"Mungkin?"
Raina mengerutkan kening.
"Tuan, yang paling penting sekarang adalah meningkatkan bar cinta Geni~" ucap sistem mengingatkan.
"Aku tahu."
Raina berpikir untuk sesaat sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia saling bertukar tatapan dengan Kresna sebelum berbalik ke arah dapur.
"Tu-tuan."
"Hmm?"
"A-apa kamu tidak merasa bahwa pria bernama Kresna itu memiliki maksud tertentu? Atau... atau mungkin..."
"Kamu terlalu banyak berpikir."
"Tuan, aku memikirkan ini karena mencemaskanmu! Bagaimana kalau ternyata dia menyadari kehadiranku?! Aku tidak mau berurusan dengan setumpuk dokumen saat kita keluar dari dunia ini ah!"
Raina mencuri tatapan ke arah Kresna yang asyik berbicara dengan Putih. "Bahkan kalau dia menyadari kehadiranmu, dia tidak akan merugikan kita."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?" tanya sistem dengan penuh keraguan.
"Hmm, intuisi?"
"..."
"Apa aku sudah pernah mengatakan ini?"
"Apa?"
"Jangan meremehkan intuisi seorang wanita."
"... Kamu seorang wanita?"
"..." Raina memutuskan untuk mengabaikan sistem.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya sistem saat melihat Raina yang mengeluarkan beras dan berbagai macam bumbu.
"Memasak."
"Huh? Untuk apa? Kamu baru saja selesai makan," ucap sistem.
"Bukankah kamu ingin aku meningkatkan bar cinta Geni?"
"Ya?"
"Ini merupakan salah satu cara yang aku baca di buku," ucap Raina. "Memasak adalah kunci merebut hati seorang pria."
"Sungguh?"
Raina mengangguk percaya diri. "Aku tidak pernah salah."
"Oh, bagus kalau begitu." Sistem mengamati Raina dengan penuh antisipasi.
"Amelia, apa yang kamu lakukan?"
Raina berbalik dan melihat Geni dan Ganesha yang baru saja datang. Dia tersenyum. "Oh, Ganes, aku hanya ingin memasak untuk kalian," ucapnya. "Yah, anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah merawatku selama aku tidak sadar."
Mata Ganesha dan Geni berbinar.
"Kamu bisa memasak?" tanya Geni.
Raina tersenyum.
Tiga puluh menit kemudian...
Geni, Ganesha, Kresna, dan Putih mengelilingi makanan yang baru saja selesai dibuat Raina.
"A-amelia, apa ini?" tanya Ganesha sambil menunjuk objek di piring yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau gosong.
Raina tersenyum. "Nasi goreng!" ucapnya dengan ringan. "Yah, mungkin sedikit gosong tapi aku rasa itu masih layak makan."
Ganesha: "..."
Geni: "..."
Kresna: "..."
Putih: "..."
Sistem: "..."
Layak makan?
(╯°□°)╯︵ ┻━┻
Omong kosong apa?! Apa kamu mau kami semua mati keracunan?!
Raina menatap Geni dengan tatapan penuh harap. "Geni, apa kamu mau mencobanya?"
Geni yang dihadapkan dengan wajah memohon Raina mencoba menelan ludahnya dengan susah payah. "Yah, aku rasa mungkin aku bisa mencicipinya sedikit," ucapnya pelan.
"Bagus!" Raina tersenyum cerah.
"Tunggu! Aku akan mengambilkannya untukmu!" tambah Raina terburu-buru.
Raina segera mengambil piring dan sendok lalu mulai mengisinya dengan tiga centong sesuatu yang dia sebut dengan nasi goreng.
Geni: "..."
Sistem: "..."
Seluruh orang di ruangan: "..."
Dia bilang dia hanya akan mencicipinya sedikit...
Kenapa kamu memberinya porsi besar?! Apa kamu mencoba membunuhnya dengan kebaikan?!
(╯°□°)╯︵ ┻━┻
Raina menatap Geni dengan tatapan penuh antisipasi, membuat pria itu mau tak mau mengambil sendoknya.
"Baik, aku akan mencobanya," ucap dengan susah payah.
Raina mengangguk.
"Aku akan mencobanya sedikit..."
"Ya, sekarang aku akan memasukkannya ke dalam mulutku."
"Sesendok nasi goreng buatan Amelia..."
