Memposisikan tubuhku seperti biasa di atas bangku milikku. Pagi hari ini, aku berniat untuk tidur setelah kegiatan kecil kemarin malam yang melelahkan. Ketika aku memikirkan hal yang lain, terdapat buku catatan kecil di hadapanku bertuliskan selamat pagi.
"Selamat pagi juga, Kifune."
Jawabku seraya merubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar pada kursi. Meregangkan tubuhku yang cukup pegal, dia menanyakan kondisi tubuhku yang terlihat kelelahan melalui catatan kecilnya. Kifune, apakah dia tipe orang yang khawatir kepada orang lain dari pada khawatir pada dirinya sendiri?
"Tenang saja, kemarin hanya ada seorang pencopet yang mencuri dompet kenalan Ibuku yang tinggal di komplek perumahanku."
Oh ... sial, mulutku mulai mengatakannya secara blak-blakan tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu. Kifune menanyakan keadaanku ketika peristiwa itu terjadi, aku hanya bisa menanggapinya dengan helaan napas cukup panjang.
"Aku mengejar dan memukul pencopet itu. Tetapi, uang di dompetku habis. Kau pasti bertanya, kenapa? kok bisa?"
Ucapku tanpa ada kebohongan sedikit pun. Aku mulai menceritakan kejadian kemarin kepada Kifune karena ia mendesakku. Kemarin sore, aku mampir ke toko swalayan karena Ibuku yang titip beberapa bahan makanan akan habis persediaannya.
Ketika langkahku hampir memasuki pintu otomatis. Depan toko swalayan yang terbuka ini, terdapat seorang pria dewasa yang menggunakan masker. Wajahnya tidak jelas kulihat karena pandanganku cukup terganggu.
Yang pastinya, pria dewasa itu tengah menunggu sesuatu dan gerak-geriknya cukup mencurigakan bagiku. Niatku untuk berbelanja kutunda, menghampiri tempat duduk yang kosong terdekat. Pandanganku tertuju pada salah satu orang yang kulihat dari kejauhan.
Teman Ibuku yang satu komplek perumahan. Terlihat membawa tas belanja yang dibawa menggunakan tangan kirinya. Aku menghitung jarakku dari sini menuju depan toko swalayan di mana pria dewasa itu tengah duduk.
Pastinya, teman Ibuku akan melewati pria itu dan pergi menuju toko swalayan ini. Intuisiku mengatakan, akan ada bahaya yang mendekat. Segera beranjak dari tempat duduk, langsung saja melakukan start jongkok pada olahraga lari.
Seperti yang sudah kuprediksi dengan kemampuan deduksi. Pria itu mengambil tas belanja yang dapat diambil dengan mudahnya. Langsung saja, aku mengejarnya dan tolakan dari start jongkok lebih unggul.
Kemampuan fisik yang sudah kulatih dengan metode ringan. Kecepatanku antara pencopet itu tidak berbeda jauh, lebih tepatnya kecepatan lariku melebihinya. Beberapa faktor yang menjadi dasarnya, usia dan tenaga yang diperlukan.
Ketika tiba di samping kanannya, aku menghantam wajahnya dengan pukulan tangan kanan. Meskipun tingginya sama denganku, pria itu terhempas dan tersungkur ke jalan beraspal. Aku segera mengambil tas belanja itu dan mengeluarkan dompetku.
"Aku tahu kau melakukan tindak kejahatan karena kau juga membutuhkan sesuatu untuk meneruskan hidupmu. Tetapi, ada banyak sekali pekerjaan di dunia ini. Carilah pekerjaan itu Paman, jika kau punya keluarga maka carilah kerja yang baik daripada pekerjaan kotor. Manusia jika terpojok akan melakukan segala cara, sampai jumpa Paman."
Di akhir kataku, aku melempar semua uang yang kukeluarkan dari dompet. Aku berbalik badan kemudian segera enyah dari hadapannya. Dia memanggilku, namun aku menanggapinya dengan lambaian tangan kiri.
Setiap manusia melakukan suatu hal pasti terdapat alasan tersendiri. Pencopetan dan pencurian, pastinya di antara mereka ada yang membutuhkan uang untuk memenuhi finansial keluarganya. Maka, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Hanya saja, aku muak dengan pekerjaan kotor yang mereka lakukan. Karena itu, aku hanya melakukan yang terbaik untuk ke depannya. Tanpa kusadari, aku melibatkan diriku sendiri dan dikenal hanya di belakang layar saja.
