AKU yakin sudah melangkah ke arah yang benar. Alamat yang tertera pada kertas yang kugenggam sama persis dengan tempatku berdiri sekarang.
Jalan abraham blok 6
Dia tidak mungkin memberiku alamat yang salah sebab aku datang kemari karena dia memintaku untuk menyelesaikan suatu urusan yang sangat penting baginya, tetapi berhubung dia harus mengikuti pertandingan Kick Boxing yang saat ini sudah memasuki semi final, akulah yang terjun ke lapangan seorang diri.
Aku tidak keberatan sama sekali atas permintaannya, yang jadi masalah sekarang adalah aku sedikit takut untuk memasuki kawasan ini. Kenyataan bahwa aku belum pernah mengenal daerah ini, ditambah fakta jika aku tidak memiliki samasekali keahlian bela diri yang akan membantuku bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Lihat saja, tempat ini sangat mirip sarang penjahat. Bisa jadi di balik pintu-pintu itu menyimpan kejahatan besar yang selama ini tersimpan rapi.
Deru angin sedikit menyibak rambutku, itu membawa rasa mencekam yang mendadak menyelip ke pikiranku. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan sebelum menyeret kaki memasuki daerah sialan ini.
Aku tidak pernah berpikir datang kemari dengan pakaian sekolah serta botol minum yang talinya kujinjing. Sekitarku hanya ada hening, mungkin suara cicitan tikus yang barusan lewat di dinding-dinding kumuh ini adalah suara pertama yang kudengar.
Aku kembali memandang kertasnya dan memperlambat langkah.
No. 2G
Melirik sekitar, aku menemukannya di sebelah kiri. Posisiku kemudian menghadap sebuah pintu besi dengan sedikit karat yang tertutup rapat. Kuketuk itu dua kali.
Namun, tidak ada jawaban.
Aku mengetukanya kembali dengan sedikit kuat. Ardenalinku tertantang, sehingga berulang kali aku menelan ludah dan menyeka keringat di dahi. Masih tak ada sahutan. Aku kembali melakukannya, tetapi dengan cara menendang pintu besi dengan agak kuat sampai terdengar bunyi nyaring. Kupikir suara pintu itu tak lebih kuat dari detak jantungku. Mataku melirik awas, lalu berubah ngeri saat pintu di depanku tiba-tiba terbuka.
Seorang lelaki dengan asap rokok mengepul di mulutnya muncul dari balik pintu. Aku kaget, terlebih dengan keadaannya yang hanya ditutupi sebuah boxer hitam kucal, membuatku dengan luluasa memandang perut itu, walau aku tidak mau sebenarnya. Mata setajam silet itu menatapku garang.
"Apa yang kau lakukan?!"
Dan aku sudah menduga akan mendapat bentakan jadi tidak begitu kaget meskipun sedikit. Kutebak dia marah karena pintunya digedor kuat-kuat.
"Umm ... A–apa namamu—sebentar," Aku buru-buru memandang kertas yang bertuliskan sebuah nama. "Tray? Tray ... Greldison?" Aku berani bersumpah, wajahnya benar-benar membuatku takut. Alis tebal itu mencuram dalam.
Dia membuang rokoknya ke sembarang arah. "Ya. Dan katakan apa maumu, serta siapa yang mengutusmu?"
Wow. Aku tak menyangka dia hebat menebak. Atau dia memang sudah tahu sebelumnya. Awalnya kukira dia akan bertindak diluar kemampuanku karena penampilannya memberi kesan kalau dia bukan orang baik dan tidak sungkan melalukan hal kejam.
Padahal aku sudah mempersiapkan serangan bela diri jika itu terjadi.
"Ray. Dia meminta tolong padaku untuk datang di alamat, umm... di sini, di tempatmu, dan dia berpesan agar kau menemui dan melunasi semua hutangmu padanya."
Aku memperhatikan reaksinya. Dikondisi seperti sekarang rasanya tidak masalah untuk berburuk sangka dan waspada.
