Ryan tiba-tiba mengingat momen kebersamaan kami. Satu momen yang mungkin berawal dari sana, sehingga dia benar-benar memantapkan hatinya untuk mulai menerimaku sebagai pasangan yang tepat untuk dijodohkan dengannya.
*Flashback sebelum aku dan Ryan menikah
Saat itu di pesta ulang tahun Gladys (teman Karin), Karin memintaku untuk menemaninya.. karena dia tahu aku masih merasa sedih pasca berpisah dari Aris. Dia ingin menghiburku karena selama ini aku selalu mengurung diriku sendiri dikamar dan tidak pernah mau jika diajak keluar olehnya.
Malam itu aku tidak tahu bahwa ternyata Ryan juga ada disana. Seperti yang kalian tahu, saat itu aku memutuskan untuk memberikan nomor asal pada Ryan karena aku sebenarnya tidak begitu serius menanggapi perjodohan ini.
Jujur, pada saat pertama kali bertemu Ryan di acara perjodohan itu, aku bisa menebak.. bahkan melihat dari penampilannya saja, Ryan ini terlihat seperti seorang player (playboy). Dari cara dia berbicara, mengajakku berkenalan, atau pun cara dia memberikan pujian-pujian terhadapku (menggombaliku). Aku bisa menebak bahwa aku bukanlah satu-satunya wanita yang dipuji seperti itu olehnya. Begitulah penilaian awalku terhadap Ryan, hingga pada saat malam itu.. Ryan tanpa sengaja melihatku dipesta ulang tahun Gladys. Dia terkejut. Dia lalu menghubungi nomorku, tetapi ternyata nomorku itu tidak terdaftar. Ryan yang tahu bahwa aku sengaja memberikan nomor palsu padanya, kemudian mencari cara untuk dapat mengerjaiku dengan langsung dapat menghubungiku saat itu juga.
Dia lalu bertanya kepada seseorang mengenai diriku. Kebetulan orang yang ditanyanya itu adalah Boy, sahabat Karin yang juga merupakan temanku (kenal denganku). Ryan lalu meminta nomor handphoneku itu pada Boy. Dan kemudian,
"Halo Lena.."
"Iya. Halo?"
Saat itu aku bingung mendapatkan panggilan dari nomor yang tak kukenal, tetapi dia mengetahui namaku.
"Apa kau masih ingat denganku?" tanya Ryan sambil memandangiku dari jauh
"Maaf.. Siapa ya?"
"Padahal belum ada seminggu semenjak terakhir kita bertemu, kamu udah lupain aku.. Sebagai calon tunanganmu aku kecewa loh.."
Saat itu aku benar-benar bingung. Sambil memandang kembali nomor yang terpampang dilayar handphoneku itu, aku akhirnya memutuskan untuk mematikan panggilannya.. menganggap itu hanyalah sebuah telepon iseng.
Belum ada semenit aku memutuskan panggilan, handphoneku kembali berdering. Dan ternyata dari nomor itu lagi.
"Kenapa dimatikan? Kamu segitu gak sukanya sama aku, Len?" ucap Ryan sedikit kecewa
"Tapi aku akui.. malam ini kamu terlihat cantik. Berbeda dengan dress formal yang kau kenakan pada saat kita pertama kali bertemu, hari ini kamu terlihat lebih sexy menggunakan dress span berwarna pastel itu.."
Saat itu juga aku lalu mengarahkan pandanganku kesekeliling. Dan aku melihat Ryan disana. Dia melambaikan tangannya kepadaku.
Detik itu juga aku lalu mematikan panggilan teleponku dan..
"Rin.. Gw balik duluan ya." bisikku pada Karin yang saat itu sedang berkumpul bersama teman-temannya
"Yah masa mau balik sekarang sih. Belum ada setengah jam kita disini, Len. Si Aldo juga belum datang kan.."
"Gak apa-apa lw nungguin si Aldo aja. Gw bisa kok balik sendiri naik taksi.."
"Tapi Len, kalau lw diculik atau kenapa-kenapa gimana? Gw mesti bilang apa ke bokap lw.."
"Dah ah.. Ngaco. Memangnya gw anak kecil apa?"
"Yaudah gw anterin kedepan ya, setidaknya sampe lw naik taksi.."
"Sorry Rin, udah ngerepotin. Gw jadi gak enak ninggalin lw sendirian disini.."
