Keesokan harinya di sekolah Maria bersikap lebih ramah kepada Hermand. Ia masih pelit bicara, tetapi ia menunjukkan perhatian ketika Hermand datang atau berbicara kepadanya. Ia bahkan membantu Hermand saat pelajaran Biologi dan mereka harus membedah hewan kecil.
Dengan cekatan dan tanpa ragu ia membedah perut katak di meja lab dan melakukan tugas yang seharusnya dibagi dua di antara mereka ketika ia melihat pandangan jijik Hermand.
"Eww....aduh, perutnya...ugh..." Hermand dan banyak murid lainnya tampak tertekan dan geli melihat hewan-hewan yang harus mereka bedah hari itu untuk belajar tentang anatomi. Meneer De Vries tampak sangat kagum melihat ketenangan dan kecekatan Maria membedah kataknya.
"Kau nanti mau kuliah kedokteran? Sehabis lulus HBS Maria harus ke Belanda untuk kuliah kedokteran. Kau sangat berbakat. Memang ada rencana STOVIA (sekolah mantri kesehatan) akan dijadikan GHS (sekolah tinggi kedokteran) tahun depan, kalau itu sudah dibuka, kau juga bisa kuliah ke sana." kata beliau antusias.
Hermand menatap Maria dan membayangkan gadis itu dalam jas dokter dan mengangguk-angguk sendiri.
"Kau jangan hanya manggut-manggut. Belajarlah dari teman sebangkumu biar nilai Biologimu membaik." Meneer De Vries mengomelinya karena ia melihat tangan Hermand yang tidak kotor oleh darah dan lendir.
"Ja, Meneer," jawab Hermand segan.
Hari ini Hermand sengaja membawa sepeda karena ia ingin pulang bersama Maria. Ia buru-buru keluar kelas mengambil sepedanya dan menunggu gadis itu di depan gerbang. Namun sialnya justru Maria yang tidak membawa sepeda.
"Kemana sepedamu?" tanya Hermand saat Maria menggeleng-geleng melihatnya siap dengan sepeda di gerbang.
"Aku diantar Ayah hari ini."
"Oh..."Hermand merasa kecewa karena tidak bisa pulang bersama. "Kau dijemput?"
Maria menggeleng. "Aku harus ke kantor Ayah dan pulang bersamanya dari sana."
"Oh... mau kuantar pulang? Atau kuantar ke kantornya?"
Maria tersenyum dan menggeleng. "Nee (tidak usah)."
"Kantornya di mana? Aku bisa berjalan bersamamu. Di jalan banyak orang jahat kalau kau sendirian."
Hermand tidak mau menyerah. Ia memarkir sepedanya di samping gerbang dan memberi tanda kepada penjaga sekolah bahwa ia akan menitipkannya di situ lalu berjalan mengikuti Maria yang sudah melangkah pergi.
Ia penasaran juga ingin melihat seperti apa ayah Maria. Mereka naik trem dan turun di Bragaweg. Maria berjalan ke arah kantor jaksa dan Hermand melihat orang-orang di sana menyapanya dengan hormat. Seorang laki-laki berumur 40-an yang tampan dan terlihat aristokrat menyambut Maria dengan senyuman lebar dan memeluknya.
"Selamat sore, Oom. Saya Hermand." Hermand memperkenalkan dirinya sendiri ketika Maria langsung duduk di sofa dan mengeluarkan buku untuk dibaca. "Saya teman sekelas Maria."
Raden Panji mengangguk. "Terima kasih sudah mengantar Maria. Rumahmu di mana? Mau Oom antar pulang sekalian?"
"Nee, bedankt (tidak, terima kasih). Saya pulang duluan. Sampai jumpa!"
Dengan demikian ia pun pamit. Dalam benaknya terjawab sudah mengapa Maria memiliki nama pribumi. Ayahnya adalah seorang bangsawan pribumi, maka pasti ibunya berdarah Eropa. Karena itulah ia bisa bersekolah di HBS seperti anak-anak Eropa lainnya.