Tempat ini gelap. Pengap. Sepi. Hampir tidak ada ruang untuk masuknya cahaya. Dugaanku tidak ada orang selain kami di sini atau memang ada orang, tetapi tidak mau keluar untuk menyaksikan keributan ini. Kuulangi, tempat ini sepi yang berarti hening, suara kecil bisa terdengar keras.
Namun reaksinya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan amarah.
"Katakan padanya aku akan menemuinya minggu depan. Dan kau, segeralah pulang."
Pergi dari tempat aneh ini memang keinginaku sejak awal. Aku juga sedikit terkejut dengan fakta bahwa dia bukan orang jahat yang akan menyakitiku. Sebelum benar-benar pergi, aku merogoh kantung seragamku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.
Aku mendekat ke arahnya, menyerahkan benda kecil itu.
"Ini. Dia bilang kau harus menyimpannya."
Benda itu telah berada digengamannya waktu deru mesin yang sangat keras tiba-tiba terdengar dari depan sana. Suara truk. Aku kaget luar biasa, bukan karena suara keras dari truk itu, tetapi karena sesuatu menarik tanganku.
Lelaki ini, menarikku ke dalam sebuah ruangan. Semuanya berlalu dengan sangat cepat sehingga tidak mampu kusadari.
"Apa-apaan kau ini?!"
Dia meletakkan telunjuknya pada bibirnya. "Sttt... Diamlah." lelaki itu berbisik panik. "Meraka datang, akan rumit jika mereka melihatmu."
Mereka? Mereka apa?!
"Lalu aku—apa yang harus kulakukan?!" pekikku tertahan.
"Kau harus bersembunyi."
Aku kalang kabut. Menyorot bengis lelaki itu. "Dimana, bodoh? Ruangan ini bahkan tidak memiliki tempat untukku bersembunyi."
Ruangan 4 × 3 m ini hanya tampak seperti sebuah kamar yang berantakan. Cahaya lampunya remang, disertai dengan udara yang minim. Pengap. Barang-barang di dalamnya juga tidak banyak yang menarik, satu lemari besi berukuran sedang, tempat tidur empat kaki, televisi kecil yang tidak kuketahui masih bernyawa atau tidak, dan pakaian yang bercecer di mana-mana, oh itu ada juga pintu yang sepertinya kamar mandi. Ah, sial. Aku tidak mungkin sembunyi di bawah tempat tidur yang terdapat beberapa sepatu, atau di kamar mandi yang artinya itu bukan sembunyi. Di dalam lemari? Jangan bercanda.
Aku menoleh ke arah si lelaki, sepertinya dia sedang berpikir keras, dahinya berkerut dengan alis yang hampir menyatu.
Tau-tau dia memandang ke arahku.
"Hanya ada satu cara," ujarnya. Mengundang pertanyaan yang kutunjukkan melalui ekspresiku.
"Kau, pura-puralah menjadi perempuan sewaanku."
Mataku terbelak. "Apa?!" Aku segera mundur memeluk tubuhku sendiri dan menhujamnya dengan tatapan ngeri.
"Dengarkan aku," suaranya berbisik. "Pertama, aku sering menyewa perempuan dan membawanya kemari. Mereka, orang-orang yang menaiki truk-truk itu, sudah paham akan kebiasaanku dan mereka tidak akan curiga padamu jika kau berpura-pura menjadi perempuanku." dia menarik napas dalam-dalam. "Kedua, kita tidak akan berbuat apa-apa. Aku janji."
"Aku tahu." aku memotong ucapannya.
"Mereka biasanya akan kemari untuk mengecek keadaanku."
"Ya. Aku tahu."
Segala fokusku buyar. Pikiranku mendadak kosong, kemudian aku beranjak menaiki tempat tidurnya dengan perlahan. Lalu dengan gerakan lambat, aku membuka kancing teratas seragamku.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?!"
