Download App
7.64% The Twin Lions / Chapter 36: Broken Glass 4

Chapter 36: Broken Glass 4

Aslan terengah-engah setelah memukuli samsak latihannya. Seminggu setelah pertemuan tidak sengajanya dengan Leon, ia menyalurkan kemarahan yang ia rasakan dengan berlatih keras dan menumbangkan lawan-lawannya di dalam arena milik Bang Ole.

"Istirahat dulu, Lan," seru Bang John sambil berjalan masuk ke dalam sasana miliknya. Ia membawa sebuah kantong kresek berwarna hitam dan meletakannya di meja kopi yang ada di sana.

Aslan berjalan menghampiri Bang John sembari melepaskan sarung tinjunya. Ia lalu duduk di hadapan Bang John. "Bawa apaan, Bang?"

"Biasa, gorengan," jawab Bang John sambil menyodorkan kresek hitam itu ke arah Aslan.

Aslan membuka sedikit kantong plastik hitam yang disodorkan Bang John dan mengintip isinya. Ia lalu mengambil sebuah bakwan dan langsung memakannya.

"Nanti malem lu ada pertandingan lagi?" tanya Bang John.

Aslan mengangguk sambil mengunyah bakwan yang ada di mulutnya.

Bang John memperhatikan Aslan yang sedang bertelanjang dada. "Istirahat dulu, lah. Badan lu pada biru kaya gitu."

Aslan berdecak pelan. "Ini, sih, bukan apa-apa, Bang," sahutnya.

"Bukannya gitu," timpal Bang John. "Hampir tiap malem gue liat lu berantem di arenanya si Ole. Buat orang yang ngandelin fisik kaya kita, aset kita ya, fisik kita sendiri. Lu harus inget, setiap tubuh itu punya batasannya masing-masing. Jangan sampe lu nyesel nantinya."

Aslan menganggukkan kepalanya. "Iya, Bang."

"Jangan cuma iya-iya aja lu," sergah Bang John.

"Nanti gue bilang Bang Ole, besok gue libur," sahut Aslan cepat.

Bang John hanya bisa berdecak pelan mendengar ucapan yang keluar dari mulut Aslan. "Jangan lupa, bulan ini lu harus bayar perawatan makam Bapak lu," ucap Bang John.

Aslan tiba-tiba terkesiap. "Emang bulan ini, Bang?"

"Iya, masa lu lupa?"

Aslan menepuk jidatnya. "Astaga, lupa banget gue, Bang."

"Kan," sela Bang John. "Kebanyakan berantem sampe lupa bayar perawatan makam bapaknya sendiri."

Aslan cengar-cengir mendengar sindiran yang diberikan Bang John. "Nanti siang gue ke sana, deh."

"Iya, cepetan dibayar kalo ngga mau makam Bapak lu rata sama tanah," sahut Bang John.

Aslan menghela napasnya sembari mencomot sebuah tahu goreng. "Ngga terasa udah lima tahun Bokap gue meninggal."

"Waktu cepet banget, ya?"

Aslan menganggukkan kepalanya. "Dia bahkan ngga sempet ketemu sama anaknya yang satu lagi," gumam Aslan pelan.

"Lu ngomong apa barusan?" tanya Bang John yang seperti mendengar Aslan mengucapkan sesuatu.

Aslan segera menggeleng cepat. "Ngga, gue ngga ngomong apa-apa."

Bang John menaikkan satu alisnya. "Kayanya gue tadi denger lu ngomong sesuatu."

Aslan kembali menggeleng. "Serius, gue ngga ngomong apa-apa."

Bang John berdecak pelan. Ia yakin, tadi dia mendengar Aslan mengucapkan sesuatu. Sambil mengambil bakwan dari dalam kantung plastik hitam yang ia bawa, ia terus menperhatikan Aslan. Ia merasa ada hal lain yang sedang disembunyikan Aslan. Akan tetapi ia tidak mau mendesak Aslan untuk bercerita padanya. Ia tahu, Aslan bukan tipe orang yang suka menceritakan isi hatinya ke orang lain.

Aslan lebih suka menyimpan apa yang ia rasakan seorang diri. Dia sangat tertutup dengan emosi yang dirasakannya. Namun sinar matanya tidak dapat berbohong. Dan saat ini, Bang John merasa Aslan sedang memendam sesuatu dan memilih pertarungan di dalam arena milik Bang Ole sebagai pelampiasannya.

