***
Toya berjalan berdampingan dengan Geni. Sesekali, dia akan melirik temannya itu dengan cemas.
Geni yang bisa melihat kekhawatiran Toya dengan jelas menjadi tidak sabar. Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pria itu. "Apa yang kamu pikirkan? Kamu terlihat begitu cemas. Ini tidak seakan-akan aku akan menerima hukuman mati, oke?"
Toya berkedip. "Tapi ini jauh lebih mengkhawatirkan daripada hukuman mati!" serunya.
Geni menaikkan salah satu alisnya.
"Kamu mengatakan bahwa wanita itu seorang manusia," ucap Toya. "Kamu tahu kalau manusia memiliki masa hidup yang pendek, bukan? Kita, bangsa setan, bisa hidup sampai usia ribuan tahun tapi kebanyakan manusia akan mati sebelum bisa mencapai usia seratus tahun
"Dia bisa belajar menjadi seorang penyihir."
"Bahkan seorang penyihir hanya bisa hidup selama lima ratus tahun jika dia beruntung," sahut Toya.
"Geni, kamu hanya bisa bersamanya untuk waktu yang sangat singkat," lanjutnya. "Aku tidak mau kamu merasa ditinggalkan untuk yang kedua kalinya."
Geni tersenyum. "Itu akan baik-baik saja."
Toya menatap punggung Geni yang menjauh dengan kekhawatiran yang semakin dalam.
"Apakah kamu benar-benar mencintainya?" tanya Toya.
Geni menghentikan langkahnya. "Apa kamu pikir aku memiliki hak untuk mencintai?" tanyanya balik tanpa menatap Toya.
Toya tak menjawab, hanya menatap Geni hingga pria itu menghilang di balik pintu.
***
Geni menatap pria setengah baya yang duduk di atas singgasana sambil meminum segelas anggur merah. Pria itu dikelilingi sekelompok wanita muda berbaju minim hingga Geni harus menyipitkan mata untuk bisa melihat sosok pria itu.
"Anakku, sudah berapa lama kamu tidak mengunjungiku? Apa kamu tidak tahu betapa aku merindukanmu?" tanya pria itu saat menyadari kehadiran Geni.
Geni menahan keinginan untuk memutar mata. "Aku ingin mengambil sesuatu," ucapnya langsung ke pokok pembicaraan.
"Oh?" Pria setengah baya yang tidak lain merupakan Raja Setan alias ayah Geni terlihat terkejut.
Dia melambaikan tangannya, memerintahkan sekelompok wanita tadi untu keluar dan meninggalkannya bersama Geni sendiri.
"Apa yang kamu butuhkan? Jarang sekali bagimu untuk mengambil sesuatu dari kastil," ucap Raja Setan sambil menyesap anggur.
"Segel Estri."
Raja Setan tersedak anggur yang dia minum saat mendengar ini. "Apa yang kamu katakan?!"
"Aku ingin mengambil segel Estri."
Raja Setan menatap Geni dengan mata membulat. "Kamu sudah memiliki pacar?!"
"Calon istri," ralat Geni.
"Sama saja!"
"Beda. Dia calon istriku tapi bukan pacarku," ucap Geni mengkoreksi.
Raja Setan menyipitkan matanya. "Apa ini? Apa kamu mengambil gadis acak untuk menjadi istrimu?"
Geni menyeringai. "Tebak?"
Sudut bibir Raja Setan berkedut. Dia tahu dia sembrono dan menyebalkan tapi dia tidak menyangka bahwa anaknya akan lebih sembrono dan lebih menyebalkan dibandingkan dirinya.
"Posisi Permaisuri bukanlah sesuatu yang bisa kamu berikan secara sembarangan," ucapnya dengan tegas. "Kalau kamu hanya membutuhkan wanita itu sebagai syarat kenaikan tahta atau hanya untuk bermain-main, kamu bisa mengangkatnya sebagai selirmu."
Geni menyipitkan matanya. "Aku tidak butuh selir."
"Geni!" seru Raja Setan dengan keras. "Kamu tidak bisa hanya memiliki satu wanita!"
"Apa kamu pikir aku tidak mampu berdiri sendiri?!" ucap Geni sambil mulai menyalakan api di telapak tangannya.
Wajah Raja Setan dipenuhi ketakutan saat melihat api di tangan Geni. "Kamu..."
"Aku tidak selemah kamu," sahut Geni. "Aku tidak akan menjadi sebuah boneka yang mau diperintah."
Raja Setan menatap Geni dengan tatapan rumit.
"Berikan," ucap Geni tanpa mematikan api di tangannya.
"Geni, kecantikan dapat menghancurkan sebuah negara," ucap Raja Setan. "Kamu harus berhati-hati. Aku tidak mau semua usahaku kamu sia-siakan dalam semalam."
"Aku tahu," ucap Geni malas. "Dimana segel itu?"