Aku berjengit kaget. "Tapi katamu–"
"Kau tidak perlu membuka bajumu, Idiot." ucapnya yang berdiri di dekat pintu.
Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Dia sibuk mengintip dari dalam pintu setelah memakiku. Entah apa yang sedang dilihatnya.
Aku baru saja memperhatikan tempat tidurnya ketika dia tiba-tiba berlari ke arahku dan segera menarik selimut yang ada dipojok yang kemudian digunakan untuk menutupiku dari leher hingga ujung kaki. Dia sangat terburu-buru.
"Apa mereka datang?" tanyaku guna memastikan.
"Hanya satu orang," jawabnya seraya merapikan selimut, kemudian memiringkan badanku sampai menghadap dinding dan membelakangi pintu. "Pura-puralah tidur seolah kita habis melakukan sesuatu. Dan selimut ini, jangan sampai melorot, kau harus menutupi seragammu. Aku akan berbincang padanya." Aku merasakan rambut panjangku diraih untuk menutupi kerah seragamku.
Pintu besi itu di gedor pelan oleh seseorang, diikuti suara pelakunya, "Tray? Apa kau di dalam?"
Aku tak dapat melihat lelaki itu dan apa yang terjadi. Aku tak bergerak sedikitpun sejak dia mengubah posisiku.
Aku rasa Tray, lelaki itu beranjak dan membuka pintu setelah diam beberapa saat.
"Ada apa?" ini suara Tray.
"Yo, bung. Ternyata kau menyewa perempuan lagi. Kupikir gadis yang sempat kulihat sekilas di sini adalah orang suruhan Denis. Kau hampir membuatku mengeluarkan tembakan maut, bocah tengil." Suara riang lelaki lain yang penuh canda terdengar. Bila kudengar dari suaranya, sepertinya lelaki ini lebih tua dari Tray. Siapa dia? Apa dia akan menembakku jika aku bukan perempuan sewaan Tray?
"Ya. Aku menawarnya sewaktu pulang dari rumah Cassie."
Wow lagi. Dia pandai berbohong. Suara Tray bahkan tidak gugup samasekali.
"Hmm... Perempuan kali ini sepertinya seumuran denganmu. Kenapa kau tidak menyewa wanita seksi seperti kemarin?"
"Kenapa? Aku ingin mencoba yang perawan."
Aku masih mendengarkan pembicaraan sialan mereka. Ini agak menjijikkan didengar oleh gadis sekolahan sepertiku.
"Baiklah, tak masalah. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk berhati-hati saat mencari perempuan. Aku takut jika mereka memiliki hubungan dengan Denis."
"Tenanglah. Perempuan yang kupilih semuanya aman."
"Begini, aku hanya tak ingin kau terkena masalah. Kita semua tidak pernah aman, Tray, ingat. Tempat ini, bukan, semua tempat yang ada di sini tidak ada yang aman."
"Aku tahu."
"Oh ya, nanti, kau jangan sampai melewatkan makan malammu. Sarah akan menyiapkannya di lantai tiga, seperti biasa. Tadi Cassie memberikan kami banyak bahan makanan, suku cadang kendaraan dan senjata." kudengar dia terkekeh. "Perempuan itu, andai dia normal, dia akan menjadi idaman para pria."
"Kau menyukai Cassie? Si lesbi itu?" kali ini kudengar Tray tergelak. "Aku akan memberimu Air Jordan 4 Undefeated milikku jika dia mau tidur denganmu."
"Ah, sial, dia perempuan yang kejam, idiot. Sebelum aku berhasil menyentuhnya, adikku sudah lebih dulu dilenyapkannya."
Aku tak mengerti inti pembicaraan mereka.
Siapa mereka sebenarnya? Siapa Denis? Siapa Cassie? Apa hubungan Ray dengan Tray? Ada apa dengan dunia yang semakin lama semakin asing? Dan ... kapan aku bisa pulang, sialan?!
------
— New chapter is coming soon — Write a review