Sebelum baca jangan lupa vote dan comments ;)
*
*
Happy Reading!
*
*
Mataku masih saja menatap lurus kearah pria bernama Park Jimin ini. Setiap penjelasan yang ia lontarkan untuk menjawab rasa penasaranku masih belum bisa kuterima.
"Jadi intinya?" Tanyaku malas.
Jimin tertawa diam cukup lama. "Aku ingin menikahimu, menjadi suamimu dan membahagiakanmu" jawabnya serius dengan seulas senyum yang mengambang diakhir.
Sejenak aku sempat terpukau dengan jawabannya yang terdengar begitu tulus. Tapi setelahnya aku kembali memicingkan mataku.
"Kau yakin....kau bukan psikopat atau sebagainya?" Tanyaku hati-hati.
Ia kembali tertawa geli. "Apa kau pernah melihat psikopat setampan diriku?" Tanyanya bangga.
Kuputar bola mataku malas. Aku akui bahwa wajah Jimin sangat tampan dan begitu mempesona. Siapapun yang melihat wajahnya pasti akan jatuh cinta dengan sendirinya.
Ditambah dengan sikap manis pria ini yang memang sangat cocok menjadi image yang paling menonjol selain ketampanannya.
Tanganku yang masih tertancap selang infus membuatku kesulitan untuk bergerak dari kasur ini ataupun untuk pergi dari kamar Jimin.
Dengan hati-hati, aku berusaha untuk melepaskan selang infus itu. Rasanya begitu perih saat kucoba untuk menarik jarum panjang itu yang masih menancap di punggung tanganku.
Jimin yang melihat niatku itu, sontak bangkit dari posisi duduknya menuju ke arahku yang masih berusaha mencabut selang infus itu sambil menahan rasa sakit yang mulai begitu terasa.
Tangan Jimin menahan gerak tanganku. "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya cukup kesal. "Kau akan terluka, jika melakukan ini" ucapnya lagi sambil merekatkan kembali plester coklat itu ke kulit tanganku sambil memastikan tidak ada luka yang tercipta di punggung tanganku.
Ia menatapku sekilas dengan wajah tak percaya, lalu pandangannya kembali terfokus pada tanganku. Selang beberapa detik, ia kemudian menempelkan telapak tangannya ke keningku yang masih terasa panas.
Raut wajah Jimin terlihat khawatir. "Kenapa panasmu belum juga turun" Gumamnya lembut yang berhasil membuatku terpaku.
"Akan kusuruh Bibi Jung untuk membuatkanmu sarapan" ucapnya sambil berjalan meninggalkan diriku yang masih terdiam.
Selang beberapa menit, kulihat Jimin kembali lagi memasuki kamar ini. Ia meletakan ponselnya di atas meja kerjanya yang terlihat begitu mahal. Setelahnya ia berangsur pergi menuju kearah lemari pakaian untuk mengambil handuk bersih
Sekilas aku terkejut dengan banyaknya pakaian bermerek yang tertata dengan rapi di dalam lemari besar itu. Buru-buru kualihkan pandanganku kearah kuku jariku saat Jimin menoleh sejenak padaku sambil tersenyum manis disana.
"Bibi Jung akan mengantarkan sarapan padamu sebentar lagi, Jangan lupa memakannya. Karena kau harus minum obat agar panasmu turun" ujarnya, sebelum akhirnya ia berangsur masuk ke kamar mandi yang letaknya hanya beberapa kaki dari lemari besar itu.
Mataku tertuju pada jam dinding antik yang melekat diatas rak televisi itu. Aku sadar, bahwa aku sudah menumpang semalaman di rumah Jimin.
"Kenapa, aku kembali lagi kerumah ini?" Gumamku heran.
Suara ketukan pintu membuatku menoleh. Kulirik sekilas Bibi Jung yang saat ini membawa nampan berwarna coklat tua berisikan mangkuk bubur dan juga segelas air putih.
Dengan sopan ia meletakan sarapan pagiku diatas berangkas ini. "Silakan dimakan Nona" ucapnya lembut diakhiri ulasan senyum yang menunjukan beberapa kerutan di bagian bawa matanya.
"Terima kasih" ucapku dengan sopan. Setelahnya, Bibi Jung mohon undur dari kamar ini.
Aku hanya bisa menatap bubur itu dengan rasa tak berselera. Bukannya aku tak berterima kasih atas makanan yang saat ini aku dapat. Hanya saja, aku begitu enggan untuk menyentuh makanan itu.