"Justru gw yang gak enak sama lw. Lw udah gw paksa-paksa ikut party-nya Gladys, walaupun gw tahu perasaan lw masih gak enak karena masih mikirin dia (Aris).."
"Gak apa-apa kok.." balasku sambil memaksakan tersenyum
Begitu kita berdua hendak pergi dari sana, tiba-tiba Ryan datang menghampiri
"Lena.." sapanya tersenyum
"Kenapa telponnya dimatikan?"
Saat itu Karin melirikku, seolah bertanya "Siapa?"
Tanpa menjawab keduanya, aku terus menarik tangan Karin untuk pergi dari sana.
"Lena tunggu.." sambil Ryan memegang tanganku yang satunya, menahanku agar tidak beranjak pergi
"Aku pernah bilang kalau aku benci ada seseorang yang tidak ku kenal menyentuhku.."
"Maaf.." ucap Ryan merasa bersalah sambil tiba-tiba melepaskan tanganku
"Tapi bukannya kita sudah saling kenal.."
"Lw ini.." tanya Karin
"Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Perkenalkan, RYAN.. calon suami dari wanita cantik yang sedang berdiri disebelah kanan anda.."
Seketika itu Karin pun terkejut. Lalu dia kembali melirikku, seolah bertanya, "Jadi dia ini Ryan.. playboy cap badak yang dijodohin sama bokap lw itu?"
Sesaat kemudian Karin,
"Nah kebetulan.. Daripada naik taksi, mending lw balik bareng dia aja Len, gimana?"
Saat itu aku lalu melotot seolah tidak setuju dengan ucapan Karin. Maksudku, tujuanku untuk pulang saat ini adalah untuk menghindar darinya. Kenapa Karin malah menyuruhku pulang bersamanya.
"Gw balik sendiri aja.." sambil aku pergi meninggalkan Karin dan juga Ryan
"Len.. Tunggu! Yaa.. jangan ngambek gitu, ah.." Karin mengejarku
"Lw apa-apaan sih Rin.. Gw gak suka sama dia. Ngapain lw nyuruh gw balik bareng dia.. Justru gw mw balik sekarang ini karena gw males ketemu dia.."
Ryan lalu tiba-tiba menghampiri kami.
"Lena bisa pulang denganku.."
"Makasih tawarannya, tapi aku bisa pulang naik taksi sendiri.."
"Tapi Len.." Karin masih tetap membujukku
"Len, dari pada abang supir taksi.. gw lebih percaya playboy cap badak ini yang anterin lw pulang.." ucap Karin tanpa sengaja. Lalu dia tiba-tiba tersadar dan melirik tidak enak ke arah Ryan sambil tersenyum canggung.
Ryan yang merasa tidak senang,
"Apa dia menamaiku seperti itu?" tanya Ryan pada Karin
"Gak penting siapa yang namain, mending sekarang lw susul Lena sebelum dia jauh.." balas Karin
"Lw kenal bokapnya kan? Karena lw udah pernah ketemu jadi lw pasti udah tahu kenapa gw lebih percaya sama lw dibandingkan para supir taksi itu.."
"Tidak perlu khawatir. Temanmu aman bersamaku.." balas Ryan memberi respon sambil tersenyum
"Ya, inget aja.. Sebelum lw mau macem-macem sama Lena, inget-inget wajah bokapnya ya.." teriak Karin memperingatkan Ryan
Ditempat lain, ketika aku baru manaiki taksi.. tiba-tiba Ryan datang dan menghadang taksi itu.
"Mba, Itu pacarnya.." ucap supir taksi ketika Ryan tiba-tiba berdiri seolah mengalangi taksi kami
"Gak Pak, gak kenal.. Udah Bapak jalan terus aja.." balasku
Tidak menyerah Ryan kembali mengetuk-ngetuk kaca disamping pak supir.
"Pak, maaf sebelumnya.. tapi saat ini biar saya yang antarkan wanita ini pulang. Ayahnya sudah menitipkan dia pada saya. Jadi kalau bapak tidak keberatan, kita bisa tukeran mobil. Saya akan mengendarai taksi bapak dan bapak bisa mengendarai mobil saya itu disana.. ini kuncinya.."
"Ryan..!!" ucapku tidak senang
"Maaf Mba. Sebaiknya Mba selesaikan urusan Mba dulu dengan pacar Mba.."
