Download App

Chapter 102: Dua Perempuan Berisik

"Eh, bocah! Wataru bukan tipeku! Enak saja menghinaku dengan pria yang tak bisa setia itu!" sembur Erika dengan wajah murka.

"Erika! Wataru nggak seburuk itu, kok! Dia cuma nggak bisa menahan nafsu aja!" bela Mika, kedua matanya berbinar mengiba.

"Ini lagi satu! Dasar cinta buta! Kalian berdua sama tidak beresnya satu sama lain!" perempuan serba hitam itu menggelengkan kepala dengan ujung jemari kiri dilekatkan di dahi, tertuduk pasrah.

"AKU TIDAK SAMA DENGAN DIA!" sahut keduanya secara bersamaan, mereka saling tunjuk satu sama lain.

Sadar melakukan gerakan dan ucapan yang sama, kedua sosok bermusuhan ini melangkah mundur saling menjauh seolah hendak diserempet mobil yang tengah melaju kencang.

"Hanada-chan. Kami berdua adalah teman Wataru. Dan aku tidak seperti Mika yang cinta buta pada playboy pengangguran yang suka berkeliaran tidak jelas itu. Aku punya tipe pria berkelasku sendiri! Paham?" Erika berkacang pinggang dengan kedua tangannya, sebelah keningnya terangkat.

Yuka menciut melihat keseriusan Erika, mukanya memelas lalu mengangguk pelan.

"Kau ingin tanya apa pada Wataru?" selidik Mika tak sabaran.

Mata Yuka melirik ke arah bangunan apartemen bercat biru pucat itu.

"Tetangganya adalah rekan kerjaku. Sudah dua minggu ini ia tak masuk kerja dan tak ada kabar.

Makanya aku ingin bertanya padanya."

"Kau, kan, bisa menghubunginya!" seru Mika.

"Kau bodoh? Kalau bisa, ya, dari dulu juga aku sudah mendapat kabarnya dan nggak akan ada di sini sampai dituduh sebagai penguntit!" ledek Yuka seraya menjulurkan lidahnya

"Ehhhhh!!! Mulut ini bocah jelek banget, ya!" kedua bahu Mika naik, emosi tersulut di dadanya.

"Sudah! Sudah!" tangan Erika diarahkan pada perempuan bersifon putih itu, "anak ini sedang mencari kabar rekannya, kita bantu saja. Ayo! Ikut dengan kami, kebetulan kami juga sedang mencari playboy itu!" ia mengedikkan kepala ke arah bangunan di sebelah kanannya.

"Kenapa mesti Wataru? Tanya tetangga yang lain, kan, bisa!" Mika menghentakkan kaki sebal.

"Kau ini masih kekanak-kanakan terus! Tidak heran Wataru menolakmu tiada henti!"

"ERIKAAAAAA!!!"

"Pfftt!" mendengar percakapan itu, Yuka nyaris terbahak.

"HEH! KETAWA APA KAMU? DASAR BOCAH KASAR!" umpat Mika dengan kedua tangan mengepal, satunya berada di udara dengan tas bergoyang keras mengikuti irama amarah sang pemilik.

Yuka melakukan gerakan menutup kuping dengan kelingking kanan, bermasa bodoh.

"Berisik sekali kalian berdua! Ayo, masuk!"

Erika berlalu meninggalkan mereka berdua dengan pose melipat tangan di dada, berjalan tegap dan mantap memasuki pelataran bangunan tersebut.

"Eri! Tunggu!" seru Mika, berlari-lari kecil di belakang yang disusul Yuka dengan muka cemberut.

***

Selama beberapa menit, mereka bertiga menunggu dengan sabar di depan pintu apartemen Wataru.

Meski sudah diketuk berkali-kali, sosok yang ditunggu-tunggu sama sekali tak nampak batang hidungnya.

"Apa Wataru keluar, ya? Ke mana, sih, dia?" Mika terlihat gelisah.

"Kau sudah menghubunginya?" Erika meliriknya pelan.

"Eng... karena ponselnya tak aktif, makanya aku mengajakmu untuk menemaniku ke mari!" Mika menundukkan kepala lemas, matanya melirik berbinar padanya.

"Jangan memberiku tatapan mengiba seperti itu!" tegurnya, tapi bukan amarah.

"Kalian berdua benar-benar temen si Playboy itu? Kok, aku ragu, ya? Apa jangan-jangan kalian hanya sok dekat padanya?" Yuka bertopang dagu dengan tatapan meremehkan.

"TENTU SAJA! KAMI INI TEMAN PALING DEKATNYA, TAU!!!"

"JANGAN BERTERIAK DI DEPAN MUKAKU, PEREMPUAN GENIT! LUDAHMU MUNCRAT, NIH! MENJIJIKKAN!"

"KAU BILANG APA???" tanduk seolah mencuat dari kedua sisi kepala Mika diikuti semburan kobaran api dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Mika!" Erika berbalik, menghentikan tubuh Mika yang sudah maju ke depan Yuka menggunakan lengan kanan.

