Download App
1.06% The Twin Lions / Chapter 5: Double Sided Mirror 5

Chapter 5: Double Sided Mirror 5

Leon kembali ke apartemennya dan mendapati ibunya sudah berada di sana bersama dengan seorang wanita muda yang ia tebak usianya tidak jauh berbeda dengannya.

"Nah, itu Leon sudah pulang," ujar ibunya kepada wanita muda yang duduk di sebelahnya.

Wanita muda itu menoleh dan menatap Leon yang baru saja masuk ke dalam apartemennya. Mata wanita itu tidak berkedip ketika melihat Leon dalam balutan mantel hitam panjang, sweater turtleneck berwarna abu-abu dan syal hitam yang masih menggantung di lehernya. Ia berjalan dengan gagah ke arah keduanya yang duduk di ruang tamunya.

Leon melirik sebentar ke arah wanita muda tersebut dengan tatapan yang sangat dingin. Meski Leon meliriknya dengan dingin, wanita muda itu tetap mencoba tersenyum pada Leon. Dan tentu saja tidak ditanggapi oleh Leon yang justru membuang wajahnya.

Leon menatap ibunya. "Sejak kapan, Mama boleh bawa tamu Mama kesini?" Ia benar-benar tidak menghiraukan wanita muda yang sedang bersama ibunya. Wanita muda itu hanya menelan ludahnya ketika melihat sikap dingin Leon bahkan kepada ibunya sendiri.

"Bukan begitu Leon," ujar ibunya lembut.

Leon menggelengkan kepalanya. "I don't have time for this shit. Selesain urusan Mama secepatnya dan cepat keluar dari apartemen aku." Sambil mendengus kesal, Leon berjalan meninggalkan ibunya dan wanita muda yang terbengong-bengong di ruang tamunya. Ia membanting pintu kamarnya dengan kasar hingga membuat keduanya terkesiap.

Ibunya menoleh pada wanita muda yang nampaknya sangat terkejut dengan sikap Leon. Ia lalu menepuk pelan bahunya. "Maafin Leon, ya, Karina. Ngga biasanya dia kaya gitu."

Wanita muda itu tersenyum. "Mungkin Leon lagi capek, Tante."

Ibunya mengangguk. "Sebentar, ya." Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kamar Leon. Ia mencoba membuka pintu kamar Leon namun ternyata Leon sudah mengunci kamarnya dari dalam.

"We need to talk," bisik ibunya dari depan pintu kamar Leon.

-----

Leon bersandar pada pintu kamarnya. Ia mendengar ibunya berbisik dan meminta untuk berbicara dengannya. "Ngga ada yang perlu dibicarain. Just go, I'm tired," sahut Leon dari balik pintu kamarnya.

Ia bisa mendengar ibunya yang menghela napas panjang dari balik pintu kamarnya. Ia diam dan menunggu sampai ibunya pergi meninggalkan apartemennya. Leon baru bisa menghela napasnya ketika ia mendengar suara pintu apartemennya yang menutup. Ia kemudian berjalan ke arah balkon kamarnya dan berdiri memandangi gemerlap kota New York dari balkon kamarnya.

Ponselnya bergetar. Leon segera melihat nama orang yang menelponnya. "Yes, Babe."

"Bab, beb, bab, beb, emangnya gue Babeh lu," sahut Nadia setengah berteriak hingga membuat Leon terpaksa menjauhkan ponselnya. "Please, Leon, bisa ngga sih, ngga usah ngelawan Nyokap lu. Gue yang selalu jadi pelampiasan dia," ujar Nadia sedikit memohon.

"She's calling you?" tanya Leon.

"Are you surprised? I guess not," sindir Nadia.

"Dia ngomong apa sama lu?"

"Apalagi, dia marah-marah gara-gara kelakuan anak laki-lakinya yang kaya remaja puber."

Leon tertawa menanggapi ucapan Nadia.

"Lu kenapa, sih? Cuma mau dikenalin sama cewek aja sampe segitunya," ujar Nadia.