"Dia bukan pacar saya!!" tolakku
"Bukan pacaran kok Pak kita, tapi saya itu calon suaminya. Dia calon istri saya.."
Kesal mendengar ucapannya, akhirnya aku memilih keluar dari taksi itu. Sementara Ryan, aku sempat melihat dia memberikan sejumlah uang tips kepada Bapak supir itu. Mungkin dia merasa tidak enak karena telah menghalangi rezeki supir taksi itu (karena aku yang tidak jadi menaiki taksinya).
Note : Playboy cap badak.. Kenapa badak karena Ryan itu adalah orang yang sangat PD (percaya diri tinggi/muka tebal seperti kulit badak). Dari sekian banyak orang yang kukenal, saat itu dia satu-satunya orang yang paling PD diantara mereka semua. (Maaf ya Ryan..✌️😋)
Semenjak kejadian itu, Ryan benar-benar membulatkan tekadnya untuk mulai mengejarku (berniat menjadikanku sebagai istrinya). Mungkin baginya aku ini termasuk salah satu wanita yang tidak mudah dia dapatkan (tidak gampangan). Sama halnya seperti saat dia mengejar Shina dulu, melihat sifat jutek-ku itu, Ryan pun mulai tertantang untuk bisa meluluhkannya.
Selama ini Ryan selalu dikelilingi oleh wanita yang selalu mengejarnya (menginginkan dirinya). Bukan hanya sekali Mamanya berusaha menjodohkan Ryan dengan berbagai wanita pilihannya saat itu, tetapi Ryan selalu menolak dan tidak serius menanggapinya. Ryan pada akhirnya tahu bahwa para wanita-wanita tersebut menginginkannya karena hal lain, seperti harta kekayaannya dan memandang keluarganya.. bukan karena memandang Ryan sebagai dirinya seutuhnya.
*Flashback off
Sesaat setelah mengingat kejadian tersebut, tiba-tiba Ryan mulai tersadar. Dia pun segera keluar kamar dan mulai kembali mengejarku untuk meminta maaf. Namun ternyata, saat itu aku tiba-tiba..
Ryan yang mulai tersadar kemudian segera keluar kamar dan mulai kembali mengejarku untuk meminta maaf. Namun ternyata, saat itu aku tiba-tiba tepat berada dibalik pintu itu, sedang berdiri dihadapannya.
Kami berdua sama-sama terkejut. Aku tidak mengira bahwa saat itu Ryan akan keluar dari kamar. Sesaat setelah mata kami saling bertemu, aku pun langsung mengalihkan pandanganku darinya dan segera masuk kembali ke dalam kamar untuk mengambil tas dan pakaianku.
"Maaf.." ucap Ryan sesaat setelah aku melewatinya
"Aku minta maaf, Sayang. Aku salah. Tidak seharusnya aku mengatakan itu sama kamu.. Maafin aku!"
Tidak mempedulikan ucapannya, aku masih mencari pakaianku dilemari untuk kunganti dengan pakaianku yang kupakai tadi.
"Aku sadar, aku telah melukai perasaanmu dengan mengatakan itu. Aku hanya sedang emosi. Aku merasa cemburu. Aku menyesal. Aku minta maaf.." ucap Ryan kembali
Kali ini Ryan, dia benar-benar mencoba untuk meminta maaf padaku. Dia bahkan terlihat memohon dengan sungguh-sungguh. Ketika mengatakan semua itu, dia membalik tubuhku untuk menghadap ke arahnya, kemudian sambil memegang kedua tanganku dia terus memohon kepadaku.
"Aku tarik semua kata-kataku. Kau bukan wanita murahan, munafik, atau rendahan seperti yang kau sebutkan tadi.. Aku salah memberi penilaian. Sayang, maafkan aku.."
"Tidak, Mas tidak salah.. Aku memang seperti itu.."
"Tidak Sayang. Itu tidak benar. Kau bukan wanita seperti itu. Kau itu wanita terbaik yang pernah kumiliki.."
"Berbeda dengan yang lain, kau bukan wanita sembarangan. Sangat sulit untuk mendapatkanmu pada saat orang tua kita menjodohkan kita waktu itu. Butuh perjuangan.."
"Aku memang melakukannya.." potongku tiba-tiba
"Aku mencium Aris.."