Mengigat diriku yang sepertinya, memiliki banyak hutang budi kepada pria ini. Karena telah menolongku beberapa kali.
Sosok pria yang baru saja kubicarakan sendiri kini muncul dari bilik pintu kamar mandi. Menampakan abs yang terbentuk dengan sempurna di tubuh putih pria itu.
Sontak saja, aku langsung menutup kedua mataku dengan bantal yang ada di samping kananku. Sesekali aku mendengar suara tawa Jimin yang berusaha ia tahan tapi lolos begitu saja.
'Pria gila!, Apa dia ingin merusak mataku?!'
Aku masih saja membekap wajahku di dalam bantal tebal ini. Sampai kurasakan, tarikan halus yang berusaha menyingkirkan bantal itu dari wajahku.
Jimin menatapku dengan begitu lembut dan terkesan aneh bagiku. "Kenapa kau tidak memakan buburmu?" Tanyanya lembut.
Kurasa, suara lembut Jimin akan membuatku tertidur hanya dengan mendengarnya saja.
Aku menggeleng perlahan. "Apa kau tidak suka makan bubur?" Tanyanya lagi. "Jika kau tidak menyukainya, maka aku akan minta Bibi Jung untuk membuatkan yang lain" ucapnya sambil bangkit berdiri.
Kutahan gerak langkah Jimin dengan tangan kananku. Ia, sempat menatap sekilas tanganku yang masih menggenggam lengannya. Yang membuatku sontak menarik kembali tanganku.
"Kenapa?" Tanyanya penasaran, sambil membalik tubuhnya menghadapku.
"Jangan merepotkan Bibi Jung, lagi pula....aku tidak punya selera untuk makan" Jawabku sambil sekilas menatap mata Jimin yang terlihat heran.
Ia lalu duduk di samping diriku sambil menatapku dengan lekat. "Berhentilah bersikap keras kepala" pintanya setelah diam beberapa detik. "Apa kau ingin selamanya menggunakan selang infus ini dan berbaring di ranjang serta membiarkan demammu semakin parah?" Tanyanya masih dengan nada lembut. "Kalau aku?... Aku tidak akan mau melihat istriku hanya berbaring di ranjang saja....karena aku ingin melukiskan momen indah bersamamu" komentarnya yang membuatku tercengang.
Awalnya aku kesal dengan ucapan kasar Jimin yang terkesan menyumpahi diriku untuk sakit terus menerus. Meskipun aku tahu niat pria itu tidaklah sepicik pikiranku.
"Jika kau tidak ingin memakan sarapan Bibi Jung, maka aku yang akan membuatkannya khusus untukmu" ucapnya sambil tersenyum lalu pergi menuju dapur.
Kukejar Jimin yang tidak berbalik ketika aku memintanya untuk tak melakukan hal itu. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa sampai di depan ruang tamu.
Mataku terpukau saat kulihat Jimin yang saat ini sedang begitu serius membuat sarapan untukku. Padahal dari pakaian yang saat ini ia gunakan. Bisa kupastikan bahwa ia akan pergi ke suatu tempat.
Aku yang sempat membatu karena pesona Jimin. Buru-buru sadar saat Bibi Jung mendekat kearahku sambil membantuku untuk duduk di meja makan.
"Maafkan saya, jika saya tidak bisa membuatkan makanan sesuai dengan selera anda" ucap Bibi Jung sopan.
Kugelengkan kepalaku beberapa kali dengan raut wajah tidak enak. "Tidak....Itu bukan salah bibi" ucapku tak enak hati. "Aku hanya tidak berselera makan saja" ucapku jujur.
Kurasa karena semalaman aku memakai selang infus ini, jadi aku tak merasa lapar sama sekali. Meskipun aku tidak makan seharian.
Kulihat Bibi Jung kini menuangkan segelas air ke cangkir kosong yang ada di hadapanku. Setelahnya ia mendorong pelan gelas itu ke hadapanku dan memintaku untuk meminumnya secara perlahan.
Aku buru-buru mengucapkan terima kasih. Kuteguk air di dalam gelas itu sampai habis. Ya, meskipun aku tidak lapar tapi tenggorokanku rasanya begitu kering dan air dirumah ini, sangat enak sekali.
Kembali kulirik Jimin yang saat ini masih sibuk membuat sarapan yang sesekali dibantu oleh Bibi Jung. Dilihat dari cara Jimin memasak sepertinya pria itu tidak begitu jago. Tapi usaha pria itu boleh di acungi jempol.
Aku yang masih merasa haus, kembali mengangkat teko air ini untuk kembali ku isi di dalam gelas kosongku. Sejenak aku berfikir, Air putih tak akan membuatku membayar banyakkan pada Jimin?.
Ya, aku berniat untuk membayar semua kebaikannya dengan uang yang nanti aku dapat dari pekerjaanku. Meskipun aku tahu, Jimin mungkin tak butuh uang receh dariku. Tapi apa salahnya jika membayar sesuatu yang sudah aku terima.
Walaupun aku tahu, pasti harganya tak akan semurah yang kubayangkan. Mengigat, aku sudah 2 kali diinfus dan aku juga sudah meminum obat dari rumah sakit yang mahal dan terkenal di Seoul.
Teko yang baru saja kusentuh beberapa detik yang lalu tidak jadi kuangkat. Saat, tangan Jimin juga ikut menyentuh teko itu. Lebih tepatnya tanganku yang saat ini sedang ia genggam lembut.
Buru-buru kutarik tanganku dari teko itu. Bisa kudengar suara tawa Jimin yang saat ini sedang berdiri di belakang kursiku sambil meletakkan bubur di depan diriku.
"Apa kau ingin minum?" Tanyanya sambil mengisi gelasku. Aku tak merespon pertanyaan yang seharusnya sudah ia tahu jawabannya.
Setelah mengisi penuh gelasku. Ia mengangkatnya dan memberikannya padaku sambil memintaku untuk meminumnya secara perlahan.
Aku yang memang masih kehausan. Menerima dengan senang hati gelas itu. Kuteguk air yang ada di dalam gelas sampai habis.
"Kau seperti anak kecil" ucapnya sambil terkekeh sesaat.
Wajahku seketika masam dengan bibir manyun khas Donal bebek. Entah kenapa, aku tidak suka disebut sebagai anak kecil. Karena sekarang aku sudah dewasa dan umurku sudah 24 tahun.
Jimin meyondongkan tubuhnya kedepan untuk melihat wajahku. Seulas senyum terukir sempurna di wajah tampannya.
Aku yang merasa tidak nyaman, sontak langsung memalingkan wajah kearah sebaliknya. "Apa kau kesal karena aku menyebutmu anak kecil?" Tanya Jimin masih dengan ulasan senyum.
Lagi-lagi aku mengabaikan pertanyaan Jimin. "Baiklah....Aku minta maaf karena menyebutmu sebagai anak kecil." Ucapnya tulus. "Sekarang, berhentilah memanyunkan bibirmu dan makan bubur yang sudah kusiapkan khusus untukmu" ujar Jimin sambil mengangkat sendok perak itu dan memberikannya kepadaku yang begitu malas untuk menerimanya.
"Apa kau ingin aku mencium bibirmu itu karena gemas?" Tanyanya memberikan penawaran. "Atau... kau makan bubur ini setelahnya minum obat?" Tanyanya yang membuatku langsung menatap tajam padanya.
Kutatap beberapa kali wajah tampan Jimin yang tidak berubah meskipun sudah kutunjukkan raut wajah kesal padanya. Malahan, Jimin semakin menunjukkan pesona manis, dan tampan secara bersamaan.
Jimin menunggu respon dariku. Dengan malas kuambil sendok perak yang masih ia pegang. Lalu kuaduk dengan malas pula bubur buat Jimin yang terlihat berbeda dari yang pernah aku lihat.
Bubur putih itu berisikan cincangan ayam dan juga udang serta beberapa potong daun bawang segar yang menghias diatasnya.
Dengan satu isyarat dari Jimin. Kuputuskan untuk menyantap bubur buatannya dengan sedikit terpaksa. Aku juga tidak mengerti. Mengapa aku begitu menurut pada Jimin. Padahal pria ini bukanlah siapa-siapa dalam hidupku.
Selagi aku menyantap bubur buatannya. Jimin memilih untuk duduk di depanku sambil mengamati Ipad miliknya. Sesekali aku melirik Jimin yang terlihat serius disana.
"Jangan merasa cemburu pada ipadku ini...karena cintaku hanya akan tertuju padamu" Ucapnya sambil menatapku sekilas dengan serigaian khas miliknya.
Aku hanya bisa mendesah kasar. Tak habis pikir dengan ke-geeran Jimin yang menurutku sangat over loat.
Kuletakan sendok perak ini ke atas meja setelah kusantap habis bubur buatan Jimin. Jujur, rasanya sangat enak sekali. Aku sempat merasa bersalah, karena tidak menawari Jimin makan. Padahal, bubur ini adalah buatannya.