Sementara Bang John memperhatikan Aslan yang kini sedang menyantap gorengan yang ia bawa, pikiran Aslan sebenarnya berkelana memikirkan betapa cepatnya waktu berlalu sejak ibunya pergi meninggalkannya dengan membawa Leon. Ibunya bahkan tidak berbalik meski ia menangis sambil menggedor-gedor pintu rumah kontrakan mereka kala itu dan tetap pergi meninggalkannya.

----

Aslan hanya bisa menangis menatap kepergian ibunya dan Leon sementara dirinya terkunci di dalam rumah kontrakan mereka. Ia masih bisa melihat Leon yang menarik lengan ibunya sambil menunjuk-nunjuk ke arah rumah mereka. Mungkin Leon ikut membujuk Ibu mereka agar membawa serta dirinya. Akan tetapi, ibunya sama sekali tidak menoleh dan terus menarik lengan Leon untuk segera pergi menjauh.

"Mama, aku mau ikut Mama. Aku ngga mau pisah sama Leon," isak Aslan begitu melihat siluet Leon yang semakin menjauh. Ia tidak pernah sekalipun berpisah dengan Leon. Sejak di dalam kandungan sampai mereka mencecap kehidupan pertama mereka di dunia dan tumbuh besar, mereka selalu bersama.

Tangisan Aslan semakin melemah dan ia beralih dari jendela tempatnya meratapi kepergian Leon. Ia kemudian beralih ke sudut ruang tengah rumah kontrakan mereka. Ia duduk sambil memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Ia berdiam cukup lama dalam posisi tersebut sampai akhirnya ayahnya datang.

Ayahnya begitu terkejut ketika mendapati Aslan sedang seorang diri di dalam rumah. Aslan segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya ketika ayahnya tiba. Ia pun kembali menangis sembari meminta ayahnya untuk menjemput Leon dan Ibu mereka. "Papa mau, kan, jemput Leon sama Mama?"

Mario hanya bisa memeluk erat Aslan sambil mengusap-usap kepalanya. Ia terdiam. Ia tahu pasti kesempatannya untuk membujuk Ayu agar kembali padanya kini sudah tidak ada lagi. Ayu benar-benar sudah memutuskan untuk berpisah dengannya dan membawa serta Leon bersamanya.

"Jawab, pa," desak Aslan yang menunggu jawaban dari papanya. Ia menatap papanya dengan tatapan memohon. "Papa bisa, kan, jemput Leon sama Mama?" Ia kembali bertanya pada papanya.

Mario melepaskan pelukannya pada Aslan. Ia kemudian memegangi bahu Aslan dan menatapnya tajam. "Mulai sekarang, cuma ada kita berdua."

Aslan menggigit bibirnya dan kembali hendak menangis. "Papa harus jemput Leon sama Mama."

Mario menggeleng pelan. "Mama sudah memutuskan. Papa ngga bisa apa-apa."

"Tapi aku mau sama Leon," rengek Aslan.

"Suatu saat nanti, kamu pasti akan bertemu lagi sama Leon," ujar Mario untuk sedikit menghibur Aslan.

Aslan terdiam. Ia menjauhkan dirinya dari papanya. Ia kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan papanya yang masih duduk termenung di ruang tengah rumah kontrakan mereka. Ia menutup pintu kamarnya dan duduk di sudut kamar sambil memeluki bantal yang biasa digunakan Leon. Aslan menenggelamkan wajahnya di bantal tersebut sambil terisak pelan. Ia berharap semua yang terjadi hanyalah bunga tidurnya dan begitu ia membuka mata, ia akan kembali bertemu dengan Leon.

----

Aslan bangkit dari tempat duduknya setelah menandaskan gorengan yang dibawakan oleh Bang John. "Gue mandi dulu, Bang. Abis ini gue langsung ke TPU."

Bang John menganggukkan kepalanya. "Ya udah. Gue juga mau pergi dulu. Bang John ikut bangkit berdiri. Sementara Aslan melangkah ke kamar mandi, Bang John berjalan pergi meninggalkan sasana miliknya.

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys

and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.


CREATORS' THOUGHTS
pearl_amethys pearl_amethys

Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..

Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C36
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login