Ryan yang mulai tersadar kemudian segera keluar kamar dan mulai kembali mengejarku untuk meminta maaf. Namun ternyata, saat itu aku tiba-tiba tepat berada dibalik pintu itu, sedang berdiri dihadapannya.
Kami berdua sama-sama terkejut. Aku tidak mengira bahwa saat itu Ryan akan keluar dari kamar. Sesaat setelah mata kami saling bertemu, aku pun langsung mengalihkan pandanganku darinya dan segera masuk kembali ke dalam kamar untuk mengambil tas dan pakaianku.
"Maaf.." ucap Ryan sesaat setelah aku melewatinya
"Aku minta maaf, Sayang. Aku salah. Tidak seharusnya aku mengatakan itu sama kamu.. Maafin aku!"
Tidak mempedulikan ucapannya, aku masih mencari pakaianku dilemari untuk kunganti dengan pakaianku yang kupakai tadi.
"Aku sadar, aku telah melukai perasaanmu dengan mengatakan itu. Aku hanya sedang emosi. Aku merasa cemburu. Aku menyesal. Aku minta maaf.." ucap Ryan kembali
Kali ini Ryan, dia benar-benar mencoba untuk meminta maaf padaku. Dia bahkan terlihat memohon dengan sungguh-sungguh. Ketika mengatakan semua itu, dia membalik tubuhku untuk menghadap ke arahnya, kemudian sambil memegang kedua tanganku dia terus memohon kepadaku.
"Aku tarik semua kata-kataku. Kau bukan wanita murahan, munafik, atau rendahan seperti yang kau sebutkan tadi.. Aku salah memberi penilaian. Sayang, maafkan aku.."
"Tidak, Mas tidak salah.. Aku memang seperti itu.."
"Tidak Sayang. Itu tidak benar. Kau bukan wanita seperti itu. Kau itu wanita terbaik yang pernah kumiliki.."
"Berbeda dengan yang lain, kau bukan wanita sembarangan. Sangat sulit untuk mendapatkanmu pada saat orang tua kita menjodohkan kita waktu itu. Butuh perjuangan.."
"Aku memang melakukannya.." potongku tiba-tiba
"Aku mencium Aris.."
Seperti tersengat petir, Ryan begitu terkejut mendengar aku telah mencium Aris.
"Itu kulakukan secara sadar disini, sesaat sebelum Mas datang kemari.. Seandainya Mas tidak menelponku waktu itu, mungkin kami.." aku langsung menghentikan kata-kataku
"Seperti kata Mas, aku memang bukan wanita baik-baik.. Aku murahan. Bahkan aku selalu memikirkan Aris (mungkin karena aku masih mencintainya..)"
"Tidak! Bohong!! Katakan itu semua tidak benar.." ucap Ryan tidak percaya membantahnya
"Kau tidak mungkin melakukannya. Kau bukan tipe wanita seperti itu. Aku tahu. Aku sangat mengenalmu. Kau mengatakan ini hanya untuk membuatku kesal, kan?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Ryan.
Ryan lalu mencengkram bajuku dengan kedua tangannya. Dengan perasaan emosi dan kecewa, dia terus memandangiku dari jarak dekat. Tatapan yang sangat mengintimidasi. Mungkin meminta pertanggungjawaban atas semua hal yang kusampaikan tadi.
"Aku memang seperti ini. Apa Mas yakin mau menerimaku kembali? Setelah apa yang telah kulakukan pada Aris dan juga perasaanku padanya. Mas yakin akan baik-baik saja, jika kita kembali bersama seperti dulu?"
"Kamu.." ucap Ryan tidak percaya, kecewa. Didalam dirinya, dia masih berupaya keras untuk menyangkalnya.
Saat itu aku kemudian melepaskan cengkraman tangan Ryan yang memegangi bajuku. Lalu aku pun kembali pergi meninggalkannya keluar kamar.
Ryan yang tidak terima,
"Berhenti..!! Berhenti kataku.."
Ryan pergi menyusulku dan kembali menghalangiku untuk pergi. Ketika dia tepat berada didepanku,
"Katakan.. apa kau benar-benar memilih Aris dibanding aku?"
"Aku tidak bisa menghilangkan Aris begitu saja. Aku masih memiliki perasaan padanya (perasaan bersalah).."
Ryan sangat kecewa. Bahkan dia terus memandangiku untuk melihat apakah aku sungguh-sungguh dengan ucapanku itu.