Seperti tersengat petir, Ryan begitu terkejut mendengar aku telah mencium Aris.
"Itu kulakukan secara sadar disini, sesaat sebelum Mas datang kemari.. Seandainya Mas tidak menelponku waktu itu, mungkin kami.." aku langsung menghentikan kata-kataku
"Seperti kata Mas, aku memang bukan wanita baik-baik.. Aku murahan. Bahkan aku selalu memikirkan Aris (mungkin karena aku masih mencintainya..)"
"Tidak! Bohong!! Katakan itu semua tidak benar.." ucap Ryan tidak percaya membantahnya
"Kau tidak mungkin melakukannya. Kau bukan tipe wanita seperti itu. Aku tahu. Aku sangat mengenalmu. Kau mengatakan ini hanya untuk membuatku kesal, kan?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Ryan.
Ryan lalu mencengkram bajuku dengan kedua tangannya. Dengan perasaan emosi dan kecewa, dia terus memandangiku dari jarak dekat. Tatapan yang sangat mengintimidasi. Mungkin meminta pertanggungjawaban atas semua hal yang kusampaikan tadi.
"Aku memang seperti ini. Apa Mas yakin mau menerimaku kembali? Setelah apa yang telah kulakukan pada Aris dan juga perasaanku padanya. Mas yakin akan baik-baik saja, jika kita kembali bersama seperti dulu?"
"Kamu.." ucap Ryan tidak percaya, kecewa. Didalam dirinya, dia masih berupaya keras untuk menyangkalnya.
Saat itu aku kemudian melepaskan cengkraman tangan Ryan yang memegangi bajuku. Lalu aku pun kembali pergi meninggalkannya keluar kamar.
Ryan yang tidak terima,
"Berhenti..!! Berhenti kataku.."
Ryan pergi menyusulku dan kembali menghalangiku untuk pergi. Ketika dia tepat berada didepanku,
"Katakan.. apa kau benar-benar memilih Aris dibanding aku?"
"Aku tidak bisa menghilangkan Aris begitu saja. Aku masih memiliki perasaan padanya (perasaan bersalah).."
Ryan sangat kecewa. Bahkan dia terus memandangiku untuk melihat apakah aku sungguh-sungguh dengan ucapanku itu.
"Lebih baik untuk saat ini Mas lupakan niatan kita untuk rujuk. Kita memang tidak bisa kembali seperti dulu.."
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan membunuh Aris.." ucap Ryan emosi
Aku terkejut. Mas Ryan, dia tidak benar-benar serius dengan ucapannya itu kan.
"Kalau kamu memang tidak bisa melupakan dia, maka aku akan melenyapkan dia dari dunia ini.."
Ryan beranjak pergi. Aku pun kemudian mengejarnya.
"Mas..!"
"Mas Ryan..!!"
"Apa Mas sudah gila?!! Kenapa Mas melakukan ini?" sambil aku membalik tubuh, berusaha menghentikannya.
"Ya, aku gila!! Aku gila gara-gara kamu. Gara-gara kamu yang lebih milih si brengsek itu dari pada aku. Karena kamu lebih mencintai dia.."
"Yang jadi suami kamu itu aku, bukan dia. Kenapa kamu lebih memilih dia?Setelah apa yang kita lakukan bersama.. Kamu sudah menerima lamaranku, lalu kenapa kamu tiba-tiba..?
"Apa bagusnya dia? Apa yang dia miliki dan aku tidak? Katakan, APA KEKURANGANKU DIBANDING DIA ??!!!!!"
Aku tidak tahu, tapi saat itu aku benar-benar takut melihat Ryan yang seperti ini. Air mataku kembali mengalir deras.
"Mas.. Jangan seperti ini. Tenangkan dirimu!" aku memegang tangan Ryan, berusaha menenangkannya sambil menangis
Namun disisi lain, Ryan langsung menepis tanganku dengan kasar.
"Mas.."
"Sekarang kamu pilih, kamu keluar dari apartemen ini untuk bersama si brengsek itu, lalu kubunuh dia.. atau kamu tetap berada disini bersamaku.."
Mas Ryan, dia tidak pernah mengancamku sebelumnya. Apa dia benar-benar akan membunuh Aris, jika aku pergi meninggalkan apartemen ini?
"Lakukan sesukamu, tapi jangan menyesali akhirnya.. karena aku tidak main-main dengan perkataanku.."