Semua orang menatap Geni dengan kasihan. Nak, kamu bisa menolaknya kalau kamu tidak sanggup. Kamu tidak perlu menyiksa dirimu sendiri ah.
Raina berkedip saat melihat Geni menelan nasi goreng buatannya. "Bagaimana rasanya?"
Geni menutupi wajahnya, mencoba menutupi ekspresi jijiknya. "Ya, ini enak. Terima kasih sudah melakukan ini semua untuk kami."
Raina melihat bar cinta milik Geni yang naik empat persen dan tersenyum lebar. "Benarkah?"
Geni mengangguk dengan tangan yang masih menutupi wajahnya.
Raina tertawa pelan. "Apakah yang lain juga mau mencobanya?"
Semua orang membuang muka secara serentak.
"Ganesha, apa kamu mau mencobanya?"
Wajah Ganesha memucat saat mendengar ini. "Ak... aku rasa aku..."
"Ini untukmu," ucap Raina sambil menyajikan sepiring nasi goreng.
Ganesha menatap nasi goreng itu sambil mencoba menutupi ketakutan di matanya. "Oke, terima kasih."
Raina bertopang dagu sambil menatap Ganesha yang tak kunjung menyentuh piringnya. "Apa yang kamu tunggu?" tanyanya dengan senyuman lugu yang menghiasi wajahnya.
Ganesha melihat ini dan wajahnya memerah. "Ah, ya, oke, aku juga akan mencobanya," ucapnya sambil menyendok nasi dengan terburu-buru.
"Bagaimana?"
Ganesha mengangguk-angguk dengan cepat. "Enak! Enak sekali! Aku rasa yang lain juga harus mencobanya," ucapnya.
Kresna: "..."
Putih: "..."
Oh, tidak, jangan menarik kami ke dalam kekacauan ini!
Raina melihat bar cinta Ganesha yang juga ikut naik hingga seratus persen dan gadis itu tersedak air yang dia minum. Huh, apakah semua orang di sini merupakan seorang masokis?
"Amelia, bisakah aku meminta minumanmu?" pinta Geni.
"Oh, oke, aku akan mengambilkannya untukmu. Tunggu sebentar!" ucap Raina lalu berbalik ke dapur.
Kresna dan Putih yang sejak tadi menahan napas dengan cemas akhirnya bisa menghembuskan napas lega.
"Geni, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu membutuhkan beberapa penetralisir racun?!" tanya Kresna saat melihat wajah Geni yang memucat.
Geni menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Kresna berbalik menatap Ganesha dengan tajam. "Penghianat!"
Ganesha cemberut. "Kita harus bahagia dan menderita bersama-sama, oke?!"
Kresna mendengus. "Siapa yang mau bersamamu?!"
"Geni, ini minumanmu," ucap Raina sambil menyerahkan segelas cairan berwarna merah.
Wajah Geni memburuk. "Apa ini?"
"Jus tomat," jawab Raina. "Kamu tahu, ini baik untuk kesehatanmu!"
Geni tak bisa berkata-kata.
"Guru, Putih, apa kalian juga..."
"Ah! Aku lupa! Aku sepertinya harus meneliti beberapa herbal baru," potong Kresna. "Putih, kamu juga akan membantuku, kan?"
Putih mengangguk cepat.
"Oh..." Raina terlihat kecewa. "Sayang sekali."
Kresna berusaha sekuat tenaga supaya tidak merasa simpatik kepada gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Putih mengikutinya dengan panik.
"Tuan..."
"Hmm?"
"Katakan padaku, apa kamu melakukan semua ini dengan sengaja?"
Raina masih tersenyum sambil menatap Geni yang berusaha menelan jus tomat dengan susah payah. "Apa maksudmu?"
"Berhenti berpura-pura bodoh ah!~"
Raina tidak menanggapi sistem lagi, membuat sistem merasa kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Geni diam-diam melirik Raina. Dia merasa bahwa gadis di depannya menjadi aneh sejak terbangun tapi tidak bisa mengatakan dimana letak keanehannya itu. Apakah dia membenturkan kepalanya secara tidak sengaja saat terluka? Atau mungkin dia tertidur terlalu lama hingga bingung?
"Ada apa, Geni?"
Geni menggeleng cepat saat dihadapkan dengan pertanyaan Raina. Yah, mungkin semua itu hanya perasaannya saja...
***