"Lebih baik untuk saat ini Mas lupakan niatan kita untuk rujuk. Kita memang tidak bisa kembali seperti dulu.."
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan membunuh Aris.." ucap Ryan emosi
Aku terkejut. Mas Ryan, dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya itu kan.
"Kalau kamu memang tidak bisa melupakan dia, maka aku akan melenyapkan dia dari dunia ini.."
Ryan beranjak pergi. Aku pun kemudian mengejarnya.
"Mas..!"
"Mas Ryan..!!"
"Apa Mas sudah gila?!! Kenapa Mas melakukan ini?" sambil aku membalik tubuh, berusaha menghentikannya.
"Ya, aku gila!! Aku gila gara-gara kamu. Gara-gara kamu yang lebih milih si brengsek itu dari pada aku. Karena kamu lebih mencintai dia.."
"Yang jadi suami kamu itu aku, bukan dia. Kenapa kamu lebih memilih dia?Setelah apa yang kita lakukan bersama.. Kamu sudah menerima lamaranku, lalu kenapa kamu tiba-tiba..?
"Apa bagusnya dia? Apa yang dia miliki dan aku tidak? Katakan, APA KEKURANGANKU DIBANDING DIA ??!!!!!"
Aku tidak tahu, tapi saat itu aku benar-benar takut melihat Ryan yang seperti ini. Air mataku kembali mengalir deras.
"Mas.. Jangan seperti ini. Tenangkan dirimu!" aku memegang tangan Ryan, berusaha menenangkannya sambil menangis
Namun disisi lain, Ryan langsung menepis tanganku dengan kasar.
"Mas.."
"Sekarang kamu pilih, kamu keluar dari apartemen ini untuk bersama si brengsek itu, lalu kubunuh dia.. atau kamu tetap berada disini bersamaku.."
Mas Ryan, dia tidak pernah mengancamku sebelumnya. Apa dia benar-benar akan membunuh Aris, jika aku pergi meninggalkan apartemen ini?
"Lakukan sesukamu, tapi jangan menyesali akhirnya.. karena aku tidak main-main dengan perkataanku.."
Aku masih menangis, tetapi disisi lain Ryan meninggalkanku untuk masuk kembali kedalam kamar. Terlihat saat itu dia membanting pintu dengan sangat keras. Pertanda luapan emosi dan perasaan kesal yang teramat dalam.
Ya, aku bisa memahaminya. Dan aku pun tidak bermaksud membuat situasinya menjadi kacau seperti ini. Bisa dibilang mungkin saat itu aku juga sedang kesal dengan Ryan. Semua ucapan tajamnya yang mengataiku.. Walaupun aku memang tidak menyangkal semua tuduhannya, sungguh menyakitkan mendengarnya mengatakan semua itu dari mulutnya.
Tadinya aku hanya ingin menyindir dan membuatnya kesal (cemburu) dengan mengungkit-ngungkit masalah Aris, tetapi tidak kusangka situasinya akan berubah menjadi serumit ini.
Aku terus menangis. Aku menyesali keputusan bodohku dengan berusaha memancing emosi Ryan seperti tadi.
Sementara di Rumah Sakit, Aris tiba-tiba mengetahui bahwa orang yang telah mengantarkannya ke rumah sakit saat dirinya pingsan adalah aku. Detik itu juga dia langsung menghubungiku.
Aku masih menangis diapartemen, ketika suara dering ponselku mengejutkanku. Ya, itu dari Aris. Awalnya aku tidak ingin menjawab. Ada perasaan khawatir. Aku takut kalau yang menelpon itu Shina, bukan Aris. Dan, rasa khawatirku yang lain adalah apabila orang yang menelponku saat itu ingin memberitahuku mengenai kondisi Aris. Aku takut akan mendengar kabar buruk darinya, yang akan membuat rasa bersalahku padanya semakin menjadi-jadi. Makanya aku memilih untuk mengabaikan panggilannya.
Sementara disisi lain, Aris juga tidak menyerah untuk menghubungiku. Dia terus mencoba menghubungiku, hingga akhirnya setelah beberapa saat mencoba, aku pun bersedia untuk menjawab panggilannya.
"Lena.." ucapnya senang begitu aku menjawab telponnya
"Aku senang kau masih mau menjawab panggilan dariku.. Aku baik-baik saja."
"Terima kasih karena telah membawaku kemari. Aku benar-benar merasa senang mengetahui kau masih peduli padaku.."