Setelah Hermand pergi, Ayah memandang Maria dengan senyum simpul. "Dia kelihatannya menyukaimu, Maria."
Maria hanya mengangkat bahu. "Hermand baik. Ia meminjamkanku buku ini dari perpustakaan di Gedung Sate."
Ayah meneliti cap di depan buku dan mengernyitkan kening. "Ini koleksi pribadi Residen."
"Hermand anak Residen."
"Oh..."
Ayah menerima informasi yang diberikan dengan nada ringan tersebut dengan perasaan campur aduk. Anak residen Priangan sepertinya menyukai putrinya. Ini bisa berdampak baik. Atau buruk.
***
Ketika Arya akhirnya masuk sekolah seminggu kemudian, teman-teman sekelasnya yang mengenal Maria sebagai adiknya segera memberikan laporan tentang kedekatan gadis itu dengan murid baru yang merupakan anak residen Priangan.
Ia sangat terkejut karena tidak mengira hal demikian bisa terjadi saat ia tidak ada. Tadi ia berangkat sekolah langsung dari rumah kakek, diantar supirnya, sehingga belum sempat bertemu Maria dan mendengar apa-apa dari gadis itu.
"Mereka beberapa kali pulang sekolah bersama." kata Jan saat istirahat. "Banyak murid yang mengira mereka pacaran."
"Tidak mungkin!" sergah Arya cepat.
"Banyak yang lihat dengan mata kepala sendiri mereka jalan ke Gedung Sate dan makan kue di kedai teh."
Arya merasa gemas karena dalam seminggu ia tidak masuk sekolah, ada begitu banyak hal yang terjadi. Ia memutuskan untuk mengajak Maria bicara sesudah pulang sekolah. Ini tidak bisa dibiarkan. Maria masih terlalu kecil untuk pacaran. Apa si Hermand tidak tahu bahwa Maria lompat kelas dan umurnya dua tahun di bawah mereka?
Ketika bel sekolah berbunyi Arya dengan cepat pergi ke kelas sebelah dan menunggui Maria di depan pintu. Gadis itu terkejut melihatnya saat keluar kelas dan wajahnya tampak bersinar-sinar gembira.
"Arya pulang tidak bilang-bilang." Ia memeluk Arya erat-erat seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Ia lalu membuka tasnya di hadapan Arya dan memberi tanda bahwa ia mengharapkan oleh-oleh.
Arya tertawa dan menggeleng-geleng. "Hadiahnya di rumah kakek, berat kalau aku bawa ke sini. Akhir pekan nanti kau harus menemaniku ke sana."
Ia lalu menggandeng Maria dan menariknya ke arah parkiran sepeda. "Aku tidak membawa sepeda. Kau bonceng aku pulang, ya."
Maria menggeleng cepat, "Enak saja."
Hermand yang baru keluar kelas sangat terkejut melihat Maria dan Arya yang demikian akrab. Demikian juga sebagian besar murid-murid HBS yang lain, dan mereka memandang kedua orang itu dan Hermand bergantian.
Hanya teman-teman sekelas Arya dan sebagian teman sekolah yang dulu sama-sama bersekolah di ELS mengetahui hubungan Arya dan Maria, yang lainnya kini hanya bisa menebak-nebak kenapa si murid baru yang pintar akrab sekali dengan murid kelas 3 yang terkenal nakal itu.
Akhirnya tentu saja Arya yang membonceng Maria pulang. Gadis itu memeluk pinggangnya dengan akrab dan menyandarkan kepalanya ke punggung Arya saat mereka melaju keluar dari gerbang sekolah dan melewati Hermand yang menatap dengan pandangan tidak berkedip.
Pemuda yang mengemudikan sepeda itu wajahnya tampak familiar sekali, Hermand mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihatnya.