"Ini bukan sekedar dikenalin sama cewek. You know it, Nad," sahut Leon.

"I know you very well, Leon. Jadi, agak aneh kalo gue ngeliat lu rebel kaya gini."

Leon tertawa pelan. "Okay, stop sampe disini. Gue mau mandi. Atau lu mau ikut mandi sama gue biar kita bisa lanjutin pembasahan tentang anak baik gone bad?"

"Oke, bye." Nadia langsung mematikan sambungan telponnya. Leon tertawa dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia melemparkan ponselnya ke kasur dan langsung berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

-----

Aslan terkesiap di sofa usang yang ada di sasana tinju tua milik Bang John. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengamati sekitarnya. Ia lalu bangun sambil memijat-mijat kepalanya yang masih terasa pusing karena kurang tidur.

"Wah, liat siapa yang udah bangun," seru Bang John sambil menutup pintu sasana.

Bukan pertama kalinya Aslan tertidur di dalam sasana tersebut. Namun, ini pertama kalinya Bang John melihat Aslan sudah terbangun ketika ia kembali ke sasana. Biasanya, ketika ia datang Aslan masih tertidur. Bahkan sampai beberapa orang yang biasa datang untuk belatih pagi mulai datang ke sasana, Aslan masih tertidur.

Mereka tetap akan membiarkan Aslan tidur dan tidak akan ada yang berani mengganggunya karena Bang John sudah memperingatkan mereka agar tidak macam-macam dengan Aslan yang sedang tertidur atau mereka akan mendapatkan pukulan tepat di wajah dari Aslan.

"Pantes kepala gue pusing. Gue bangun kepagian ternyata," ujar Aslan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia kemudian kembali merebahkan dirinya di sofa tersebut.

Bang John berdecak pelan sambil berkacak pinggang melihat Aslan yang kembali merebahkan dirinya di sofa. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Aslan yang kembali menutup matanya. "Ini sih, bukan singa lapar, tapi singa tidur."

"Tidur tapi laper, Bang," timpal Aslan dengan matanya yang tertutup.

"Jadi, lu ngantuk apa laper?"

"Dua-duanya. Tapi, gue mau tidur aja."

Tidak sampai semenit, Bang John sudah mendengar Aslan mendengkur pelan. Ia akhirnya meletakkan nasi uduk yang sudah ia bawa ke meja kopi yang berada tidak jauh dari sofa tempat Aslan tertidur. Ia membuka sendiri bungkus nasi uduknya dan mulai menyantapnya sambil menunggu orang-orang yang mau berlatih tinju di sasana tua miliknya.

-----

"Wah, ada singa tidur," ujar seorang pemuda kampung yang baru saja masuk ke dalam sasana milik Bang John dan melihat Aslan sedang tertidur pulas. Ia berjalan kearah Bang John dan menyapanya. "Hai, Bang."

"Lu nanti sparing sama dia aja. Tapi nunggu dia bangun," ujar Bang John sambil tertawa pelan.

"Keburu diserang Belanda, Bang, kalo nungguin dia bangun," sahut pemuda tersebut.

"Sambil nungguin dia bangun, mending lu bantuin gue ngepel-ngepel dulu," pinta Bang John pada pemuda tersebut. "Itung-itung pemanasan."

Pemuda itu menghela napas panjang sambil meletakkan tas selempangnya. Bang John mesam-mesem kepada pemuda tersebut seraya menyerahkan gagang pel yang sedang ia pegang. "Tolong, ya, Cok. Gue kebelet boker." Belum sempat Ucok menerima gagang pel yang diberikan, Bang John sudah berlari keluar dari sasana sambil memegangi perutnya dan membiarkan gagang pel tersebut terjatuh di lantai.

Ucok hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia lalu mengalihkan perhatiannya pada Aslan yang masih tertidur. Ia kembali menghela napasnya sambil memungut gagang pel yang terjatuh di lantai dan mulai mengepel lantai sasana.

*****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys

and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.


CREATORS' THOUGHTS
pearl_amethys pearl_amethys

Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..

Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya.

Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login