Aku masih menangis, tetapi disisi lain Ryan meninggalkanku untuk masuk kembali kedalam kamar. Terlihat saat itu dia membanting pintu dengan sangat keras. Pertanda luapan emosi dan perasaan kesal yang teramat dalam.
Ya, aku bisa memahaminya. Dan aku pun tidak bermaksud membuat situasinya menjadi kacau seperti ini. Bisa dibilang mungkin saat itu aku juga sedang kesal dengan Ryan. Semua ucapan tajamnya yang mengataiku.. Walaupun aku memang tidak menyangkal semua tuduhannya, sungguh menyakitkan mendengarnya mengatakan semua itu dari mulutnya.
Tadinya aku hanya ingin menyindir dan membuatnya kesal (cemburu) dengan mengungkit-ngungkit masalah Aris, tetapi tidak kusangka situasinya akan berubah menjadi serumit ini.
Aku terus menangis. Aku menyesali keputusan bodohku dengan berusaha memancing emosi Ryan seperti tadi.
Sementara di Rumah Sakit, Aris tiba-tiba mengetahui bahwa orang yang telah mengantarkannya ke rumah sakit saat dirinya pingsan adalah aku. Detik itu juga dia langsung menghubungiku.
Aku masih menangis diapartemen, ketika suara dering ponselku mengejutkanku. Ya, itu dari Aris. Awalnya aku tidak ingin menjawab. Ada perasaan khawatir. Aku takut kalau yang menelpon itu Shina, bukan Aris. Dan, rasa khawatirku yang lain adalah apabila orang yang menelponku saat itu ingin memberitahuku mengenai kondisi Aris. Aku takut akan mendengar kabar buruk darinya, yang akan membuat rasa bersalahku padanya semakin menjadi-jadi. Makanya aku memilih untuk mengabaikan panggilannya.
Sementara disisi lain, Aris juga tidak menyerah untuk menghubungiku. Dia terus mencoba menghubungiku, hingga akhirnya setelah beberapa saat mencoba, aku pun bersedia untuk menjawab panggilannya.
"Lena.." ucapnya senang begitu aku menjawab telponnya
"Aku senang kau masih mau menjawab panggilan dariku.. Aku baik-baik saja."
"Terima kasih karena telah membawaku kemari. Aku benar-benar merasa senang mengetahui kau masih peduli padaku.."
"Eh, maksudku.. kau masih mau kembali berhubungan denganku, seperti sekarang.. Aku benar-benar senang Lena.."
Aku terdiam , tidak memberikan respon apapun.
"Lena..?"
"Saat itu hanya situasional. Aku tidak bermaksud untuk kita tetap saling berhubungan jika kondisinya tidak seperti tadi. Jadi Mas Aris, tolong.. jangan menyalah artikan maksud dan tujuanku itu. Aku harap kau mau menepati janjimu untuk selalu menjauh dari kehidupanku dan Mas Ryan.. Kita tidak usah saling bertemu dan berhubungan lagi.."
"Lena, apa semua baik-baik saja? Ada apa dengan suaramu? Kau menangis?" tanya Aris panik
"Katakan, apa kau bertengkar dengan Ryan gara-gara masalah ini? Lena..?"
"Aku baik-baik saja. Kami tidak bertengkar.."
"Kau dimana?"
"Apartemen." jawabku
"Mas Aris, lebih baik kau khawatirkan masalah kesehatanmu. Jangan menghubungiku.."
"Lena, apa bisa aku berbicara dengan Ryan?"
Untuk apa Aris ingin berbicara dengan Ryan. Saat ini Ryan masih sangat emosional.
"Mas Ryan sudah tidur.." jawabku berbohong
Aris tidak senang mendengar jawaban dariku. Entah mengapa dirinya merasa tidak suka dengan ulah Ryan yang masih bersih keras untuk tetap tinggal satu atap denganku, meskipun status kami belum resmi sebagai pasangan suami istri lagi.
Saat itu Aris berpikir mungkin aku menangis karena bertengkar dengan Ryan, gara-gara ulahnya. Ada perasaan bersalah pada dirinya, sehingga membuatnya terus berdiam diri, tanpa mengatakan apapun di telpon.
Disisi lain, karena aku tidak melihat ada hal lain yang ingin disampaikan oleh Aris, maka aku pun langsung memutuskan panggilannya.
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT