Download App
44.44% 1912-1932: I Love You, Maria Van Der Wijk / Chapter 8: Maria Menghilang

Chapter 8: Maria Menghilang

Arya dan Hermand kembali ke sekolah dan menelusuri jalan-jalan di sekitarnya sambil bertanya ke siapa pun yang mereka temui, apakah mereka melihat seorang gadis indo yang menangis keluar dari sekolah. Seorang tukang perkakas memberi petunjuk bahwa Maria mengayuh sepedanya keluar dari sekolah dan menuju ke arah timur.

"Aku harus memberi tahu Ayah dulu," kata Arya kemudian. Hari sudah mulai gelap dan ia tahu bahwa tanpa bantuan polisi kemungkinan mereka tidak akan bisa menemukan Maria.

"Apa Maria punya tempat kesukaan yang mungkin dia tuju?" tanya Hermand. "Aku bisa ke sana duluan."

Arya menggeleng. Maria tidak pernah ke mana-mana sendirian. Hidupnya hanya di seputar rumah dan sekolah, dan kadang-kadang ia ikut Arya atau ayah ke pasar malam. Selain itu mereka datang ke acara resmi sekeluarga. Temannya juga tidak banyak.

Arya memacu sepedanya ke Bragaweg* dan mencari Ayah. Hermand mengendarai sepedanya sambil berseru memanggil nama Maria. Hingga hari gelap ia tak menemukan jejak gadis itu.

Ayah sudah tidak ada di kantor saat Arya tiba di sana. Ia pun segera menuju ke rumah dan menemukan orang tuanya sedang makan malam bersama. Mereka sangat terkejut dan segera menyudahi makan begitu mendengar keterangan dari Arya.

"Tunggu di sini, Ayah akan ke kantor polisi." Ayah segera mengambil kunci mobil fordnya dan berangkat tergesa-gesa tanpa menunggu supir.

"Ayah, aku mau ikut!" Arya buru-buru naik ke kursi penumpang dan dengan pandangan memelas memohon agar diperbolehkan ikut. Ayah seperti tidak melihatnya, pandangannya kalut saat ia memacu mobil ke kantor polisi.

Setibanya di kantor polisi ia buru-buru bicara dengan Kapten Jannsen dan menunjukkan foto keluarga yang diambil saat ulang tahun kakek beberapa bulan lalu untuk memberi gambaran rupa Maria.

Kapten Jannsen segera memerintahkan anak buahnya untuk berkeliling mencari informasi. Arya dan ayah duduk sebentar di kantor polisi untuk menenangkan diri, sebelum kemudian melanjutkan pergi mencari Maria.

Mobil ayah berhenti di kantor jaksa.

"Tadi siang Maria mampir ke kantor Ayah." kata Ayah tiba-tiba dengan suara lirih. Ia memijat keningnya seperti menahan sakit kepala yang amat berat. "Dia cuma duduk di sofa seperti biasa..."

Ayah turun dari mobil dan masuk ke dalam kantornya pelan-pelan, seolah mengamati setiap jejak Maria yang mungkin tersisa, untuk mencari petunjuk keberadaan gadis itu. Arya terkesiap mendengar perkataan ayahnya. Ia tidak menduga Maria tadi siang ke sini.

"Dia nggak bilang apa-apa?" tanya Arya cepat.

Ayah menggeleng. Ia menangkupkan kepalanya di antara kedua tangannya dan tampak sangat kalut. Arya belum pernah melihat ayahnya sekuatir ini. Maria seorang anak perempuan, dan sangat cantik. Sungguh berbahaya baginya berada di luar sendirian seperti ini. Mereka tak bisa membayangkan bahaya apa saja yang mengancamnya.

"Ayah, aku mau keluar mencari Maria." kata Arya kemudian. Ia akan menelusuri jejak Maria dari kantor ayah, dengan harapan ia bisa menemukan jejaknya. Ia berhenti di depan pintu dan merenung, ke arah mana kira-kira Maria akan melangkah. Saat pandangannya tertumbuk pada penjaga gedung, ia tergesa-gesa menanyakan apakah ia tadi siang melihat Maria keluar dari kantor ini.

"Oh, nona Maria tadi menuju ke arah utara sambil menuntun sepedanya. Wajahnya sedih sekali. Bapak pikir dia dimarahi tuan jaksa." jawab lelaki separuh baya itu.

"Ayah tidak pernah memarahi Maria," dengus Arya. Ia segera berjalan ke arah yang ditunjukkan penjaga kantor. Matanya sigap melihat ke segala arah. Jalanan ramai dengan kafe yang masih buka untuk orang-orang menikmati makan malam.

Arya baru sadar bahwa ia belum makan apa-apa dari siang dan saat ini perutnya mulai sakit. Akhirnya ia masuk ke salah satu kafe dan memesan makanan cepat-cepat. Sambil menunggu pikirannya melayang-layang ke kejadian tadi siang saat ia melihat Maria berurai air mata di kelas. Ia sangat menyesal tadi ikut ke kantor kepala sekolah. Seharusnya ia sadar, bahwa dalam situasi seperti ini, Maria pasti mengalami shock.

Orang biasa bila mengalami peristiwa seperti ini pasti akan terpukul, ia seharusnya tahu bahwa Maria akan jauh lebih hancur karena gadis itu sangat berbeda dari siapa pun yang pernah dikenalnya.

Maria sangat jarang menangis. Emosinya tersimpan jauh di dalam kepalanya, tidak terungkap dengan bebas. Ia pelit dalam menyampaikan perasaannya, baik itu marah, atau sedih. Maria bahkan tidak suka bicara bila tidak perlu. Sehingga dapat dibayangkan betapa besar kesedihan yang ia alami hingga berderaian air mata seperti tadi siang.

Arya ingat dulu Maria tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun selama bertahun-tahun sejak mereka menemukannya di dalam keranjang. Mereka sekeluarga mengira ia memang bisu dari lahir. Wajahnya yang cantik menggemaskan selalu tampak datar dan biasanya tanpa ekspresi. Hanya sesekali ia tersenyum bila Arya berhasil menggodanya.

Ketika Arya masuk sekolah dan mulai belajar, barulah Maria menunjukkan minat pada sesuatu. Ia senang membolak-balik buku pelajaran Arya dan pada suatu hari suara kecilnya tiba-tiba terdengar, membuat Arya kaget.

"Salah."

Itu adalah kata pertama yang diucapkan Maria. Sore itu Arya sedang mengerjakan PR Matematikanya sambil berbaring telungkup di tempat tidur dan Maria duduk di sebelahnya melihat buku Arya dengan penuh perhatian. Suara kecil itu membuat Arya terkesiap. Ia menoleh kepada Maria dengan pandangan tidak percaya.

"Eh?"

"Jawabannya lima." Maria yang berusia lima tahun kembali buka suara dan menunjuk buku Matematika Arya.

"Eh? Kau..? Kau bisa bicara???!!!" Arya menjerit seketika, "Ibuuuuuuuu...!!!! Ayaahhhh!!! Maria bisa bicaraaa!!!"

Serentak kedua orangtuanya yang sedang menikmati teh sore menghambur ke kamar Arya. Arya berdiri dengan wajah pucat sambil menunjuk ke arah Maria yang memandangnya dengan tatapan heran.

"Apa katamu?" tanya Ayah bingung. "Maria bisa bicara?"

"Iyaaa.. tadi dia bicara dua kali. Katanya 'salah' dan 'jawabannya lima'" Arya menunjukkan buku Matematikanya kepada ayah. Ayah cepat memeriksa PR Arya dan memandang Maria, lalu kembali memandang buku, lalu Maria, lalu Arya.