Raja Setan menatap Geni sejenak sebelum mengeluarkan gulungan segel dari balik jubahnya.
Geni mengambil gulungan itu dan mengangguk puas saat melihat bahwa itu memang segel yang dia maksud.
"Pikirkan baik-baik," ucap Raja Setan saat Geni berbalik pergi. "Aku mengatakan ini untuk kebaikanmu sendiri.
Geni tersenyum tipis. "Kamu bisa tenang. Aku bukan seorang idiot sepertimu."
Raja Setan menghela napas panjang saat melihat Geni pergi. Dia tahu dia bukan ayah yang baik. Dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anaknya sendiri. Yang bisa dia lakukan hanyalah menjaga supaya anak itu tidak mengulang kesalahan yang sama seperti yang dia buat.
"Rajaku?"
Raja Setan menoleh saat mendengar suara lembut dari balik tirai. Dia menghela napas saat melihat sekelompok wanita yang mengintipnya. "Kalian semua, kemari, temani aku minum!"
***
Geni berlari dengan cepat saat melihat matahari yang hampir terbenam, membuat Putih merasa pusing karena merasakan guncangannya.
"Sial! Orang tua itu terlalu banyak berbicara hingga membuang-buang waktuku!" keluh Geni.
Dia berlari begitu cepat sehingga dia hanya memerlukan setengah dari waktu yang dia butuhkan saat berangkat tadi.
Geni mendesah lega saat melihat seekor kucing hitam yang asyik berjemur di teras rumah. "Apa gadis itu baik-baik saja?"
Kresna mengangguk malas.
"Bagus!" seru Geni lalu memasuki rumah.
Kresna tersentak. "Kamu tidak bisa masuk! Dia masih sibuk..."
Dia tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Geni yang sudah membuka pintu kamar, menampilkan Ganesha yang sedang menyuapi gadis di tempat tidur dengan hati-hati.
"Hati-hati, itu masih panas," ucap Ganesha dengan penuh perhatian,
"Amelia?"
Raina menoleh saat merasa terpanggil. "Oh, halo, Geni!"
Geni menatap Ganesha sejenak sebelum tersenyum pada Raina. "Senang melihatmu bangun," ucapnya.
Raina tersenyum. "Ini juga berkat kamu. Terima kasih!"
Geni tertawa."Tidak masalah. Apa kamu masih makan? Makanlah terlebih dahulu. Kamu pasti lapar."
Raina mengangguk lalu mengalihkan tatapannya ke Ganesha yang hanya diam sejak kedatangan Geni. "Ganes?"
Ganes berkedip. "Oh, ya, ini," ucapnya sambil kembali menyuapi Raina.
Geni berbalik keluar kamar dan menatap Kresna dengan tajam. "Masih sibuk, huh?"
Kresna meringis. "Kamu tidak boleh mengganggu orang yang sedang makan, oke? Itu tidak sopan!"
Geni memutar mata.
Putih yang baru saja membaik dari perjalanan panjangnya melihat Kresna seakan-akan sedang melihat seorang penyelamat. Dia melompat ke arah kucing itu dengan sembrono. Kresna, dia menggertakku ah! Hiks! Hiks! Aku beruntung tidak mati di tengah jalan!
Kresna menatap Putih dengan dahi berkerut. "Kamu... Sudah berapa kali aku mengatakan hal ini? Berhenti melemparkan dirimu padaku!" ucapnya dengan dongkol. "Mengganggu."
Air mata Putih mengalir semakin deras.
Kresna mendesah. "Oke. Oke. Aku tidak bermaksud mengatakan hal seperti itu, oke? Aku hanya kesal. Kamu tahu wujud kucingku begitu kecil, bukan? Aku mungkin akan mati kehabisan napas jika kamu terus menindihiku seperti tadi."
Putih cemberut.
Kresna menepuk-nepuk Putih dengan lembut. "Maafkan aku, oke?"
Putih mengangguk.
"Aiya, anak baik," puji Kresna.
Geni mendengus saat melihat ini. Entah sudah berapa kali dia melihat adegan ini dan semuanya selalu berakhir seperti ini. Kresna selalu berhasil memanipulasi perasaan Putih dan membuat makhluk itu menjadi penurut padanya. Benar-benar membosankan.
Tak lama kemudian, Ganesha keluar kamar sambil membawa mangkok kosong. Dia melirik Geni sekilas sebelum berbalik keluar.
Geni melihat ini dan ikut keluar rumah, mengikuti Ganesha.
Kresna melongo. "Sejak kapan mereka menjadi begitu dekat? Mereka bahkan bisa saling mengerti hanya dengan satu tatapan."
Putih berkedip. Dia juga tidak tahu tuannya memiliki hubungan seperti itu.
Raina yang mengintip dari balik pintu ruangan juga bertanya-tanya. "Sistem, apakah kita melewatkan sesuatu?"