"Dan begitulah ... kau mengerti dengan penjelasanku?"
Tanyaku kepada Kifune yang tengah kebingungan dengan situasi yang kugambarkan. Dia mulai menulis sesuatu pada catatan kecilnya lalu menunjukkannya padaku tentang satu pertanyaan.
Di lembaran kertas tipis itu hanya ada satu pertanyaan yang menggambarkan tentangku. Kau ini orang yang baik atau orang yang jahat? Itulah pertanyaan dari Kifune.
"Dua-duanya ... mungkin."
Ucapku dengan datar. Tubuh Kifune terlihat bergidik ketakutan, apakah dia takut padaku?
* * * * *
Istirahat jam kedua bertepatan hari ini. Karena dompet yang sangat tipis tanpa ada isinya. Aku pergi menuju ruangan klub sastra yang aku kunjungi kemarin.
Untuk apa? Biasa, mengemis makanan hanya untuk mengganjal perut yang amat berisik. Aku malu, ketika waktu belajar dan perut meraung amat keras sampai tubuhku meringkuk.
Berjalan di lorong dengan setiap sisinya terdapat para murid sekolah ini yang berkeliaran. Ruang klub sastra cukup jauh, karena menulis sebuah karya dibutuhkan keheningan dan ketenangan batin.
Berdiri di depan pintu masuk klub sastra. Perlahan-lahan menarik pegangan pintu yang cekung. Namun, yang kulihat hanyalah ruangan kosong yang sunyi dipenuhi dengan buku.
"Senpai dan para anggotanya ke mana? Lebih baik datang lagi lain waktu, daripada mengganggu."
Aku menutup pintu geser tersebut perlahan-lahan. Suara gesekan itu membuat perhatianku teralihkan. Tanpa sadar, terdapat seseorang yang memanggil nama panggilanku dari lorong sebelah kanan.
Sosok perempuan dengan kacamata bingkai biru yang dipakai olehnya. Headset yang terpasang pada lubang telinga. Ia juga membawa sebuah alat musik dalam tas yang digendongnya. Hanya saja, kenapa ia menggunakan masker dengan sepatu yang belum diganti?
"Siang Koala, kau mau apa ke ruangan klub?"
Tanya Seniorku. Ketua dari klub sastra yang ingin kudatangi. Kata-kata sulit memasuki pikiranku dan kucoba merangkainya agar lebih baik lagi.
"Senpai, aku suka dirimu."
Kenapa aku berani sekali mengatakan hal itu? Satu, faktor situasi dan kondisi dalam pernyataan kebiasanku yang blak-blakan. Dua, saat ini Senior menggunakan headset dan tergantung apakah dia sedang mendengarkan lagu.
"Kenapa kau diam saja, ayo masuk."
Ucapnya seraya melepas headset yang terpasang pada indra pendengarannya. Aku tersenyum kecil, sungguh manis apa yang aku katakan tadi. Rasanya seperti memojokkan diri sendiri pada situasi yang tidak normal.
* * * * *
Di atas meja hanya ada dua gelas kaca yang terisi dengan air bening. Satu untukku dan satu lagi untuk Senior yang ada di depanku. Seberang meja sana, ia tengah membaca buku sastra klasik.
Sedangkan aku? Tentu saja numpang makan. Entah sejak kapan, Senior menerima alasanku yang tidak masuk akal ini. Mana ada pencopet yang diberi uang, tetapi yang lalu biarlah berlalu.
Sebuah kebaikan tidak akan mengkhianati. Malahan, hal itu akan berdampak balik. Minggu lalu juga, pencuri sepeda memberiku uang karena sudah mau meminjamkan sepedaku padanya.
Dan anehnya lagi, aku semakin akrab dengan para pencuri yang sudah kuberi ceramah singkat agar tobat. Ya, kebaikan akan membawa kebaikan yang lainnya.
Ketika mulutku tengah sibuk mengunyah roti coklat pemberian Senior. Sebuah pertanyaan ia lontarkan padaku. Namun sebelum itu, aku melirik ke segala penjuru ruangan yang ada di klub sastra ini untuk memastikan sebuah jawaban yang kucari.