"Jawabanmu yang ini memang salah. Harusnya lima." kata Ayah keheranan. Ia lalu berlutut dan mendekap Maria. "Kamu benar, Nak. Jawaban Arya salah. Anak ayah pintar sekali."

Maria mengangguk puas. Ia mengambil buku Arya lalu menunjuk soal demi soal yang sedang dikerjakan Arya.

"Sepuluh. Tujuh belas. Empat. Dua belas."

Ia menyebutkan jawaban untuk setiap soal yang ditunjuknya. Ayah kaget karena semua jawabannya benar.

"Semuanya benar. Kamu pintar sekali. Kenapa Maria tidak pernah bicara selama ini?" tanya ayah sambil menatap Maria dengan pandangan heran. Maria hanya mengangkat bahu.

"Buat apa? Selama ini semuanya baik-baik saja." Jawabannya mengagetkan semua orang. Ekspresi bocah itu adalah gabungan ekspresi bosan dan tidak sabar. Ayah, Ibu, dan Arya sangat senang mengetahui bahwa ternyata Maria sebenarnya bisa bicara, tetapi selama ini memilih diam. Ia sangat pelit dengan kata-katanya.

Tahun demi tahun saat ia tumbuh, Maria mulai bercakap-cakap, tetapi tetap dalam kadar seperlunya. Bisa dibilang Aryalah yang paling sering mendengar suara Maria karena mereka selalu bersama dan Maria paling dekat dengannya. Hingga remaja, Maria masih pelit membagi emosinya.. Arya hampir tak pernah melihatnya menangis..

Seharusnya ia tahu...

Seharusnya ia tidak meninggalkan Maria di kelas...

Perlahan air mata menetes turun ke pipi Arya yang merasa sangat putus asa. Makanan yang dipesannya tiba dan pelayan tampak memandangnya dengan aneh, tetapi ia tidak peduli. Arya makan secepatnya lalu meninggalkan uang pembayar makanan di meja dan keluar.

"Arya!"

Ia menoleh ke arah asal panggilan tersebut dan menemukan Hermand yang berlari mendekat. Ia ditemani dua orang pengawal.

"Ada kabar?" tanya Hermand.

"Kita sudah ke polisi, ayah ada di kantor dan aku memutuskan mencari sendiri. Kau sudah ke mana saja?"

Hermand menyebutkan tempat-tempat yang sudah ditelusurinya bersama para pengawalnya dan ia masih tidak menemukan jejak Maria. Arya menjadi tambah putus asa. Kemana gerangan Maria?

.

.

*Bragaweg = Jalan Braga


CREATORS' THOUGHTS
Missrealitybites Missrealitybites

Pembaca menyadari ga, kalau Maria itu genius dan punya kecenderungan autis? Dia sangat pendiam, sangat cerdas, sering hanyut dalam dunianya sendiri dan susah akrab dengan orang lain, makanya dia dekat sekali dengan Arya karena sudah bersama sejak kecil.

Dalam hal ini Maria mirip Einstein yang juga baru bicara di usia 5 tahun dan sempat dikira bodoh oleh orang-orang.

Chapter 9: Di Kantor Polisi

Arya memutuskan untuk kembali ke kantor ayahnya dan berkoordinasi. Ayahnya kenal dengan kapten polisi dan memiliki koneksi yang luas. Hermand dan kedua pengawalnya mengikuti.

"Ayah...!" Arya heran karena tidak melihat mobil ayahnya di depan kantor. Dengan terburu-buru ia menanyakan ayahnya kepada penjaga gedung.

"Oh... Tuan Jaksa tadi mendapat kiriman surat dan langsung pergi," kata Pak Suman.

Arya tak dapat menebak kemana gerangan ayahnya. Siapa yang mengirim surat tadi? Apakah ini ada hubungannya dengan hilangnya Maria?

Karena tak tahu harus bagaimana lagi ia akhirnya memutuskan untuk ke kantor polisi menemui Kapten Jannsen. Hermand memaksa ikut dengannya.

Mereka berangkat dengan mobil yang dikemudikan salah seorang pengawal Hermand dan 10 menit kemudian sudah ada di kantor Kapten Jannsen.

"Hmm... Tuan Jaksa tidak bilang apa-apa kepada saya," kata Kapten Jannsen. "Tapi beberapa polisi mungkin sudah menemukan jejak Nona Maria."

"Oh ya? Di mana dia??" tanya Arya cepat. Dadanya berdebar-debar, takut sesuatu yang buruk terjadi.

"Kami menemukan sepedanya di belakang pasar. Saya sudah mengirim banyak polisi untuk menyisir daerah sekitar situ."

"Ya Tuhan... sekarang sudah malam... Bagaimana mereka bisa menemukannya..." Arya tampak resah sekali.

Mereka sedang berpacu dengan waktu. Tadinya Arya berharap Maria hanya bersembunyi dan menangis di suatu tempat. Tetapi dengan polisi menemukan sepedanya, berarti gadis itu bertemu orang yang membuatnya terpaksa meninggalkan sepedanya. Kemungkinan besar ia bertemu orang jahat. Ia tak mungkin meninggalkan sepedanya tanpa alasan.

Arya tak dapat membayangkan apa yang akan mereka lakukan kepada Maria. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya.

"Kapten.. tolong jadikan kasus ini prioritas. Ayahku akan sangat berterima kasih kalau polisi berhasil menemukan Nona Maria. Dia adalah teman sekelasku di sekolah," kata Hermand. Melihat pandangan Kapten Jannsen yang keheranan, ia buru-buru menambahkan, "Namaku Hermand Von Schierlijk."

Seketika wajah Kapten Jannsen tampak terkesima, lalu ia mengangkat topinya dengan sikap hormat.

"Oh... Tuan Hermand... Maaf, saya tidak mengenali Anda.." Ia mengangguk-angguk, "Tentu saja, kami akan mengerahkan semua polisi di kota ini untuk mencari teman tuan."

Arya merasa lega ada Hermand di situ. Walaupun ia adalah anak jaksa, tentu kedudukannya tidak setinggi Hermand sebagai anak residen yang bisa menyuruh-nyuruh kapten polisi untuk mencari Maria. Dalam hati ia sudah memaafkan Hermand atas perbuatannya membuat Maria menangis tadi. Ia tahu Hermand tidak bermaksud jahat, dan ia pun merasa sama kuatirnya dengan Arya akan menghilangnya Maria.

"Sekarang sudah malam... Bagaimana kalau kalian pulang dulu, serahkan semua kepada kami," kata Kapten Jannsen dengan halus. "Kalian harus beristirahat..."

Arya dan Hermand keduanya menggeleng bersamaan.

"Saya mau menunggu di sini saja..." kata Arya tegas. Hermand menoleh kepada salah satu pengawalnya dan laki-laki itu mengangguk.

"Saya akan pulang dan memberi tahu Tuan Residen apa yang terjadi," katanya sambil undur diri.

Kapten Jannsen seketika merasa sakit kepala. Kedua pemuda ini keras kepala sekali. Pasti gadis yang hilang itu sangat penting bagi mereka.

"Hmm.. baiklah. Kalau begitu kalian bisa menunggu di sini. Aku akan menyuruh polisi membawakan bantal dan selimut untuk kalian."

Kapten Jannsen tahu ia tak punya pilihan selain merelakan kantornya untuk tempat istirahat kedua pemuda itu, daripada di sel yang kebetulan sedang kosong.

Hermand dan Arya duduk berdua di dalam kantor Kapten Jannsen. Mulanya mereka saling pandang dengan ekspresi kurang bersahabat, tetapi pelan-pelan suasana di antara keduanya menjadi cair.

"Maafkan aku... semua ini salahku..." kata Hermand pelan.

Arya menggeleng, "Aku juga salah. Seharusnya aku tadi tidak meninggalkan Maria untuk ke kantor Timmer. Kau hanya menyampaikan apa yang orang lain pasti akan sampaikan..."

Hermand mencoba menahan diri dari tadi siang untuk tidak menanyakan status Maria di keluarga Adinata, tetapi kini ia tambah penasaran.

"Sebenarnya dia itu siapa? Kalian kakak adik betulan?"

Arya menggeleng.

"Dia itu anak angkat keluargaku. Aku menemukannya dibuang di depan rumah kami saat masih bayi. Maria itu memang unik... Dia sangat pintar, tapi hal-hal tertentu dia tidak mengerti, termasuk bahwa dia itu sangat berbeda dari kami."

"Oh..."

Hermand mulai merasa semuanya masuk akal. Maria memang agak aneh menurutnya. Tingkahnya yang acuh dan sikapnya yang tidak seperti anak-anak sebayanya membuat Hermand tadinya mengira gadis itu sombong karena dia sangat pintar. Ternyata memang cara berpikirnya berbeda dengan semua orang yang dikenalnya.

"Maria tidak banyak bicara. Kami baru mendengar suaranya waktu umurnya lima tahun, itu pun karena dia mengoreksi PR-ku yang salah. Tadinya kami sekeluarga mengira ia bisu atau bodoh. Ternyata dia memang tidak suka bicara, dan sangat pelit membagikan perasaannya." Arya tersenyum sedikit membayangkan peristiwa yang menghebohkan itu. Wajahnya lalu berubah muram kembali. "Seharusnya aku sadar, tadi siang saat ia sampai menangis dengan sedih, pasti hatinya sangat terluka hingga ia merasa terguncang..."

Hermand merasa Arya membicarakan Maria dengan nada terlalu romantis. Ia curiga pemuda itu tidak menganggap Maria sebagai adiknya. Tetapi di saat genting seperti ini ia merasa keterlaluan kalau mencari bahan pertengkaran baru dengan Arya. Karenanya ia hanya menyimpan pikiran itu dalam hati.

Baiklah. Kalau sampai ia nanti harus bersaing dengan Arya untuk mendapatkan Maria, ia tidak akan kalah. Tetapi itu urusan nanti. Sekarang memastikan Maria selamat dulu.

Keduanya lalu sibuk dengan pikiran masing-masing, sambil terus memperhatikan situasi di kantor polisi, siapa tahu ada perkembangan yang terjadi. Saat jam menunjukkan hampir tengah malam tiba-tiba perkembangan yang mereka tunggu pun tiba. Seorang polisi dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kantor dan menelepon Kapten Jannsen yang sudah pulang ke rumahnya.

"Selamat malam, Kapten. Barusan terdengar bunyi tembakan di dekat pasar. Kami sudah mengirim orang ke sana," katanya cepat.

Hermand dan Arya saling pandang. Mereka ingat sepeda Maria ditemukan di belakang pasar. Dengan cepat keduanya bangkit dan menghampiri polisi yang baru datang itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Arya.

"Kami mau ikut!" seru Hermand.

"Baiklah, kalian ikut saya. Saya akan menuju ke sana sekarang," kata polisi itu setelah meletakkan gagang telepon. Ketiganya bergegas keluar dan segera naik mobil polisi ke arah tempat dilaporkannya terdengar suara tembakan.


CREATORS' THOUGHTS
Missrealitybites Missrealitybites

Maaf ya, update novel ini memang akan lambat. Soalnya saya sedang fokus menulis "The Alchemists" dan banyak kesibukan lain. Tapi saya mau pelan2 tetap menyelesaikannya.

PS: Oya, dari sini mulai keliatan ya, kalo Arya memang tidak menganggap Maria seperti adik kandungnya sendiri. Arya emang mencintai Maria seperti perempuan. Jadi saingan deh sama Hermand.

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank 200+ Power Ranking
Stone 0 Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login

tip Paragraph comment

Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.

Also, you can always turn it off/on in Settings.

GOT IT