Kulihat Jimin meletakan ipad-nya keatas meja. Lalu, berangsur mengisi gelas kosongku dengan air yang ada di salam teko cantik itu.
"Jangan merasa bersalah karena melihatku tidak makan" Ucapnya seraya memberikan gelas berisi air itu ke hadapanku. "Karena aku, biasa tidak sarapan pagi" ujarnya lagi sambil menatap sekilas ke arahku.
"Tapi jika kau yang membuatkannya, aku pasti akan menyantapnya dengan lahap" Ujarnya lagi sambil berjalan menuju nakas yang ada di sisi dinding ruang tamu.
Diambilnya, beberapa bungkus obat yang terletak di dalam kantung klip berwarna biru muda itu. Setelahnya, ia berangsur kembali ke meja makan dan mengeluarkan beberapa pil obat untuk aku minum.
Kuambil obat itu tanpa banyak bicara. Kemudian, kutelan pil pahit itu. Aku sungguh tidak suka dengan rasa pahit dari obat!.
"Istirahatlah....."ucapnya sambil membantuku berdiri dari kursi ini.
"Aku tidak mau....Aku ingin pulang" ucapku cepat sambil berjalan melewati Jimin.
Tapi sayang, tangan Jimin yang kekar menahan gerak langkahku. Ditatapnya aku yang saat ini sedang tidak berselera untuk berbincang.
Ia tak kunjung melepaskan genggamannya dan memilih untuk memanggil Bibi Jung yang saat ini baru selesai menyedot debu di ruang keluarga yang ada di depan ruang makan ini.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Bibi Jung menghampiri kami. Ia terlihat menurut saat Jimin memintanya untuk membantu diriku kembali ke kamar.
"Pastikan, jika Sena beristirahat dengan cukup. Dan jika demamnya belum turun maka segeralah menghubungiku atau Dokter Oh" pintanya tegas pada Bibi Jung yang langsung mengangguk paham.
Setelah berbincang dengan Bibi Jung. Pandangan Jimin teralih padaku yang saat ini sudah sangat mengantuk akibat efek obat yang kuminum beberapa menit yang lalu.
Tangan Jimin menghelus lembut rambutku sambil menatap lama ke padaku. "Beristirahatlah...." Pintanya lembut. "Aku harus pergi ke kantor untuk beberapa urusan" ucapnya lagi yang tidak kurespon sama sekali.
Pasalnya rasa kantung yang menerjangku ini membuatku sangat enggan untuk mendengarkan ataupun bereaksi seperti biasa.
Bibi Jung dengan sopan mengantarku kembali ke kamar Jimin yang berjarak cukup jauh dari meja makan ini. Seiring dengan langkah kakiku yang akan memasuki kamar ini. Aku juga mendengar langkah kaki Jimin yang sekarang sedang berjalan keluar rumah.
***
Kuregangkan otot-otot tubuhku yang begitu pegal meskipun aku sudah tidur cukup lama di kasur empuk ini. Kulirik jam dinding yang sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Perlahan , kuturunkan kakiku dari ranjang ini untuk pergi menuju ke ruang tamu. Saat kubuka kenop pintu kamar ini, pandanganku langsung tertuju pada Jimin dan seorang wanita cantik yang terlihat masih muda.
Aku yang sejak tadi membantu di depan pintu ini langsung membungkuk sopan saat wanita itu melirik diriku sambil melemparkan senyum cantiknya.
Begitupun dengan Jimin yang tersenyum sekilas padaku, lalu buru-buru berjalan ke arahku. Ia membantuku untuk terduduk di sofa kulit berwarna coklat tua ini.
"Kau sangat cantik sekali" puji wanita itu dengan senyumnya.
Aku hanya bisa tersenyum canggung tanpa mengerti situasi saat ini. Kulirik Jimin sekilas. Ia tidak mungkin membawa ibunya kerumah ini kan? Dan memperkenalkanku sebagai calon istrinya kan?.
Jika itu sampai terjadi, aku bersumpah akan memaki pria ini!. Karena telah lancang menjadikanku miliknya. Padahal kami tidak saling mengenal.
"Apa kau merasa baikan setelah meminum resep obat dariku?" Tanyanya penasaran.
Aku mengangguk perlahan. "Syukurlah...." ucapnya legah. "Jimin pasti akan menutup rumah sakitku, jika saja kau tak kunjung sembuh" candanya yang disambut tawa geli dari Jimin begitupun dengan wanita yang ku yakini adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul.
Setelah tawa itu usai. Jimin berangsur memperkenalkanku pada wanita bermarga Im itu yang merupakan dokter kepercayaan Jimin. Atau bisa disebut sebagai dokter pribadi Jimin yang ahli dalam segala hal di dunia kedokteran ini.
Aku tidak mengerti, mengapa Jimin memperkenalkanku pada dokter pribadinya. Apa ia benar-benar ingin menyumpahi diriku agar sakit? Menyebalkan sekali pria ini!.
Setelah dokter Im yang berkunjung ke sini untuk memeriksa kondisku itu pergi. Aku dan Jimin kembali terdiam. Lebih tepatnya, aku yang selalu saja mengacuhkan pertanyaan Jimin.
Kuletakkan ponselku ke atas meja tepat di hadapan Jimin yang saat ini menatap heran padaku. "Aku akan membayar semua obat dan dokter pribadimu itu dengan ini" ucapku sambil menunjuk ponselku yang masih terlihat mulus.
Keinginanku untuk membayar Jimin dengan gaji yang nanti aku dapatkan. Tidak bisa terwujud, mengigat beberapa jam yang lalu sebelum aku berangkat tidur.
Bos ditempatku bekerja mengirimkan pesan pemecatan diriku. Menurutku wajar saja jika Bos ku itu memecat pegawai yang sudah beberapa hari tidak masuk bekerja bahkan tak ada kabar sedikitpun.
Meskipun begitu, Bos ku seharusnya memberikan aku pesangon atas kerja keras dan lemburku selama ini yang jarang sekali kuterima akibat kondisi finansial Bosku yang selalu saja menurun.
Jimin hanya menatapku tanpa bergeming. Selang beberapa detik, ia kembali mendorong ponselku itu ke hadapanku.
"Aku tidak mengharapkan itu darimu" ucapnya sambil bersedekap dada. "Yang aku inginkan hanyalah.....kau menjadi istiku Kim Sena" ucapnya lagi dengan raut wajah serius.
Aku menggerutu dalam diam. Sekali pria gila selamanya akan menjadi gila!.
Tinggal sehari dirumah ini sambil mendengarkan kalimat konyol Jimin sudah cukup membuatku kesal sendiri. "Kenapa kau ingin sekali menikahiku?" Tanyaku heran.
Aku masih menunggu jawaban Jimin yang terlihat tidak sedang berfikir tapi juga tidak sedang ingin merangkai kata.
"Bukankah jawabannya sudah jelas?" Tanyanya balik. "Karena aku mencintaimu" jawabnya lembut.
Aku sontak bangkit berdiri dan menatap tak percaya pada Jimin. "Dengarnya Park Jimin..... Kau mungkin mencintaiku dan ingin menikahiku" ucapku cukup kesal. "Tapi aku tidak!" Tolakku ketus. "Aku tidak mencintaimu dan aku juga tidak ingin menikah denganmu!"
Jimin terdiam beberapa saat sambil menatapku lembut. Terlihat sekali, ia sedang berfikir keras. "Kau yakin tidak menyukaiku?" Tanyanya memastikan.
Aku mengangguk kencang. Kuharap, Jimin akan berhenti berbicara hal konyol itu dan membiarkanku pergi dari rumah ini tanpa dendam karena aku telah memakinya beberapa kali.
Ia menyelaraskan posisinya dengan diriku. Ditatapnya mataku dengan lekat. "Berikan aku waktu 2 minggu" pintanya serius. "Akan kupastikan jika kau akan menyukaiku dalam waktu 2 minggu" ucapnya yakin.
Aku tersenyum sinis. "Kalau tidak?" Tanyaku ketus.
"Aku akan mencoba untuk melepaskanmu...meskipun aku sangat ingin kau berada disisiku untuk sepanjang hidupku" Ujarnya serius dan terdengar tulus diakhir kalimat.
***
Haiii para reader Fake Wedding, gimanani kelanjutan dari cerita Fake Wedding? suka gak? kalau suka boleh absen ya hehe. biar aku semangat untuk nulisnya :)
Makasih baget buat kalian yang udah baca cerita ini, aku harap kalian gak bakalan bosen bacanya. dan tolong semangati aku agar aku Up ceritanya cepet.
jangan lupa absen di comment ya, dan jangan lupa jugo vote, batu kuasa, dan ulasannya.
Ditunggu ya bom comment ya hehe.;)
Paragraph comment
Paragraph comment feature is now on the Web! Move mouse over any paragraph and click the icon to add your comment.
Also, you can always turn it off/on in Settings.
GOT IT