"Senpai, kantung matamu terlihat jelas. Tunggu sebentar, biar aku cek kondisi tubuhmu."
Aku beranjak dari tempat duduk. Menghampirinya melalui samping kanan. Memegang kepalanya dengan kedua tangan.
Kami saling berpandangan mata. Namun, aku hanya terfokus pada kantung mata layaknya mata panda. Oh, reaksi dari rasa malu melalui kontak tubuh mulai bereaksi.
Pipinya merona merah. Kugapai lengan kirinya, mencari aliran darah beserta urat di tangan kecil dan lembut ini. Sudah kuduga, tensi darahnya sekitar sembilan puluh.
"Bukankah sudah kubilang. Jangan terlalu banyak begadang. Kafeine memicu lingkar hitam di area mata."
Ucapku seraya melepas tangannya dari genggaman tanganku. Kembali ke tempat duduk milikku, sensasi lembut dari tangannya masih terasa. Selain itu, tubuh Senior memiliki bau yang harum.
"Koala, apa arti dari 'Bulan yang indah'?"
Pertanyaannya membuat otakku membakar glukosa yang baru saja kumakan. Untuk berpikir, otak membutuhkan glukosa yang didapatkan dari gula. Biasanya para pemain shogi atau catur, mereka akan mengisi perut mereka dengan makanan manis mengandung glukosa.
"Kata-kata itu dikutip dari karangan penulis Natsume Souseki. Bulan yang indah bisa diartikan dengan aku menyukaimu."
"Hehehe ... aku juga."
Ia membalas perkataanku. Aku menepuk jidatku karena menyadari hal yang ganjil kenapa Senior menanyakan pertanyaan itu.
Sialan, dia menjebakku agar aku mengatakannya. Aku menyukaimu dan Senior membalasnya dengan aku juga. Aku kalah, tidak kusangka dirinya akan melakukan taruhan pada persentase yang kecil.
"Aku pergi dulu. Sebentar lagi kelas akan dimulai."
Sahutku seraya menenggak habis air bening pada gelas yang ada di hadapanku. Beranjak dari tempat duduk dan membiarkan sampah plastik bungkus roti di atas meja. Melangkahkan kaki menuju pintu ruang klub sastra.
"Senpai, bagaimana dengan telingamu?"
Pertanyaanku membuat suasana hening beberapa detik. Ketika ia ingin menjawabnya, suara parau dan gagap bercampur keraguan.
"Ke-keadaanku baik-baik saja. Terima kasih telah mengkhawatirkanku."
Jawabnya. Aku menunjuk ke samping kanan yang tertuju pada kalender dinding. Dengan semua kondisi yang tersusun dalam pikiran, itu tidak salah lagi.
"Senpai, hari ini adalah waktu pemeriksaan kondisimu. Jangan sampai telat, butuh bantuan panggil saja aku."
Ucapku seraya menurunkan tangan kananku. Di ruangan ini ada yang tidak wajar, kondisi pemakaian ruangan dengan kalender yang dilingkari menggunakan spidol merah.
Faktor lainnya adalah posisi tempat duduk. Dengan kata lain, dari kemarin hanya ada Senior di ruangan yang sunyi sendirian. Hanya memikirkannya, ingin sekali kuhajar anggota klub sastra agar rajin masuk dan menemani Senior.
"Jaga dirimu, Kazari Amagase."
Melangkahkan kaki ke luar ruangan klub sastra. Menutup pintu dengan menggesernya perlahan-lahan dengan tangan kiri. Aku diam sebentar di balik pintu, aku ingin mendengar isi hati Kazari yang terdalam.
"Terima kasih telah datang, terima kasih telah mengkhawatirkanku, terima kasih selalu menemaniku. Terima kasih ... Koala tersayangku."
Aku mendengar setiap kata-kata indah yang ia ucapkan dari bibir manisnya. Ini mungkin sifatku yang buruk, menguping suara hati terpendam seseorang ketika sendirian dalam kesunyian.
Untuk sekarang ... apakah harus kuhajar anggota klub sastra yang telah menyepelekan kegiatan klub?
Tunggu sebentar, aku harus mengembalikan bolpoin yang kuambil kepada pemiliknya.
To Be Continue ....
Karena semua akan indah pada waktunya :)