"Eh, maksudku.. kau masih mau kembali berhubungan denganku, seperti sekarang.. Aku benar-benar senang Lena.."
Aku terdiam , tidak memberikan respon apapun.
"Lena..?"
"Saat itu hanya situasional. Aku tidak bermaksud untuk kita tetap saling berhubungan jika kondisinya tidak seperti tadi. Jadi Mas Aris, tolong.. jangan menyalah artikan maksud dan tujuanku itu. Aku harap kau mau menepati janjimu untuk selalu menjauh dari kehidupanku dan Mas Ryan.. Kita tidak usah saling bertemu dan berhubungan lagi.."
"Lena, apa semua baik-baik saja? Ada apa dengan suaramu? Kau menangis?" tanya Aris panik
"Katakan, apa kau bertengkar dengan Ryan gara-gara masalah ini? Lena..?"
"Aku baik-baik saja. Kami tidak bertengkar.."
"Kau dimana?"
"Apartemen." jawabku
"Mas Aris, lebih baik kau khawatirkan masalah kesehatanmu. Jangan menghubungiku.."
"Lena, apa bisa aku berbicara dengan Ryan?"
Untuk apa Aris ingin berbicara dengan Ryan. Saat ini Ryan masih sangat emosional.
"Mas Ryan sudah tidur.." jawabku berbohong
Aris tidak senang mendengar jawaban dariku. Entah mengapa dirinya merasa tidak suka dengan ulah Ryan yang masih bersih keras untuk tetap tinggal satu atap denganku, meskipun status kami belum resmi sebagai pasangan suami istri lagi.
Saat itu Aris berpikir mungkin aku menangis karena bertengkar dengan Ryan, gara-gara ulahnya. Ada perasaan bersalah pada dirinya, sehingga membuatnya terus berdiam diri, tanpa mengatakan apapun di telpon.
Disisi lain, karena aku tidak melihat ada hal lain yang ingin disampaikan oleh Aris, maka aku pun langsung memutuskan panggilannya.
Di Rumah Sakit, Aris langsung tersadar begitu mendengar nada penghubung panggilan teleponku berakhir. Dirinya terus dirundung rasa bersalah. Bersalah dan menyesal, jika segala sesuatunya berjalan dengan buruk untuk kehidupan rumah tanggaku dan Ryan karena ulahnya.
Saat itu dirinya ingin segera pergi ke apartemen untuk menjelaskan semua pada Ryan. Akan tetapi, belum sampat dia beranjak dari sana, Shina kembali muncul.
"Mas Aris.." sapa Shina tersenyum perlahan sambil mendekatinya.
Berbeda dari biasanya, Shina tiba-tiba mengubah ucapan panggilannya pada Aris dengan menggunakan kata "Mas" didepan namanya.
"Kenapa? Terkejut aku memanggilmu seperti itu. Karena sepertinya kau suka, maka mulai sekarang aku akan membiasakan diri memanggilmu dengan sebutan Mas.."
"Shina.."
"Aku memang harus melakukannya untuk membuatmu bertahan disisiku. Mau tidak mau, suka tidak suka.. aku akan berusaha mengubah semua hal yang ada pada diriku, termasuk jika itu harus merubah diriku (sifatku) terlihat seperti Lena.. karena dengan begini baru kau akan mulai tersadar dan aku bisa sedikit menarik perhatianmu, iya kan?" ucap Shina menyindir
"Shina, kau tidak perlu.."
"Kau tidak mempunyai hak untuk mengatakan tidak ataupun melarangku. Pernikahan kita bukan bersifat kontrak, dimana aku harus menyetujui semua persyaratan darimu.."
"Shina.. bahkan jika kau bersikap seperti ini, kau tetap tidak bisa mengubah keadaannya (perasaanku padamu). Ini hanya akan membuatmu semakin terluka dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi.." ucap Aris menolak
"Apa aku terlihat sedang meminta saranmu disini?" potong Shina
"Jika tidak ingin membuatku kecewa, maka bersikap kooperatiflah. Hilangkan Lena dari hati dan pikiranmu, jika memang kau tidak ingin membuatku terluka sebagai seorang istri.."