"Siapa orang itu?" tanyanya kepada Anneke yang berdiri di sampingnya dan juga tampak terkejut.
"Itu Arya dari kelas A. Dia ketua murid angkatan kita. Sepertinya sudah seminggu ini dia tidak masuk sekolah."
"Bisa jadi mereka ada hubungan keluarga," timpal Bram. "Kalian ingat tidak, nama lengkap Arya adalah Dyah Arya Adinata? Mungkin Arya itu sepupunya?"
"Oh..." Barulah kemudian Hermand ingat di mana ia melihat wajah yang mirip Arya. Minggu lalu, saat ia mengantar Maria ke kantor jaksa, ia melihat ayahnya. Wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah ayah Maria. Apa hubungan mereka sebenarnya?
***
Arya sengaja mengajak Maria mampir ke kedai teh dan memesankan teh untuk mereka. Ia cemburu karena didengarnya Maria minum teh di kedai dengan Hermand. Ia sekaligus mau menginterogasi gadis itu tentang si Anak Residen sambil minum teh di sini. Akan sulit melakukannya di rumah karena Ibu bisa menguping.
"Mau kupesankan bitterballen sekalian?" tanyanya saat ia memesankan dua cangkir teh untuk mereka. Maria mengangguk. Arya menoleh kepada pelayan dan menyebutkan pesanan mereka.
"Dua teh dan dua bitterballen."
"Bagaimana rasanya sekolah di HBS?" tanya Arya kemudian, "Apa kau sekarang merasa sudah dewasa?"
"Meneer De Vries bilang aku sangat pintar dan harus kuliah kedokteran begitu lulus HBS," jawab Maria. "Entahlah… aku mau menemukan vaksin, tapi jadi dokter juga rasanya bagus."
"Wahh...hebat sekali! De Vries itu sangat judes. Kalau dia menyukaimu, berarti kau memang murid yang dianggapnya istimewa. Dokter Adinata. Kedengarannya profesional sekali." Arya memandang Maria dengan kagum.
"Bagaimana dengan Batavia?" tanya Maria.
"Bagus. Kotanya sangat modern. Kakek mendapat penghargaan dari Gubernur Jendral bla bla bla. Membosankan. Aku berhasil kabur beberapa kali dan ketemu satu dua penulis terkenal di klub malam."
"Oh." Maria mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada Arya. "Buku ini kupinjam untukmu. Menurutku kau pasti suka isinya."
Arya menerima buku The First Men in The Moon dari tangan Maria dan menelitinya. "Oh, menarik sekali. Terima kasih. Kau pinjam dari mana?"
"Perpustakaan Gedung Sate. Aku duduk sebangku dengan anak Residen. Dia yang meminjamkan."
"Oh..." Arya memandang buku itu dan berusaha memutuskan apakah ia mau membaca buku dari Hermand atau tidak. "Kau suka anak Residen itu?"
Teh pesanan mereka dan bitterballen datang. Maria seolah tidak mendengar pertanyaan Arya segera meminum tehnya dengan khimad.
"Kau suka Hermand Von Schierlijk?" tanya Arya lagi. Maria tampak sedikit terganggu karena Arya mengulang pertanyaannya.
"Suka itu apa? Aku tidak membenci Hermand. Dia baik, tidak menyusahkanku. Dia juga nggak menggangguku di sekolah. Dia tahu aku suka membaca dan mengajakku ke perpustakaan."
"Kalau kau harus memilih aku atau Hermand, kau pilih siapa?" tanya Arya lagi.
"Jelas aku akan pilih Arya," jawab Maria, "Itu kok mesti ditanyakan."
Arya tersenyum puas dan tidak bertanya lagi. Ia sudah mendapatkan jawaban yang diinginkannya dan yang lainnya tidak lagi penting.
Mereka menghabiskan teh dan bitterballennya lalu melanjutkan perjalanan pulang.