"TAPI, ERI!"

Yuka menjulurkan lidah cukup lama, dan berhenti ketika sebuah pintu di sebelah apartemen Wataru terbuka. Rekan kerja Misaki itu tiba-tiba merasa ngeri.

"KALIAN INI BERISIK SEKALI!" seru Tokuma yang kini muncul dengan kacamata merah muda berbentuk hati. Di kepalanya ada lilitan lampu warna-warni yang berkedip-kedip teratur layaknya mahkota raja.

"Siapa orang gila ini?" ujar Erika tanpa sadar.

"AKU BUKAN ORANG GILA! NAMAKU YAMABE TOKUMA!"

"Menyeramkan~!" Mika mundur selangkah, merasa jijik dan aneh pada tetangga Wataru itu.

"Kalian, kan, yang mulai!" ngotot Tokuma, urat lehernya seketika mengencang tertahan.

Yuka memberanikan diri maju ke depan, kedua tangannya menghalau Erika dan Mika yang berdiri di depannya.

"Eh! Dasar bocah ini!" seru Mika uring-uringan.

"Maaf! Saya teman Fujihara Misaki. Perempuan horor yang tinggal di ujung apartemen itu!" tunjuknya pada arah apartemen Misaki, "beberapa saat lalu, saya datang kemari untuk menanyakan keadaannya yang tak ada kabar pada beberapa penghuni di sini, tapi tak ada satu pun yang tahu?

Saya belum pernah melihat anda sebelumnya, apa anda tahu sesuatu? Toshio Wataru yang bertetangga dengannya sudah beberapa hari ini juga tak terlihat pulang ke apartemennya. Apa itu ada kaitannya?" Yuka terlihat serius dan setengah pucat.

"APA? KAU TAHU SELAMA INI WATARU TAK PULANG KE APARTEMENNYA? KAU MEMPERMAINKAN KAMI, YA!" Mika membalik kasar tubuh Yuka, raut wajahnya seperti tomat merah yang akan meledak.

"Oi! Itu sama saja kau jadi penguntit, Hanada-chan!" Erika menyipitkan mata malas, bersandar pada pintu dengan kedua tangan dilipat di dada.

"Aku tidak mempermainkan kalian! Mungkin saja, kan, dia sudah pulang! Mana aku tahu dia kapan pulangnya! Dasar perempuan bar-bar!" Yuka membersihkan lengannya seolah membersihkan debu.

"Eri! Lihat! Bocah ini keterlaluan sekali!" tunjuknya manja pada Yuka, menatap pada Erika meminta dukungan, tapi hanya hembusan napas panjang yang diterimanya.

"Kalian ini kenalan pria itu?" pembawaan Tokuma berubah lunak.

Mika dan yuka serempak mengangguk cepat. Kemudian saling melempar tatapan benci satu sama lain seolah ada laser tak terlihat saling bertumbuk di udara dari kedua mata mereka.

"Percuma kalian menunggunya, ia baru saja pergi sekitar 40 menit lalu. Aku tebak, mungkin akan bepergian jauh," Tokuma terlihat seolah bijaksana dengan pose bertopang dagunya, tapi aneh dengan mahkota lampu warna-warni di kepalanya, ditambah kacamata hati yang begitu mencolok membingkai wajahnya.

"Kenapa kau tak tanya Wataru pergi ke mana?" desak Mika denga raut wajah kesal dan kecewa.

"Mana aku berani! Aku tak sebodoh itu ikut campur urusan lelaki menakutkan itu!"

"Lalu, bagaimana dengan Fujihara Misaki? Apa anda tak pernah melihatnya akhir-akhir ini?" Yuka kembali serius.

"Eng... soal itu.... sepertinya perempuan itu memang ada kaitannya dengan Toshio-san. Fujihara-san

jatuh sakit dan sepertinya lelaki itu yang merawatnya."

Yuka hendak mengatakan sesuatu, tapi Mika mendahuluinya.

"Jadi perempuan yang pingsan itu adalah tetangga Wataru?" suaranya memekik nyaring di depan Tokuma, ia tiba-tiba berani mendekat padanya.

"Hei! Jadi selama ini kau juga diam-diam tahu keadaan Mi-chan?" giliran Yuka yang membalik kasar tubuh Mika.

"Lepasin!" Mika menyentak tangannya.

"Kenapa kau tidak bilang kalau tahu keadaannya?"

"Mana aku tahu kalau yang kaumaksud adalah dia! Perempuan aneh itu muncul pagi-pagi di depan pintu apartemen Wataru sebagai jasa antar makanan!"

"Apa?"

"Aku juga tak begitu memperhatikannya karena saat itu masih dalam pusing karena mabuk semalaman suntuk! "

"Hooo... kau berhasil juga tidur dengannya? Dunia sudah kiamat, ya?" celutuk Erika.

"AKU BELUM SEJAUH ITU!"

"Nggak usah berteriak, dong!" Erika menyipitkan mata sebal.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C102
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login