"Shina.. mengenai hubungan kita, aku.." belum sempat Aris mengucapkan maksudnya, Shina lalu membungkam mulut Aris dengan kecupan bibirnya
"Mas Aris.. kau itu belum sepenuhnya pulih. Jika terjadi apa-apa denganmu, maka aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.." ucap Shina kembali yang membuat Aris terkejut
"Aku mencintaimu.. dan aku tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi padamu nanti.." sambil Shina menatap mata Aris dari jarak dekat
Aris terkejut saat itu. Dia tidak menyangka Shina akan bertindak sampai sejauh ini untuk membuatnya semakin merasa bersalah.
"Lena pasti akan menenangkanmu dengan kalimat seperti ini.. Kuharap kau juga menyukainya, jika aku mengatakan langsung seperti ini padamu.."
Tidak ada kalimat bantahan atau ucapan apapun dari Aris. Dia hanya terdiam. Percuma.. apapun yang dikatakannya, Shina selalu mempunyai cara untuk memabantahnya.
Di apartemenku, saat itu aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Aku melihat Ryan sepertinya telah tertidur. Dia terlihat memejamkan matanya. Ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan kata maaf, tapi.. mengingat emosinya yang seperti tadi, aku jadi takut. Akhirnya, aku mengurungkan niatku itu dan ikut berbaring disampingnya.
Keesokan paginya, aku tidak melihat Ryan ada disampingku lagi. Aku pun segera keluar kamar untuk mencarinya. Lalu aku menemukan dia diruang kerjanya sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang.
Saat itu, Ryan yang tersadar dengan kehadiranku ketika aku mulai berjalan mendekatinya, tiba-tiba langsung menutup panggilan teleponnya. Dia kemudian berjalan melewatiku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku merasa sedih. Aku merasa diabaikan olehnya.
Ryan lalu merapikan beberapa barangnya didalam kamar untuk dimasukkan ke dalam tas kerjanya, kemudian dia pun pergi keluar.
Saat itu, setelah melewatiku Ryan tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Aku tidak mengijinkanmu keluar dari apartemen, terutama jika kau secara diam-diam berani menemui Aris di belakangku.." ucapnya tanpa memalingkan wajahnya untuk menatapku
"Jika kau menemui Aris sama saja seperti kau menginginkan agar nyawa Aris lenyap ditanganku.. Camkan itu baik-baik..!" ucap Ryan kembali dingin memperingatkanku
Saat itu aku tidak tenang membiarkan Ryan pergi begitu saja. Aku takut kalau dia benar-benar akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Aris.
"Mas.." aku berusaha menghentikannya sambil memegangi bajunya
"Aku tahu aku telah banyak membuatmu marah dan kecewa, sehingga Mas bisa memperlakukanku seperti ini. Aku minta maaf.. tapi meskipun begitu, aku rasa sulit bagi kita untuk memulai kembali semuanya dari awal.."
"Maaf, kalau menurutmu aku bersikap plin plan seperti ini. Aku telah memikirkannya.. lebih baik kita tidak usah rujuk kembali.."
"Aku tetap mengharap kita mempunyai hubungan baik kedepannya seperti dulu, tapi tidak lebih dari itu (tidak dalam ikatan pernikahan).."
"Bagaimanapun kita masih memiliki keterikatan satu sama lain sebagai orang tua bagi anak kita, Oka.. Aku tidak ingin dengan permasalahan yang terjadi membuat hubungan kita menjadi canggung dihadapannya. Aku tidak ingin membuatnya sedih. Meskipun mungkin dia tidak mengatakannya secara langsung, tapi setidaknya dihadapan Oka.. kita bisa berperan menjadi orang tua yang lebih baik lagi.."
Ryan hanya terdiam mendengar semua ucapanku.
"Mas tidak perlu khawatir. Aku tidak akan pergi menemui Aris atau pun kembali lagi bersamanya.."
Tak lama setelah mendengar ucapanku itu, Ryan pun langsung pergi meninggalkan apartemen tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Saat itu pikiranku kosong. Entahlah, aku tidak tahu. Apakah memang yang terbaik bagi kami adalah tetap mempertahankan hubungan kami seperti sekarang ini atau sebaliknya. Meskipun aku sedikit menyesali apa yang baru saja aku ucapkan tadi. Aku sebenarnya tidak benar-benar menginginkan hal ini (memilih berpisah dengan Ryan). Akan tetapi, sepertinya ini yang terbaik. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Dia nantinya akan semakin terluka dan kecewa padaku.
Mengingat apa saja yang telah kuperbuat padanya sebelum ini, bahkan dia sampai berani mengancamku seperti tadi. Aku benar-benar sedih. Aku tidak menyangka Ryan sampai berbuat seperti ini.
