin mengenalmu dengan baik karena itu."

"Kamu terdengar begitu hebat," ucap Raina. "Kamu bahkan bisa mengenalku dengan baik dalam sehari."

Geni dan Raina saling menatap dengan senyuman di wajah mereka tapi sistem bisa merasakan ketegangan diantara mereka.

"Uh, apa kamu memiliki saudara?" tanya Raina tiba-tiba.

Geni: "..."

Sistem: "..."

"Tuan, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Huh? Aku tidak tahu. Apa lagi yang bisa aku bicarakan?"

"..."

"Tidak. Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Aku... tidak tahu."

Geni mencoba menahan tawanya. "Lalu bagaimana denganmu?"

Raina terdiam saat melihat bar cinta di atas Geni yang meningkat menjadi tiga puluh tiga persen. "Mungkin tidak," jawabnya kemudian.

"Apa kamu merasa kesepian," tanya Raina tanpa mengalihkan tatapan dari jalan.

"Kesepian?"

"Ya. Orang-orang yang menjadi anak tunggal selalu mengeluh kesepian. Apa kamu tidak?"

Geni menggeleng. Dia selalu merasa kesepian tapi itu tidak ada hubungannya dengan memiliki saudara atau tidak. Karena bahkan jika dia memilikinya, dia masih akan merasa kesepian.

"Bagaimana denganmu?" Geni balik bertanya.

Raina menatap jalanan dengan tatapan kosong. "Mungkin, iya. Mungkin, tidak."

Geni mengerutkan kening saat mendengar jawaban Raina. Dia ingin berbicara tapi menutup mulutnya kembali saat melihat Raina yang menatap kosong ke jalan di depannya. Dia tidak tahu mengapa tapi hatinya merasa sakit sat melihatnya. Amelia, apa yang kamu coba ingat?

***

Kamus mini:

[7] Merujuk pada Four Horsemen of The Apocalypse


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C23
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login