"Mas Ryan, maafkan aku.. Maafkan aku Mas..!!" ucapku menyesal didalam hati sambil menangis
Setelah kejadian itu, Ryan tidak kembali ke apartemen. Aku bahkan menunggunya hingga tengah malam tepat pukul dua belas, tapi dia tetap tidak kembali. Aku merasa bersalah. Aku kembali menangis.
Hari-hari berlalu sampai tiga hari lamanya, tetapi Ryan masih juga belum pulang ke apartemen. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari sana.
Aku kembali menuju kekediamanku yang lama. Rasanya sedih mengingat semua kejadian itu. Tidak ada kabar mengenai dirinya hingga saat ini. Bahkan Aris dan Shina juga. Aku benar-benar tidak tahu lagi kabar mengenai mereka. Semenjak aku membuat keputusan dihari itu bersama Ryan, aku tidak pernah lagi menemui Aris. Bahkan, hanya untuk sekedar mengunjunginya di Rumah Sakit untuk melihat bagaimana kondisinya. Aku berharap segala sesuatunya berjalan dengan baik. Baik untuk kesehatannya maupun masalah rumah tangganya dengan Shina. Sampai akhirnya, ketika aku mulai melangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, ternyata semuanya telah berubah. Rumahku yang dulu kini berubah menjadi lebih baik dengan adanya beberapa renovasi dibeberapa bagian.
Ryan.. Benar dia yang melakukan semua ini untukku.. untuk membuat tempat tinggalku ini lebih nyaman dan layak huni menurut versinya. Tapi apa yang telah aku perbuat padanya. Aku kembali menangis.
"Mas Ryan, seandainya kamu ada disini.. Aku menginginkanmu untuk kembali. Maafin aku Mas.. Maafin aku.. Maaf, karena telah membuatmu kecewa.."
*** Sedikit penjelasan
Jika kalian bertanya kenapa pada saat itu aku tidak menghubungi Ryan sama sekali, padahal jika memang aku benar-benar merindukannya dan merasa bersalah, aku kan bisa langsung menghubunginya dan meminta maaf.
Ya kalian benar, tapi aku terlalu malu. Malu dan menyesal. Aku terlalu merasa bersalah, sehingga tidak enak jika aku menghubunginya terlebih dahulu.
Aku akui sifatku memang sedikit rumit. Aku bisa saja menghubunginya dan mengatakan aku ingin kembali karena aku masih mencintainya. Akan tetapi, aku sendiri masih belum yakin dengan perasaanku sendiri. Perasaanku yang sangat plin plan itu, yang selalu membuat orang salah paham dan terluka. Aku tidak bisa mengontrolnya. Seperti perasaan bersalahku pada Aris.. Siapa yang tahu kedepannya mungkin aku akan melakukan hal-hal yang membuat Ryan terluka dan kecewa, jika kami memutuskan kembali bersama.
Kalian tahu.. hal yang paling ditakutkan diri manusia adalah ketika kita tidak bisa mengontrol tindakan-tindakan kita untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat kita menyesal dikemudian hari. Oleh karena itu, aku memilih untuk diam menunggu tanpa menghubunginya terlebih dahulu. Walaupun ini menyesakkan hanya bisa menunggunya dalam diam seperti ini, tapi aku masih berharap.
Saat aku memasuki kamar tidurku, Ryan tidak ada disana. Aku tahu sepertinya harapanku itu sulit untuk menjadi kenyataan. Tidak seperti sebelum-sebelumnya ketika aku pernah melakukan kesalahan pada Ryan dan membuatnya kecewa. Ryan tetap kembali datang padaku. Seperti saat bagaimana waktu itu dia bisa tiba-tiba muncul disini dan tertidur dikamarku ini. Kali ini Ryan benar-benar pergi. Dan sepertinya tidak akan pernah kembali.
*** Maaf sebelumnya baru bisa update lagi novelnya setelah sekian purnama. Karena ada beberapa hal dan masalah (bahkan sempet ada dramanya juga diantara beberapa tokohnya), jadi kemungkinan endingnya novel ini bakalan lama, tidak sesuai dengan versi aslinya (yang diharapkan). Terima kasih buat kalian yang masih setia sampai saat ini. Jaga kesehatan selalu dan jangan begadang ya!
— New chapter is coming soon — Write a review
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT